Al-Ghazali dan Kerancuan Filsafat

Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan bahwa  al-Ghazali mempelajari dan memadukan filsafat secara  dalam seperti yang terlihat dari teori dan kekuatan strukturnya, namun juga membuat kita percaya bahwa setidak-tidaknya filsafat punya pengaruh tak langsung terhadap pemikiran tasawufnya.

Pada kalangan para pemikir rasional, al-Ghazali kerap kali dicap sebagai sumber serangkaian pandangan anti-filsafat sepanjang pertengahan sejarah filsafat Islam. Karena cenderung menyingkirkan rasionalitas dan menitikberatkan tasawuf menjadi satu-satunya solusi. Kendati demikian, jika ditelaah secara teliti, maka predikat tersebut tidak sepenuhnya benar. Sebab gagasan al-Ghazali cenderung pada gagasan yang rasional dan konstruktif baik kritiknya terhadap filsuf maupun berbagai karyanya yang lain.

Al-Ghazali tergolong sosok yang unik dalam dunia pemikiran, sehingga banyak dari karya-karyanya menjadi obyek penelitian yang menarik minat banyak kalangan akademisi, mulai dari kalangan umat Islam itu sendiri maupun dari kalangan non-muslim. Dalam pengkajian pemikiran al-Ghazali, sedikitnya terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah yang mengagumi pemikirannya dan menganggapnya sebagai tokoh agung dalam dunia Muslim. Kelompok kedua adalah yang melihat banyak kekeliruan dalam karyanya dan kontra terhadap al-Ghazali, bahkan menyalahkan al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran intelektualisme dalam dunia Islam. Kelompok ketiga adalah yang melihat karya-karya dan perjalanan hidup al-Ghazali secara objektif, sehingga pendapat mereka tentang al-Ghazali didasarkan pada fakta, bukan hanya opini belaka.

Para pengkritik kadang kala menyalahkan al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran Islam, karena ia secara tidak sengaja membuat takfir  (menjatuhkan hukum kafir) terhadap para filosof yang mengakibatkan adanya keterasingan umat Islam dari rasionalitas. Kritik utama al-Ghazali didasarkan pada kenyataan bahwa penolakan para filosof terhadap prinsip-prinsip dasar agama yang semakin meluas akibat bias pemahaman eskatologis mereka. Seperti yang ia deskripsikan dalam Tahafut Al-Falasifah. Kekeliruan ini, menurut al-Ghazali bukan hanya karena pemahaman mereka terkait agama, melainkan sikap mereka yang condong mengikuti para filosof Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles tanpa menyeimbangkan pemahaman mereka dengan ajaran agama.

Sebelumnya, Al-Ghazali mempelajari dan memetakan berbagai bidang dalam filsafat untuk memberikan validasi yang tepat pada setiap bagian, sehingga pandangannya tidak sepenuhnya menolak seluruh kerangka kerja filsafat dan merusaknya. Maka dari itu, Al-Ghazali memilih untuk bersikap hati-hati dalam memberikan label bid’ah atau kafir tergantung pada bagian mana dari pandangan filsafat yang ditolaknya. Dalam karyanya, “al-Munqidh min al-Dhalal“, Al-Ghazali kemudian mengklasifikasikan filosof ke dalam tiga kelompok yakni al-Dhariyyun (filosof Materialis), al-Thabi’iyyun (filosof Naturalis dan Deistis), dan Ilahiyyun (filosof Teis).

Al-Ghazali menganggap kelompok al-Dhariyyun sebagai filosof yang menolak gagasan penciptaan alam. Kelompok ini meyakini bahwa alam muncul dengan sendirinya dan tidak ada pencipta yang mengaturnya. Selain itu, mereka juga percaya bahwa hewan berasal dari sperma dan sperma berasal dari hewan, dan hal ini sudah berlangsung sejak masa lalu dan akan berlangsung selamanya. Al-Ghazali menilai bahwa kelompok ini tidak mengakui keberadaan Tuhan.

Kelompok al-Thabi’iyyun adalah para  filosof yang mempelajari penciptaan Tuhan dan mengakui keberadaannya. Namun, mereka juga menjadi sasaran kritik dari al-Ghazali karena meskipun mereka mengakui keberadaan Tuhan, namun mereka menolak gagasan tentang kebangkitan. Kelompok ini meyakini bahwa kemampuan berpikir manusia bergantung pada sifat biologisnya.. Saat sifat biologis manusia hilang, menurut kelompok al-Thabi’iyyun, maka kemampuan berpikirnya juga akan hilang dan tidak mungkin mengembalikan sesuatu yang sudah lenyap. Mereka juga meyakini bahwa ketika seseorang meninggal, maka jiwa-nya juga akan lenyap dan tidak akan kembali lagi. Oleh karena itu, kelompok ini menentang konsep akhirat, pahala-surga, siksa-neraka, kiamat, dan hisab..

Sedangkan kelompok Ilahiyyun merupakan para  kelompok filosof yang muncul pada periode paling akhir dalam sejarah filsafat Yunani kuno. Salah satu tokohnya adalah Aristoteles. Al-Ghazali menyatakan bahwa meskipun tokoh-tokoh tersebut berhasil menyusun logika dan ilmu pengetahuan lainnya dengan sangat baik, namun masih terdapat beberapa aspek dalam pemikiran mereka yang ia pandang sebagai pemikiran yang sesat dan dianggap sebagai kafir. Misalnya, pemikiran Aristoteles yang seakan-akan menjelaskan adanya kekekalan alam. Hal ini sama seperti cara pandang Al-Ghazali terhadap para filsuf Muslim pengikutnya seperti Ibnu Sina dan al-Farabi..

Karya Tahafut Al-Falasifah, yang disebut juga Kerancuan Filsafat, adalah sebuah kritik tajam dari al-Ghazali terhadap dua tokoh filsafat Muslim terkemuka pada zamannya, yaitu al-Farabi dan Ibnu Sina. Kritik ini terutama difokuskan pada teori metafisika (al-Illahiyat), tetapi sering kali dipandang sebagai kritik terhadap seluruh bidang filsafat. Hal ini berdampak pada posisi filsafat yang menjadi tidak begitu dihargai dalam pemikiran Islam. Karena itu, diperlukan upaya untuk mengklarifikasi dan mengoreksi pandangan yang keliru tersebut. Secara singkat, al-Ghazali mengidentifikasi dua puluh masalah yang merupakan sumber kerancuan para filosof, yang mana tujuh belas di antaranya dikategorikan sebagai bid’ah dan tiga masalah utama menyebabkan para filosof dianggap kafir.

Permasalahan pertama yang dikritik oleh al-Ghazali adalah pandangan para filosof yang menyatakan bahwa alam itu qadim atau tidak memiliki awal. Pandangan ini berasal dari Aristoteles beserta para pengikutnya dan dipegang oleh para filosof Muslim sebelum al-Ghazali. Mereka berargumen bahwa alam haruslah qadim karena tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu Tuhan, menciptakan alam yang belum ada. Namun menurut al-Ghazali, yang qadim hanya Tuhan semata, sedangkan selain Tuhan haruslah baru. Jika ada yang qadim selain Tuhan, hal ini dapat menimbulkan banyak pandangan yang berbeda, seperti pandangan yang menyatakan bahwa Tuhan juga banyak. Pemikiran seperti ini dapat menimbulkan kemusyrikan dan dianggap sebagai dosa yang tidak dapat diampuni oleh Tuhan. Di sisi lain, pandangan ini juga dapat digolongkan sebagai ateisme karena menyatakan bahwa alam yang qadim tidak memerlukan pencipta.

Selanjutnya, pandanganbahwa Tuhan tidak dapat mengetahui sesuatu yang bersifat spesifik atau partikular. Pandangan ini pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles dan kemudian diadopsi oleh para filosof Muslim. Para filosof Muslim ini meyakini bahwa Allah hanya mengetahui keberadaan-Nya sendiri karena alam ini selalu mengalami perubahan. Jika Allah mengetahui secara rinci perubahan yang terjadi, maka itu akan membawa perubahan pada diri-Nya. Dengan kata lain, perubahan dalam obyek pengetahuan akan membawa perubahan pada yang mengetahui, baik itu penambahan maupun pengurangan. Namun, Al-Ghazali mengkritik pandangan tersebut dan menganggap filosof tersebut telah melakukan kesalahan fatal. Baginya, perubahan yang terjadi pada obyek pengetahuan tidak akan membawa perubahan pada pengetahuan itu sendiri karena perubahan dalam pengetahuan tidak mempengaruhi substansi yang memilikinya. Al-Ghazali memberikan contoh, jika seseorang bergerak dari kanan ke kiri, yang sebenarnya berubah adalah orang tersebut, bukan diri kita. Allah mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan-Nya yang sama sejak awal dan tidak akan pernah berubah, meskipun dunia yang diketahuinya mengalami perubahan.

Permasalahan lain yang kemudian menjadi kritik oleh al-Ghazali ialah parafilosof-filosof sebelum al-Ghazali yang berpandangan bahwa hanya rohani yang akan dibangkitkan pada akhirat, sedangkan jasmani itu sendiri akan hancur lebur. Namun al-Ghazali menolak pandangan tersebut dan lebih banyak mengacu pada arti tekstual Al-Quran yang menunjukkan adanya kebahagiaan atau siksaan fisik dan rohani secara bersamaan. Al-Ghazali juga menegaskan bahwa kekekalan jiwa setelah kematian tidak bertentangan dengan ajaran Islam, hal tersebut didukung oleh beberapa hadist yang menyebutkan tentang nikmat dan siksa kubur yang akan dialami oleh ruh manusia.  

Dari rangkaian kritik tersebut, dapat dilihat bahwa al-Ghazali tidak mengkritik filsafat secara keseluruhan, tetapi hanya beberapa aspek dalam cabang filsafat tertentu, terutama metafisika yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam. Melalui bukunya, Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali mencoba menggunakan argumen-argumen logis untuk mengkritik para filosof. Meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan, sikap teologis al-Ghazali sebagai penganut aliran Asy’ariyah tercermin secara implisit dalam kritiknya terhadap filsafat. Hal ini dapat dilihat, misalnya, terkait penolakannya terhadap pandangan para filosof mengenai keqadiman alam. Al-Ghazali berpendapat bahwa yang qadim hanya Allah dan sifat-sifat-Nya, dan tidak ada yang lain yang bisa dikatakan qadim selain Allah.

 Karena alam bukan merupakan sifat Allah, maka alam tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang qadim dan hanya sebagai ciptaan Allah semata. Hal tersebut mencerminkan kecenderungan al-Ghazali sebagai penganut aliran Asy’ariyah. Selain itu, penolakannya terhadap nafy al-sifat juga merupakan indikasi bahwa al-Ghazali menolak pandangan aliran Mu’tazilah. Dalam pandangan al-Ghazali, baik aliran Neo-Platonisme maupun Mu’tazilah memiliki kesamaan pada beberapa pandangan yang bertentangan dengan ajaran Islam, Oleh karena itu ia menolak kedua aliran tersebut baik secara implisit maupun eksplisit.

Hemat saya, meskipun kritik al-Ghazali terhadap filosof tak luput dari kekurangan, hal tersebut tidak mengurangi penghargaan terhadap sosoknya. Terlebih lagi kritiknya tersebut direspon oleh Ibnu Rusyd, sosok yang kelak memberikan otokritik terhadap pemikiran al-Ghazali melalui bukunya Tahafut al-Tahafut. Kendati demikian, kritik-kritik tersebut membuktikan keberhasilan al-Ghazali dalam membentuk sikap umat Islam terhadap filsafat. Maka dari itu al-Ghazali dianggap sebagai tokoh pembaharu pada masanya dengan warisan tulisan yang sangat berpengaruh bagi generasi Muslim selanjutnya

Referensi

Al-Ghazali, Maqashid al-falasifah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002.

Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972.

Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Kairo: Maktabah al-Iman Li al-Nasyr wa al-Tauszi’, 1996.

Al-Ghazali, al-Munqiz min al-dalal, Istanbul: Hakikat Kitabevi, 1981.

Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filosof dan Ajarannya,

Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, terj. Pustaka Firdaus, Jakarta:

Pustaka Firdaus 1988.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *