Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut ke Pantai

Bermula dari cinta terlarang moyak di rongga dada Sawerigading. Lantaran cintanya ditepis We Tenriabeng saudara kembarnya. “Di negeri Cina, ada putri yang berparas serupa denganku. Berangkatlah dan jemput ia,” begitulah We Tenriabeng menohok keberatan. Usai itu, putera raja Luwu purba yang terlanjur mabuk asmara, geliat memerah darah para budak selama sembilan hari sembilan malam, sebagai tumbal dibayar untuk menumbangkan I La Welenreng. Pokok pohon raksasa, yang kini tergolek itu, oleh Sawerigading dipahat menjadi perahu yang mengantarnya ke Cina. Di sana, Sawerigading meminang We Cudai, calon istrinya. 

Mungkin Sawerigading tak lagi menimbang, bahwa hasrat yang mendidih bakal menyisakan sejumlah malapetaka bagi para penghuni pohon. Seperti termaktub dalam epos I La Galigo, pada dahan-dahan I La Welenreng, ribuan burung menitipkan sarang dan telur. Dan tatkala pohon raksasa tumbang, ribuan butir telur rontok mengguncang bumi. Konon, tujuh kerajaan di sekitar pohon raksasa itu tenggelam banjir lendir telur. Sementara burung-burung yang tersisa meratap, kocar-kacir mencari tempat tinggal baru. 

Kecerobohan Sawerigading membuat Si Buaja Tasi’e dan Sang Ula Balu naik pitam. “Kalau saja kau bukan anak dewa, sekali kukibaskan ekorku, kamu akan tenggelam di dasar laut,” cetus Buaja Tasi’e. “Seandainya kamu bukan keturunan darah putih, sekejap saja kutelan, kamu bisa binasa di dalam perutku yang gulita,” kata Ula Balue. 

Kisah penebangan (Ritumpanna Wélenrénngé) menyulut angkara ini, kita jumpai dalam epos I La Galigo atau Sureq Galigo. Wiracarita I La Galigo ini disampaikan sejak abad ke-14 dalam bentuk lisan. Di abad kiwari, kita memamah cerita ini melalui buku atau gawai.

***

Cerita penebangan pohon raksasa (Ritumpanna Wélenrénngé) wiracarita I La Galigo ini, saya pakai menelisik pola sebaran etnis Bugis-Makassar. Pertama, pokok I La Welenreng dipahat Sawerigading menjadi perahu, mewakili pola  perantauan atau penjelajahan pelaut Bugis-Makassar melintasi samudra hingga ke Afrika. Pola sebaran ini disebut ‘Sompe’, yakni para pelakunya masih berniat untuk kembali ke kampung halaman. Kedua, burung-burung meratap kocar-kacir mencari tempat tinggal tatkala I La Welenreng tumbang, mewakili pola migrasi orang Bugis-Makassar ke seluruh Nusantara hingga semenanjung Malaysia. Pola migrasi ini dikenal sebagai ‘Mallekke Dapureng’, yang secara harfiah berarti ‘memindahkan dapur’ atau migrasi ke daerah lain yang tidak diniatkan untuk kembali. Dan sebagaimana yang kita tahu, Mallekke Dapureng sebetulnya, sebuah protes rakyat atas kesewenang-wenangan penguasa. 

Sompe

Terkenanglah oleh kita akan petatah-petitih Bugis-Makassar yang masyhur: “Nenek moyangku seorang pelaut”. Itu lantaran, menurut banyak sumber,  orang Bugis-Makassar sejak dahulu telah dikenal sebagai salah satu suku penjelajah bahari yang melintasi samudra hingga ke Afrika (Dick-Read, 2008). Dalam tradisi Bugis, penjelajahan atau merantau disebut ‘sompe’ yang secara etimologis artinya berlayar (Hamid, 2004; Kesuma, 2004), tujuannya adalah untuk membangun penghidupan yang lebih baik di luar kampung halaman. Penjelajahan tersebut biasanya untuk berdagang.

Bagi orang Bugis-Makassar Sompe dipandang sebagai tanda kedewasaan dan keberanian seorang laki-laki Bugis-Makassar. Dan karena ihwal tersebut, tradisi merantau telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan orang Bugis-Makassar (Bandung, 2020), sehingga kita akan mudah menemukan berbagai komunitas keturunan Bugis dan Makassar di berbagai wilayah di Nusantara, khususnya pada wilayah pesisir. 

Jauh dari kampung halaman tentu meremukan tradisi dan memori kolektif tanah asal, ini adalah problem kerap dihadapi para perantau, termasuk pelancong Bugis-Makassar. Itu sebabnya, untuk merawat tradisi dan memori kolektif, orang Bugis-Makassar di  tanah rantau terlibat dalam proses asimilasi hingga integrasi sosial budaya dengan masyarakat lokal. Sementara kemampuan bertahan hidup, orang Bugis-Makassar melakukan penguatan ekonomi dengan mengembangkan berbagai bidang usaha. Strategi sosial juga dilakukan dengan melalui jalur diplomasi, perkawinan hingga peperangan (Hendraswati, Dalle, dan Jamalie, 2019). Ketiga cara tersebut berpangkal pada filosofi ‘tellu cappa’ atau tiga ujung, yaitu cappa lila (ujung lidah), cappa’ laso (ujung kemaluan) dan cappa vadi (ujung badik).

Mallekke Dapureng

Pascaperang Makassar pada 1669, terjadi gelombang migrasi orang Bugis-Makassar yang cukup massif ke seluruh kepulauan Nusantara hingga semenanjung Malaysia. Gelombang migrasi berkaitan dengan protes dan respons atas situasi sosial yang terjadi di Sulawesi Selatan—gejolak sosial di masa itu  berkenaan dengan pertarungan antarelit di kerajaan Bugis dan Makassar, serta adanya bencana yang menyebabkan kesulitan ekonomi atau akibat kekalahan perang yang menyebabkan terganggunya kedaulatan dan otonomi dalam bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi. 

Perang Makassar (1666-1667) yang berujung pada kekalahan Gowa atas VOC. Kekalahan ini menandai berakhirnya kekuatan dan kekuasaan Kesultanan Gowa sebagai salah satu negara maritim terkuat, jatuhnya Benteng Somba Opu, monopoli dagang oleh VOC di Pelabuhan Makassar dan ditandatanganinya perjanjian Bongaya pada 18 November 1667 yang sangat merugikan Kesultanan Gowa dan sekutunya (Yani, 2018). Perjanjian Bongaya berdampak besar secara ekonomi dan menjadi pukulan telak bagi perdagangan orang-orang Bugis dan Makassar dan pedagang Nusantara lainnya (Parani 2015), akibat monopoli dagang VOC di Pelabuhan Makassar dan pembatasan pelayaran niaga. 

Usai perjanjian Bongaya pola dan pelaku migrasi masyarakat Bugis dan Makassar mengalami perubahan. Jika sebelumnya pelaku migrasi dilakukan oleh masyarakat umum ke berbagai wilayah Nusantara guna mencari penghidupan yang lebih baik, pascaperjanjian Bongaya pelaku migrasi banyak dipelopori oleh kalangan bangsawan (Khusyairi, Latif, dan Samidi 2016). Sejumlah kalangan bangsawan beserta pengikutnya, utamanya dari Kesultanan Gowa dan sekutunya seperti Wajo dan Mandar melakukan perjalanan diaspora ke berbagai daerah di Nusantara. Migrasi rombongan Daeng Mangkona dari Wajo yang menyeberangi selat Makassar hingga masuk ke sungai Mahakam menjadi cikal-bakal berdirinya Kota Samarinda (Noor, Rasyid, dan Achmad 1986; Maharani, Hatta, dan Selvyani 2016). Rombongan migrasi lainnya ada yang berlabuh dan beranak-pinak di Bali (Khusyair et al. 2017). Lombok (Kesuma dan Murdi 2015) dan kepulauan Nusa Tenggara dan kepulauan Maluku. 

Migrasi orang Bugis-Makassar pascaperjanjian Bongaya ke arah barat berlabuh di sepanjang pantai utara Jawa. Sumatera hingga semenanjung Malaya. Karena itulah, hari ini kita akan menemukan sejumlah nama kampung Bugis dan Makassar di sejumlah daerah di Nusantara, bahkan hingga di Malaysia, Singapura dan Afrika. Tujuan mereka bermigrasi ada yang untuk membangun strategi melawan VOC dengan harapan keadaan di Sulawesi Selatan kembali pulih. Sekelompok lainnya melakukan migrasi guna membuka jalur pelayaran perniagaan yang baru di sejumlah wilayah (Andaya 2004), itulah sebabnya orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut dan pedagang yang ulung. Banyak yang melakukan migrasi meninggalkan tanah Sulawesi untuk kemudian bermukim secara menetap di daerah lain atau dalam istilah Bugis disebut mallekke dapureng. Pindah bermukim di daerah yang baru untuk membangun kehidupan yang baru dan mengusahakan penghidupan yang lebih baik dan merdeka.

Dalam perluasannya, migrasi orang Bugis-Makassar yang massif pascaperang Makassar pada 1669 dan pascaperjanjian Bongaya. Migrasi ini memaksa Christian Pelras mengulik pola kehidupan prakolonial orang Bugis-Makassar. 

Itu sebabnya, bilamana kita teliti membaca buku “Manusia Bugis” Christian Pelras. Pada halaman-halaman pertama, Pelras mengajak seganap orang Bugis (Makassar) untuk kembali memeriksa petatah-petitih mereka yang masyhur itu: “Nenek moyangku seorang pelaut”. Sejauh ini, kata Pelras, masyarakat Bugis sering diidentikkan dengan peranan mereka di laut baik sebagai pedagang yang tak segan menyeberangi lautan dan, terutama, sebagai pelaut itu sendiri.

Sekonyong-konyong Pelras menohok satu gagasan: “Nenek moyangku seorang pelaut” itu “mitos”. Pelras berpenderian bahwa: Sebagian besar anggota masyarakat ini adalah petani, petani, dan petani (hal. 4). Dan kegiatan laut masyarakat Bugis baru dimulai di abad ke-18, atau seabad setelah armada laut Kesultanan Gowa dan Tallo dihancurkan oleh VOC. Demikian pula kapal Phinisi yang mulai dikenal luas ternyata baru dibuat paling cepat di akhir abad ke-19. atau lebih tepatnya di awal abad ke-20. 

Selanjutnya, Pelras mendaku, profesi awal dari orang Bugis-Makassar adalah petani, namun mengalami perubahan pada abad-abad berikutnya, karena terjadinya perubahan sosial maupun situasi politik di wilayah Sulawesi Selatan tempat asal suku tersebut. Pasca perjanjian Bongaya dan masa-masa selanjutnya menandai masifnya migrasi orang Bugis dan Makassar ke beberapa wilayah di Nusantara (Purba, Sri Murlianti, dan Nanang 2017). Migrasi orang Bugis dan Makassar keluar dari Sulawesi Selatan secara komunal juga berkaitan dengan sikap protes dan respons atas situasi sosial yang terjadi di Sulawesi Selatan (Zid dan Sjaf 2009). 

Syahdan, orang Bugis-Makassar pascaperang Makassar pada 1669 dan pascaperjanjian Bongaya, adalah amsal burung-burung terbang dari I La Welenreng pohon raksasa mencari hunian baru yang asing dan ganjil. Sebagaimana termaktub dalam epos I La Galigo. Maka terkenanglah oleh kita akan petatah-petitih mereka yang masyhur: “Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai”. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *