REFLEKSI ATAS PERTEMUAN DENGAN TEMAN DAN GURU KEHIDUPAN
Penderitaan dalam kajian filsafat didistingsikan dalam tiga perspektif. Perspektif pertama memandang penderitaan sebagai sebuah kondisi yang sebisa mungkin dihindari. Hal ini dapat ditemui dalam filsafat hedonisme oleh penjelasan Epikurus. Perspektif kedua memandang penderitaan sebagai hal yang harus dihindari dan berada di luar kendali manusia. Filsafat Stoikisme menerangkan jika seseorang menderita akibat persepsi kognitif yang ia bentuk sendiri. Agar bahagia, maka cukup dengan mengendalikan rasionalitas yang membentuk persepsi tadi. Perspektif ketiga memandang penderitaan adalah bagian dari kehidupan. Nietzche melanjutkan perspektif kedua hanya saja pandangannya atas derita lebih optimis. Kebijaksanaan kelak berkembang kala didahului penderitaan (Nesa, 2023). Perspektif ini barangkali sejalan dengan pernyataan “mengubah tragedi menjadi komedi”.
Pernyataan “mengubah tragedi menjadi komedi” ini cukup menggilitik jika ditarik dalam ranah kehidupan. Galibnya, suatu kesepakatan jika tragedi itu tidak mengenakkan. Ia menggeliat sembari mengusik kenyamanan dan status quo. Ajaibnya, ada yang rela hidup berdampingan dengan tragedi. Potret itu barangkali yang memotivasi segelintir komedian untuk menjadikan sebagian tragedi menjadi komedi yang dikenal sebagai dark jokes. Entah karena gap ataupun konten yang usang hingga memuncaki gairah komedian beralih pada konten yang eksentrik, liar dan penuh kontra.
Dark jokes sendiri merupakan jenis komedi yang bersumber dari sisi gelap kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari itu terjadi di dunia olahraga, politik, agama, rasisme, terorisme hingga peperangan (Anastasya, 2021). Karenanya ia bersifat sensitif. Membicarakan komedi gelap ini dapat menjalar dalam ruang-ruang yang selama ini dinilai sakral, suci dan tabu. Pada ruang penghormatan dan martabat kemanusiaan. Ataupun pada mereka yang tergolong minoritas dan tereksklusi.
Penulis pernah berkunjung sembari berdiskusi dengan pasangan suami-istri difabel. Keduanya terbilang ramah dan akrab. Sang istri berujar “kami biasa bercanda sesama difabel mas hehehe. Jangan tersinggung yah. Kadang kami bercanda dan tertawa karena salah seorang teman kami pernah tabrak tiang listrik mas”. Pada kesempatan lain, ia bercanda “kalau sering berkunjung, nanti mas anterin saya ke pasar yah”.
Hal ini cukup berbeda pada kesempatan lain. Dark jokes yang dibawa dalam konten stand up comedy menuai kecaman. Kecaman ini datang dari LSM maupun aktivis disabilitas. Mereka menilai bahwa penertawaan atas tragedi disabilitas sebagai bentuk pencideraan atas apa yang selama ini mereka perjuangkan berupa penghormatan dan pemenuhan hak-hak disabilitas. sebagai contoh, salah seorang komika yang menuturkan jika orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) kebal dari covid-19. Hal ini lantas mengundang reaksi dari aktivis pemerhati ODGJ.
Kedua kondisi ini mengundang tanya. Bolehkah menertawakan tragedi disabilitas? sampai dimana batas penertawaan itu? Apakah ada tujuan dalam penertawaan disabilitas? Penulis mengklasifikasikan beberapa refleksi bahwa ada beberapa makna tersirat dalam pernyataan “mengubah tragedi menjadi komedi” khususnya mengenai disabilitas.
Mengubah tragedi menjadi komedi: Bentuk Perdamaian dan Penerimaan diri Yang Tuntas
Pandangan ini berada dalam tataran individu. Masing-masing pihak memiliki sikap berbeda saat mengalami disabilitas. Karenanya pandangan ini bersifat subyektif. Ada yang sepenuhnya berdamai dengan kondisi ini. Di sisi lain, ada yang menolak dan tidak sepenuhnya menerima kondisi disabilitas. Kisah suami istri tadi adalah contoh sikap penerimaan diri atas kondisi mereka. Baik kesengsaraan maupun kesenangan adalah dua kondisi yang senantiasa mewarnai kehidupan di dunia. Kehampaan seakan sirna karena diisi optimisme dan keyakinan. Kerjakan apa yang bisa dikerjakan. Tertawa atas apa yang bisa ditertawakan. Mengalah pada batasan dan di luar kewajaran. Paling tidak bermanfaat bagi diri terlebih dahulu. “cuci piring sendiri sehabis makan itu luar biasa mas” imbuh seorang teman difabel. Karena hal-hal besar bermula dari hal-hal kecil.
Namun ada kisah bagaimana seorang individu yang baru saja kehilangan anggota tubuh dan hampir merenggang nyawanya sendiri (bunuh diri). Perlu bertahun-tahun untuk menerima kondisi disabilitasnya. Adapula kisah tentang seorang pejabat yang malu kemudian menyembunyikan anaknya yang menderita disabilitas. Pandangan-pandangan ini bukanlah pandangan arus utama. Hal itu membutuhkan kebijaksanaan pada diri individu difabel beserta keluarganya. Tentu penyuaraannya dari individu yang mengalami disabilitas itu sendiri.
Mengubah Tragedi menjadi komedi: Bentuk Kritik Sosial
Pandangan ini datang dari individu difabel yang kreatif. Ia mampu mengarahkan pengalaman menjadi konten kritik sosial. Ia meneropong jauh kedepan. Pengalaman adalah guru terbaik kilahnya. Kisah ini datang dari individu disabilitas yang menempuh pendidikan kemudian mengalami hal tidak mengenakkan karena bangunan yang tidak ramah disabilitas. Alhasil, ia menjadikan pengalaman tersebut sebagai video parodi. Selang beberapa waktu kemudian, instansi tadi melakukan rekonstruksi bangunan dengan menambahkan guiding block. Pandangan ini juga bukan pandangan arus utama. Ini hanya dimiliki oleh individu-individu yang kreatif, cerdas dan kritis. Mampu mengubah sesuatu menjadi bernilai.
Blindman Jaka, seorang komika disabilitas menerangkan bahwa membawa materi disabilitas menjadi konten humor sah-sah saja namun perlu mempertimbangkan banyak hal. Termasuk stigmatisasi terhadap difabel kala konten humor disabilitas menjadi viral dan perjuangan aktivis mencapai inklusivitas. Ia menjelaskan bahwa penyampaian humor disabilitasnya dilandasi konteks sebagai kritik atas perlakuan orang-orang sekitar dan pemerintah terhadap difabel (Tempo, 2021).
Mengubah Tragedi menjadi komedi: Menyentuh Sensitivitas
Pandangan ini datang dari aktivis dan pemerhati hak-hak difabel. Menurut mereka, ada beragam hak-hak difabel yang belum terpenuhi. Hal ini ditambah stigma terhadap orang cacat sebagai orang yang kasihan, sakit dan tidak mampu. Implikasinya pada peminggiran mereka dalam aktivitas masyarakat dengan dalih normal. Apa dan siapa yang tidak mengikuti kenormalan dianggap menyimpang (deviance). Alih-alih mengembalikan harmonisasi namun berujung pada degradasi. Intervensi jauh dari assesmen dan lebih banyak mengedepankan asistensi. Potensi kian redup dan majal padahal akan ada kontribusi jika potensi itu terus diasah dan diasuh. Hal ini didokumentasikan dengan baik bagaimana individu difabel mengguncang tanah air karena prestasinya menembus babak final kompetensi musik bergengsi.
Sebagaimana karakter komedi gelap tadi yang eksentrik dan tidak biasa, barangkali kekhawatiran itulah melandasi pandangan ini karena menyentuh sensitivitas dan keintiman individu. Kuswandi (2022) dalam penelitian menunjukkan jika komedi gelap dipersepsikan positif dan negatif oleh informannya. Walaupun demikian, informan tetap terbuka dalam menanggapi konten komedi gelap yang murni sebagai lelucon. Hanya saja, ada batasan seperti; ruang lingkup, cara penyampaian dan kapasitas diri yang perlu mendapat perhatian. Ruang lingkup inilah yang seakan luput dari komunikator maupun komunikan komedi gelap. Kemudian diperparah media sosial dan cancel culture yang melihat konten secara sekilas dan tidak utuh.
Bukan Pandangan Arus Utama
Mengubah tragedi menjadi komedi bukan merupakan pandangan arus utama. Ini lahir setelah merasakan asam garam kehidupan. Bukan tidak mungkin pula dengan cepat tersingkap tabir oleh individu-individu tertentu yang mampu menyibak hikmah dibalik tragedi. Masih sedikit pemahaman masyarakat mengenai disabilitas dan partisipasi difabel di dalamnya. Tulisan ini mengapresiasi pandangan individu-individu difabel yang menerima kondisi diri dan mengubah sesuatu menjadi bernilai. kemudian mendukung pandangan terakhir untuk mengangkat posisi kelompok difabel berikut dengan hak-hak mereka yang selama ini masih belum terpenuhi.
Mahasiswa UGM dan relawan di Pusat Layanan Disabilitas UIN Sunan Kalijaga