Bergelung Marlena dan Puisi Lainnya

TAK ADA YANG ABADI

Tak ada yang abadi di sini Ziecho

Lautan darah bersimbah berlutut pada maut

Tuhan tak pernah berbaik hati pada leluhur yang telanjang

Ia tuan berani disembah

Disetiap bayangan berkunjung

Sejatinya semua ini fana Ziecho

Lorong-lorong, rumah, kenyataan tak ada di sini

Azroil adalah wahyu dikirim Jibril

Tempat di mana orang-orang mengejar ruh dan kepala

Jatuh, remuk, hancur, lebur akhirnya

Hanya abu dan ke abu-abuan yang tunggal

Rumah terakhir Ziecho

Engkau hendak ke mana, dan kau tahu

Peradaban saat ini, pernyataan dan kenyataan setipis kapas

Untuk kau bedakan perlu hidup abadi

Yogyakarta, 2024.

***

BERGELUNG MARLENA

Marlena…

Kudengar tentangmu

Dari penyair di seluruh penjuru kota

Membaca romantikamu

Berdecak kagum menembus relung jiwa

Marlena…

Engkau selalu dirundung pekat

Yang dititipkan malam dalam rupa malaikat

Kelembutanmu bagai rajutan sutra

Yang dianyam bersama balutan baja

Marlena…

Semoga romantikamu bukan sandiwara

Sebagai lelaki Madura

Bisakah kau menjadi Ibu bagi jantung kota

Menjelma tanda

Serupa jiwa sakera

Yang tak gentar pada peradaban ganda

Marlena…

Biarkan kupersembahkan gelung dari anyaman batu

Supaya celurit dan keris tahu

Kau benar-benar terlahir dari rahim Madura

Wanita dengan taring baja

Dengan kibasan sarung

Dan lilitan kain di kepala

Serupa mahkota

Memukau seantero cakrawala

Tidakkah kau lupa saat kita bertegur sapa

Kau lantang berkata: “lebih baik bersimpah darah, dari pada terbuang rupa”

Yogyakarta, 2024.

***

SAJAK UNTUKMU

I/

Aku bungkam

Ketika kilau bintang gemintang

Berhamburan jadi pelengkap langit malam

Bagi pemimpi di ujung harapnya

II/

Aku bungkam

Bila malam menjelma kumbang

Di antara celah-celah ilalang

Yang dibalut tembok pengahalang

III/

Aku bungkam

Ketika purnama masih kelabu

Dengan elegi tawa yang menyesakkan

Di sudut jalan sana

Aku berusaha mengutarakan rindu

Tanpa seorang pun yang tahu

Mungkin

Tak ada salahnya, jika kau dengarkan

Sejenak tentang seorang penyair

Kala mendefinisikan hatinya dalam puisi

Akan aksara cinta yang diabadikan

Yogyakarta, 2024.

***

PERGI

Hanya sekuntum bunga melati yang bisaku bawa

Bersama langkah berat merelakan keindahan

Pada genagan air di matamu

Dengan lentik hitam pekat

Menatap hari esok yang begitu tak terduga

Berubah atau masih sama

Seyum atau malah tangis

Sebatas luka atau sampai darah

Yogyakarta, 2024.

***

YA

Jika suaramu adalah denyut

Maka degupku adalah kamu

Aku bersyukur melihat rangkuman bulu matamu

Berhasil ku raih hadiah paling berharga

Mantra sutarji kurapal

Memutus langkah dengan sapa

Mimpi pura- pura berpaling

Padahal kebahagiaan senatiasa sempurna

Dari jauh tatapan buncah menugaskan

Senyum untuk tidak berpaling

Tiba- tiba aroma kasih menyemerbak kemungkinan

Bahwa langit dan laut berbeda jauh

Kekasih

Penyair pernah memanjat do’ a

“Tuhan bila mencintainya adalah sebuah dosa

Maka sediakan tempat bagiku di neraka”*

Dalam hati aku tidak pernah mengimpikan

Teluk surga.

Bahkan aku ingin menyambung rindu

Pada sunyi sumudara.

Yogyakarta, 2024.

*Wira Negara : Destilasi Alkena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *