Jembatan Ingatan dari Laut Bercerita

Era Reformasi yang dipancang sejak 1998—ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto—kini mendekati usia 24 tahun. Bagi sebagian generasi tua dan sebagian lagi generasi milenial, peristiwa ini tentu masih diingat sebagai peristiwa huru-hara politik—krisis ekonomi, penjarahan, pemerkosaan, aksi demonstrasi, penculikan, dan sebagainya.

Lalu bagaimana dengan generasi muda yang lahir setelahnya atau lazim disebut Gen-Z? Apakah mereka mengetahui dan memahami peristiwa apa yang sebetulnya terjadi? Sejauh mana imajinasi dan kesadaran mereka terhadap sejarah politik negara dan bangsa mereka sendiri—dalam hal ini peristiwa 1998?

Atas pertimbangan itulah, kurang lebihnya, Leila S. Chudori, sastrawan perempuan Indonesia, menulis novelnya berjudul “Laut Bercerita”. Novel yang telah naik cetak 20 kali ini memberikan gambaran betapa tidak berperikemanusiaannya rezim militer Soeharto, namun sekaligus menjadi pengingat: tanpa ada gerakan pemuda dan para mahasiswa, mustahil perubahan penting bisa terjadi di Indonesia ini. Namun, mirisnya, beberapa pemuda dan mahasiswa tersebut mesti membayar mahal kepada penguasa zalim atas tekad mereka dengan cara dikejar, disiksa, diculik, dan dibunuh.

Nah, “Laut Bercerita” dapat menjadi jembatan ingatan yang akan mengajak kita merenungi kembali satu sisi peristiwa kemanusiaan yang pernah terjadi pada tahun 1998 itu: penculikan dan penghilangan paksa. Melalui sudut fokus inilah Leila S. Chudori mengajak kita menyelami kisah novelnya setebal 379 tersebut. Kasus tersebut masih belum tuntas hingga hari ini, dan keluarga penyintas masih setia setiap Kamis berdiri di depan istana kepresidenan, menuntut keadilan, yang kemudian disebut sebagai Aksi Kamisan.

Laut Bercerita. Ini Laut, nama pendek tokoh utama dari Laut Wibisono. Ia seorang aktivis mahasiswa. Di dalam novel ini, sebagian bab akan diisi oleh suaranya dari bawah laut, pasca suksesi penyiksaan, tentang perjalanan hidup yang telah ia alami. Si Laut bersama sahabatnya, Sunu, Alex, Kinan, Daniel, Gusti, Julius, Bram dan beberapa aktivis lainnya berjuang melawan kekejaman rezim. Mereka lantas menyewa sebuah rumah kontrakan di Seyegan, Yogyakarta. Di tempat inilah mereka rutin berdiskusi dan menyusun aksi secara diam-diam.

Secara teknik dan narasi novel ini menggunakan pola plot maju mundur. Kisah-kisah yang mengalir berjalin kelindan antara peliknya perjuangan sehari-hari dalam pertemanan, suka-duka menjalankan aksi baik di jalanan atau di akar rumput di desa-desa, sampai perihal jalinan asmara yang sungguh memilukan walaupun kadang liar.

Narasi “Laut Bercerita” terbilang ringan yang nyaris terkesan ‘ngepop’. Namun, menurut saya, justru metode ini jadi media efektif untuk menghantarkan sejarah kelam bangsa sendiri ke generasi muda. Sejauh ini saya lihat yang mengapresiasi novel ini sebagian besar adalah generasi 90an akhir atau 2000an awal.

Namun, ini bukan novel ideologis. Dia justru memfokuskan substansi novel pada aspek kemanusiaan para tokohnya—aktivis yang punya keluarga, punya kekasih, memiliki selera seni atau musik sendiri. Justru hal ini memberi efek kilau tersendiri yang membuat kita semakin kagum dengan perjuangan para tokohnya yang berumur 20-an dalam menyuarakan suara rakyat tertindas. Jadi mereka bukan dewa, tapi manusia biasa yang didorong oleh perasaan kemanusiaan yang dalam.

Kisahnya sederhana dan mudah diikuti—meskipun ada teknik maju mundur tadi. Namun, di tangan Leila S. Chudori, novel ini menjadi karya yang bakal meremas jantung dan perasaan kemanusiaan kita. Saya kira bakal sangat mudah memantik diskusi terkait peristiwa 1998 dengan generasi muda lewat novel ini. Anak muda tidak dijejali dengan teori politik, tapi diajak memahami politik melalui peristiwa kemanusiaan.

Kesan paling kuat yang saya tangkap seusai membaca novel ini adalah perbandingan peristiwa di dalam novel dengan realitas di luar novel. Saya tak bisa pungkiri, setuntas membaca “Laut Bercerita” ini mau tak mau saya menyandingkannya dengan kisah nyata beberapa anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang pernah diculik lalu dibebaskan atau hilang sampai saat ini. Contohnya, tokoh Sang Penyair mengingatkan saya pada sosok Wiji Thukul, yang kita tahu adalah korban penghilangan paksa yang belum kembali sampai saat ini. Masih banyak lagi. Tapi Leila sangat piawai menjadikan kisah mereka sebagai dunia fiksi tersendiri, yang membuatnya menjadi nilai universal.

Ini buku perlu dibaca agar kita senantiasa ingat pada peristiwa kemanusiaan yang sebagian besar kasusnya belum tuntas itu. Agar tidak lagi peristiwa serupa terjadi di masa mendatang. Sekaligus menyelami penderitaan samudera batin para keluarga penyintas yang anggota keluarganya masih sumir keberadaannya. Seperti kalimat salah satu tokohnya, Asmara Jati (245), “Dan yang paling berat bagi semua orangtua dan keluarga aktivis yang hilang adalah: insomnia dan ketidakpastian. Kedua orangtuaku tak pernah lagi tidur dan sukar makan karena selalu menanti “Mas Laut muncul di depan pintu dan akan lebih enak makan bersama”.

hari ini tepat #17TahunAksiKamisan . Saya juga baru tahu kalau ada aksi ini. benar-benar baru tahu setelah baca Laut Bercerita bulan Desember 2023 lalu. momennya sangat pas pula, genap berusia 17 tahun saat masa Pemilu 2024. siapa pun yg jadi presidennya nanti, semoga mampu menjawab.

“Kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *