Hambatan sesungguhnya bagi kami bukanlah waktu ataupun kerja sama, melainkan peralatan yang kurang memadai
Ibu Puji, Ketua Kelompok Abon Sinar Harapan Pulau Lae-Lae
Pulau Lae-Lae salah satu pulau yang terletak di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pulau ini merupakan pulau peninggalan Jepang dengan luas 6,5 hektar, berpasir putih dan dihuni oleh sekitar 400 keluarga atau sekitar 2.000 jiwa. Hanya butuh waktu sekitar lima menit dari Dermaga Kayu Bangkoa untuk menuju Pulau Lae-Lae. Setiap pekannya selalu ada pengunjung berwisata untuk menikmati suasana laut dan pasir putih Pulau Lae-Lae
Seperti kebanyakan masyarakat pulau pada umumnya, kehidupan masyarakatnya tentunya tidak lepas dari laut. Bagaimana tidak, bagi mereka laut telah menjadi sumber kehidupan yang memiliki kekayaan sumber daya dan menyediakan apa yang mereka butuhkan. Namun, hasil sumber daya yang mereka dapatkan belum mampu dikelola secara maksimal. Alasan utamanya karena masih minimnya pengetahuan mengenai cara mengelola hasil laut itu sendiri. Mereka cuma menangkap hasil laut untuk dikonsumsi atau paling tidak bagi nelayan mereka jual untuk meningkatkan ekonomi keluarganya. Di sinilah pentingnya program pemberdayaan masyarakat terkait pengelolaan hasil laut.
Dinas Perikanan dari provinsi maupun kota merupakan salah satu instansi pemerintah yang memiliki kewenangan mengenai pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau pulau kecil juga tentunya mengacu pada Undang Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang “pemberdayaan Masyarakat bahwa penyelanggaraan Pemerintah Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika”. Intinya, jika mereka warga Indonesia dan masih kurang paham tentang cara pengelolaan sumber daya yang mereka miliki baik itu manusia dan lingkungannya, maka mereka berhak mendapatakan pemberdayaan.
Secara sosiologis pemberdayaan masyarakat menurut Jim Ife dalam bukunya yang berjudul Community Development, Creating Community Alternatives-Vision, Analisis and Practice (1997), menjelaskan bahwa definisi pemberdayaan ialah memberikan sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan kepada warga untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menentukan masa depan mereka sendiri dan berpartisipasi pada upaya mempengaruhi kehidupan dari kelompoknya. Artinya, sumber daya yang dimaksud pastinya juga termasuk alam dan manusia.
Nah, terkait dengan pemberdayaan, di Pulau Lae-Lae sendiri terdapat beberapa kelompok pemberdayaan masyarakat yang saya temukan. Mulai dari produksi abon, kepiting lunak, cumi, pengelolaan pariwisata dan masih banyak lagi. Tidak heran karena fakta yang ada memang pulau ini memiliki beragam kekayaan sumber daya, tetapi dalam tulisan ini saya akan mengulas mengenai “Pemberdayaan Abon Ikan”.
Abon ikan merupakan jenis makanan kering sekilas berbentuk serat halus, terjadi karena hasil dari pembuatannya yang direbus, disayat halus, di goreng hingga pada akhirnya di tekan atau di press. Umumnya Abon terbuat dari daging sapi dan daging ikan. Berhubungan dengan ikan, Pulau Lae Lae merupakan pulau yang mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai nelayan, artinya ikan bukanlah sesuatu yang sulit didapatkan, tetapi justru melimpah.
Sebut saja Ibu Puji, beliau adalah seorang Ibu rumah tangga yang sehari-harinya bekerja sebagai pembuat kue sekaligus pembuat abon. Layaknya ibu rumah tangga pada umumnya yang memiliki berbagai kesibukan setiap harinya. Meskipun sibuk, ia bersama dengan beberapa ibu lainnya masih sanggup membuat abon dengan harapan dapat menambah penghasilan tambahan untuk keluarganya.
Kelompok Sinar Harapan Lae Lae, diketuai Ibu Puji beranggotakan 10 orang yang semuanya terdiri dari ibu rumah tangga di Pulau Lae-Lae sendiri. Ibu Fuji menjelaskan, pada mulanya kelompok yang sudah terbentuk sekitar 5 tahun atau sekitar tahun 2018 ini di bawah naungan Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan dan pelaksanaannya didampingi oleh Dinas Perikanan Kota Makassar. Sekilas kelompok ini memiliki kesan aktivitasnya terlaksana secara sangat efektif dan teratur karena didampingi langsung oleh Dinas Perikanan Kota Makassar, tetapi menurut saya masih kurang maksimal apalagi tentang peralatan dan tindak lanjut pendampingan. Kok bisa?
Kelompok Sinar Harapan Lae Lae juga sudah tercatat sebagai UMKM (Usaha Menengah, Kecil dan Mikro) dan memiliki izin PRT (Produksi Rumah Tangga). Abon yang mereka produksi ini berbahan utama ikan tenggiri dan ikan tuna tetapi lebih dominan tuna. “Ya biasanya saya pakai ikan tuna, Ikan tenggiri itu kita pakai kalau ada orang pesan saja karena mahal”, ucap Ibu Puji. Tidakak heran juga, karena ikan ini sangat mahal jika dijadikan bahan abon apalagi distribusi penjualan yang masih tidak menentu bisa menyebabkan kerugian jika tak tida laku sampai abonnya kedaluwarsa.
Fakta di lapangan yang saya dapat dan diceritakan sendiri oleh Ibu Puji selaku ketua kelompok ini sekaligus yang paling tahu mengenai kondisi dan perkembangan kelompok pembuat Abon Sinar Harapan Lae Lae. “Awalnya saya ini dibina dan diberikan pelatihan oleh dinas perikanan provinsi kemudian pada pelaksanaanya kami didampingi oleh dinas perikanan kota, dan setiap ada proses kami harus melapor kepada mereka. Lalu pendampingannya kami dibantu mengurus akta pendirian hingga terdaftar sebagai PRT dan UMKM, ” kata Ibu Fuji.
Dari proses panjang yang dilalui kelompok ini alhasil mereka telah mampu memproduksi abon sendiri dan menjualnya. Namun, tantangannya terletak pada proses pemasaran. Sulit bagi mereka mempromosikan produknya di masyarakat umum apalagi jika penjualannya hanya bergantung pada masyarakat pulau saja.
Namun, Ibu Puji dan anggotanya tentunya tidak menyerah Kelompoknya berusaha memasarkan produknya ini melalui kanal online mulai dari sosial media dan e-commerce atau lapak online. Meskipun menurut saya masih kurang efektif, karena masih minimnya pengetahuan tentang penggunaan teknologi bagi kelompok mereka. Saya lanjut bertanya “Kenapa produk ibu ini tidak di titip di toko saja?’’, Ibu Puji pun menjawab” ya kalau di titip di etalase toko toko kan takutnya produk kami tidak laku hingga masa kadaluarsanya, apa lagi kan rata rata pemilik toko ole-ole itu orang Cina dan mereka teliti, ” balasnya
Permasalahan Ibu Puji tidak hanya terletak pada penjualan dan promosi. Alat pembuatan abon juga menjadi masalah utama mereka. Hal ini juga yang sempat membuat kelompoknya berhenti berproduksi. Bagaimana bisa? Jika dirata-ratakan Ibu Puji kebanyakan menerima abon sekitar 3 sampai 4 Kg yang harus mereka produksi menggunakan alat penekan atau press manual yang sederhana. Cara penggunaan alat tersebut menguras keringat dan membutuhkan banyak tenaga. Tidak jarang, tangan mereka kesakitan saat menggunakan alat itu olahan ikannya harus melalui press hingga benar benar kering.
“Sempat kelompok kami mandek dalam produksinya karena persoalan alat. Dulu juga Pak Lurah pernah menanyai kami terkait kelompok kami yang mandek ini, terus saya menjelaskan kalau alasannya ya karena kami kekurangan alat” tutur Ibu Puji. Ia juga menceritakan bahwa Pak Lurah tak percaya dan mencoba alat itu, alhasil ia sangat kesusahan hingga tangannya pun juga ikut memerah. Bahkan Ibu Puji berkata ia tidak yakin anak muda pun mampu menggunakan alat itu.
Ternyata dibalik abon yang ibu Puji produksi membutuhkan usaha yang sangat keras, menguras tenaga dan membutuhkan kesabaran, itulah yang mereka rasakan saat itu. Namun, tidak ada kata menyerah bagi kelompoknya. Tangan yang memerah, tubuh yang lelah mungkin ia korbankan dengan menaruh harapan agar mereka mendapatkan hasil dari produk buatannya itu, meskipun tidak seberapa dengan usaha yang mereka telah lakukan.
“Saya pernah meminta kepada Pak Lurah untuk mengajukan permohonan pengadaan alat ini, saya juga sudah kasih data-data yang kami butuhkan kelompok abon kami. Itu harus ada freezer (pendingin), ada spinner (alat pengering minyak), dan kompor besar, ” lanjut Ibu Fuji.
Ternyata Ibu Puji sebelumnya sudah sering mengajukan proposal terkait pengadaan alat produksi abon untuk kelompoknya. Mereka juga telah menjelaskan kendala dan kenyataan yang terjadi akibat produksi mereka tanpa alat yang memadai. Hanya saja sampai saat ini mereka tidak mendapatkannya bahkan untuk direspon sekalipun tidak. Lebih lanjut ibu Puji mengungkapkan. “Sudah ada empat pendamping yang telah mendampingi kami dan keluhan alat sudah kami sampai kepada mereka semua tetapi sampai sekarang belum ada. Hambatan sesungguhnya bagi kami bukanlah waktu ataupun kerja sama melainkan alat yang kurang memadai.” Ada kesedihan yang tersirat dari cerita Ibu Puji. Ibarat diberikan sebuah cahaya untuk berjalan kemudian setelah berjalan tiba tiba cahayanya redup dan mati.
Ternyata sebelum kelompok Abon Sinar Harapan Lae-Lae terbentuk, ada juga kelompok Abon yang lebih dulu terbentuk bernama kelompok Sinar Lae-Lae. Ketuanya adalah oleh Ibu Intan, dan juga ternyata dibina oleh Dinas Perikanan Kota sama seperti kelompok Ibu Puji. Pembinaan kelompok ini terbilang cukup baik karena telah matang dari segi kemampuan dan alat yang mumpuni. Hanya saja saat saya berada di pulau, saya tidak sempat mewawancarai Ibu Intan lebih lanjut.
Ibu Puji yang memegang amanah sebagai ketua kelompok ternyata tidak main-main, meskipun ia tidak paham mengenai cara membuat sebuah proposal permohonan alat tetapi ia selalu berusaha, dengan penuh rasa tanggung jawab. Ia kadang meminta tolong kepada pejabat kelurahan untuk membantu pembuatan proposal.
Selain mengenai keluhan tentang alat, Ibu Puji juga bercerita mengenai pembina dari dinas perikanan kota. Awalnya perwakilan mereka rutin datang mengecek perkembangan kelompoknya dan memberikan arahan serta menerima masukan dari kelompoknya. Akhir-akhir justru mereka sudah jarang berkunjung, “Yang awalnya datang sebulan sekali, sekarang hanya berkunjung 3 bulan sekali atau 6 bulan sekali, bahkan kadang kadang tidak pernah datang dalam setahun,” lanjut Ibu Puji.
Menurut Ira Susanti (2018) dalam tulisannya “Kendala Kendala Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pembangunan Desa” bahwa, kendala yang dialami oleh aparatur pemerintah seperti kurangnya tenaga untuk sosialisasi dan pembinaan terhadap masyarakat desa dan pengetahuan aparat pemerintah desa yang rendah tentang pemberdayaan serta lambatnya perkembangan teknologi di desa tersebut sehingga dalam proses pemberdayaan masyarakat menjadi lambat dan kurang berkembang. Inilah situasi yang juga dialami Ibu Puji.
Di saat seharusnya mereka sibuk mengembangkan usaha kelompoknya, membuat resep baru dan, memasarkan produknya. Namun kenyataanya mereka masih berupaya mengurus pengadaan peralatan produksi dan di satu sisi ada kekhawatiran jika suatu saat kelompoknya akan mati atau berhenti beroperasi.
Sebelumnya saya pernah mewawancarai salah satu pelaku UMKM di daerah pesisir di kabupaten Barru atau tepatnya di Desa Padongko Kecamatan Mangempang. Saya menemui Ibu Sulaiha (49 Tahun) yang merupakan seorang guru dan juga seorang pembuat abon yang pada awalnya dibina oleh mahasiswa dan selanjutnya pada penyediaan alatnya disiapkan oleh instansi pemerintah. Tidak jauh beda dengan Kelompok Ibu Puji yang melibatkan pemerintah dalam proses pemberdayaan kelompoknya. Saya ingat Ibu Sulaiha pada saat itu pernah berkata bahwa mereka betul betul dibina secara matang mulai dari praktek dan alat, sehingga masalah produksi jarang ia temui.
Suatu usaha tidak akan mencapai sebuah kemajuan jika dalam proses produksinya masih mengalami hambatan. Keadaan inilah yang juga dialami ibu Puji beserta para anggota kelompok abonnya. Meskipun ia masih mampu melakukan produksi tetapi dalam prosesnya sangat sulit, membutuhkan tenaga dan kesabaran yang lebih.
Jika permasalahan ini kita gali akar permasalahannya, tentu tidak terlepas dari peran Dinas Perikanan yang hanya mengusulkan ide pengadaan kelompok dan diberikan sertifikat keresmian. Namun, pada tindak lanjut pendampingan kelompok justru masih sangat minim. Mulai dari pemberian alat produksi, pembinaan tata cara pemasaran, dan pengecekan keadaan kelompok yang awalnya rutin menjadi minim.
Masalah yang terjadi antara kelompok Sinar Harapan Lae Lae sebagi kelompok yang diberdayakan dan Dinas Perikanan Kota yang memberi pemberdayaan harus segera mendapatkan titik temu solusi. Kedua pihak penting untuk bertemu dan berdiskusi membahas bagaimana solusi permasalahan yang dihadapi oleh Kelompok Sinar Harapan Lae-Lae agar terus bisa melanjutkan produksinya dan memaksimalkan pemasaran produk. Jika masalah ini tidak kunjung diselesaikan dan keadaan kedepannya masih tetap akan seperti ini, cepat atau lambat usaha kelompok mereka akan mati. Padahal jika pendampingan ini berkelanjutan maka keuntungan hasil dari produksi abon tersebut bisa menjadi salah satu sumber penghasilan tambahan bagi keluarga mereka. Untuk saat ini kata menyerah hanya belum sampai kepada ibu Puji dan para anggota kelompoknya.
Mahasiswa Magang Mandiri MBKM Jurnal Celebes Program Studi Sosiologi FIS-H UNM