Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat sembuh dari penderitaannya. Mengapa kita menderita? Apakah hanya manusia yang menderita? Dari perspektif filsafat, satu-satunya makhluk alam yang merasakan penderitaan adalah manusia. Hal ini karena hanya manusia yang memiliki pengetahuan tentang kemewaktuan atau kemampuan kesadaran akan masa lalu, kini, dan nanti. Melalui kesadaran itu manusia mampu menghubungkan kegelisahan yang dirasakan saat ini dengan kejadian di masa lalu yang membuatnya menderita. Penderitaan lampau akhirnya menjadikan manusia hari ini, dan keadaan sekarang tentu diarahkan agar di masa depan menjadi lebih baik.
Penderitaan dari tinjauan filsafat dapat difragmentasikan kedalam tiga cara pandang. Pertama, paradigma bahwa penderitaan adalah fenomena yang wajib kita hindari. Hidup tanpa derita adalah hidup yang paling bahagia. Pandangan ini digaungkan pada era filsafat Yunani. Lebih spesifiknya pada era helenisme, pandangan filsafat hedonisme dan stoikisme mewakili corak berpikir yang menolak hidup di bawah payung penderitaan. Menurut hedonisme Epikurus, penderitaan dihindari melalui pengoptimalan kenikmatan. Berbeda pada era sebelum filsafatnya, Epikureanisme memandang kenikmatan sebagai epifani atas terpenuhinya hal yang kita butuhkan.
Kenikmatan dipahami dua bentuk, yakni terdiri atas kenikmatan dinamis dan kenikmatan statis. Kenikmatan dinamis adalah kenikmatan yang diperoleh ketika proses ketercapaian kepuasan berlangsung. Sementara kenikmatan statis adalah keadaan ekuilibrium yang tercipta ketika kepuasan itu tercapai. Misalnya, kenikmatan yang diperoleh dari upaya untuk memuaskan rasa lapar yang masih berlangsung maka itu disebut kenikmatan dinamis. Namun rasa tenang muncul pasca terpuaskannya rasa lapar adalah kenikmatan statis. Bagi Epikurus, kenikmatan yang lebih murni adalah kenikmatan statis, karena ketika jasmani mencapai keadaan ekuilibrium, penderitaan pun lenyap. Maka untuk menjaga keadaan ekuilibrium tersebut, Epikurus menganjurkan agar tidak mewujudkan kenikmatan yang didasari oleh keinginan yang meluap-luap dan tidak terbatas.
Sementara itu, filsafat Stoikisme mencoba menghindari penderitaan dengan mengabaikannya, segala fenomena yang ada di luar kendali-menyebabkan kita menderita-sebaiknya dinafikan. Penderitaan bagi Stoik lahir dari persepsi yang terbentuk pada diri kita atas sesuatu di luar diri kita. Kita menderita akibat persepsi kognitif yang kita bentuk sendiri. Agar hidup bahagia, maka cukup dengan mengendalikan rasionalitas yang membentuk persepsi kita atas sesuatu.
Kedua, cara pandang yang menolak menghindari penderitaan atas dasar kenyataan bahwa kita sepatutnya tidak dapat menghindar. Kehidupan adalah rangkaian berkelindan dengan penderitaan itu sendiri. Olehnya itu kebahagiaan menjadi bagian kecil dari perjalanan kehidupan manusia. Semacam terminal persinggahan atau peristirahatan manusia dalam menjalani kehidupan penuh derita. Bahagia itu sesaat, penderitaan itulah yang hakiki. Mustahil menemukan hidup yang tidak terdapat penderitaan di dalamnya. Cara pandang seperti ini diwakilkan oleh filsuf Arthur Schopenhauer (1788-1860).
Baginya, penderitaan dapat muncul karena manusia memiliki will (kehendak). Will ini diartikannya sebagai nafas atau energi utama yang menggerakkan kehidupan kita. Dorongan tersebut membuat kita hidup dan melakukan sesuatu. Segala sesuatu bersumber darinya, sehingga penderitaan adalah suatu keadaan ketika kehendak tidak terwujud. Misalnya, saat kita berkehendak memiliki si A jadi pasangan, maka seluruh energi dan potensi diarahkan untuk mendapatkannya. Namun ketika kenyataan si A menolak menjadi pasangan kita terjadi, maka saat itulah penderitaan tiba.
Sebaliknya, Penderitaan tidak menghampiri jika kita tidak memiliki kehendak memiliki si A. Atas dasar itu, Schopenhauer menganggap bahwa biang keladi kita menderita ialah kehendak/will. Kehendak adalah hasrat berlebih, kemauan yang baka, buruk, hina, dan seterusnya. Olehnya itu kehendak mesti dikendalikan. Mengendalikan kehendak bagi dia adalah dengan hidup asketis. Hidup dengan menghindari kemewahan, mengebiri diri dari kehidupan dunia yang dianggap sebagai sumber kejumudan. Pendekatan pesimisme terhadap kejumudan dunia selanjutnya menjadi magnum opus dari filsafatnya dan memberi pengaruh bagi pemikiran setelahnya.
Ketiga adalah cara pandang filsafat Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900). Pandangan Nietzsche tentang penderitaan merupakan kelanjutan pandangan Schopenhauer. Sebagaimana Nietzsche sendiri mengakui Schopenhauer sebagai gurunya dalam hal memaknai penderitaan. Senafas dengan gurunya, bagi Nietzsche penderitaan adalah bagian kehidupan manusia. Akan tetapi, bertentangan dengannya Nietzche memilih paradigma optimis dalam menghadapi kehidupan. Kebijaksanaan dapat berkembang melalui penderitaan. Semakin sering kita menderita, ditempa musibah dan semacamnya, maka semakin mapan dan matang pula kita dalam menjalani hidup.
Penderitaan tidak perlu dihindari, bahkan penderitaan semestinya dirangkul dan dijadikan teman dalam menjalani hidup. Penderitaan menjadi batu loncatan, ruang bagi jiwa kita ditempa agar kuat dalam menghadapi hidup beserta problemnya. Hampir seluruh tokoh-tokoh revolusioner dunia lahir dari rahim penderitaan. Nelson Mandela di Afrika, dilahirkan dari penderitaan hidup di penjara selama 27 tahun di Pulau Robben, Pollsmoor, dan Victor Verster. Ruhullah Imam Khomeini merupakan Tokoh revolusioner modern. Beliau melalui penderitaan ke penderitaan untuk dapat menumbangkan rezim Reza Shah Pahlevi (1941-1979). Terusir dari negaranya, kerabat, dan keluarganya kurang lebih selama 15 tahun. “Pelaut ulung tidak pernah dilahirkan dari laut yang tenang”. Kiranya demikian tokoh-tokoh besar menjalani kehidupannya. Mereka menunjukkan sikap optimisme dalam menghadapi penderitaan. Akhirnya bagi Nietzsche Penderitaan adalah madrasah bagi penciptaan manusia sempurna (Ubermensch). Cara manusia menjalani penderitaan adalah cara manusia menyempurna.
Syahdan, dapat diuraikan simpulan sederhana dari problema di atas. Penderitaan, derita, rasa sakit adalah bagian dari kehidupan. Sebagaimana bahagia, senang, tertawa juga bagian lain dari hidup kita. Kenyataannya kita cenderung menghindari penderitaan dari pada meraih kebahagiaan. Karena saat terhindar dari derita, saat itulah kita sementara nongki pada terminal kebahagiaan.
Term derita pada dasarnya menjadi salah satu aspek kajian sufisme Islam. Terminologi derita dalam sufisme Islam dimaknai sebagai keterpisahaan eksistensi diri dari kesempurnaan. Manusia menderita akibat jarak antara kesempurnaan dengan eksistensinya. Fakta ontologis tersebut bertransformasi pada wujud kesehariannya. Sehingga dari perspektif sufisme sejatinya tidak ada fenomena lahiriah yang dapat membuatnya menderita. Orang-orang pilihan, suci, dan murni tentu meneguk derita dengan penuh kebahagiaan. Sebagaimana persaksian Siti Zaenab RA ketika disindir dengan pertanyaan menohok dari kekuasaan atas nasib nahas yang menimpa saudaranya, Imam Husain di Karbala. Beliau memaknai derita dengan berkata, “Tidak ada yang ku lihat kecuali keindahan”.
—
Sumber gambar: rumahfilsafat.com
Alumnus UNM. Bergiat di Kelas Menulis Paradigma Institute. Ketua Harian LDSI Al Muntazhar Makassar.