Tidak usah Anda tertawakan seorang kyai yang berlebaran pasca “menelepon” Tuhan, dan setelah itu Anda jumawa melihat keyakinan Anda merupakan doktrin yang paling benar. Sifat seperti itu akan merusak kepribadian Anda. Anda jangan lupa, si Iblis akhirnya menanggung kutukan seumur hidupnya hanya karena suatu waktu nyinyir kepada Adam.
Ini masih kalah banding dengan beberapa orang di masa lalu yang sangat antusias menjadi nabi atau anak tuhan pasca bertemu Jibril di suatu tempat. Atau pengakuan si pemikir pembunuh tuhan yang menyatakan dunia sudah tidak bisa diselamatkan lagi kecuali dengan membunuhnya. Apalagi dibanding pengakuan Firaun berabad-abad lalu sebagai tuhan, Mbah Benu pimpinan jemaah Aolia Giriharjo tidak ada apa-apanya.
Jadi biasa saja. Anda perlu juga ingat kembali agama punya banyak fasilitas untuk beragam pengalaman seorang manusia. Apalagi Tuhan yang —saya kira Anda tahu— memiliki 1001 cara untuk berhubungan dengan ciptaannya. Saat ini masa penghabisan ramadan, yang seharusnya membuat diri kita makin “selow” melihat beragam ekspresi keagamaan. Toh, cerita seperti Mbah Benu sudah sering kita dengarkan.
Saya nyaris juga mengutuk kyai si penelepon tuhan, meski hanya melihatnya saat diwawancarai salah satu stasiun Tv. Dari keperawakannya yang sudah uzur menandai panjangnya usia yang ia pakai untuk mencari kebijaksanaan melalui agamanya. Tapi, kesadaran kerap datang terlambat, dan mulai menyadari apa hak kita sesungguhnya untuk menjastifikasi keputusan yang telah diambilnya. Seorang kyai dengan ratusan jemaah, saya kira bukan pemuka agama biasa.
Di negeri ini tidak gampang mengumpulkan orang dalam jangka waktu lama untuk menuntut kesetiaan mereka. Mengemongnya, mendidik, dan memberikan bimbingan agama bagi sekelompok warga yang kelak menjadi jemaah. Sebuah kekuatan religius yang bukan main. Kecuali dalam politik, agama salah satu perangkat kesetiaan yang tidak dengan mudah dapat dijelaskan seperti yang kita lihat melalui tayangan media massa.
Sebagai sebuah fenomena, Mbah Benu adalah sebuah fenomenologi agama, yakni ekspresi yang perlu dipahami dari konteksnya sendiri. Meski seringkali setiap penilaian atas sesuatu telah dibingkai oleh prasangka, kepercayaan, atau nilai tertentu, sebuah pendekatan untuk melihat melalui kacamata si pelaku perlu untuk diperhatikan. Dunia ini tidak hanya bisa dilihat dari sepasang mata belaka, melainkan membutuhkan kehadiran orang lain agar dunia ini tidak berlari hanya seperti yang kita inginkan.
Istilah menelepon tuhan yang dikatakan Mbah Benu menurut saya hanya persoalan semantik belaka. Setidaknya dari sisi kegunaan, ”menelepon tuhan” hanya kiasan untuk melambangkan model hubungan antara hamba dan Tuhannya belaka. Suatu diksi yang sama persis dengan kemajuan zaman kiwari di mana banyak orang mulai diresahkan dengan manfaat benda canggih bernama smartphone itu.
Tapi, apakah betul tuhan memiliki nomor khusus sehingga setiap orang dapat menghubunginya jika dalam keadaan kepepet? Sudah pasti tidak. Tuhan bukan bagian dari sistem teknologi informasi dan komunikasi canggih, yang dibekali kecerdasan atau intelegensi tiada tara melebihi kapasitas berpikir manusia. Sebaliknya, semua kecanggihan sistem informasi itu telah menjadi tuhan abad 21, yang merebut hati manusia dan kesetiaannya.
Bukan tidak mungkin selama ini kepercayaan manusia lebih percaya dengan beragam informasi yang tersedia di dalam dunia maya. Segala yang Anda inginkan dapat dengan mudah diakses. Informasi yang telah lama tersimpan ditimpa beragam informasi terbaru dapat Anda panggil dengan mengetikkan kata-kata kuncinya. Jangankan informasi dari masa lalu, peristiwa yang bakal terjadi di masa depan dapat dengan mudah disusun berdasarkan algoritma super ketat. Sensasi pengalaman semacam itu tidak pernah dialami sebelumnya, sekalipun seringkali dinyatakan melalui doktrin agama seluruh kejadian kehidupan ini telah tersimpan di kitab kejadian bernama Lauhul Mahfudz.
Era kiwari pengalaman interaksi manusia lebih mudah dialami via dunia maya. Hampir semua dilakukan saat ini mesti dikoneksikan ke dalamnya. Sudah menjadi agama. Kebiasaan yang sukar ditinggalkan. Saking sukarnya, pengaruh internet sampai menancapkan tiang-tiang signalnya sampai di jiwa manusia. Mengubah orientasi spiritual manusia dan pengalaman kebatinan tentang agama yang semula rahasia dan tersembunyi terekspose sedemikian rupa bagai sejumlah tayangan iklan. Banal dan narsistik.
Alkisah seorang pengikut Nabi Musa ditemukan sedang menyeru tuhannya. Dalam rintihannya ia ingin menyisir rambut tuhan, mengikat tali sepatunya, dan memberikan pengkidmatan terbaik kepada tuhannya. Jika perlu ia ingin melayani tuhannya seperti seorang raja. Mendengar permintaan umatnya itu, Musa marah. Tuhan bukan zat yang pantas diserupakan dengan makhluknya. Ia tidak layak disisir karena tidak berkepala, apalagi bersepatu. Kemudian muncul suara bergema mengisi seantero langit. Tuhan kecewa dengan Musa setelah nabinya itu ditegur. Sesungguhnya Tuhan senang dengan keintiman umatnya itu. “Aku tidak melihat kata-kata, tapi isi hati hambaku,” begitu kira-kira yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Musa.
Di kisah itu Nabi Musa diminta mencari umatnya untuk menyatakan maaf. Tapi sayang setelah berkelana mencarinya Musa tidak menemukannya.
Galibnya kisah-kisah berbau tasawuf, narasi tentang umat nabi Musa ini perlu diintrepetasikan dengan bijak. Begitu pula apa yang dilakukan Mbah Benu kurang lebih mengindikasikan pendekatan keagamaan lain di luar dari tinjuan ilmu fiqih. Dari sisi ini, tidak semua orang dapat memahami jalan pikiran Mbah Benu sehingga karena itu tidak layak untuk menghakiminya secara berlebihan.
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).