Teruslah Hidup, Adelio

Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia tidak menyadari apa yang ia alami. Semua itu ia rasakan berjalan begitu saja. Setidaknya, di antara rasa bingungnya itu, cahaya pagi memberi napas baru untuk Adelio.

Adelio menggerakkan tangannya untuk mendayung tubuhnya yang terasa berat. Seketika ia melihat daratan tidak jauh dari keberadaannya. Aneh, ini begitu aneh. Ia menemukan sebuah sampan tepat di sebelahnya lengkap dengan dayung yang kelihatannya baru saja digunakan seseorang. Ia melihat ke kiri dan ke kanan namun tidak mendapati siapapun selain dirinya di sana. Hanya ada sayup-sayup suara ombak yang pecah diterpa angin sebelum sampai ke bibir pantai. Lantas, ia segera menaiki sampan itu dan segera menuju daratan yang ia lihat tadi.

Sungguh, Adelio terbelalak ketika ia baru saja menambatkan sampan itu di sebuah dermaga kecil dengan langkah yang terseok dan menemukan kekasihnya sedang melambaikan tangan ke arahnya. Senyum perempuan itu terukir di wajahnya yang berseri. Bibirnya yang tipis terbuka memanggil nama Adelio dari kejauhan.

“Lekaslah ke daratan. Tubuhmu begitu lemah,” ucap kekasih Adelio. Lembut.

Adelio masih tidak dapat berkata apapun. Kekasihnya berinisiatif mengeringkan tubuh Adelio yang sebagian sudah kering diterpa angin laut pagi.

Ia ingat, sebelum berada di sana, ia sedang duduk bersama kekasihnya di teras supermarket di tengah Kota Kendari. Saat itu, Adelio membuat janji temu dengan kekasihnya selepas pulang dari rutinitas bekerja yang melelahkan. Energi Adelio habis tersedot di kantor. Selama perjalanan pulang itu, raut wajahnya tidak pernah berseri. Saat berkendara adalah waktu yang tepat bagi Adelio untuk berterus terang. Ia mendapati dirinya yang lain sebagai sosok pendengar yang baik bagi dirinya yang saat ini. Itulah rahasia Adelio. Selama terjaga di depan komputer dan tumpukan berkas, ia merasa sel-sel dalam tubuhnya seakan-akan berserakan. Benar-benar tak ada jejak.

Obrolan mereka malam itu memanjang. Adelio barangkali tertekan. Ia meminta kekasihnya untuk hidup bersama dengannya. Namun, permintaannya aneh. Ia mengatakan akan mengajak kekasihnya itu untuk membangun rumah di sebuah padang tak berpenghuni lalu menetap di sana. Hanya ada mereka kelak.

“Bukankah ini rumah yang waktu itu, kau berandai ingin hidup bersamaku di sana? Lekaslah, anak-anak kita menantimu sedari petang kemarin.”

Kekasihnya menuntun tubuhnya hingga ke tengah pulau. Tengkuknya terasa dingin saat udara berembus. Ia berkeringat usai berjalan sekitar satu kilo jauhnya. Di sana, ia menemukan sebuah hamparan padang yang luas disertai sepoi angin yang menyejukkan. Dua anak kecil, laki-laki dan perempuan berusia sekitar tujuh tahunan itu sedang lari-larian di antara pematang perkebunan sawi. Sementara tidak jauh dari kedua anak itu, ia mendapati bangunan rumah dari kayu yang tidak terlalu besar, lengkap dengan perkebunan sayur yang mengelilinginya.

“Mereka bahagia, bukan? Kau tahu? Mereka tumbuh dengan baik. Kau pasti mengakuinya juga.”

Adelio diam sejenak. Bagaimanapun, pemandangan itu sesuai dengan apa yang diinginkan Adelio jauh-jauh hari.

“Di duniaku dulu, aku sama sekali tidak memiliki pilihan lain selain menguras diri untuk dapat bertahan hidup. Untuk memenuhi keinginan saja, rasanya sudah seperti memerah susu dari kambing jantan tua,” Adelio memecah keheningan.

Ia menarik napas panjang, memandangi wajah kekasihnya perlahan, “Belakangan ini aku sering menertawakan diri sendiri atas banyak hal yang aku alami sepanjang hidupku. Pernah suatu waktu aku membaca memoar Viktor Frankl, seseorang yang selamat dari tragedi Holocaust. Ia mengatakan bahwa humor adalah senjata jiwa.” Penjelasan Adelio terhenti sejenak. “Apa kau sepakat dengan itu? Aku sendiri kadang mengiyakan ucapannya. Bagaimanapun, walau hanya hitungan beberapa detik saja, humor dapat mengatasi apa pun itu. Komedi memang menjadi puncak sebuah tragedi. Sebuah energi tiba-tiba muncul dan seakan-akan membisikkanmu bahwa ada hal yang pantas untuk ditertawakan.”

“Aku tahu, humor membantuku untuk bertahan dari kesuraman,” Adelio menarik napas panjang.

Adelio teringat dengan kehidupannya yang memuakkan. Ia mesti bangun pagi untuk berangkat bekerja lalu pulang dan tidur. Setelahnya, dalam hitungan beberapa jam ia akan melakukan hal serupa itu lagi. Setiap hari. Berulang kali ia harus mencela rutinitas semu itu. Yang ada di pikiran Adelio adalah bagaimana cara ia bisa meninggalkan kota ini dan hidup mengembara tanpa tujuan. Bebas.

Adelio selalu merasa heran dengan standar kebahagiaan dilihat dari seberapa banyak harta yang mereka kumpulkan. Sementara di waktu-waktu sendiri, kadang ia mendapati sebagian dari mereka mengumpat rutinitas untuk mengejar kekayaan itu.

Adelio pertama kali bertemu kekasihnya di sebuah perpustakaan kota. Saat itu ia memilih membolos kerja dan mematikan ponselnya, alih-alih agar tidak dihubungi oleh bos atau paling tidak rekan sekantornya. Kejadian itu adalah pertama kalinya bagi Adelio kembali merasakan jatuh cinta melalui pandangan pertama. Sebenarnya ia pernah merasakan hal serupa sewaktu masih duduk di bangku SMA dulu. Namun, ia menganggapnya hanya sebuah rasa penasaran saja.

Perempuan itu menyambutnya dengan lembut melalui senyumnya yang merekah saat Adelio sengaja menanyakan bacaan apa yang bagus untuk seorang pekerja yang habis-habisan bekerja untuk memperkaya seseorang. Adelio tersenyum licik. Merasa usahanya mendekati perempuan itu akan berhasil.

“Mungkin kau butuh membaca buku-buku yang memuat pemikiran seputar kapitalisme,” jawabnya.

Adelio mengangguk, memberi isyarat bahwa dirinya tertarik dan menyimak jawaban yang diberikan perempuan itu. Padahal ia sendiri telah mengetahui jawabannya.

“Para filsuf biasanya hanya berupaya menafsirkan dunia melalui berbagai cara, bukan? Padahal yang terpenting adalah bagaimana cara kita mengubahnya.” Perempuan itu melanjutkan, “Ubahlah jika hal itu mengusik kebebasanmu.”

Kini ia berada di sebuah pulau yang tak ia kenali bersama kekasihnya. Selama di pulau itu, perasaan Adelio seakan-akan terbagi dua. Penglihatannya sesekali dihantui dengan sosok besar namun tak berwujud jelas dari tiap tepi pulau yang membuat Adelio terus-terusan was-was. Sementara di sisi lain ia merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sama sekali.

“Kau tahu? Manusia kerap diperhadapkan dengan persoalan-persoalan yang membuat hatinya suram,” kata Adelio.

“Aku mendengar bahwa setiap orang berupaya untuk tetap bertahan. Sewaktu kuliah dulu, aku pernah menemukan frasa Ernest Hemingway melalui buku-buku yang pernah kutemui di toko buku kecil sekitaran kampus mengatakan bahwa di atas segalanya manusia memang harus bertahan. Dengan cara apa pun itu, aku tidak tahu pasti.”

Keduanya terdiam. Bungkam.

Sementara kedua anak itu masih asik bermain, sesekali memanggil kekasih Adelio dengan sebutan ibu dan ayah untuk Adelio.

Dedaunan kelapa menari diembus angin. Suara kicau burung memenuhi telinga mereka. Adelio mengirup napas panjang memeluk kekasihnya. Keduanya saling menatap, memberi senyum terbaik mereka. Hingga akhirnya tenggelam dalam suasana tenang. Memejam mata. Berciuman.

Selang berapa menit, terdengar suara yang mengejutkan. “Duarr!” Adelio terkejut. Suara ledakan ada di mana-mana. Raksasa tak berbentuk itu muncul dari segala sisi. Pulau yang menenangkan itu dalam sekejap saja telah membelah diri dan mengeluarkan asap hitam. Kekasihnya, seketika berubah wujud, membesar dan menyerupai raksasa sama seperti yang lain. Di tengah ketidakjelasan itu Adelio berteriak namun sama sekali tak mendengar suaranya sendiri. Perlahan tubuhnya memudar menyatu dengan udara, terbang dan menghilang. Setelah itu, ia tak tahu apa yang terjadi.

Adelio membuka mata, terbangun dan menyadari ia sedang berbaring di sebuah trotoar di jalanan yang sepi.

“Sialan!”

Ini keduanya kalinya Adelio menabrak marka jalan saat berkendara akibat melamun sepanjang jalan.

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221