Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian.
Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 RI) ke-15 dihelat pada 22 Desember 2024, berlapik tanggal wafatnya. Namun, Gusdurian Bantaeng baru bisa menyelenggarakan pada Selasa, 7 Januari 2025, pukul 18.00 WITA-selesai, bertempat di kediaman Imanuel, The Bujay Boss Café, Bantaeng.
Beragam tema diajukan dalam setiap peringatan haul Gus Dur, dan untuk haul Gus Dur ke-15 di Kabupaten Bantaeng, mengetengahkan tema berjudul “Literasi untuk Kemanusiaan, Mengenang Warisan Gus Dur”. Puluhan penghadir mewakili berbagai elemen sosial: organisasi, komunitas, dan beragam tokoh agama.
***
Sekadar penegasan kembali, terkait Gusdurian. Seperti ungkapan Suaib Prawono, Korwil Gusdurian Sulawesi, Maluku, dan Papua (SulamPapua), saat mendedahkan pemantik awal percakapan, bahwa Gusdurian merupakan pilihan dan sebutan untuk para murid, pengagum, dan penerus pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Sementara, jaringan Gusdurian, sebentuk arena sinergi bagi para Gusdurian di ruang kultural dan nonpolitik praktis.
Di dalam jaringan Gusdurian tergabung individu, komunitas/forum lokal, dan organisasi yang merasa terinspirasi oleh teladan nilai, pemikiran, dan perjuangan Gus Dur. Karena bersifat jejaring kerja, tidak diperlukan keanggotaan formal. Gusdurian tersebar di 155 Kabupaten/kota di Indonesia dan luar negeri (Jerman, Jeddah, Mesir, Tunisia, Teheran, London, Bangkok, Thailand, dan Malaysia).
Misi Jaringan Gusdurian; nilai, pemikiran, perjuangan Gus Dur tetap hidup dan mengawal pergerakan kebangsaan Indonesia; melalui sinergi karya para pengikutnya, dilandasi 9 Nilai Utama Gus Dur: Ketauhidan (spritualitas), Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan, Kesederhanaan, Sikap Kesatria, dan Kearifan Tradisi.
***
Lebih jauh Suaib menegaskan, Haul (peringatan hari kematian) adalah tradisi tahunan yang sudah lama mengakar di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU). Haul selain bertujuan mengenang kepergian seorang tokoh agama (ulama), juga sebagai ajang menjaga hubungan antara ulama yang sudah wafat dengan umat.
Di Jawa, haul boleh dibilang hajatan besar, karena tidak hanya dihadiri oleh kalangan santri dan ulama, tetapi juga masyarakat sipil, politisi, pejabat, bahkan tokoh lintas agama dan iman, serta tidak jarang ikut berdoa sesuai keyakinannya.
Keunikan haul Gus Dur selain dihadiri tokoh lintas agama/iman, orang yang berseberangan pemikiran dan politik dengan Gus Dur juga hadir.
***
Selaku pegiat literasi dan pembina Gusdurian, saya didapuk selaku pemantik kedua, guna mempercakapkan minda Gus Dur. Saya pun mengedepankan aura romantisme akan kemegahan pikiran Gus Dur, sebagai lapik agar benderang satu penyikapan bagaimana memperlakukan dan memperjuangkan warisan pikiran Gus Dur, sehingga menjadi seorang Gusdurian.
Merujuk pada buku, Zaman Baru Islam, anggitan Dedy Jamaluddin Malik dan Idi Subandhi, saya sajikan ketokohan Gus Dur sebagai salah seorang penarik gerbong pemikiran Islam, selain Cak Nur (Nurcholis Madjid) Mas Amin (Amin Rais), dan Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat).
Oleh karena percakapan ini bertema seputar literasi untuk kemanusiaan dan menyidik warisan minda Gus Dur, saya pun tak lupa menyodorkan hasil percakapan Gus Dur dengan Daisaku Ikeda, seorang filosof budhis asal Jepang, terekam dalam buku, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian. Gus Dur menabalkan, yang membuat peradaban maju, karena adanya budaya aksara. Budaya aksara selain mengandung pikiran dan perasaan kita, juga dapat tersimpan lama, sehingga orang mengenang dan abadi sifatnya.
***
Kelebihan Gus Dur, sebab ia seorang kiyai yang komplit dalam pencapaiannya. Selain secara genetik, cucu K.H. Hasyim Asy’ari, ia juga menempuh pendidikan jalur kiyai, menjadi santri. Penguasaan keilmuannya amat mumpuni, baik bernuansa keagamaan maupun bercorak nonagama. Pokoknya, wawasan keagamaan komplit dan holistik cara pandangnya.
Mengapa demikian? Sebab, Gus Dur telah tiba pada sosok Raushanfikr, orang tercerahkan, sebagaimana diperkenalkan oleh Ali Syariati, seorang intelektual muslim berkebangsaan Iran, yakni seorang pejalan dari tradisi keagamaan kemudian bersentuhan dengan rasionalitas.
Selain itu, Gus Dur juga sudah sampai pada persona Raushandhamir, orang yang tersingkap mata batinnya, seperti dimaksudkan oleh Muhammad Iqbal, seorang pensyair-filosof asal anak benua India-Pakistan, yaitu seorang penempuh jalan pikiran, berangkat dari rasionalitas kemudian bermuara pada lautan spiritual.
***
Persetubuhan Raushanfikr dan Raushandamir, boleh saya katakan sebagai kualitas ulil albab, yang dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 16 kali. Kalakian, kata ulil albab diterjemahkan menjadi orang-orang berakal. Namun, menurut Kang Jalal, terjemahan itu kurang tepat, lebih pas bila dimaksudkan sebagai men of understanding, men of wisdom.
Mewujudnya Gus dur sebagai manusia yang paham bin bijak akan tugas penciptaan manusia, menjadi hamba Tuhan (abdullah) dan wakil Tuhan (khalifatullah), maka terpatrilah pada diri seorang Gus Dur, sebagai sosok ulil albab. Bobotnya tersimpulkan dalam 9 Nilai Utama Gus Dur (Ketauhidan (spritualitas), Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan, Kesederhanaan, Sikap Kesatria, dan Kearifan Tradisi).
Kualitas ulil albab inilah yang menjadikan Gus Dur sebagai penarik gerbong perubahan sosial. Komitmen pada kemanusiaan merupakan harga mati. Bukan sekadar toleransi dan simpati pada kemanusiaan, tapi sudah berpucuk pada kualitas empati. Sehingga sekotah peminoritasan manusia ditentang oleh Gus Dur dan hanya kesetaraan yang ada. Minotitas karena berlatar agama, keyakinan, suku, politik, ekonomi, budaya, gender, dan lainnya, selalu dibela oleh Gus Dur.
***
Nah, salah satu pikiran Gus Dur, terkait kesetaraan gender, disajikan oleh Nuzuliah Hidayah, aktivis perempuan Bantaeng, sebagai pemantik percakapan terakhir. Menurutnya, ketidakadilan gender, semisal dalam jagat politik di mana perempuan masih menjadi korban sasaran pelanggaran dalam pemilu, apakah dia sebagai pemilih, peserta/calon.
Adanya paham misoginis yaitu kebencian atau tidak suka kepada perempuan secara ekstrim; larangan memilih perempuan sebagai pemimpin dikaitkan dengan ajaran agama, merendahkan kapasitas perempuan dianggap tidak memiliki kapasitas, dan diskriminasi perempuan misalnya pernyataan Bantaeng tidak ada sejarah dipimpin perempuan. Dan, masih berderet lagi ketidaksetaraan gender menimpa kaum perempuan.
Nuzuliah mengajak penghadir, mari kita menjadi manusia yang tidak ikut melanggengkan ketidakadilan gender, sebagai wujud memanusiakan manusia. Nilai-nilai kearifan lokal; sipakatau, sikatutui, sipakainga, sikapaccei, harus diinternalisasi pada semua sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Di sinilah letak arti penting nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur.
***
Oh kisanak yang salah paham, mengira ajakan saya untuk minum jus durian, padahal acara Gusdurian, tak perlu kecewa akan kesalahpahaman ini. Pasalnya, bagi saya Gus Dur itu seperti durian. Kulitnya berduri, banyak orang tertusuk karena salah memahami. Sebab, berlaksa pikiran Gus Dur melampaui zamannya. Gus Dur lebih banyak disalah-pahami oleh anak negeri yang sezamannya.
Nanti Gus Dur berpulang pada keabadian 15 tahun lalu, barulah pikirannya selalu diperbalahkan. Paling tidak, disawalakan dan diperjuangkan oleh komunitas Gusdurian beserta jejaringnya. Dan, salah satu ciri orang besar itu, mindanya masih dipercakapkan untuk menata kemanusiaan, waima jasadnya sudah berkalang tanah.
Dus, kisanak perlu paham, pantikan minda tiga pembicara dan testimoni, serta tanggapan penghadir dalam percakapan haul Gus Dur, sekotahnya menyangkut jus durian, eh … Gusdurian. Enak diminum sebagai asupan jiwa.