Dewasa ini banyak istilah psikologis yang populer di kalangan masyarakat, seperti healing, toxic relationship, ansos, burn out, mindfulness, self diagnose dan masih banyak lagi. Kepopuleran istilah psikologis tersebut tidak jauh dari dampak bermedia sosial.
Individu yang saat ini tiap waktu memakai smartphone-nya untuk menjelajah dunia maya, kerap kali bertemu dengan istilah-istilah psikologis yang telah disebutkan. Tentu hal ini merupakan suatu kemajuan, di mana masyarakat sudah lebih aware dengan kesehatan mental mereka.
Di mata masyarakat, psikologi yang mempelajari mengenai ilmu kejiwaan dan perilaku merupakan suatu ilmu yang menarik. Terlebih jika ilmu tersebut menjelaskan mengenai kepribadian, hingga asal-usul mengapa seseorang berperilaku tertentu.
Salah satu istilah yang cukup menarik untuk ditelaah lebih jauh adalah istilah fatherless. Fatherless merupakan kondisi di mana seseorang kehilangan sosok ayah dalam kehidupannya. Kehilangan sosok ayah dapat diartikan tidak adanya ayah secara fisik maupun psikis. Kondisi ini dapat terjadi dikarenakan ayah yang meninggal dunia, perceraian, hingga tidak berpartisipasinya ayah dalam tumbuh kembang anak.
Banyak orang tua yang belum menyadari bahwa peran ayah dalam keluarga bukan hanya mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Namun, juga untuk memberi contoh konsep maskulitinas terhadap sang anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Pada anak laki-laki, sifat maskulin diharapkan bisa lebih dominan, dibanding dengan sifat feminim. Hal ini agar anak laki-laki dapat menjadi sosok berani, mandiri, dan tegas dalam kehidupannya. Sebagai sosok yang akan menjadi kepala keluarga, hal yang wajar jika laki-laki mesti memiliki sifat berani, mandiri dan tegas, agar dapat memberi rasa aman dan nyaman dalam keluarganya.
Manakala anak laki-laki tidak diberi contoh akan konsep maskulinitas pada dirinya sejak kecil, ia akan cenderung pasif, bergantung dengan orang lain, sulit membuat keputusan, bahkan bingung mengenai identitas gendernya.
Anak laki-laki yang tumbuh bersama sifat feminim dominan dari Ibu, ataupun kakak perempuannya, sulit untuk menentukan bagaimana sifat maskulin yang seharusnya dominan dari dalam dirinya. Anak laki-laki dengan sifat feminim yang lebih dominan, akan cenderung menunjukkan sifat dan sikap serupa.
Sehingga, tidak jarang jika anak laki-laki dengan sifat feminim yang dominan, akan mengikuti lingkungan dengan sifat yang dominannya pula, dalam hal ini bergaul dengan anak perempuan. Bergaul atau berteman dengan lawan jenis sebenarnya bukanlah hal yang mesti dijauhkan dari anak, akan tetapi anak mesti diperkenalkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan apa identitas gender mereka.
Bergaulnya dengan anak perempuan tentu membuatnya semakin tidak mengenal bagaimana sifat maskulin yang sebenarnya. Sifat maskulin yang semakin redup ini, tentu cukup meresahkan bagi tumbuh kembang anak, salah satu dampaknya ialah terjadinya krisis identitas atau anak sulit mengenali identitas gendernya.
Bahkan, anak yang tidak mempunyai kelekatan dengan ayah, akan cenderung mencari sosok yang dapat berperan menjadi ‘ayah’ di dalam hidupnya, di mana dapat memberikan rasa aman dan nyaman.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sundari, A. R., dan Herdajani, F pada tahun 2013, hilangnya sosok ayah pada perkembangan anak dapat menyebabkan anak mempunyai kepercayaan diri rendah, bersikap agresi, malu, kesepian, hingga rendahnya kontrol diri.
Tentu hal ini tidak diharapkan terjadi pada diri anak laki-laki maupun perempuan. Maka dari itu, peran ayah dalam keluarga sangatlah penting. Ayah yang dapat memberi contoh bagaiman konsep maskulinitas pada diri, dan memberi kelekatan pada anak, akan menjadikan individu menjadi sosok yang sesuai dengan porsinya masing-masing. Laki-laki yang memiliki sifat maskulin dominan, dan perempuan yang memiliki sifat feminim dominan.
Akan tetapi, sifat maskulin tidak semestinya menguasai diri laki-laki seutuhnya, begitu pula dengan perempuan. Anak laki-laki juga mesti memiliki sifat feminim dalam dirinya, agar dapat berperilaku lembut, memiliki empati, sabar, merawat dan sifat ‘keperempuanan’ lainnya. Sederhananya, seorang laki-laki yang diibaratkan menggunakan logika, mesti mempunyai perasaan pula dalam menentukan jalan hidupnya.
Hal ini serupa dengan konsep anima, dan animus yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung, salah seorang tokoh psikoanalisis. Anima dan animus merupakan salah satu bagian dari arketipe dalam konteks collective unconscious atau ketidaksadaran kolektif yang biasa dikenal juga sebagai alam bawah sadar.
Anima merupakan bagian feminim dari dalam diri laki-laki, sedangkan animus merupakan bagian maskulin dari dalam diri perempuan. Seorang laki-laki mesti mengenali dan mengendalikan sisi feminim dalam dirinya agar tidak lebih dominan. Hal ini pula yang dapat membuat seorang laki-laki dapat lebih memahami dan menghargai perempuan.
Maka dari itu, peran ayah dalam tumbuh kembang anak yang kerap kali dipandang sebelah mata, sebenarnya memiliki peran penting. Meskipun budaya di Indonesia masih terbelenggu dengan patriarki, sudah sewajarnya kita sebagai individu yang lebih sadar, mesti membebaskan dari lingkaran setan yang sudah dibangun secara turun menurun.
Saffana Mustafani, mahasiswa Psikologi UNM. Dan, bergiat di organisasai pecinta alam, MARABUNTA Fakuktas Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM)