Semua tulisan dari Abdul Rasyid Idris

Penulis. Telah menerbitkan beberapa buku kumpulan esai dan puisi di antaranya Jejak Air mata (2009), Melati untuk Kekasih (2013), Dari Pojok Facebook untuk Indonesia (2014), Tu(h)an di Panti Pijat (2015). Anging Mammiri (2017), Menafsir Kembali Indonesia (2017), Dari Langit dan Bumi (2017). Celoteh Pagi (2018), Di Pojok Sebuah Kelenteng (2018), dan Perjalanan Cinta (2019).

Ramadan Itu Bening

Puasa atau saum adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang secara sukarela berpantang dari makan dan minum serta melakukan hubungan suami-istri pada waktu yang telah ditentukan. Secara umum puasa ini hampir semua agama telah memerintahkan, melakukannya, baik agama samawi maupun agama non samawi. Sehingga berkenan dengannya, secara umum hampir pula tidak ada perdebatan. Kecuali di kalangan umat Islam ketika masuk pada hal menentukan waktu masuknya bulan Ramadan. Secara umum, puasa dimotivasikan agar orang-orang yang menjalankannya menerima manfaat, baik secara ruhaniah (spiritual) maupun secara fisik. Bagi umat Islam secara khusus agar pelaksananya sampai kepada manusia yang bertakwa sedangkan secara fisik telah banyak dibahas oleh ahli gizi maupun para dokter di berbagai keahlian. Dan secara umum pula yang kerap disampaikan, bahwa puasa itu sebagai media detoksifikasi atawa sebagai media (aktifitas) mengeluarkan racun-racun yang semayam di dalam tubuh kita.

Ramadan adalah bulan di mana segala kebajikan yang dilakukan akan dilipatgandakan pahalanya, sehingga sebuah frasa yang populer di tengah masyarakat bahwa di bulan Ramadan, bila engkau berbuat kebajikan sedepah maka kebajikan itu akan mendatangimu beribu depah, bahkan Tuhan membilangkankannya pula bahwa bulan Ramadan ini adalah bulanku, pahalanya akan langsung kuberi dariku. Bulan Ramadan juga dibilangkan sebagai bulan pengampunan, sehingga apa bila seseorang menjalani puasa dengan baik, tidak makan dan minum dari waktu imsak hingga terbenamnya matahari, serta mengasah batinya untuk selalu berprasangka baik dan berlaku bajik dan bijak kepada sesama manusia, maka memasuki bulan Syawal, manusia seperti ini diibaratkan Ia baru lahir kembali dalam keadaan suci sebagaimana bayi yang baru keluar dari rahim Ibunya. Itulah orang-orang yang meraih predikat takwa sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah ; 183 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkannya atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang-orang bertakwa”.

Menurut Imam Al-Ghazali dengan merujuk sebuah hadist, bahwa selain puasa yang sifatnya elementer, seperti tidak makan dan minum, serta menyalurkan hasrat birahi pun pada suami istri. Secara substansial intisari dari puasa itu diantaranya adalah “tidak berbohong, tidak menggunjing, tidak mengadu-domba, tidak bersumpah palsu, dan tidak memandang lawan jenis dengan syahwat.”. Bila dalam berpuasa masih terjebak satu dari lima yang mesti dihindari di atas pasti kualitas puasa kita akan terjatuh dan terpuruk. Karena puasa itu juga bagian dari latihan meningkatkan akhlakul karimah sebagai salah satu misi utama dakwah Nabi maka lima unsur yang dijelaskan Imam Al-Ghazali di atas adalah menjadi sangat penting dan utama dalam mendukung proses peningkatan laku dan budi baik dalam kehidupan kita. Kata Imam Ghazali kemudian, bahwa Allah SWT telah menyediakan satu tempat khusus di Sorga, yang di pintunya bertuliskan Al-Rayyan (kesegaran, kedamaian) dan hanya bisa dimasuki oleh mereka yang ahli puasa. Secara sosiologis, bila kita mampu menahan diri untuk tidak melakukan lima hal di atas, maka nampaknya kehidupan masyarakat akan menjadi tenteram dan bening sebening-beningnya, kendati masyarakat masih berasyik-masyuk dengan suasana politik yang kerap menjadi tipu daya.

Jadi, sesungguhnya bila ingin melihat seseorang atau sebuah komunitas telah melaksanakan puasa dengan baik maka lihatlah perubahan pada kejiwaannya yang terpancar dari perilakunya setelah puasa dilaksanakan selama sebulan penuh. Makanya dalam perspektif spiritualitas, kala ramadan telah beranjak meninggalkan semesta maka manusia-manusia yang telah menempa dirinya dengan segenap maksimalisasi kemampuannya menjalankan ibadah puasa, maka di gerbang syawal Ia atawa mereka akan menjadi bening, sebening bayi yang baru lahir. Tutur kata akan berhijrah dari pengumpat dan pencaci menjadi lemah-lembut, laku dan gerak geriknya, dari kasar hijrah mencerminkan akhlak tinggi atawa budi pekerti yang baik, dari kerap berprasangka buruk mengubah diri (hijrah) menjadi positif thingking selalu berprasangka baik. sebagaimana pesan Sayyidina Ali Bin Abu Thalib, bahwa “Ilmu orang beriman itu ada pada amalnya, sedang orang munafik ada pada lisannya.”.

Bukankah salah satu tujuan bernegara adalah tercapainya sebuah negeri yang “Baldatun Tayyibah wa Robbun gafur” “sebuah negeri yang baik, sentosa, adil dan makmur, serta mendapat perlindungan Tuhan yang maha kuasa.” Nah. Negeri impian untuk semua orang seperti yang kerap dipidatokan oleh para ustadz dan ulama serta para pemimpin ini, syarat utamanya adalah melahirkan rakyat, warga, dan Bangsa yang berkualitas bening sebening embun. Kualitas manusia-manusia takwa. Manusia-manusia yang telah tercerahkan oleh celupan ramadan karim. Manusia-manusia yang berprilaku saleh, manusia-manusia yang telah berhijrah hati dan lakunya oleh tempaan ramadan. Bukan manusia-manusia yang nampak secara fisik ‘bepakaian saleh’, tapi suka menyakiti sesamanya baik pisik dan non fisik. Manusia-manusia yang suka pamer bila berbuat baik. Manusia-manusia yang suka menyebar hoaks dan fitnah pada semesta raya. Manusia-manusia yang selalu merasa paling baik dan benar di antara manusia lain. Dua style dalam mengarungi hidup ini sebagai bangsa terus akan “berperang”. Jadi, bila ingin memotret capaian negeri yang baik dan mendapat pengampunan dan perlindungan Tuhan, ya lihat saja sikap dan style warganya, apakah dia tipikal yang petama atawa yang kedua, wallahu a’lam bisyawwab.

Puasa mencakup dimensi sangat pribadi pada seseorang dan juga berdemensi universal untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa sebuah Negara dan untuk memberi spirit kesehatan lahir dan batin untuk warga sebuah Negara dan bangsanya. Sebab, seperti pembahasan pada alinea awal ditulisan ini, bahwa puasa itu menjadi ajaran dan perintah dihampir semua agama di bumi ini. Baik agama samawi atawa agama langit yang diantaranya adalah, Yahudi, Nasrani, dan Islam, maupun agama tabhi’i, yakni agama yang lahir secara alamiah dan proses natural dari kebudayaan sebuah komunitas atawa warga, seperti, Agama Hindu, Buddha, Shinto, dan Konghucu. Walaupun dengan jumlah dan waktu pelaksanaannya berbeda-beda, tapi secara substansial caranya secara umum sama, dengan menahan untuk tidak makan dan minum, menyalurkan nafsu syahwat kepada suami istri sekali pun. Bahkan pada masyarakat yang tidak mengenal agama sekalipun, seperti komunitas-komunitas primitive dan yang lainnya ditemukan adanya kebiasaan berpuasa.

Ada dua hal sehingga puasa disyariatkan oleh agama-agama yang ada, diantaranya pertama adalah, puasa sebagai alat untuk mendekatkan diri menuju Allah. Karena alasan inilah sehingga kita menemukan perintah puasa pada seluruh agama di dunia ini. yang kedua, agama dapat memenuhi kebutuhan spiritual kita. Bila semua orang yang beragama memperaktikkan sisi-sisi spiritualitas puasa secara baik dalam kehidupannya maka dapat dipastikan sebuah negeri seperti negeri yang indah ini, negeri kita tercinta Indonesia akan sampai pada suasana bangsa yang saling mengasihi dan mencintai. Sebuah Negeri yang berperadaban tinggi seperti yang dicitakan para founding fathers Negeri ini dan UUD serta perangkat politik dan hukum lainnya.

Makassar, Mei 2019.

 

Ilustrasi: https://www.thehansindia.com/

YANG TERSISA DARI PEMILU 2019

Masih terhitung pagi jelang siang. Matahari sudah mulai sedikit menyengat pori-pori tanganku yang sedang memegang stang sepeda yang sedang kugowes. Tiba-tiba handphone-ku bergetar dan langsung tersambung ke headset yang nempel di telingaku. Halo.. suara sedikit lembut menyapaku dari kejauhan sekira empat puluh kilo meter dari tempatku membalas sapaan via telepon genggam itu. “Kakak ditunggu ya..”. “Baik saya akan datang tapi agak siang,” balasku cepat dan singkat.

Adik-adik kelas waktu sekolah menengah atas dahulu kala, sedang mengadakan reunian dengan jumlah yang terbatas di rumah empangnya di sebuah kabupaten berbatasan kota Makassar, satu kabupaten terdekat dari kota Makassar. Saya tiba di kerumunan mereka persis waktu makan siang, bahkan sebagian dari mereka sudah pada suapan terakhirnya. Kampung yang kutuju ini sesungguhnya masih kawasan kampung ibuku juga, kampung-kampung yang berbatasan dengan kabupaten kepulauan yang sepanjang mata memandang terhampar hamparan tambak atawa kerap pula dibilangkan empang.

Dari orang orang yang berkumpul sekira lima puluhan orang, terselip pula dua di antaranya caleg (calon anggota legislatif). Keduanya caleg dari kota Makassar. Dalam perbincangan yang riuh dipenuhi canda tawa aku iseng menanyai kedua caleg yang masih terbilang adik angkatan saya itu. “Berapa anggaran yang engkau siapkan dalam bertarung Pemilu ini?” Keduanya hampir bersamaan menjawab dengan mimik wajah santai, “berkisar tiga ratus hingga enam ratus juta, Kak.” “Saya tidak melakukan serangan Fajar kak karena anggaran saya terbatas, hanya menyediakan berupa-rupa souvenir yang kami bagikan ke konstituen, seperti sarung, mukena, sejadah, dan lain-lain.” Di samping tentu memberi uang bensin dan makan bagi peluncur-peluncur di lapangan yang membantunya. Kalau lawan-lawan kami yang berkantong tebal mereka memang menyiapkan anggaran di atas satu milyar jelasnya.

Tuan rumah menjelaskan bila di sekitar kampung ini hampir setiap hari kedatangan tamu asing. Atawa tamu yang keluarga besarnya beranak pinak di kampung ini yang menjelang pemilu baru rajin mengunjungi sanak-saudaranya demi kepentingan suara. Lihat saja mobil-mobil baru yang lalu lalang itu mereka bukan penduduk kampung sini. Mereka adalah para caleg atawa “peluncur” yang sedang bersaing dan bekerja keras mendekati dan membujuk para konstituen dengan berbagai strategi dan iming-iming.

Saya meninggalkan kampung tambak ini setelah penduduknya usai melaksanakan ibadah salat Zuhur di masjid dan surau yang tidak terlalu sulit menemukannya. Hal ini juga mungkin penanda atau sebuah indikator bila penduduk kampung ini terkategori sejahtera. Sepanjang jalan masjid-masjidnya yang kulintas lumayan bagus secara fisik untuk tidak mengatakannya mewah. Di perjalanan sebelum memasuki ibu kota kabupaten, kuputuskan untuk menyambangi adik kandungku. Tempatnya di salah satu desa atawa kampung di pelosok bagian timur kabupaten ini yang besisisan dengan bukit-bukit karst nan indah. Kendaraan kubelokkan mengarah ke timur menyusuri jalan-jalan beton yang tak seberapa lebar tapi cukup dilewati kendaraan roda empat bila bersisian kiri dan kanan. Realitas ini juga penanda bila pembangunan di kabupaten ini secara fisik sudah cukup distributif dan merata.  Kampung tempat kelahiran ayah saya ini terbilang kampung paling tepi dan paling ujung.

Kala kendaraan yang kutumpangi kutepikan di pagar rumah adikku, dari rumah-rumah tetangganya yang masih terbilang kerabat, mengintip-intip dari jendelanya. Pun orang-orang yang sedang mengaso di sebuah balai-balai, di pojok pekarangan sebelah rumah adikku setelah menunai salat azar bersama di surau. Aku belum sampai dan duduk di beranda rumah panggung adikku, sekonyong-konyong para tetangga itu berdatangan. Melihat kedatangan mereka, adikku tersenyum lebar seraya berseloroh bercanda dengan bahasa bugis yang berarti: “Bukan caleg ini yang datang, tapi kakak saya dari Makassar.” Dengan mimik kecele kerabat saya itu tetap datang dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman sebagai tradisi yang entah kapan dimulainya.

Melihat fenomena yang berkembang sejak lama di negeri ini, cara-cara culas untuk meraih kekuasaan politik masihlah mengemuka. Money politic, serangan fajar, dan iming-iming material yang menyerbu para konstituen masih sangat massif dari kota hingga ke pelosok desa. Para caleg masih menyiapkan segepok anggaran untuk meraup suara. Inilah salah satu penyebab sehingga korupsi di negeri ini masih susah hengkang dari berbagai sumber-sumber anggaran. Para politisi dan partainya masih bermain di ruang-ruang gelap untuk meraih kekuasaan.

Secara umum, sesungguhnya politik menghendaki sebuah proses bergulirnya pembagian kekuasaan di dalam masyarakat. Bentuk praktisnya pembuatan keputusan khusus  dalam sebuah Negara. Yakni keputusan yang diambil dari rakyat (perwakilan) dan untuk rakyat (yang diwakili). Sebagaimana sinyalemen Aristoteles, bahwa muara sebuah proses politik adalah usaha yang mengajak warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Muara dari keseluruhan proses demokrasi dalam politik adalah bagaimana kebaikan bersama dapat terwujud dalam berbangsa dan bernegara, yang secara substansial di mana rakyat memberikan amanat dan tanggung jawab kepada pihak-pihak yang mendapatkan dukungan oleh rakyat kebanyakan.

Jadi tanggung jawab moral, spiritual, dan konstitusi melekat di dalamnya. Tapi, lihatlah realitas yang ada, di mana modal dan politik uang masih menguasai dan merajai proses demokrasi dan politik kita, dari level paling bawah hingga di pucuk. Nampaknya sudah jamak di negeri ini bahwa secara etis partai politik juga tidak berperan dengan baik, mulai dari proses pengkaderan dan rekruitmen anggotanya. Yang dipikirkan adalah bagaimana meraih suara sebanyak-banyaknya dan partainya menjadi pemenang di setiap Pemilu (pemilihan umum).

Jadi perpenjelasan singkat dan sederhana di atas berkenan fenomena pada paragraf yang lebih awal, menunjukkan secara substansial arah dan pergerakan demokrasi dan politik di negeri yang kita cintai ini sudah mulai menyimpang. Belum lagi bila kita memotret fenomena pertikaian dua pendukung paslon presiden pada pemilu yang baru saja dihelat, menyisakan rangkaian dendam kesumat. Bagaimana tidak di masa kampanye semua cara digunakan untuk menjatuhkan lawan politik. Dari hoaks, fitnah, dan berbagai cara-cara Machiavellian digunakan untuk menghancurkan lawan. Dan bila kita cermat mengamati, bahwa sesungguhnya fenomena ini telah berlangsung sejak pemilu 2014 dihelat. Hoaks dan fitnah merebak bak bola api menggelinding di jerami kering seolah tiada akhir hingga pemilu tahun 2019 ini.

Bila membaca sejarah pendahulu kita, bagaimana mereka mempraktikan politik beradab dan saling menghargai pastilah terkesan elok. Contoh paling kecil bila kita menengok sepak terjang, Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, dan Kasimo, mereka paling tidak memberi contoh-contoh selain persahabatan mereka di luar panggung dan khasak-khusuk politik, mereka juga mempertontokan sebuah gerakan politik narasi dan literasi yang baik. Mereka tidak hanya berpolemik di mimbar-mimbar kampanye dan sejenisnya, tapi juga secara intelektual berpolemik lewat tulisan di berbagai media maupun buku yang mereka tulis sendiri. Sebagai politik gagasan yang mestinya menjadi budaya yang mesti diteruskan oleh para politisi negeri ini. Bukan hanya pandai merangkai hoaks dan fitnah yang secara psikologis bisa berdampak sangat buruk pada generasi penerus bangsa ini.

Beberapa menit sebelum aku meninggalkan mukim adikku, seseorang berusia parubaya menanyaiku dengan suara sedikit bergetar. “Apakah betul kalau si Fulan yang menang dalam pemilu ini, suara adzan akan ditiadakan di masjid-masjid?” Aku terhenyak dan sedikit senyumku kukulum untuk semua kerabat yang hadir di mukim adikku sore itu, lalu kuberi penjelasan secara proporsional bahwa dua paslon presiden yang sedang berkompetisi dalam pemilu kali ini, adalah muslim semuanya, mereka salat, puasa, naik haji, membayar zakat, dan melaksanakan berbagai ritual Islam lainnya.

Imam Al-Mawardi dalam kitab Adab al-Dunia wa al-Din mengutip perkataan Imam Ali bin Abi Thalib, bahwa; “Kehidupa di dunia ini memang unik. Diumpamakan pertandingan, dalam pertandingan ada harapan untuk menang, serta ada trik dan perjuangan yang akan dipraktikkan. Dalam pertandingan-pertandingan ini, semua orang harus mengikuti aturan serta menjauhi larangan, karena jika hal itu dibutuhkan maka ia akan melakukan kecurangan yang akan dilanggar, bahkan mencelakakan lawan-lawannya. Maka ini sangat berbahaya.”

Lebih lanjut Imam Al-mawardi menjelaskan, bahwa ada dua hal yang selalu dihindari Imam Ali. Yang pertama mengikuti hawa nafsu karena akan menutup diri dari kebenaran, dia tidak akan menerima jenis apapun kebenaran itu. Pada hakekatnya nafsu selalu berhubungan dengan hala-hal negatif, maka segala macam kebenaran tak akan diterimanya, sehingga berujung pada pembenaran yang sesuai dengan hawa nafsunya. Kedua, terlalu panjang dalam berangan-angan yang tak berguna. Kekhawatiran ini akan melalaikan kehidupan akhirat. Kemenangan abadi adalah kemenangan yang diliputi kebajikan dan penuh cinta.

Orang-Orang Kalah

Pagi ini cuaca cerah. Suasana di jalan-jalan kota sedikit lengang oleh kendaraan bermesin. Kecuali di tempat-tempat tertentu sedikit agak riuh oleh warga yang berolah raga. Dari yang bersepeda, berlari-lari santai, berjalan kaki, hingga melakukan senam berkelompok di ruang publik terbuka. Belum selesai aku berpikir dan bertanya dalam hati, kenapa Sabtu ini alun-alun kota yang sebagiannya telah dialihfungsikan menjadi tempat perbelanjaan, sangat padat pengunjung berolah raga. Anakku telah menjawabnya.

“Bapak, mungkin karena musim Pilkada ya, sehingga tempat ini yang biasanya tidak sesak, tapi hari ini agak kesulitan kita berjalan cepat.”

“Apa hubungannya?” Kilahku.

“Ada-lah, Pak. Mungkin mereka sedang melakukan sosialisasi dengan biaya murah. Coba lihat pengunjung yang berkelompok-kelompok itu, itu umumnya mereka berseragam tagline dan gambar kandidat, baik calon Gubernur dan wakilnya, maupun calon Walikota dan wakilnya.”

“Oooo ya, masa sih, aku tak memperhatikannya.”

Setelah perhatianku kualihkan ke beberapa kelompok barulah aku sadar bila salah satu penyebabnya alun-alun ini sangat padat pengunjung, baik yang berolah raga maupun yang hanya sekedar datang kongkow-kongkow dengan teman-temannya. Sebagian besar mengenakan kaus yang bertagline dan bergambar kandidat masing-masing.

Bahkan di sebuah sudut alun-alun itu, ada yang saling sindir, saling menjelekkan kandidat masing-masing. Dengan suara gempita mereka hampir bersamaan meneriakkan yel yel masing-masing kandidat tim pemenangan. Hampir saja terjadi adu fisik bila satu dari dua kelompok itu tidak mengalah. Urung diri dari lokasi alun-alun itu yang mestinya peruntukannya untuk berolah raga namun dimanfaatkannya untuk bersosialisasi dan berkampanye sebelum waktunya. Mereka tidak sadar bila ruang publik ini diperuntukkan untuk semua orang untuk berolah raga, dan perlakuan mereka mengganggu pengguna ruang-ruang publik itu.

Setelah reformasi berhasil menurunkan presiden Suharto dari tahta kuasanya yang dipeluknya hingga lebih dari tiga puluh tahun, nampaknya suasana politik menjadi tak karuan di tangan para elit yang campur sari antara yang betul-betul elit pengawal reformasi dan para elit penumpang gelap yang dulunya berdansa dansi menikmati dan berkontribusi besar dalam perjalanan politik otoritarianisme dan militerisme.

Mereka seolah-olah bangun dari kubur tidur panjangnya dan menjelma sebagai seorang pahlawan. Tipikal pejuang seperti inilah yang banyak mewarnai perjalanan reformasi kemudian, dan para muda yang dulunya ikut berjuang mengusung lahir dan mengembangnya gerakan reformasi ikut bermetamorfosa dengan penumpang gelap itu lalu mengusung gerakan mundur ke masa silam dengan topeng reformasi dan pembaharuan.

***

Musim ini musim pesta. Pesta para pemilik modal dan para manusia bebal. Mereka berkolaborasi dengan para politisi di partai-partai mereguk kuasa dari suara-suara rakyat jelata yang kebanyakan di antara mereka tak pernah diberi pendidikan politik dengan baik. Hal ini agar suaranya dapat disebut suara Tuhan yang bisa dipertanggungjawabkan oleh penerima suaranya kelak sebagai amanat yang melekat secara spiritual dan sosiologis.

Dalam tiga dekade reformasi diusung yang nampak berkembang adalah kebebasan liar nyaris tak terkendali. Hukum nyaris mati suri oleh kelompok-kelompok dominan yang melakukan tekanan kepada kelompok-kelompok minoritas yang mestinya telah dilindungi oleh undang-undang. Para elit politik di partai-partai tidak akan berperan banyak dalam perlindungan kaum minoritas yang ditekan oleh kelompok-kelompok yang sesungguhnya secara jumlah juga tak terlampau banyak hanya menang dari sisi kenekatan dalam melakukan aksinya. Karena hal ini terkait dengan image partai yang berharap suara mayoritas kala pemilu nantinya disemua level pemilihan.

Para pendukung telah mencuri start kampanye dan sosialisasi sebelum KPU (Komisi Pemilihan Umum) mengangkat bendera start sebagai petanda bahwa kompetisi dan pesta Pilkada sudah mulai dihelat dengan berbagai aturan main yang telah disepakati dan disetujui. Yang lebih mengkhawatirkan adalah perang bully hoax berlangsung dengan sangat intens di Medsos (media sosial). Perang ini nampaknya mencapai puncaknya kala pemilihan presiden dan wakilnya pada tahun 2014 lalu dan berkecambah terus setelahnya seakan tak hendak menurun kala memasuki perhelatan Pemilu selanjutnya.

Suatu waktu dalam suasana santai di meja makan, anak-anakku yang berjumlah tiga orang menanyaiku dengan mimik serius.

“Kenapa teman-teman saya yang aktif bermedia sosial ikut-ikut pula saling membully dan menebar hoax di akun masing-masing, Bapak?”

“Tapi, kamu tidak kan?” Imbuhku santai.

“Iya, Pak, kami bertiga tidak, cuma prihatin saja. Padahal di rumah ini juga kita-kita kan sudah ada pilihan, baik untuk calon walikota dan wakilnya maupun calon gubernur dan wakilnya,” cerocos anakku yang paling sulung.

“Iya, sayang, karena teman-temanmu itu mungkin tidak memiliki pengetahuan tentang politik dan tujuan memilih yang sesungguhnya. Apatahlagi bila orang tua mereka masuk sebagai tim pemenangan di salah satu kandidat dan tidak memiliki kesadaran dan welas asih kepada sesama. Pasti mereka akan melakukannya sebagai sebuah strategi yang meghalalkan segala cara. Dan strategi yang demikian itu bila digunakan terus menerus dalam waktu yang cukup panjang akan berdampak pada ambruknya nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya mulia. Bahkan tatanan sosial pun akan menjadi rusak jadinya. Jadi, keluarga kecil kita mesti memberi contoh yang baik pada tetangga-tetangga kita bagaimana berpolitik dan berdemokrasi yang lebih baik dan santun,” imbuhku, panjang lebar menjelaskannya.

Di dalam keluarga kami memang dari hal-hal kecil hingga yang paling rumit selalu dirembukkan dan didiskusikan hingga sedetail-detailnya sampai substansi masalah. Sehingga setiap masalah-masalah sosial dan politik yang berkembang di luar sana membuat keluarga kami sudah khatam dan sepemahaman termasuk cara dan strategi menghadapainya. Termasuk Pemilukada yang akan dihelat dalam waktu dekat ini.

Di masyarakat via medsos yang dipergunjingkan dan diperdabatkan hanya pada aspek-aspek permukaan. Semisal penampilan fisik, gerakan spontanitas yang tiba-tiba menarik perhatian dunia medsos.

Sedang di keluarga kami telah mengulik jejak rekam setiap paslon (pasangan calon) walikota dan wakilnya, dan gubernur dan wakilnya. Program-program yang disuguhkan kepada pemilih, paling tidak pada aspek rasionalistas, proporsionalitas, keterukuran, dan keterjangkauan. Agar kami tidak memilih paslon seperti memilih kucing dalam karung.

Kami juga menghindari perdebatan-perdebatan yang tidak terlalu substansial di medsos. Bahkan dari ketiga anak kami yang sudah beranjak dewasa semua tidak terlalu intens bermain di medsos kecuali untuk menjalin hubungan silaturrahim, mengembangkan wawasan, dan juga bisnis. Sebab, kami telah menyimpulkan bahwa sebagian besar perdebatan-perdebatan politik di medsos bermuara pada hoaks dan bullying dan hal tersebut dalam durasi waktu yang panjang, baik langsung maupun tak, akan merusak jiwa dan keperibadian. Pun, akan merusak hubungan silaturrahim yang menjadi urat nadi akhlakul karimah atawa budi mulia yang diutamakan dalam spiritualitas agama.

***

“Hei.. Mira, kenapa kamu berlari kayak kesetanan,” tergurku dengan nada khawatir membuncah.

Mira, anak keduaku tak segera menjawab karena masih ngos-ngosan berburu dengan nafasnya. Ia nampak pucat sepucat kain belacu. Aku di beranda rumah menikmati hari jelang sore dengan kopi dan pisang goreng falm sweker. Seperti biasanya setelah usahaku di pasar tradisional tak jauh dari rumahku telah kututup untuk istirahat siang.

“Itu Pa, di perempatan jalan Kalimantan dan jalan Seram terjadi perkelahian massal dua kelompok pendukung paslon dan kebetulan aku lewat di sana sepulang dari sekolah.”

“Yapi, kamu baik-baik saja kan?”

“Iya Pak, tapi aku nyaris ketimpuk batu yang berseliweran saling bersahut.”

“Alhamdulillah kamu luput dari batu-batu itu, Nak. Itulah satu lagi pembelajaran buat keluarga kita, bahwa ketidak-dewasaan berpolitik dan mungkin ketidak-pahaman makna-makna mulia dari tujuan demokrasi maka akan melahirkan proses anarkisme sebab semua diorientasikan untuk kekuasaan semata. Dan kekuasaan sangat rentan dengan laku korup.”

Entah bagaimana muasalnya sehingga dua tim sukses paslon kepala daerah sua di perempatan jalan tak jauh dari rumah kami padahal oleh KPU (Komisi Pemelihan Umum), para paslon dan tim kampanye dan pemenangannya dilarang melakukan kampanye pada hari dan waktu yang bersamaan. Kala ditanya, jawabnya bukan kampanye hanya konvoi anak-anak muda saja, padahal sebagian memang memakai atribut Paslon.

Malam berganti pagi hingga kembali malam lagi. Kemudian hari-hari berproses hingga melampaui minggu dan bulan. Jelang Pemilukada digelar proses kekerasan dalam mengawal masing-masing paslon dalam Pemilukada kali ini, kekerasan nampaknya tak hendak usai, bahkan kekerasan verbal dan tulisan khususnya di medsos semakin menggila saja. Banyak hubungan keluarga, kerabat, hingga sahabat terputus hanya karena berbeda paslon yang diusung.

“Jadi, bagaimana sikap kita, Pa, menghadapi Om Nasrun. Kelihatannya Dia sedang kalap membabi-buta hingga seperti orang tak sadarkan diri saja. Semua orang termasuk keluarganya sendiri akan dijauhinya bahkan dimusuhinya bila berbeda pilihan.”

“Santai saja, sayang. Pada waktunya dia akan sadar juga. Selain mungkin karena memang pilihannya mungkin juga kakak saya itu mendapatkan keuntungan material dari pilihan politik yang ditempuhnya sebagai seorang pengusaha, dan sudah lama dia lakukan. Yang mengherankan memang pada Pemilukada kali ini agak berbeda, karena di samping kepentingan materil juga dibumbui dengan isu-isu agama. Nah kalau isu  ini yang dimainkan biasanya orang-orang akan dirasuki fanatisme yang tak rasional lagi, akal sehat terbang menjauh, yang mungcul adalah kebencian.”

“Padahal, Paman, saban hari ke rumah ini ya, walaupun hanya sekedar hallo say dan menanyakan kabar kita semua,” cerocos anak bungsuku.”

“Ya demikian itulah, katanya. Ada dua jenis orang yang tidak mempan dinasehati, yakni, orang yang sedang jatuh cinta dan pendukung Paslon, hehehe..”

Kami terkekeh serentak mengamati dan mendiskusikan sikap keluarga dekat dan para pendukung paslon di musim perhelatan demokrasi ini. Mereka bak orang jatuh cinta yang konon tai kucing pun sudah rasa coklat dibuatnya. Betapa membiuskannya kekuasaan itu. Katanya seperti candu yang merasuki tubuh dan psikis penggunanya, semakin jauh dan lama ia dikomsumsi maka semakin menggiurkan pula.

Sesungguhnya dalam kompetisi demokrasi dengan cara-cara kasar dan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan adalah cara-cara Machiavellian yang melahirkan dendam kesumat yang tiada henti. Dalam perspektif moralitas dan akhlak sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang kalah kendati dalam realitasnya mereka menang dan menduduki kekuasaan. Kalah menang mereka adalah orang-orang kalah.

Potret Ayah

 

Ayah menyambangiku di sebuah malam sepi senyap. Ia datang dengan wajah ringis selimuti rupanya yang rupawan hingga tampak kusut. Tak seperti biasanya, ayahku selalu datang menyambangiku dengan tersenyum tanpa kata hanya rona wajah dan gesture tubuhnya yang ceria dan senang.

Aku masih tercenung di beranda rumah panggung adikku di kampung moyangku jauh dari hiruk pikuk kota. Kehadiran ayah menyambangiku dengan wajah dan gesture tubuh yang kurang menyenangkan membuatku galau terbagun tengah malam dan tak bisa lelap lagi.

Rokok sudah berbatang-batang kuisap dan kopi tubruk yang disajikan adik iparku sudah gelas ke dua tandas. Pisang goreng telah lumat sepiring sebagai pengantar ngopi pagiku. Tapi wajah ayah yang cemberut seolah mengejekku tak hendak hengkang menjauh, sangat menggangguku.

Jelang siang, aku belum beranjak dari beranda rumah panggung adikku, entah batang rokok keberapa telah kuhabiskan, setelah adikku kembali dari sawah dan ladangnya dengan sisa-sisa peluh yang masih meronai wajah dan tubuhnya yang tak mengenakan secarik kain pun kecuali celana pendek hingga selutut.

“Daeng, ada masalah kah di kota?” tanya adikku singkat.

“Tapi tidak berat, biasa saja,” jawabku pun singkat.

Seperti biasa, adik bungsuku yang penyabar ini tahu bila aku menghadapi masalah di manapun termasuk di kota tempat domisiliku selama ini, pasti aku bertanggung jawab sendiri tanpa melibatkan siapapun termasuk adikku. Adik bungsuku sepertinya sudah mafhum. Dia juga senang sebab bila aku menghadapi masalah yang cukup berat pasti rumahnyalah yang di pelosok kampung ini sebagai tempat pelarianku menenangkan diri sembari berpikir mencari jalan keluar untuk mengambil keputusan yang tepat untuk semuanya.

Setelah menunai salat zuhur, adikku mengajakku santap siang bersama. Kami melantai di atas tikar daun pandan santap bersama, tentu kami riang dan gembira, sebab momen seperti ini jarang sekali kami temukan lagi setelah kami sama-sama dewasa dan menjalani hidup masing-masing.

“Boleh kah aku bantu menyelesaikan masalah yang menimpa, Daeng?” tanya adikku sembari menikmati santap siang yang lezat hasil racikan istrinya.

Aku hanya melenguh sembari menggelengkan kepala, seperti biasa bila aku ada masalah dan berhari-hari istirahat di rumahnya, dan adikku pun tahu jawaban saya. Pertanyaannya itu hanya ingin menunjukkan rasa empatinya kepada kakak yang ia sayangi dan kasihi, walau sesungguhnya jawabannya telah ia tahu terlebih dulu.

Istrinya pun hanya tersenyum mendengar dan menyaksi percakapan kami yang terputus-putus tak lancar.

“Mungkin besok aku kembali ke Makassar menyelesaikan masalah yang telah menimpaku dan menjalani hidup kembali seperti biasa,” ujarku, sembari kubagi senyumku pada adik bungsuku dan istrinya yang baik hati.

Walau pun adik bungsuku dan istrinya ini hanya hidup berdua karena anak semata wayangnya telah berlayar ke berbagai negara setelah menamatkan sekolah pelayarannya di Makassar, mereka nampak sangat bahagia, yang kerap membuatku kagum pada ke duanya.

Aku membatin, sebelum aku menyelesaikan masalah yang kuhadapi dengan baik dan gentlemen, pasti ayahku akan datang lagi sebentar malam dengan wajah dan gesture tubuh yang kurang menggembirakan.

***

Di kantor polisi, aku diinterogasi selama tiga jam lamanya. Aku menjelaskan bahwa tetanggaku itu memukul anak tetanggaku yang berkelahi dengan anaknya, pas aku lewat dan melerainya. Karena tidak puas memukul anak tetanggaku aku pun dipukulnya karena jengkel padaku telah melerai pemukulan yang dia lakukan, dan kala itu aku melawan membela diri, memukulnya hingga pingsan. Mestinya, tetanggaku itu yang ditahan dan diterungku sebab melakukan kekerasan pada anak, jelasku panjang lebar di hadapan penyidik polisi.

Demikian itu sepotong kisah dari masalah yang kuhadapi kali ini sehingga membuatku harus mengurung diri sejenak beberapa hari di kampung moyangku jauh nun di keriuhan kota Makassar.

Membuat adik bungsuku dan istrinya sedikit cemas walau pun mereka berdua tahu bila aku bisa menyelasaikan masalahku tersebut dengan baik setelah mukim di rumahnya beberapa hari. Sebab, ini bukan pertama kali terjadi dan menjadikan kampung kami ini sebagai tempat semedi dan kontemplasi untuk mencari dan mencairkan jalan buntu yang merentang di hadapanku. Sudah kerap kali dan jalan lapang terbentang terinspirasi setelahnya. Mungkin banyak dipengaruhi oleh faktor alam sekitar dan kedekatan secara emosional dengan keluarga besarku dan khususnya kedekatan dengan ayahku secara psikologis.

Keramahan dan kebaikan adik bungsu serta istrinya. Suasana alam sekitar pun punya andil yang mebuatku tenang di rumah panggung adik bungsuku itu. Di belakang rumahnya terdapat sungai besar dengan suara ritmik air mengalir bak suara padu padan orkestra yang mengasyikkan. Di depan rumahnya melintang jalan desa yang sunyi dan hamparan sawah sejauh mata memandang, sedang di ujung jauh di sana nampak jejeran bukit-bukit karst yang memesona. Aku membayangkan bila seorang penyair domisili di sini maka aku yakin akan melahirkan karya-karya syair yang indah.

***

Seorang intel yang cukup karib denganku bertandang ke rumahku dan menawarkan perdamaian tanpa syarat.
“Kalau denganku, tidak masalah, pak Arif,” jawabku, setelah intel itu menjelaskan maksud keinginan berdamai tetanggaku itu. Tapi, bagaimana keluarga anak tetanggaku yang dipukulnya.

“Itu urusan aku,” katanya singkat.

Rupanya, pak Arif, intel senior berpangkat kompol itu didaulat sebagai juru damai entah oleh siapa, apakah keluarga, Daeng Gassing tetanggaku si pemukul anak kecil yang berkelahi dengan anaknya dan berkelahi pula denganku karena tak ingin aku melerainya kala ia memukul anak tetanggaku itu, ataukah, pak Arif ditugaskan khusus oleh komandannya setelah mempelajari kasus ini secara seksama atau pun ada permintaan khusus dari keluarga besar, Daeng Gassing untuk berdamai, sebab kami dari tiga rumpun keluarga yang telah lama bertetangga tak mungkin dalam sengketa berlama-lama. Sebab, selama ini kami semua di kampung ini sangat rukun dan damai. Entah, setan apa yang merasuki, Daeng Gassing sampai ia membela anaknya mati-matian sehingga mata hatinya tertutupi ego dan emosi yang cukup akut.

***

Dinihari jelang subuh, ayahku datang lagi menyambangiku, tapi, kali ini ia tak lagi bermuka masam dan tampak sedih. Tapi, melempariku senyum walau hanya senyum tipis dan sedikit ekspresi senang tanpa kata kecuali gerak gesture tubuhnya. Mungkin karena masalahku dengan, Daeng Gassing tetanggaku dan anak tetanggaku yang dipukulnya dan kupukulnya pula hingga pingsan telah selesai dan hubungan kami cair seperti sediakala sebagai tetangga.

“Bagaimana masalahnya dengan, Daeng Gassing, Daeng?”

Adik bungsuku menanyaiku, kala menyambangiku bersama istrinya setelah sekian pekan tak mendengar kabarku, sejak aku meninggalkan rumahnya untuk semedi dan berinstrospeksi serta mencari inspirasi jalan keluar dari masalah yang kuhadapi.

“Alhamdulillah sudah kelar, dik.”

“Pak Arif, intel senior di Polres telah menfasilitasi perdamaian tiga keluarga bertetangga yang bersengketa. Kami menandatangani surat damai di atas kertas bermaterai yang di saksikan langsung kapolsek dan Wakapolres,” jelasku panjang lebar.

“Alhamdulillah,” seru adik bungsuku hampir bersamaan dengan istrinya. Wajah cemas tadi spontan berubah berseri setelah mendengar penjelasanku.

“Eh..ngomong-ngomong, adik menyimpan foto ayah?”

“Kayaknya tidak ada, Daeng.”

“Nanti saya cari dulu di almari, Daeng,” timpal Aminah, adik iparku yang baik hati yang karib kusapa Mina.

“Iya, tolong cari ya, karena aku telah mencarinya juga dan belum kutemukan, sejak rumah Ibu kebakaran beberapa tahun silam itu.”

Setelah santap siang bersama, jelang sore adik bungsuku dan istrinya berpamitan. Mereka berdua memang bila menyambangiku tak pernah bermalam semalam pun. Mungkin karena ternak dan ladangnya tak ada yang jaga dan dia tidak mau mempercayakan pada tetangga dan keluarga lainnya. Kecuali ada hajatan penting keluarga di kota, itu pun paling banter yang bermalam hanya istrinya.

Ayahku, sosok yang sangat baik dan bijak. Bukan hanya di keluarga kami, pun oleh tetangga dan masyarakat sekampung sangat menghormatinya. Beliau sangat peduli dan memiliki rasa empati yang tinggi pada sesama, walau tak memiliki harta melimpah. Bila ada yang butuh pertolongannya, tak menunggu komentar ba bi bu, ia langsung mengulurkan tangan dan dirinya langsung membantu. Salah satu kebiasaannya yang sulit dilupakan para tetangga adalah, setelah menunai salat subuh di masjid kampung dekat rumah, ayahku berkeliling kampung menyapa setiap orang yang ditemuinya, menurutnya, itulah jalan silaturrahim yang paling enteng dan murah. Sehingga, beliau digelar walikota oleh orang-orang sekampung, mungkin karena gandrungnya bersilaturrahim dan sukanya menolong orang yang butuh pertolongannya.

***

Sudah seminggu ini, aku mengunjungi beberapa rumah keluarga dekat tapi tak satu pun yang menyimpan potret ayah. Walau rupanya tak pernah lekang dari ingatanku hingga garis dan gurat-gurat wajahnya. Hampir semua keluargaku mengatakan diantara kami bersaudara sekandung yang terdiri dari tujuh orang, akulah yang paling mirip dengan ayah termasuk wajahnya. Entah kenapa, beberapa minggu belakangan ini aku sangat merindukangannya, sangat ingin memandangi potretnya, tapi setelah kucari ke beberapa tempat di rumah-rumah keluarga, tak satu pun yang menyimpannya termasuk di rumah kakak dan adikku.

Hingga suatu pagi aku mengunjungi seorang kawan pelukis, dan membawakan potretku padanya, tapi yang kusuruh lukis adalah wajah ayahku. Temanku itu sedikit agak bingung. Tapi setelah kujelaskan untuk melukisnya dalam usia tujuh puluh tahun tapi dengan dasar potretku yang masih berusia awal empat puluhan tahun. Temanku Sang pelukis itu akhirnya bersedia juga.

Lebih dari sebulan lamanya, setelah berkali-kali memperlihatkan lukisan itu pada kerabat dekatku untuk mecocokkan gurat wajah ayahku dalam lukisan itu, barulah rampung. Bolak balik dari kerabat satu ke yang lainnya. Perubahan dan goresan kecil sesuai saran dan masukan dari keluarga.

Aku menyampir lukisan potret ayahku di ruang tengah agar aku dapat memandangnya lebih mudah dan leluasa. Sebab, ruang tengah di rumahku ini selain tempat ngasoh bila suntuk dan lelah dalam bekerja, juga di salahsatu pojoknya adalah ruang tempatku bekerja dan memungut serta menenun inspirasi.

Di suatu malam, setelah suntuk dan lelah seharian mengurus pernikahanku yang kedua, setelah aku ditinggal mati istriku beberapa tahun silam. Aku tertidur lelap di sofa ruang tengah pas di atas potret lukisan ayah tersampir. Lagi-lagi ayah datang menyambangiku. Kali ini ia datang tidak sendiri, tapi menggandeng almarhum istriku dengan senyum semringah dan keduanya mengangkat jempolnya.

Tidurku bahagia, tidurku riang, keduanya kupeluk erat dengan rindu yang buncah.

Itulah ayah, sejak mangkat lebih dari sepuluh tahun silam tetap selalu datang menyambangiku dalam beragam rupa dan ekspresi. Bila aku bermasalah dan berlaku buruk, maka ayahku datang dengan rupa dan wajah ringis dan sedih. Bila aku secara intens melakukan kebajikan membahagiakan orang-orang di sekitarku maka ayahku akan datang dengan wajah berseri dan berbagi senyum semringah dalam waktu panjang.

Pernah suatu malam jelang subuh, ayahku datang menyambangiku, dengan telanjang dada tak mengenakan baju dengan ekspresi gigil kedinginan dan sepertinya ia meminta tolong padaku untuk mengenakan bajunya atawa pakaian karena kedinginan. Aku terbangun kaget dan berpikir cepat dan jauh. Apa gerangan yang telah kulakukan atau kulalai melakunya sehingga ayahku datang dengan rupa dan eskpresi seperti itu. Setelah sejenak berpikir dan berwudu. Barulah kusadari, bila hampir sebulan ini karena sangat sibuk aku selalu lalai mengirimkannya shalawat dan al fatihah untuk setiap kali usai menunai salat lima waktu.

Makassar, September 2017.

Daeng : panggilan untuk orang yang dituakan pada suku Bugis dan Makassar.

 

Sumber gambar: http://paharulgol.com/deviantart-abstract-art/deviantart-abstract-art-non-parlarne-mai-agnes-cecile-on-deviantart/

 

Butta Toa Butta Literasi (Memantik semangat dari Desa Labbo)

Tentu bagi sebagagian besar pegiat literasi sangat familiar dengan kisah Jhon Wood yang hidup di abad ini. kisah hidupnya yang sangat menginspirasi dan menggerakkan banyak orang di planet Bumi ini. Tersebutlah seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun dengan posisi mentereng di sebuah perusahaan yang mentereng pula. Dialah Jhon Wood, yang posisi terakhirnya di Microsof sebagai salah satu Direktur untuk wilayah Asia Pasifik yang berkantor di pusat keriuhan Kota Hongkong.

Kala suatu waktu di tahun 1998, dia mengambil cuti tahunannya dan berlibur ke sebuah desa terpencil di Himalaya yang akhirnya mengubah jalan hidupnya dengan sangat ekstrim. Dari pengembaraanya saat liburan itu, Ia menemui beberapa guru dan mengunjungi beberpa sekolah, menyaksikan sekolah-sekolah yang tidak memiliki buku. Dari situlah bermula perubahan itu. Setelah pulang dari berlibur Ia mengirim e-mail ke teman-temannya secara terbatas meminta buku-buku bekas untuk disumbangkan ke sekolah-sekolah di daerah terpencil yang telah dikunjunginya itu.

Alhasil lelaki penyuka traveling atawa berwisata ke daerah-daerah terpencil itu, resign dari tempatnya  kerjanya dan mendirikan sebuah organisasi nirlaba bernama Room to Read. Dari keputusannya yang ekstrim itu, hingga konon pacarnya yang hendak Ia nikahi tak lama lagi memutuskannya dan meninggalkannya. Untungnya keluarga dekatnya cukup mendukungnya sehingga beberapa tahun setelah resign dari kantornya dan memilih bekerja sebagai social worker, membiayai gerakannya dari tabungannya dan support dari keluarga dan teman-temannya, membuahkan hasil yang mengagetkannya.

Sebab, hanya beberapa tahun kemudian Room to Read mengalami perkembangan sangat pesat yang jauh dari dugaannya sendiri. Bantuan buku dan dana mengalir tiada henti ke rumah yang sementara dijadikan sebagai kantornya dan rekening lembaga nirlaba yang Ia bangun itu. Dalam usia sebelas  tahun terakhir, Room to Read, telah mendirikan perpustakaan di pelosok beberpa negeri sebanyak dua belas ribu perpustakaan. Menerbitkan lebih dari sepuluh juta buku, dengan penulis lokal dan dalam bahasa lokal pula. Mendirikan lebih dari seribu lima ratus sekolah, dan mendukung lebih dari tiga belas ribu anak perempuan untuk menyelesaikan studinya di sekolah menengah atas.

***

Suatu pagi jelang siang saya mengunjungi sahabat saya di tempat semedinya begitu Ia kerap membilangkannya. Sebuah toko buku di bilangan Jalan Perintis Kemerdekaan, tepatnya di kompleks Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Bila hendak mengunjunginya harus kusiapkan waktu yang sangat luang, sebab berbincang dengannya membutuhkan waktu yang panjang apatah lagi bila membincangkan gerakan literasi, sepertinya waktu tak pernah cukup. Begitulah, kala hari jumat itu aku kembali mengunjunginya di pagi jelang siang. Dalam perbincangan kali ini, di samping mengabari padaku tentang beberapa rumah baca baru yang dirintis kawan-kawan di beberapa Desa di Bantaeng serta geliat dan semangat gerakan literasi di Butta toa itu yang semakin moncer. Dan yang sangat specsal pertemuaku kali ini adalah, aku diberi sebuah buku yang berjudul, Literasi Dari Desa Labbo.

Hatiku berbunga-bunga menerima buku itu. Setelah kubuka-buka dan mendaras beberapa tulisan dan pengantarnya, aku semakin yakin bahwa kelak Kabupaten Bantaeng ini adalah salah satu kabupaten pemantik gerakan literasi di Indonesia dengan berbagai dinamikanya. Dan bersyukur pula bahwa kabupaten ini telah di karuniai dua pemimpin yang gayung bersambut, pemimpin muda, cerdas dan sangat peduli. Dari Nurdin Abdullah ke Ilham Azikin.

Buku Literasi Dari Desa Labbo adalah sebuah buku pemantik dari Desa Labbo yang diharapkan menularkan virusnya ke desa-desa lainnya. Substansi isinya cukup variatif. Buku itu bercerita mulai dari sejarah Desa Labbo dan dinamika pembangunannya, hingga cerita-cerita rakyat Desa Labbo itu sendiri.

Setahuku di negeri ini, baru Desa Labbo inilah yang memulai gerakan literasinya menyusun sebuah buku yang penulisnya dari warga desa itu sendiri. Gol A Gong, seorang penulis produktif di negeri ini pernah menghimpun banyak tulisan dari komunitas literasi yang dia bangun dengan judul Gempa Literasi, dari kampung untuk Nusantara dan bukunya walau cukup tebal dengan harga yang cukup “mahal” tapi tetap laris manis di pasaran.

Bedanya, adalah komunitas yang di bangun dan dirintisnya lama bersama para penulis yang relative sudah jadi, tapi Desa Labbo melahirkan penulis dari warganya yang tulen warga desa, yang relatif belum begitu lama bersentuhan dengan gerakan literasi. Semangat dan dedikasi kepala Desa dan warganya perlu diapresiasi, apatah lagi konon gerakan literasi yang dibangunnya juga menggunakan dana desa yang sedang moncer-moncernya ke seluruh desa di negeri ini, di tengah banyaknya kepala desa yang tidak tahu hendak diapakan atawa bagaimana menghabiskannya dan bermanfaat untuk pembangunan dan warga desanya, makanya tidak sedikit kepala desa saat ini yang bersoal dengan hukum karena keliru dalam menggunakan dana desanya dan berujung ke bui, entah Ia sengaja atawa tidak.

Aku juga pernah diundang ke kabupaten yang berjuluk Botta Toa ini, untuk sharing dengan kawan-kawan pegiat literasi di sana berkenaan dengan literasi dan pernak-perniknya terkhusus tentang kepenulisan. Respon dan semangat kawan-kawan di sana memang sangat hangat sebagai sebuah indikator bahwa gerakan literasi di kabupaten ini bak ketemu buku dan ruasnya. Tidak hanya warga dan generasi mudanya, tapi juga pemerintahnya sangat well come  sehingga semua stakeholder padu padan mengawalnya.

Tentu moncernya gerakan literasi di Butta Toa tidaklah terjadi secara kebetulan, tapi juga melalui proses panjang yang tidak mudah dan sederhana namun ada seorang pekerja keras yang sangat kuat keinginan dan dedikasinya. Setahuku gerakan literasi di Kabupaten Bantaeng sebagai tempat lahir dan tumpah darahnya ini telah dirintisnya sejak beberapa tahun silam. Berupaya sekuat tenaga memprtemukan dan mempersatukan ruas-ruas dan tulang-tulang yang berserakan.

Waktu akhir pekannya yang mestinya untuk keluarga dihabiskannya untuk menongkrongi dan mengawal gerakan literasi di kampungnya. Tokoh itu sahabat saya sejak mahasiswa yang aku kenal memang ulet untuk sesuatu yang ditekuninya. Kerja-kerja gerakan literasi yang ditekuninya sejak bertahun-tahun lamanya kerap pula dibilangkannya sebagai gerakan atawa kerja-kerja altruist. Gerakan sukarela yang tulus untuk kepentingan banyak orang. Semoga dengan hadirnya buku Literasi Dari Desa Labbo menjadi pemantik semakin moncer dan meluasnya gerakan literasi di Butta Toa khususnya dan tidak menutup kemungkinan merambahi kabupaten-kebupaten lainnya di Sulawesi selatan dan Indonesia.

***

Hari jumat, usai salat magrib, barulah aku meninggalkan tempat semedi sahabtaku ini. seharian duduk berdua membincangkan gerakan literasi, dari merintis taman baca baru hingga kepenulisan dan melahirkan buku baru sebagai bagian dari gerakan literasi yang kami tekuni selama ini. ketika masuk berbincang pada tema-tema kepeloporan merintis pendirian taman baca di kampung kami masing-masing, di situ tergelitik kecemburuan melandaku, sebab aku jauh tertinggal, dan sekaligus kujadikan pemicu untuk selalu bersemangat, berupaya melakukan rintisan pendirian rumah baca dan melakukan gerakan literasi di kampungku yang sebenarnya juga telah kurintsi walau hingga saat ini masih berjalan belum signifikan.

Temaram senja menemani perjalananku kembali keperaduanku. Hatiku lapang dan segudang inspirasi menemaniku pulang. Seperti itulah setiap kali usai berbincang dengan sahabatku itu. Makanya, untuk menemuinya selalu kusiapkan waktu panjang agar banyak yang bisa kuserap dalam setiap kali pertemuan itu. Di Dunia ada Jhon Wood dengan Room to Read-nya, di Jawa Barat ada Gol A Gong dengan Forum Taman Baca Masyarakat-nya , di Butta Toa dan Sulawesi Selatan ada Sulhan Yusuf dengan Bank Buku Boetta Ilmoe-nya.

***

Di ketinggian 7000 meter dpl desa-desa di Himalaya, pada sepuluh tahun berdirinya Room to Read, Jhon Wood, memboyong Ibunya tercinta, Carolyn ke desa itu untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 79, sebagai bentuk kesukuran yang selama ini mendukungnya dalam berbagai hal. Persis kala Jhon Wood membantu merintis pendirian perpustakaan sekolah di Nepal yang ke sepuluh ribu dalam tenggak waktu sepuluh tahun gerakan literasi yang dirintisnya. Ah.. indah sekali.

 

Makassar, Februari 2019.