Cita-Citaku Menjadi Orang Kaya

“Cita-cita kamu apa?”

Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini. Aku jenuh.

Kupikir, selepas menamatkan taman kanak-kanak. Orang-orang sudah mulai tidak menyukai pertanyaan itu. Mungkin mereka akan mengajukan pertanyaan lain. Mungkin pertanyaan tentang cita-cita itu hanya salah satu prosedur bagi guru TK untuk membuka ruang komunikasi antar guru-murid-orang tua. Atau bisa saja pertanyaan itu hanya basa-basi umum seperti menanyakan cuaca atau aktivitas harian kala pertama kali bersemuka dengan seseorang. Rupanya aku keliru. Bahkan, hari pertama ketika aku resmi menjadi murid di sekolah dasar yang jaraknya tiga kali ukuran lapangan lompat jauh itu. Guruku melontarkan pertanyaan tabu itu.

***

Ketika itu. Usiaku baru saja memasuki angka enam. Di saat itu pula, kedua orang tuaku, setelah berembuk dengan kakek dan nenek, memutuskan agar aku dimasukkan di taman kanak-kanak. Katanya, sudah tibalah masa di mana aku harus menuntut ilmu. Seketika aku gentar. Apakah hari-hariku akan kian serius dan tidur pagiku terenggut? Bagaimana nanti aku melalui hari tanpa bermain bersama tetanggaku?

Syukurnya. Realitanya tidak sedemikian monoton seperti yang kuduga. Meski pagi kian cepat menyambutku, tetapi setiap menjelang sore, aku diperkenankan bermain bersama teman sebayaku. Kami memainkan banyak hal. Mulai dari boneka, masak-masak, berakting jadi penjual dan pembeli, saling merias satu dengan yang lainnya, petak umpet, mengerumuni ayam peliharaan adiknya kakekku yang berjejer di kandangnya masing-masing, serta main layangan atau balap sepeda bareng kakak sepupuku. Tentu saja, adegan berkelahi hingga menangis kerap mengisi hari-hari kami. Hidupku sungguh penuh warna sebagai anak TK.

Menjelang magrib, ibu atau nenek akan meneriakkan namaku. Memanggilku pulang. Aku harus mandi sore dan melalui sepanjang malam di dalam rumah. Aktivitasku tidak membosankan sebenarnya. Aku serumah dengan beberapa orang sepupuku. Sehingga, tiap selesai makan malam. Kami selalu berkumpul bersama. 

Jika mereka tampak sibuk menuntaskan tugas sekolahnya. Sesekali aku suka mengganggui mereka. Namun, dibanyak kesempatan, aku sebenarnya terlampau  sibuk dengan duniaku sendiri. Di saat mereka fokus mengerjakan tugas yang diberikan guru mereka, aku malah asyik menggambar atau mewarnai. Aktivitas mewarnai adalah hal yang paling aku sukai. Diikuti menggambar dan menari. Aku tidak begitu suka menyanyi, yang aku tahu hanyalah berteriak. Kata ibu, sejak berumur 8 bulan, aku lebih gemar berteriak ketimbang menangis. Aku meneriakkan apapun yang ingin kuteriakkan.

Sejak menjadi murid taman kanak-kanak, kesenanganku pada aktivitas mewarnai ini semakin hari semakin dalam saja. Ibu bercerita jika buku mewarnai yang dibelikannya halaman sudah kuwarnai semuanya. Aku akan dengan manja atau merengek, mendesak agar ibu atau nenek segera membelikan buku mewarnai yang baru. Dengan syarat, buku mewarnai yang baru itu tidak boleh sama isinya dengan yang telah aku warnai sebelumnya.

Aku selalu merasa tertantang dengan gambar baru. Aku selalu merasa penasaran dengan motif baru yang kulihat. Aku selalu mengeksplorasi gaya mewarnaiku. Ini belum termasuk dengan rasa penasaranku terhadap sensasi dan hasil dari setiap alat mewarnai yang digunakan. Aku sangat ingin tahu bagaimana menggunakan krayon, pensil warna, dan kuas. Bagaimana alat-alat ini memberi kesan berbeda meski gambar yang digunakan sama.

“Rena boleh minta tolong,” ujarku sembari memberikan selembar gambar yang kurobek dari buku mewarnaiku.

“Apa itu?” respon paman Gunawan mengambil kertas pemberianku.

“Rena mau gambarnya jadi 3,”

“Oh, Rena mau gambarnya disalin jadi 3?” Paman Gunawan memastikan maksud pernyataanku

“Iyaaaaaa,” jawabku bahagia.

Yah, aku pernah melakukannya. Aku meminta paman Gunawan, adik bungsu bapak yang setiap awal bulan mengunjungiku dari kota seberang, menggandakan gambar tersebut. Lantas, pada masing-masing gambar, aku coba menggunakan alat mewarnai yang berbeda. Ahhh, sungguh, itu salah satu pengalaman menyenangkan dalam hidupku.

Melihat kegemaranku pada aktivitas mewarnai ini. Ibu dan bapak pada akhirnya mulai membuat aturan. Aku hanya boleh mewarnai satu lembar saja setiap harinya. Sebab, sebelumnya, aku sanggup melahap habis satu buku mewarnai dalam waktu seminggu saja. Tentu saja ini ditenggarai perkara ekonomi, buku mewarnai tidak murah. Kini, setelah aku dewasa  dan bekerja, aku paham bagaimana harus mengelola gaji untuk memenuhi semua kebutuhan bulanan.  

Buku mewarnai itu juga sukar ditemukan ragamnya di kota kami, berbeda ketika bapak sedang berdinas ke ibukota negara. Di sana, bapak dengan mudah menemukan jenis buku dan alat mewarnai. Di kotaku yang katanya ibukota provinsi ini dan juga kota lainnya, hanya akan memiliki segala sesuatu setelah ibukota negara telah miliki dan mungkin telah bosan mereka miliki.

Jujur saja, aku tidak mempermasalahkan aturan mewarnai yang diberikan ibu dan bapak. Selama aku masih diijinkan untuk terus mewarnai, perkara kuantitas tidak begitu aku ambil pusing. Yang menarik kemudian terjadi. Ibu mencoba mengajakku untuk mengeksplorasi kemampuanku. Peraturan ditambah. Aku hanya boleh memilih kemudian menggunakan sepuluh warna saja per hari. Di mana per dua minggu, jumlahnya menyusut satu. Aku mesti putar kepala untuk menghasilkan warna baru. Memikirkan matang-matang warna yang akan aku pilih. Aku semakin gembira menjalaninya.

Semua kesenanganku itu mendadak berhenti. Kakek dan nenekku memutuskan agar aku fokus belajar. Aku dipaksa untuk mengenali huruf dan angka. Aku harus pintar mengenali-melafalkan-menulis huruf dan angka. Aku merasa sedih luar biasa. Aku merasa tersiksa setiap kali memegang pensil dan menuliskan huruf  atau angka itu. Aku benci menulis. Aku tak suka mengeja.

Menulis dan mengeja telah merenggut kecintaanku. Kata nenek, aku terlampau terlena dengan aktivitas mewarnai itu. Ujar kakek, anak-anak seusiaku sudah pandai mengeja nama orangtuanya dan menuliskannya. Aku bermohon pada bapak dan ibu. Sayangnya, bapak dan ibu lebih memilih di pihak nenek dan kakek. 

Semua alat mewarnaiku disita lalu diberikan kepada orang lain. Aku hanya disediakan alat tulis-menulis. Aku belajar menulis dan mengeja saban hari. Tidak di sekolah, pun di rumah. Apa saja kertas yang berisi kata disodorkan padaku. Siapa saja yang kutemui meminta aku melafalkan nama mereka. Aku benci. Apa mereka, orang dewasa ini tak mampu mengeja nama mereka sendiri? Atau tidak dapat membaca kertas yang disodorkannya padaku itu? Kenapa aku selalu direpotkan membaca tulisan yang tentu mereka dapat baca itu?

Semua itu semakin keruh saat seorang guru bertanya padaku. Menanyakan cita-citaku. Jujur saja aku terlampau cinta dengan aktivitas mewarnai. Dan, di kepalaku, yang ada hanya sesuatu yang berkaitan dengan warna. 

“Rena ingin jadi pelukis,” jawabku.

“Oh pelukis,” balasnya.

Responku ini rupanya sampai ke kakek dan nenek, sebelumnya ibu dan bapak mendengarnya dari guru kelasku. Mereka semua kompak menodongku dengan reaksi, “Mau jadi apa kamu nanti, Rena. Pelukis itu tidak punya masa depan.”

Semenjak hari itu. Aku benci ditanya tentang cita-citaku. Sebab, para orang dewasa ini tahunya hanya melarangku. Bukannya mengarahkanku. Mereka tidak mendengarkan dan menolak cita-citaku, serta tidak membuka ruang diskusi. Aku memang masih kecil, tapi aku sudah bisa bicara. Aku benci orang dewasa yang tidak memanusiakan anak-anak. Aku ingat betapa aku menangis terisak selepas mendengar ketidaksetujuaan mereka. 

Aku pikir. Setelah hari itu, aku sudah tak memiliki cita-citaku. Mereka merenggutnya. Mereka menyesuaikan cita-citaku dengan kemauan mereka. Mereka gemar menyuntikkan profesi semacam dokter, aparat negara, dan PNS di telingaku. Katanya, itu cita-cita yang memiliki masa depan. Tapi aku kan tidak suka.

Aku masih ingat, bahkan sampai duduk di bangku SMA pun. Profesi semacam penulis, tukang foto, pembuat film, industri kreatif, dan segala sesuatu yang bukan PNS, dokter, aparat negara masih saja dianggap sebagai cita-cita yang tidak layak. Mengapa preferensi cita-cita mereka terdengar monoton, tidak bervariasi, itu-itu saja. Apa para dokter tidak ingin sesekali membaca sebuah buku yang berkualitas? Atau, apa para aparat sipil negara itu tidak suka menyaksikan sebuah film yang telah memenangkan Oscar?

Ah, aku sebenarnya lebih nyaman dengan jawaban seorang teman sekolah dasarku. Setiap kali ditanya apa cita-citanya, dia selalu menjawab ingin jadi orang kaya. Lantas semua orang tertawa. Dalam hatiku, jawabannya tidak ditolak, semua meresponnya dengan senang. Cerdas juga temanku ini. Hingga akhirnya, aku memilih mengikutinya saja. Memelihara pemikiran ini sampai menyelesaikan SMA. Toh bapak dan ibu selepas melarangku menjadi pelukis, selama aku menuruti mereka, mereka juga bahagia, tepat seperti reaksi orang-orang yang mendengar jawaban ingin jadi orang kaya temanku itu. Aku cukup trauma berhadapan dengan pertanyaan cita-cita.

Sayangnya, ketika menjadi dewasa seperti saat ini. Menjadi kaya bukan perkara mudah, apalagi tanpa orientasi yang jelas.  Jujur saja, selepas kuliah, aku menerima pekerjaan yang pertama datang meminangku. Aku tak sempat menyortirnya. Aku hanya fokus ingin mengumpulkan pundi-pundi uang saja. Menuntaskan misi suciku, menjadi orang kaya. Tahun demi tahu kulalui, nyatanya, aku juga belum kaya. Atau setidaknya belum pantas merasa kaya.

Ada yang salah memang. Aku pernah mendengar kata para motivator ulung, bahwa kita hanya dapat meraih apapun itu, asal targetnya jelas, jalan yang akan ditempuh telah ditentukan. Aku panik. Aku harus merencanakan ulang cita-cita menjadi kayaku ini.

Kemudian, aku pusing, sebab rupanya kaya itu juga bertingkat-tingkat. Aku bisa kaya, tapi sekaligus bisa tidak kaya di hadapan orang yang lebih kaya dari padaku. Brengsek betul.

Seketika aku ingin memiliki mesin waktu. Rasa-rasanya aku ingin kembali ke masa kecilku. Aku ingin bersikeras mempertahankan kegemaranku itu. Sebab, di saat ini, hobi justru bisa jadi pekerjaan. Profesi kini begitu beragam. Jalan untuk mewujudkannya tersedia di mana-mana.

Sumber gambar: id.pinterest.com/pin/33847434693140867/

  • Lisan Sebuah getaran keluar dari mulut Dari leher turut decak yang ingin meluap Menggemakan wicara bak pesulap Tadinya dia hanya gesekan paruh dan rongga, Kemudian terluah dalam bahasa Kini gelombang punya rona Sama ketika frekuensi mencipta bahasa pesona Aku ringkih mendengar sebuah suara Pagut memagut, mesti takut Memaksa ikut Itulah lisan yang nista Mencuri hati…

  • Saya lagi mendaras bukunya Taufik Pram, yang bertajuk  , Hugo Chaves Malaikat Dari Selatan. Lalu saya begitu terpesona pada Chaves, yang  menurut  buku ini, “Hugo Chaves adalah pemimpin yang suka membaca. Dari barisan kata-kata yang berderet rapi di dalam sebuah buku itulah dia tahu ada yang salah dengan dunia yang didiaminya. Kesalahan yang dibiarkan langgeng…

  • Harus saya akui, kali ini redaksi Kala teledor soal cetakan edisi 10. Di terbitan tertanggal 27 Maret itu, judul kolom khusus kepunyaan Sulhan Yusuf salah cetak. Tulisan yang seharusnya berjudul Arsene, Arsenal, dan Arsenik, malah jadi Arsene, Arsenal, dan Arsenal. Ini gawat, malah justru fatal. Saya kira, di sini harus diakui, redaksi Kala belum punya…

  • Pada penghujung putaran kompetisi sepak bola di daratan Eropa, bulan Maret 2016 ini, salah satu klub sepak bola ternama, Arsenal yang bermarkas di London Utara, Inggris, negeri leluhur asal muasal sepak bola modern mengalami nasib yang kurang beruntung. Arsenal, yang dimanejeri oleh Arsene Wenger -yang digelari Profesor- pelatih berkebangsaan Perancis, sesarinya adalah satu-satunya klub yang…

  • Parasnya lelah. Mukanya sendu, keringatnya cucur. Di penghujung pukul sembilan malam suaranya berubah parau. Awalnya, perempuan ini bersemangat memimpin forum. Namun, waktu berderap, energi banyak dikuras, forum masih panjang. Di waktu penghabisan, Hajrah merapal karya tulisnya. Kali ini gilirannya. Satu persatu huruf diejanya. Tulisannya agak panjang. Kali ini dia menyoal masyarakat tanpa kelas perspektif Marx.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221