“Ada tiga hal yang tidak bisa lama disembunyikan, yaitu matahari, bulan, dan kebenaran”, begitu kata Siddharta Gautama. tetapi, “Apakah kebenaran itu?”
Upaya manusia mencari kebenaran melahirkan sejarah panjang pengetahuan dan kemajuan peradaban manusia. Dalam perjalanan panjang sejarah manusia, pengetahuan, peradaban, dan kemajuan sosial telah menjadi pilar-pilar utama yang membimbing evolusi kita sebagai spesies. Dengan keingintahuan yang identik, manusia terus mencari pengetahuan, mengeksplorasi alam semesta, dan menggali makna kehidupan. Seiring dengan akumulasi pengetahuan, peradaban manusia berkembang. Dari perkembangan pertama dalam seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi hingga munculnya sistem pemerintahan yang kompleks, peradaban adalah cermin dari kemajuan sosial manusia. Dengan demikian, pengetahuan, peradaban, dan kemajuan sosial adalah benang merah yang mengikat sejarah manusia, namun determinasi tidak berhenti pada kontribusi perkembangan pengetahuan terhadap suatu peradaban. Peradaban yang maju juga memberi implikasi besar pada konsepsi ilmu pengetahuan yang terus berkembang
Seperti belati bermata dua, kemajuan ilmu pengetahuan alam dan eksakta di awal abad ke-20 menjerumuskan kebudayaan ke dalam krisis kemanusiaan, kemudian mensimplifikasi manusia ke dalam makhluk satu dimensi (one dimensional), dan satu konsepsi kebenaran dengan objektivisme. Keragaman manusia dalam mempersepsikan realitas, terutama dalam cara pandang masyarakat terhadap diri sendiri dan orang lain dilupakan. Metode dan asumsi yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu alam dan eksakta telah mendominasi segala bidang, termasuk yang berkaitan dengan manusia. Pandangan manusia terhadap realitas dunia yang dianggap multidimensi telah didominasi dan bahkan “didominasi” oleh metode dan asumsi ilmu pengetahuan alam, seolah-olah hanya metode dan asumsi inilah yang paling valid. Itulah yang diungkapkan oleh Husserl dalam karya The Crisis of European Sciences (1936).
Penulis dalam tulisan ini berupaya menjelaskan bagaimana gelombang perkembangan metode pengetahuan fenomenilogis sebagai bagian dari fragmen sejarah perkembangan peradaban yang berkonsekuensi pula pada penafsiran kembali bagaimana manusia menerjemahkan realitas dan bagaimana perkembangan metodologi suatu ilmu.
Konsep fenomenologi dalam tradisi ilmu pengetahuan khususnya dalam hal epistemologi dipopulerkan oleh Edmund Husserl. Husserl belajar di kota Leipzig, Berlin hingga Wina dalam bidang matematika, fisika, astronomi, dan filsafat. Minatnya terhadap filsafat dibangkitkan oleh kuliah-kuliah filsafat Franz Brentano, seorang filsuf yang memainkan peran penting di Universitas Wina waktu itu. Dalam konsepsi ide Franz Brentano yang bagi penulis cukup spiritual, Brentano menggabungkan corak empirisme yang khas dari mazhab Lingkar Wina dengan tradisi berpikir skolastik, yang kemudian mempengaruhi lahirnya teori psikologi deskriptif. Tidak sulit untuk memperlihatkan pengaruh pemikiran Franz Brentano terhadap fenomenologi Edmund Husserl di kemudian hari khususnya ajaran tentang intensionalisme yang identik dengan corak fenomenologis
Konsep Utama Fenomenologi
Dalam membedah atau menerangkan suatu konsep teori pengetahuan secara umum kita bisa menelisik kedalam dua model analisis, analisis diakronik dengan melihat jejak geneologis suatu toeri atau analisis sinkronik dengan melihat secara holistik suatu teori dari beberapa ruang lingkup dan perspektif, seperti apa yang diterangkan sebelumnya.
Pemikiran Edmund Husserl soal fenomenologi juga tidak lepas dari pengaruh pemikiran psikologi diskriptif Franz Brentano yang menolak asumsi kausalitas dalam psikologi genetik dan penolakannya terhadap kebenaran yang hanya bisa diamati di luar diri manusia.
Menurut Brentano fenomena mental itu nyata. Dia tidak setuju dengan gagasan bahwa satu-satunya hal yang nyata adalah yang ada di dunia luar. Konsepsi kebenaran pluralistik dan penolakan terhadap objektivitas empiris menjadi pilar penting fenomenologi.
Adapun beberapa konsep kunci fenomenologi seperti kesadaran hanya dimiliki manusia, subyek yang berpikir, di mana kesadaran ini juga menuntut hal lain, yakni intensi. Intensi atau keterarahan ditujukan untuk sesuatu, yakni obyek, di mana dalam tradisi fenomenologi disebut “fenomena.”
Intensionalitas Keterarahan (intensionality) dapat dipahami dalam hubungannya dengan kesadaran (consiousness). Kesadaran akan sesuatu hanya mungkin terjadi karena adanya keterarahan atau intensionalitas pada sesuatu tersebut. Sejauh kita memiliki kesadaran akan sesuatu hal atau peristiwa tertentu, dalam arti fenomena, maka kita akan membentuk kesadaran akan hal itu, dan dari sana kemudian timbul pemahaman. Dan Epoche atau melepaskan keterhubungan.”
Epoche kerap diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan istilah bracketing, yaitu “menyekat” antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam fenomenologi, bracketing ini kerap diartikan sebagai penundaan penilaian atau suspension of judgment, dari fenomena yang kita teliti, atau disebut juga sebagai reduksi fenomenologis. Husserl menekankan bahwa untuk memahami dunia, kita harus melepaskan semua konsep, praduga, tendensi dan pretensi, sehingga menunda dulu setiap penilaian yang ada, agar fenomena tersebut tampil sebagaimana adanya. Dalam domain filsafat fenomenologi bisa diuraikan kedalam bentuk piramida segitiga kembar, jika kita berbicara persoalan filsafat ilmu maka paling tidak dalam suatu konsep penting mengklasifikasi posisi ontologis, epistemologis dan metodologis dari suatu konsep, juga melihat posisi aksiologis sebagai tujuan akhir suatu konsep.
Secara ontologi konsep fenomenologi berada pada suatu kenyataan kebenaran yang berisfat relative bukan bersifat statis yang kenyataan itu tetap namun sejauh apa yang disadari manusia dengan melepas asumsi asumsi universal. Secara epistemologi kebenaran tidak berada pada luar tetapi melekat pada persepsi internal subjektifitas, sehingga dalam penentuan kebenaran suatu realitas tidak berdasar pada apa yang nampak namun apa yang disadari, sehingga melahirkan keberagaman kebenaran bukan bersifat tunggal, sehingga secara metodelogis fenomenologis bersifat deksripsi dan klasifikasi yang melihat suatu realita itu bersifat parsial dan plural, tidak melihat realitas sebagai hubungan kausalitas sebagai satu satunya metode pencarian akan kebenaran dengan jalan verifikasi.
Secara Aksiologis cita cita fenomenologi sebenarnya sederhana bagaimana menginterpretasikan makna di balik sebuah realitas dengan menggunakan kesadaran manusia yang tidak tereduksi oleh objektivitas empirirk.
Kuasa Pengetahuan dan Otoritas Keilmuan
Dalam kacamata Foucault kekuasaan harus dipahami pertama sebagai macam hubungan kekuatan yang imanen. Hubungan kekuatan itu berlaku dalam unsur-unsur pembentuk dan organisasinya. Kedua, permainan yang dengan jalan perjuangan dan pertarungan tanpa henti mengubah, memperkokoh memutarbaliknya. Ketiga, berbagai hubungan kekuatan yang saling mendukung, sehingga membentuk rangkaian atau sistem, atau sebaliknya, kesenjangan, dan kontradiksi yang saling mengucilkan, terakhir, strategi tempat hubungan-hubungan kekuatan itu berdampak, dan rancangan umumnya atau kristalisasinya dalam lembaga terwujud dalam perangkat negara dan perumusannya.
Ini berbeda pada pengertian kekuasaan secara umum dipahami dan dibicarakan sebagai daya pengaruh seseorang atau suatu organisasi untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Dalam konteks ini, kekuasaan diartikan sebagai menindas, terkadang represif. Secara spesifik, dominasi terjadi antara subjek kekuasaan dan objek kekuasaan. Misalnya kekuasaan negara atas rakyat, kekuasaan laki-laki atas perempuan, dan kekuasaan pemilik modal atas buruh. Pemahaman ini sering digunakan oleh para ahli sejarah, politik, dan masyarakat.
Dalam bidang epistemologi, ilmu pengetahuan modern, terutama ilmu alam dan ilmu-ilmu empiris, telah terlalu bergantung pada metode dan paradigma yang materialistik serta positivistik. Menurut Husserl, krisis ilmu muncul karena penekanan yang terlalu besar pada metode ilmiah yang mengabaikan aspek subjektif dari pengalaman manusia. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modern telah terlalu terfokus pada objek luar dan mengabaikan subjek pengetahuan. Hal ini mengakibatkan kehilangan makna dan nilai dalam pengalaman manusia.
Upaya kembali ke akar-akar filsafat dan mengeksplorasi esensi subjektivitas manusia adalah suatu ikhtiar pengetahuan yang bertujuan untuk memahami pengalaman langsung subjek dalam segala kompleksitasnya, tanpa asumsi atau prasangka apapun.
Fenomenologi sebagai Metode Alternantif
Fenomenologi yang hadir sebagai jalan kedua metodelogi setelah penolakannya terhadap pilar positivistik yang dianggap dominan seperti rasionalisme empirik, kausalitas, dan esensialisme tunggal, upaya itu juga membuat pemikiran fenomenologi berkembang kebeberapa pemikiran seperti fenomenologi transendental Edmund Huserl tentang pencarian makna paling esensial yang diperoleh dari kesadaran manusia, atau fenomenologi interpretative ontologis Heidegger, atau eksistensialisme Jean Paul Satre dan Marleu Ponty.
Pada beberapa perbedaan konsep fenomenologi bagi penulis kesemua pemikir tersebut tetap membawa beberapa visi yang sama untuk mendobrak kemapanan konsepsi pengetahuan yang riskan dengan misi elektoral dan kepentingan kekuasaan, adapun beberapa poin yang dianggap penulis sebagai jalan alternatif.
Pertama pembaharuan metode, kritiknya atas Ketergantungan pada Metode Ilmiah Tradisional percaya bahwa ilmu pengetahuan modern telah terlalu bergantung pada metode ilmiah tradisional yang berfokus pada observasi empiris dan pengujian hipotesis. Ini menyebabkan penekanan yang terlalu besar pada objektivitas dan materialisme, mengabaikan aspek subjektif dari pengalaman manusia.
Kedua Membaeri tempat pada Subjektivitas fenomenologi menekankan pentingnya subjektivitas dalam pengalaman manusia. Menurutnya, pengalaman subjektif individu harus dipertimbangkan secara serius dalam membangun pengetahuan yang bermakna. bahwa pengetahuan yang lengkap tidak hanya terdiri dari apa yang dapat diamati secara eksternal, tetapi juga termasuk apa yang dirasakan dan dihayati secara subjektif oleh individu.
Ketiga kembali ke Filsafat, bahwa untuk mengatasi krisis ilmu, kita perlu kembali ke akar-akar filsafat. Penekanan pada pentingnya pemikiran filosofis yang mendalam untuk memahami esensi subjektivitas manusia dan hakikat pengetahuan. Bagi penulis krisis ilmu tidak hanya merupakan krisis epistemologis, tetapi juga mengenai krisis nilai dan makna dalam pengalaman manusia. kembali ke akar-akar filsafat dan menerapkan metode fenomenologi, kita dapat merumuskan kembali dasar-dasar ilmu pengetahuan yang lebih inklusif dan berdasarkan pengalaman manusia yang utuh.
Terakhir, manusia tidak akan pernah berakhir pada suatu konsep kebenaran yang ideal, bentuk dari keberadaan akal adalah perubahan itu sendiri, menjadi sebuah keniscayaan pengetahuan manusia akan terus bergerak maju dan merevisi konsepsi konsepsi yang sudah ada, begitupun dengan fenomenologi sebagai konsep dan metode adalah jalan alternatif untuk mengafirmasi kompleksitas manusa dan keberagaman pengalaman batin manusia, sehingga mengsimplifikasi dan mengobjektifikasi pengetahuan manusia yang harus berdiri pada satu standar pengetahuan yang mutlak adalah pengekangan terhadap gerak tumbuh pemikiran manusia.
Penulis ingin menegaskan bahwa apa itu kebenaran? Adalah hal yang masih misterium atau bahkan tidak ada, hanya upaya menormalisasi suatu standar tertentu dan menghakimi pemikiran tertentu dengan kalimat benar atau salah, singkatnya fenomenologi yang di uraikan penulis adalah sebuah ikhtiar bahwa kebenaran boleh saja bersifat plural dan upaya manusia adalah mencari makna realita dengan kesadaran sebagai kompas pengetahuan
Alumnus UNM. Bergiat di LKIMB UNM. Pembelajar Filsafat.