Ramadan: Sair wa Suluk untuk Pulang Kampung

Sair wa suluk. Lorong khusus bagi pelancong rohani. Ramadan sebagai sair wa suluk adalah wahana khusus bagi manusia yang mengkhususkan diri untuk melancong menuju Tuhannya. Bagi mereka Ramadan bukan Ramadan biasa, Ramadan adalah hamparan jalan sutra cahaya yang dengan jalan ini Tuhan memperjalankan hamba-Nya untuk hadir di haribaan-Nya.

Ramadan bukan jalan untuk mereka lalui dengan kekuatan apa yang ada pada diri mereka, karena mereka tidak punya daya untuk itu. Tapi Tuhanlah pemilik daya sesungguhnya, sehingga perjalanan itu hanya bisa terjadi jika Tuhan yang memperjalankan mereka dalam wahana Ramadan. Mengandalkan kekuatan diri dalam wahana Ramadan untuk menghadap Tuhan adalah kesalahan besar dan akhlak tercela. Itulah Ramadan dalam persepsi mereka.

Para pelancong rohani Ramadan larut dalam kesendirin dan juga bisa larut dalam keramaian namun tidak terdeteksi kesendiriannya. Dalam persepsi mereka Ramadan adalah jalan. Jalan sutera emas untuk terserap ke dalam kekuatan Ilahi hingga wushul akhirnya, yaitu Allah Swt. Karena Ramadan adalah bahtera emas yang mengantarkan kepada Tuhan, maka bagi mereka muatan Ramadan bukan sekedar puasa, rasa lapar dan dahaga semata, akan tetapi juga semua lelakon spiritual seperti zikir, mengaji, shalat, sedekah dan segenap perbuatan baik lainnya adalah ritual penting dalam bulan Ramadan sebagai langkah-langkah dalam sair wa suluk menuju Allah Swt.

Bagi kesadaran mereka, semua lelakon baik di atas adalah lakon Tuhan yang terejawantah tajali-nya pada lakon hamba. Dalam sudut pandang kacamata fisik hanya tampak kebaikan itu lakon hamba, namun dalam sudut pandang kacamata rohani lakon kebaikan tersebut adalah lakon Tuhan yang tertajalli pada lakon hamba. Sehingga, pada lakon amal baik tersebut, secara rohani sang hamba terangkat menuju tingkat wujud lebih tinggi lagi untuk merapat kepada-Nya.

Ramadan adalah bulan yang membakar. Membakar segenap keburukan dan dosa. Demikianlah dipahami secara umum. Namun, bagi para kekasih Allah, Ramadan itu betul-betul bulan yang begitu digdaya membakar. Bukan sekedar membakar segenap dosa dan keburukan, bahkan secara maknawi membakar diri pelakon puasa hingga sirna tanpa jejak. Juga, Ramadan membakar segala sesuatu selain Allah hingga tiada tersisa sama sekali kenisbian dan yang hadir hanya Ketunggalan-Nya semata. Hasil akhir pembakaran Ramadan adalah hanya Dia yang hadir, selain-Nya sirna total.

Tampaknya dengan sudut pandang di atas, pertemuan dengan Tuhan menjadi valid. Hanya dengan sirnanya hamba dibakar Ramadan pertemuan bisa terjadi. Tak mungkin ada pertemuan antara yang nisbi dengan Yang Abadi. Juga, tak akan ada pertemuan antara Yang Tunggal dan yang jamak. Yang ada adalah pertemuan antara yang nisbi dengan yang nisbi dan antara Yang Abadi dengan diri-Nya sendiri. Tidak akan ada pertemuan antara hamba dengan Khalik. Yang ada adalah pertemuan hamba dengan hamba dan pertemuan Khalik dengan diri-Nya sendiri. Maka validlah diujung puasa Ramadan ada pertemuan dengan Tuhan, yaitu Tuhan bersua dengan diri-Nya. Sebab, diri pelakon puasa dan segenap selain Allah telah dibakar tuntas oleh Ramadan. Demikianlah para kekasih Allah dengan Kasih-Nya menyirna dibakar api Ramadan demi pertemuan-Nya dengan diri-Nya.

Bagi musafir ruhani, pada tahap paling awal, setidaknya ada dua aral melintang yang menjadi penghalang kuat dalam melintasi jalur sutra cahaya menuju Allah. Yang pertama  adalah keterikatan jiwa pada alam materi. Ruh yang sejatinya titisan Ilahi murni pada jiwa dan jiwa bertumbuh awalnya di alam materi, sehingga kesadaran jiwa lebih didominasi oleh kesadaran material. Akibatnya, jiwa mengidentikkan kesadaran dirinya dengan kekuatan material, sekaligus melupakan aspek murninya, yaitu titisan Ilahi. Semakin intens pergulatan jiwa dengan alam materi maka semakin terikat ia dengan alam materi dan juga ia semakin mengidentikkan dirinya dengan alam materi.

Bentuk ektrem dari safar material ini adalah pandangan bahwa jiwa manusia tidak lebih dari segenap aspek material yang melekat padanya. Yang melekat pada jiwa hanya aspek material belaka. Tidak ada selainnya. Jiwa yang telah terjerat penjara material ini memandang bahwa kesempurnaan hanya ada pada kesempurnaan material. Setiap kali ia ingin menyempurna, maka yang dia kejar adalah hal-hal yang bersifat material. Jiwa semacam ini jika mulai tersentuh pencerahan ilahi, maka pergulatan dahsyat yang dia alami pertama kali adalah ia menyadari bahwa ia telah terkurung dalam bunker beton kesadaran material dan berupaya keras untuk membongkar tembok kukuh tersebut. Ia harus mencari cara untuk keluar demi kelanjutan safar ruhani. Jika ia berhasil, maka ia harus melintasi aral berikutnya. Namun jika ia gagal, maka ia akan tetap berada di dalam bunker beton kesadaran material tersebut dan terpenjara di dalamnya.

Yang kedua adalah aku dan ke-aku-an menjadi aral melintang menghalangi diri untuk wushul pada tujuan akhir, yaitu Allah Swt. Para pesafar ruhani dengan tekad penuh begulat keras untuk melampaui alam materi, dengan curahan Kasih Tuhan, jika berhasil, maka akan sadar bahwa ia masih terpenjara oleh beton bunker berikutnya yang jauh lebih samar dan lebih kokoh dari beton bunker alam material sebelumnya, yaitu aku dan ke-aku-an. Para pelancong rohani menyebut aku dan ke-aku-an ini adalah berhala besar yang wajib dihancurkan jika ingin kembali kepada Tuhan. Berhala besar inilah yang ingin diluluh-lantakkan oleh Khalilullah Ibrahim as.

Kepentingan dan keinginan aku dalam diri begitu dominan dan kuat. Berusaha demi kepentingan aku. Berdoa demi kepentingan aku. Berbuat baik, juga berbuat jahat demi kepentingan aku. Bahkan beribadah demi kepentingan aku. Pokoknya segala sesuatunya demi kepentingan aku. Maka, secara sadar atau tidak sadar semua itu adalah demi kepentingan aku yang berarti semua itu adalah proses peruntukan diri, penyembahan diri sendiri dan bukan peruntukan dan penyembahan pada Tuhan. Jika proses ini tanpa disadari dan tanpa penyucian diri, maka diri telah menjelma jadi Fir’aun yang bukan saja menyembah diri sendiri akan tetapi mengarahkan orang lain untuk menyembah dirinya. Berhala nonmateri berupa aku dan ke-aku-an telah berdiri kokoh  menjadi hijab tertebal yang membuat jarak ruhani dengan Tuhan seakan tak mungkin terobekkan. Selama aku masih eksis, maka bentangan tak berbilang hijab kegelapan dan hijab cahaya menjadi pemisah abadi sang diri dengan Tuhannya. Nestapa keterpisahan tak menemui ujungnya.

Ramadan adalah bulan-Nya Allah. Oleh karena itu, semua yang masuk dalam Ramadan selayaknya teruntuk hanya pada Allah. Segala realitas yang masuk dalam Ramadan teruntuk hanya pada Allah. Diri manusia dan segenap aktivitasnya yang masuk ke dalam bulan Allah–Ramadan–juga semestinya hanya teruntuk pada Allah semata. Ramadan idealnya adalah proses segala realitas untuk terserap secara hakiki kepada Allah. Begitupun dengan diri dan segenap aktivitasnya yang masuk ke dalam Ramadan semestinya terproses dan terserap secara hakiki kepada Allah Swt. Mungkin ini yang dimaksud Ramadan adalah bulan yang membakar segala sesuatu, termasuk diri, dan pada akhirnya hanya Tuhan Yang Tunggal yang hadir. Diri menyirna, Tuhan menyata.

Di ujung Ramadan, dengan pembakaran yang tuntas, masuk ke zaman baru, yaitu zaman kecemerlangan dan kebangkitan fitri, sang aku telah menyublim dari keterpisahan abadi menjadi mazhar Tuhan, menjadi tajalli Tuhan dalam kesadaran hakikinya. Sebagai mazhar Tuhan, sang aku dan segenap aktivitasnya secara total telah kehilangan peruntukan, kecuali hanya kepada Allah Swt semata. Sehingga secara hakiki hanya Dia yang eksis, selainnya tiada.

Segenap ikhtiar penuh sang aku untuk memurnikan diri dalam Ramadan, adalah uluran Tangan Kasih Tuhan, yang membantunya untuk keluar dari bunker-bunker beton kukuh yang mengungkungnya, adalah sebentuk kerinduan sang aku untuk kembali ke kampung halamannya, yaitu Allah Swt. Dan sang aku tiada lain hanya mazhar-Nya semata.

Kredit gambar: Suara Muhammadiyah

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221