Meragukan Iman Mempertanyakan Keyakinan

Tulisan dalam buku ini menanggapi situasi kita memasuki abad ke-21. Di alam sekularisasi, apakah kepercayaan pada Tuhan masih mempunyai masa depan? Apakah agama-agama dapat survive?

Bagian pertama menyangkut sekularisasi, peristiwa luar biasa yang mengubah pandangan dunia manusia secara radikal dan menempatkannya pada jalur modernitas. Suatu perubahan dari pandangan tentang realitas yang berkaitan erat dengan alam gaib ke realitas yang dilihat secara murni duniawi. Sekularisasi adalah gerakan yang mulai dari Eropa 600 tahun lalu, sekitar abad ke 15. Charles Taylor seorang filsuf kanada menyebut Eropa pada saat itu adalah an enchanted world : suatu dunia penuh makhluk halus. Hidup seseorang maupun seluruh masyarakat erat berkaitan dengan apa yang disebut “Alam dari seberang” oleh Franz Magniz. Seluruh irama hidup diresapi oleh agama. Menurut Taylor, hampir tak mungkin ada orang yang tidak percaya pada Tuhan, Ateisme tak masuk akal.

Setelah 600 tahun kemudian, di abad ke-21 kita ini, situasi total berubah. Sebagian besar kehidupan manusia tidak lagi berkaitan dengan keagamaan maupun roh-roh, semuanya seakan menghilang. Manusia menjalani kehidupan secara ekslusif, berdasarkan rasionalitas internalnya, tak ada kaitannya dengan suatu kepercayaan tertentu atau agama maupun roh penjaga. Sehingga agama menjadi sebuah opsi, orang bisa memilih beragama dan dihormati sebagai urusannya sendiri. Tetapi itu opsi seperti opsi tidak makan daging.

Pada abad ke-15 dan ke-16 terjadi dua peristiwa yang merupakan langkah-langkah proses sekularisasi. Yaitu Renaissance, masa “kelahiran kembali”. Dimana kebebasan berpikir dan rasionaltas manusia menjadi keutamaan dan mencapai puncaknya pada saat itu. Auguste Comte kemudian merumuskan “hukum tiga tahap” yang menyatakan bahwa manusia menjadi dewasa secara intelektual dengan menggantikan agama dan takhayul dengan ilmu pengetahuan. “hipotesis Tuhan” tidak dibutuhkan untuk menjelaskan apa yang terjadi didunia. Yang kedua adalah Reformasi protestan sebagai bentuk penolakan terhadap Renaissance. Reformasi menegaskan bahwa keselamatan seseorang bergantung pada iamnnya bukan ikut serta dalam tradisi-tradisi keagamaan. Hegel melihat bahwa dalam protestantisme terjadi kelahiran kesadaran manusia bahwa ia adalah subjek. Yang menyelamatkan adalah sikap pribadi setiap orang, jadi apa ia beriman atau tidak.

Menurut Charles Taylor, ada tiga unsur yang menandai masyarakat tersekularisasi. Yang pertama disebut secularized public space. Artinya, ruang publik yang sekuler, jadi segala dimensi kehidupan manusia ditata dan dijalankan tanpa acuan pada suatu agama namun menurut logika masing-masing. Inilah yang kita maksud “perpisahan antara agama dan politik”. Negara kita indonesia merupakan negara nasional, bukan negara agama yaitu tidak membedakan antara warga negara menurut agama mereka. Sehingga unsur-unsur sekularisasi semakin terasa juga di indonesia. Unsur kedua yaitu menurunnya praktik keagamaan di negara-negara tersekularisasi. Salah satu contohnya adalah diperkirakan bahwa di jerman, mereka yang masih katolik, hanya 9% pada hari minggu ke gereja, dan dari yang protestan malah hanya 2%. Tentu kita bisa melihat bagaimana praktik keagamaan pada agama lain, apakah mengalami penurunan ataukah sebaliknya. Unsur ketiga adalah suatu pandangan yang khas pada masyarakat eropa yaitu, agama sebagai opsi atau pilihan pribadi sedangkan dimensi kemanusiaan dihayati sesuai dengan rasionalitas internalnya, tanpa acuan sama sekali ke “alam seberang”.

Iman Dalam Tantangan Apa Kita Masih Dapat Percaya pada “Yang di Seberan”?

Dalam proses perkembangan masyarakat tersekularisasi, filafat juga memainkan peran yang cukup besar dan radikal. Filsafat muncul sebagai ajaran kebijaksanaan, seorang filsuf mengajarkan manusia bagaimana hidup secara bijaksana. Namun sudah hampir 4.000 tahun yang lalu melalu kejadian seorang penggembala ternak di daerah palestina yang bernama Abraham, dalam islam disebut Ibrahim. Merasa dipanggil Tuhan, sehingga, baik anak maupun pengikutnya mendapat pengetahuan bahwa kebijaksanaan bukan dari pemikiran manusia melaninkan wahyu Tuhan. Sehingga filsafat terpaksa menyingkir dan memainkan peran baru yaitu sebagai ilmu kritis. Salah satu yang dikritisi adalah tentang ketuhuhanan. Tuhan dianggap sebagai causa prima segala yang ada. Segala sesuatu ada kerana dipertahankan oleh Tuhan.

Akan tetapi dengan revolusi ilmu-ilmu alam, suatu perumusan hukum alam dilakukan oleh isac Newton. Tuhan dianggap sebagai watchmaker yang baik, setelah jam dibuat, si pembuat tidak dibutuhkan lagi. Pandangan ini disebut deisme. Implikasinya adalah, wahyu,mukjizat,do’a menjadi kehialngan eksistensinya. Kitab suci dianggap sebagai tulisan manusia bijaksana.

Tidak lama kemudian, ada filsuf yang menarik kesimpulan lebih radikal, yaitu jika Tuhan tidak dibutuhkan untuk menjelaskan apa yang terjadi di alam raya, maka Tuhan juga tidak dibutuhkan untuk menjelaskan permulaan alam ini. Di abad ke-18 inilah ateisme memasuki filsafat.

Kemudian di abad ke-19 gereja-gereja mengalami revatilitas dan ledakan semangat. Charles Taylor menyebutnya efect nova, yaitu seperti ledakan bintang penuh terang di alam raya. Tujuannya adalah “mewartakan kerajaan Allah”. Mereka membentuk beberapa kongregasi biarawan dan biarawati baru. Namun di sisi lain terdapat ancaman bagi kaum gerejawan, protestan terancam oleh kedangkalan liberalisme dan “demitologisasi” Rudolf Bultmann. Tokoh-tokoh spiritual protestan seperti Karl Barth dan Dietrich Bonnhoeffer dieksekusi mati oleh kaum nazi. Kemudian pengeksekusian 10.000 pastor, suster, dan rohaniawan pada revolusi prancis yang menimbulkan trauma mendalam bagi gereja katolik.

Pada Konsili Vatikan I, gereja katolik memperkuat kedudukan paus dan sentralisasinya dan mengharuskan para imam mengucapkan suatu sumpah antimodernisme dan mulai menyadari apa yang disebut “masalah sosial”. Sehigga hubungan antara katolik dan protestan menjadi positif, kemudian dimateraikan dalam Konsili Vatikan II. Pada saat yang sama, di Amerika Latin muncul teori pembebasan yang meresapkan option for the poor ke dalam seluruh gereja dan lebih jauh lagi.

Arus sekularisasi menimbulkan beberapa pertanyaan : Dapatkah agama-agama survive ? Apakah agama-agama dapat mencegah yang dialami oleh Eropa Barat, bahwa orang secara massal meninggalkan agama? Bagaimana agar “opsi agama” tetap aktraktif ?. Jawabannya adalah agama dapat survive apabila membuktikan diri sebagai sesuatu yang positif, menyelamatkan dan menyembuhkan. Agama harus benar-benar berpihak pada kebenaran, kebaikan. Dialog keagamaan diperlukan, di mana dalam dialog memiliki pola saling terbuka dan semakin saling memahami bukan kalah menang sehingga kita dapat mengerti mengapa yang diyakini oleh selain kita begitu berharga baginya. Hans Kűng memiliki seruan termasyhur yaitu “No peace among the nations without peace among the religions. No peace among the religions without dialogue between the religions”.

Judul Buku
IMAN DALAM TANTANGAN (Apa kita masih dapat percaya pada “yang di seberang”?)
Penulis
FRANZ MAGNIZ-SUSENO
Penerbit
PT Kompas Media Nusantara
Jumlah halaman
216 + xvi (232 hlm)
Ukuran buku
14 cm × 21 cm

ISBN
978-623-160-034-9

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *