Ketulusan yang Abadi

(40 hari wafatnya Muhamad Akil Rahman)

Saat itu tahun 1996. Entah awal, pertengahan, atau akhir tahun, saya tidak ingat. Betul-betul saya lupa, barangkali faktor usia yang sudah jelang setengah abad. Hanya selisih setahun dengan saudara Akil. Begitu saya biasanya menyapanya. Saya lebih senior dari segi umur.

Tapi yang sangat terkenang, setelah wafatnya saudara Akil, adalah di tahun itulah saya pertama kali mengenal beliau. Mengenal senyum ramah, tulus dan penuh harapan beliau yang tak berubah hingga di akhir-akhir pertemuan kami jelang wafatnya.

Perkenalan perdana itu terjadi di sebuah daerah yang masuk kategori Texas di Makassar. Jalan Maccini Gusung namanya, yang diapit oleh dua jalan utama, Jalan Gunung Bawakaraeng dan Jalan Kerung-Kerung.

Entah mengapa, tempat itu dipilih menjadi sekretariat HMI MPO Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Tapi di sanalah sering diadakan kajian bagi para lepasan Basic Training HMI, khususnya dari Kampus Merah, Unhas, dari  semua Fakultas, karena saat itu Komisariat Sastra Unhas, terbilang  besar dan berpengaruh.

Tak terkecuali dengan saudara Akil Rahman. Pasca digembleng di LK 1 HMI MPO, beliau juga mengikuti follow up di Kampus Maccini Gusung. Begitu kami sering menggelari sekretariat kami itu. Maklumlah, saat itu, kami menganggap HMI sebagai  The Real University atau sebagai Universitas Alternatif. Bahkan, kami sempat mencetak baju “Universitas Alternatif” yang cukup diminati dan dicari di kalangan aktivitas MPO saat itu.

Menyebut Maccini Gusung, tentunya, kita tidak akan pernah melupakan beberapa nama yang dulu pernah mukim di sana, sebagai sesama aktivitas MPO, yang juga sudah berpulang ke sisi Allah, bahkan ada yang sudah puluhan tahun mendahului sebelum wafatnya saudara Akil. 

Sebut saja, kanda  Amir Alimsyah. Pemateri Retorika dan Gerakan Mahasiswa, yang wafat tahun 2000 awal. Kanda Syahruddin Parakkassi, wafat di pertengahan tahun 2017-an. Seorang inspirator dengan gaya khasnya yang selalu memantik semangat perubahan dan pergerakan. Kemudian di tahun 2020-an akhir saudara Madjid Bati juga berpulang ke Rahmatullah.

Yang disebut terakhir ini, sering digelari sebagai Konstitusi Berjalan. Bukan hanya karena beliau menangani bidang Keorganisasian HMI, tapi pemuda Tidore ini, tampaknya, juga hapal konstitusi HMI dan betul-betul konsisten menjalankan undang-undang HMI yang berlaku. Uniknya lagi,  Madji Bati ini, sepertinya, lebih banyak menghabiskan waktunya bersama saudara Muhammad Akil, dibandingkan saya sendiri.

Betapa tidak, kebersamaan mereka berdua sudah berlangsung sejak masih di tingkat Komisariat atau di awal-awal kemahasiswaan. Berlanjut di tingkat Korkom (Koordinator Komisariat), level Cabang, Badko (Badan Koordinasi Indonesia Timur), hingga di level Pengurus Besar (PB HMI).

Kekompakan mereka berdua bukan hanya di pengurusan HMI, tapi juga di organisasi Komite Pemantau Legislatif (KOPEL). Sebuah organisasi nonpemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang salah satu inisiatornya, juga pernah berdiam bersama kami di Kampus Maccini Gusung, Syamsuddin Alimsyah.

Yang menarik dari saudara Akil Rahman adalah adanya keseimbangan yang coba ditegakkannya. Meskipun aktif di Universitas Alternatif, menjadi ketua Komisariat HMI MPO Unhas, Presidium HMI Cabang Makassar, Ketua HMI Badko Indonesia Timur dan masuk dalam jajaran PB HMI.  Beliau juga tetap memperhatikan pendidikan akademiknya di Unhas, hingga menjadi dosen tetap di UINAM. Putra Mandar ini juga banyak terlibat di organisasi intra kampus, bahkan sempat menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi Unhas.

Hal ini, tentunya, bila dibandingkan dengan beberapa aktivitas sezaman beliau yang tidak betul-betul menyelesaikan studinya di universitas. Entah karena larut dalam aktivitas  Universitas Alternatif. Atau karena persoalan pribadi masing-masing, yang menyulitkan dalam penyelesaian studinya. Apalagi adanya pressure dari rezim Orde Baru saat itu yang berlanjut pada Reformasi 1998.

Salah satu cerita  menarik dari saudara Akil, ketika akan berlangsungnya pemilihan ketua umum HMI Cabang Makassar 1999. Sejatinya, beliau adalah salah satu yang digadang-gadang akan menempati posisi tersebut. Tapi di detik-detik terakhir, beliau gaib dari gedung perhelatan konferensi cabang di Asrama Haji Makassar. Kabarnya, beliau ada urusan penting di lokasi KKN. Barangkali, karena beratnya tanggung jawab sebagai ketua pada saat itu, dan posisi ketua bukanlah sesuatu yang diperebutkan atau yang diinginkan.

Ketika perhelatan selesai, saya bertanya kepada beliau “Dari mana saja, kenapa tidak hadir di Konferensi?” Beliau hanya senyum-senyum hingga tertawa setengah terbahak-bahak. Rupanya ia sengaja menghindar. Tapi pada akhirnya, beliau betul-betul banyak terlibat dengan penuh dedikasi di pengurusan sebagai salah satu presidium.

Suatu saat, tahun 2000, akhir milenium ketiga. Saya, saudara Akil dan beberapa presidium HMI cabang Makassar, menghadiri undangan dari Ust. Syamsuri Abd. Madjid, imam yang dianggap sebagai titisan Abd. Qahhar Muzakkar,  dengan puluhan atau ratusan jamaahnya.

Dikiranya hanya silaturahmi biasa, ternyata semua hadirin diminta untuk berbaiat kepada sang imam bila saja kapan-kapan terjadi revolusi. Kondisi saat itu, memang relatif tidak stabil sebagai imbas dari Reformasi.

Saudara Akil sempat berbisik, sekali lagi dengan senyum khasnya, “Bagaimana kita ikut baiat atau pulang saja atau bagaimana?”

Saya hanya bilang, “Kita ikut saja, jangan sampai kita merusak suasana.”

Akhirnya, saat itu kami taqiyah  saja, meskipun kala itu, saya belum paham betul apa itu taqiyah.

Berakhirnya kepengurusan HMI Cabang Makassar tahun 2000, menjadi akhir pula  kebersamaan saya yang sangat intens dengan saudara  Akil Rahman. Pertemuan berikutnya hanya sesekali saja karena kesibukan masing-masing.

Namun masa-masa Covid-19 dan setelahnya, kami kembali sering bersama-sama lagi, terutama ketika ada acara Majelis Quran  malam Jumat, berupa Yasinan dan doa-doa yang berlangsung bergilir di kediaman alumni HMI MPO, bahkan pernah juga dilangsungkan di rumah beliau.

Dari seorang teman, saudara Akil berpesan, “Insyaallah kalo S3 saya sudah rampung, saya mau mi lebih banyak terlibat  di kajian-kajian  dan doa-doa  bersama teman-teman.”

One thought on “Ketulusan yang Abadi”

  1. Beliau orang yg sangat baik dan suka menolong dg ikhlas. Tdk pernah mengecewakn undgan dr kohati sbgai pemateri kecuali dia lg tdk ada di tempat atau ada agendanya yg tdk bisa ditinggalkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *