Semua tulisan dari Abdul Salman

Alumni UNM. Anggota Front Mahasiswa Nasional (FMN). Sekarang aktif di kelompok tani.

Manfaat Menjadi Aktivis Tani? Ini Jawabanku

Menurut saya tidak adil jika menjawab pertanyaan kawan Nuni secara langsung — lisan — saat dia (baca; Nuni) menitip pertanyaanya melalui Yulia Qurani. Pertanyaanya seperti ini, “Apa manfaat bagi saya (Abdul Salman) , dan kenapa harus memilih kerja seperti itu?”

Pertanyaanya tersebut memanglah khusus buat saya, tapi menurut penerawangan masih banyak di lingkaran teman saya juga punya pertanyaan serupa dan belum siap menanyakan ke saya. Supaya tidak mengulangi pertanyaan serupa, penting kiranya menjawab hal ini lewat ruang paling pribadi dimana saya bebas menuangkan gagasan yaitu melalui tulisan.

Pertama izinkan saya menjelaskan apa, bagaimana, kenapa saya memilih pekerjaan ini dan apa manfaat (Income : gaji) bagi saya dari pekerjaan ini.

Sekarang saya berkerja di Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). AGRA adalah organisasi tani nasional berdiri secara resmi pada tahun 2004 sebagai karya bersama dan terbaik dari kaum tani di bawah tindasan Orde Baru Suharto, dari mereka yang berani mempertahankan tanah dan harta terakhirnya dari perampasan tanah oleh perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta, pertambangan besar, proyek konservasi, dan proyek infrastruktur. AGRA beranggotakan kaum tani miskin dan buruh tani, suku bangsa minoritas (SBM), nelayan miskin, pemukim dan penggarap yang tinggal di tengah dan sekitar area hutan. AGRA tersebar di 18 provinsi Indonesia.

AGRA mempromosikan dan memperjuangkan hak petani, nelayan dan sukubangsa minoritas untuk keadilan pengelolaan sumberdaya alam agar mencapai kesejahteraan. Kegiatan utama AGRA adalah riset, penguatan komunitas, kampanye, advokasi kebijakan, dan memperkuat kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan, LSM, baik di tingkat nasional maupun Internasional, serta bekerjasama dengan lembaga negara demi terwujudnya reforma agraria sejati dan industrialisasi nasional sebagai dasar utama kemajuan rakyat dan bangsa Indonesia
Penjelasan di atas sudah mewakili dua pertanyaan yaitu apa pekerjaan saya dan bagaimana cara kerjanya. Tapi perlu dijelaskan bahwa, saya tidaklah seperti tokoh legendaris, seorang revolusioner, dokter, pengarang, pemimpin gerilya, diplomat dan pakar teori militer Marxis Argentina. Dia adalah Che Guevara. Sebagai pelajar medis muda, Guevara menjelajahi seluruh Amerika Selatan dan menyoroti kemiskinan, kelaparan dan penyakit yang ia saksikan. Sikap sinisnya terhadap kaum borjuis membuatnya terpanggil melawan segala bentuk ekploitasi oleh Amerika Serikat terhadap Amerika Latin. Dimulai sejak keterlibatannya dalam reformasi sosial Guatemala melengserkan kepemimpinan Presiden Jacobo Árbenz. Karena saya hanya seorang sarjana pendidikan khusus dari Universitas Negeri Makassar.

Agak mirip dengan alasan nurani Che Guevara. Saya terpanggil untuk ikut serta dalam perjuangan ini setelah melihat dengan jelas bahwa kemiskinan bukanlah takdir melainkan sistem kapitalisme monopoli yang menciptakannya. Mengetahui perampasan upah kerja hasil keringat buruh tani yang tak bertanah oleh tuan-tuan tanah, tidak membuat saya sinis tapi membuat hati saya berontak.

Ditambah lagi bagaimana mungkin seorang buruh pabrik sepatu dibayar gajinya untuk satu bulan sama nilainya dengan dua pasang sepatu yang dibuatnya hanya dalam hitungan 3 jam? Bukankah itu sangat tidak manusiawi ?

Selain itu, pelanggaran hak asasi oleh aparatur kepolisian dan militer, sistem jaminan kesehatan yang riba, kebijakan ekonomi yang tunduk dan patuh pada skema perdagangan global di bawah kepemimpinan imperialisme AS dan membuat banyak masyarakat desa semakin menderita . Beberapa hal di atas masih sama yang dilawan oleh Che Guevara tapi antara saya dan seorang Che tentunya tidak sama. Dan pada persoalan teknis lainnya tentunya sangatlah berbeda. Garis besarnya adalah saya bukan seorang Che Guevara dan ini adalah alasan saya bergabung.

Che Guevara pernah bilang begini, “jika hatimu bergetar melihat penindasan maka kau adalah kawanku.” jadi menurutku kita adalah kawan. Walau hati baru bergetar karena melihat penindasan adalah selemah-lemahnya iman. Bagi saya yang percaya terhadap “mahzab” gerakan perubahan sosial, mungkin takaran iman saya baru naik satu tahapan.

Lalu, apakah orang tua merestui pilihan saya ini. Pada bagian ini saya akui, pekerjaan saya sangat tidak direstui karena tidak menghasilkan gaji.  Pekerjaan kami tidak dibayar dan tidak mendapat donatur sama sekali dari pihak apapun. Sebagai seorang yang harus hidup dalam tekanan tersebut kami harus bertarung hidup untuk mencari alternatif atau pundi-pundi ekonomi lainnya untuk menutupi kebutuhan dan memastikan bisa mengirimi orangtua, saudara yang masih sekolah dan anak — istri bagi yang telah berumah tangga tanpa meninggalkan pekerjaan pokok kami sebagai aktifis tani.

Kesannya saya cukup egois dalam hal menentukan pilihan. Keyakinan terhadap perubahan membuat tekad saya bulat tetap berada dalam garis ini. Sebagai seorang yang yakin atas hukum gerak materi maka segala persoalan pasti terjawab.

Lelucon buat penyejuk hati saat lagi kesulitan dan membahas keuangan kami, tentang kenapa pekerjaan sebagai aktifis tani tidak digaji. Beberapa pimpinan menyampaikan, jika digaji maka akan berlomba-lomba orang yang awalnya anti perubahan mendaftarkan diri menjadi aktivis tani maka perubahan yang dicita-citakan akan segera terwujud. Tapi bagi saya itu cuma klise atas keadaan sekarang.

Bagi saya AGRA tak hanya sebagai organisasi kemasyarakatan. Melainkan universitas yang tidak memiliki ujian semester, hukuman dipecat jika tidak selesai di waktu yang tepat, ijazah, serta angka atas nilai yang menandakan kecerdasan seseorang. Tentunya pengalaman praktik, pengetahuan murni yang didapatkan langsung dari soko guru kehidupan (petani) kita, realitas yang tidak dituliskan dalam buku atau literatur adalah gaji yang cukup tinggi nilainya. Satu manfaat yang tak kalah pentingnya adalah jiwa ini terasa muda terus menerus.

Semoga tulisan ini cukup dan bisa menjawab beberapa pertanyaan yang muncul di benak kawan Nuni dan kawan-kawan lainnya. Semoga terinspirasi dan bisa bergabung dalam gerakan mewujudkan reforma agraria sejati dan industri nasional bagi Indonesia.

Demokrasi dan Jurus Lupa Ingatan

Sadar tak sadar, ingat tak ingat, dan benar-benar lupa, kalau kata demokrasi yang sering diungkapkan dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat benar adanya. Buktinya ada saat pemilihan legislatif, bupati, gubernur dan presiden. Tak lupa juga pemilihan kepala desa, ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), ketua Himpunan Mahasiswa serta yang sama makna dengannya.

Begitu nyata demokrasi itu wujud di tengah-tengah rakyat Indonesia. Tak hanya itu. Demokrasi a la borjuasi ini setelah berhasil dilaksanakan seperti makna demokrasi seutuhnya, pasca pemilu maka otomatis kata demokrasi tadi diubah pula maknanya. Saya memilih dua kata demokrasi dan amnesia, atau bisa disingkat “demokramnesia” – demokrasi lupa ingatan.

“Demokramnesia”, menarik bukan? Istilah ini spontan muncul di akal saya saat berusaha menulis kalimat pelengkap pada paragraf penutup kedua.

Kembali ke poin pembahasan bahwa, demokrasi yang telah dilaksanakan saat ‘pemililihan raya’ tadi hanya berlaku saat memberikan suara saja. Percaya atau tidak? Coba saja ingat kembali. Bagi yang setia dengan bilik suara pasti bisa rasakan dengan baik penghianatan demokrasi yang berubah wujud tadi.

Lebih parah lagi, penguasa yang terpilih berkat demokrasi tadi, lebih suka amnesia. Lupa terhadap janji, lupa terhadap program prioritas yang gencar disebarluaskan saat kampanye. Lupa merupakan sifat dasar manusia. Saya maklum. Kurang tau bagaimana pendapat pembaca sekalian tentang memaknai kata lupa.

Jurus lupa ingatan penguasa semakin terang benderang digunakannya saat menaikkan tarif dasar listrik 200% menjelang akhir juli ini. Mereka lupa kalau mayoritas rakyatnya bukanlah orang yang memiliki kekayaan mentereng serta tidur menggunakan “bantal rupiah”, melainkan batu-bata merah hasil keringatnya yang belum laku terjual.

Naiknya biaya kuliah di perguruan tinggi negeri dan swasta tak terkendali dalam lima tahun terakhir, namun tidak dibuka lapangan pekerjaan yang layak untuk menjamin masa depan yang sejahtera. Bukankah ini praktek demokramnesia?

Tidak adanya kontrol atas harga barang di pasaran adalah bentuk lupa ingatan penguasa. Bagaimana tidak, saat keperluan dapur sangat dibutuhkan khususnya bulan ramadan dan lebaran kemarin harga sembako melonjak naik. Apakah penguasa lupa Inspeksi Mendadak (SIDAK) karena berpuasa saat ramadan, atau sedang istirahat efek pusing karena kolesterol sedang naik pasca lebaran Idul Fitri.

Upah layak yang diperjuangakan oleh buruh, pekerja, pekerja profesional dan lain sebagainya sering dilupakan. Walau puluhan ribu buruh melakukan aksi untuk menuntut upah layak untuk kesejahteraan hidupnya serta kebebasan berserikat, penguasa gampang lupa ingatan atas tuntutan buruh tininmbang kesepakatan penguasa dengan pengusaha yang merampas nilai lebih dari buruh.

Demokrasinya borjuis otomatis pula untuk para borjuis. Jadi masih berharap dengan demokrasinya para penguasa tersebut?  Saya cuma bertanya, ini bukan provokasi.

Selain jurus mabuk, saya amati penguasa saat ini lebih suka menggunakan jurus lupa ingatan. Karena lupa bisa juga diartikan khilaf dan manusia tempatnya salah dan lupa. Percaya atau tidak, demikianlah pengalaman saya pribadi. Jika ada kesamaan cerita, alhamdulillah. Jika tidak ada, istighfar sebanyak-banyaknya karena mungkin Anda mengalami “demokramnesia”

Disabilitas Bagian dari Rakyat Tertindas

Minum kopi punya kejutan tersendiri. Beberapa hari lalu, saat bernostalgia dengan kawan alumni ketua Perhimpunan Mahasiswa Ortopedagogik Indonesia dari Universitas Negeri Jakarta langsung  berdiskusi singkat tentang perjuangan disabilitas demi kesetaraan yang cukup lama diperjuangkan.

Kami mendiskusikan persoalan arah perjuangan yang diusung selama ini.

Beberapa hal yang kami sepakati bahwa masih tingginya tindakan heroisme dari kalangan mahasiswa PLB dalam menyikapi isu disabilitas di Indonesia. Perjuangan untuk menghilangkan diskriminasi dan kesenjangan yang ada pada masyarakat Indonesia yang sering berdiri sendiri tanpa solidaritas dari organisasi lain khususnya organisasi penyandang disabilitas.

Terpisah dari kesadaran politik tentang penyandang disabilitas, mahasiswa PLB  –sama halnya saat saya berstatus mahasiswa- tetap melakukan kampanye tanpa pernah mengajak atau melibatkan langsung penyandang disabilitas. Penilaian subjektif kami bahwa perjuangan ini seperti bertepuk sebelah

Terlepas dari hal bahwa kesadaran politik penyandang disabilitas secara umum sangat rendah karena tidak adanya tesis yang bisa jelaskan secara ilmiah bahwa kaitan antara hak pendidikan yang segera diraih dan pasca pendidikan yang tidak pernah dikampanyekan cukuplah berdampak pada masa depan penyandang disabilitas secara umum.

Selama ini gerakan yang dibangun hanyalah mengunakan bingkai untuk menarik simpati, tapi tidak untuk memaksimalkan pemenuhan hak secara ekonomi politik.

Mahasiswa umumnya masih sibuk kampanye persoalan diskriminasi dari segi pendidikan atau label yang menyebabkan mereka termarjinalkan tanpa ada riset ilmiah tentang kesadaran masyarakat luas bahwa keberadaan penyandang disabilitas merupakan tanggung jawab bersama untuk dipecahakan. Karena jika hal ini dilihat dari aspek ekonomi politik maka segera akan terang pula kita melihat akar persoalannya.

Menegasikan kehidupan penyandang disabilitas pasca sekolah atau setelah mendapatkan pendidikan di instansi yang selayaknya tidak juga mampu menjawab persoalan pokok kehidupan

Misalnya ranah kajian mahasiswa pendidikan luar biasa sangat khusus seputar pendidikan saja. Dalam sekian kasus yang ada, sering melupakan kemandirian hidup seorang penyandang disabilitas. Jika mengacu persoalan tersebut pandangan pendidikan tersebut cukup kaku karena penilaian kita menganggap dengan mendapatkan pendidikan atau berkat jenjang pendidikan yang ditempuh maka masa depan seorang penyandang disabilitas akan terjawab dengan sendirinya.

Dalam diskusi singkat tersebut kami menyepakati kalau umumnya intelektual atau akademisi dalam kampus menganggap isu disabilitas adalah isu yang cuma tersentral di perkotaan semata dan melupakan keberadaan penyandang disabilitas di desa-desa atau pelosok yang pastinya masih kental dengan budaya mistis.

Sebagai seorang alumni PLB ada beberapa kritik terhadap kurikulum saat di bangku kuliah. Pertama, bahwa mendudukkan pendidikan bagi penyandang disabilitas adalah kunci untuk mendapatkan kesetaraan adalah benar namun kurang tepat, karena jika kita menggunakan pendekatan ekonomi politik dalam melihat secara holistik tentang permasalahan disabilitas justeru akan memunculkan sintesis bahwa faktor ekonomi yang sangat mempengaruhi seorang penyandang disabilitas untuk mengakses pendidikan. Tidak berhenti sampai di situ pasca mengenyam pendidikan juga seorang penyandang disabilitas pastinya akan kembali ke ranah ekonomi produksi untuk kelangsungan hidupnya. Di sini yang menjadi kritik bahwa isu pendidikan bukanlah jalan keluar utama untuk mengejar kesetaraan melainkan soal ekonomi yang menjadi faktor determinan bagi penyandang disabilitas untuk tetap bisa bertahan hidup.

Kedua, kritik dalam aspek sosial di dunia kampus kurangnya riset atau kegiatan yang diupayakan untuk meleburkan sekat antara pendidik dan pelajar untuk mendiskusikan persoalan disabilitas dalam semua aspek secara komprehensif. Khususnya melakukan penelitian bersama untuk menemukan masalah serta memcahkannya bersama lalu diseminarkan ke pemerintah setempat sebagai upaya kampanye tentang persoalan yang mendasar bagi disabilitas dan meminta pertanggungjawaban negara untuk memenuhi hak dan melindungi kelompok rentan seperti disabilitas agar terjamin kehidupan masa sekarang dan masa akan datangnya.

Selain kritik kami juga melakukan otokritik terhadap gagasan yang cukup dan saat ini saja baru kami pikirkan yaitu untuk menjawab persoalan disabilitas perlunya kemitraan yang baik kepada organisasi non pemerintah skala nasional maupun internasional sebagai upaya memassifkan kampanye di segala tingkatan.

Demikian juga memasukkan isu disabilitas kepada organisasi yang konsisten memperjuangkan hak rakyat indonesia lewat beraliansi.

Karena isu disabilitas adalah isu yang cukup penting atas tidak adanya jaminan hidup yang layak bagi semua rakyat indonesia khsusnya penyandang disabilitas.

Ide dalam tulisan ini adalah refleksi lewat praktek advokasi perjuangan untuk mendapatkan aksesibilitas di suatu kota yang cukup panjang dan sangat heroik di mana aksi yang dilakukan sering berdiri sendiri tanpa adanya dukungan atau solidaritas dari organisasi rakyat yang juga sedang berusaha menuntut hak-haknya. Jika ditinjau secara seksama dukungan organisasi rakyat tertindas lainnya cukup berpengaruh untuk memperluas kampanye dan bersolidaritas dalam memenuhi tuntutan penyandang disabilitas selama ini.


sumber gambar: temuinklusi.sigab.or.id

Perpecahan: Doa di Media Telah Dikabulkan Tuhan

Belakangan ini perdebatan tentang benar dan salah masih marak sekali di media sosial. Benihnya adalah dinistakannya surah Al Maidah oleh gubernur DKI Jakarta beberapa bulan silam.

Perubahan corak diskusi di media sosial dari yang hanya mengkritisi kebijakan pemerintah dan mendukung pemerintah, serta isu terorisme berubah menjadi perdebatan saling mengkafirkan. Seolah kalau di negara ini hanya satu agama yang baik dan lupa saling mengajak untuk kebaikan.

Semua kalangan merespon dengan tanggapan yang beragam. Nuansa negatif sedang menjuarai lini masa. Hal tersebut tak dapat dihalangi oleh pemerintah Indonesia sebagai pemegang kendali atas negara, walau respon yang sedang banyak itu dianggap akan memecah belah kesatuan. Kini mulai nampak kalau perpecahan itu ada dan sedang ramai-ramainya dikampanyekan di media masa.

Negara tidak mampu dan tidak akan mau untuk menghalangi ingar bingar di media sosial.  Pemerintah Indonesia  yang dipenuhi oleh kalangan pemikir liberal dan konservatif memahami bahwa klas sosial dengan pengetahuan yang beragam pula harus dipertahankan agar kontradiksi tidak menyentuh persoalan pokok -tanah dan upah yang dikuasai borjuasi nasional- yang mana jika itu terjadi akan menganggu stabilitas internal penguasa (pemerintah dan komprador)

Malangnya mereka yang dalam keseharian “mengikat perut” tampil dengan percaya diri menjadi kritikus ulung yang sibuk adu argumen tanpa coba hadir meramaikan dan berkonsultasi dalam  kajian-kajian keagamaan tentang hakikat manusia dan agama yang diyakininya. Umumnya juga berada di klas sosial bawah.

Di media sosial ramai menjadi kritikus ketiga.  Dalam kasus penistaan ahok misalnya.  Ahok menjadi objek utama dan dikritik oleh fundamentalis yang nyaring menyuarakan kekafiran.  Lantas muncul kritikus ketiga mengkritisi para fundamentalis menggunakan 70% teori dari buku tokoh agama dan 30% hadits yang diyakini oleh penulis dari tokoh yang tadi juga.  Malah banyak yang langsung menggunakan asumsi pribadi seperti saya saat menulis ini.

Media sosial menjadi tempat para orang suci dan dari klas sosial yang sama saling mengkafirkan. Melupakan persoalan pokok yang harusnya dibahas bersama karena telah merampas perlahan kesejahteraan dari kehidupannya dan menjauhkan mereka dari sikap hidup istiqomah, malah tak ada niat langsung memburu mutmainnah.

Kini yang dipupuk dalam media sosial hanyalah prasangka buruk dan saling mencari dukungan untuk membenarkan. Saya melihat peran media sosial telah menjadi dogma yang cukup laten dalam mencerahkan pemahaman orang yang masih bersandar pada kebenaran tunggal, juga cukup kuat ledakan atas perkara yang memudaratkan pengetahuan dan keimanan.

Dari kejadian penistaaan tersebut, seolah negara hadir sepenuhnya sebagai representatif atas tegaknya keadilan yang selama ini dirindukan, walau gejala tegaknya hukum juga sangat identik terhadap golongan mana yang sedang diperjuangkan hak-haknya. Di sini basis struktur juga diabaikan dan yang kelihatan kerangka dari antropologi kekuasaan di Indonesia semata.

Antara penistaaan agama dan pengaruh sosial media yang tidak ada filterisasi terhadap arus wacana serta hadirnya negara dalam memediasi aspirasi dari dua kutub yang sedang berkontradiksi telah berhasil melupakan kontradiksi pokok yang dialami masyarakat Indonesia di klas sosial bawah.

Mereka melupakan kalau kemiskinan adalah penyebab kekufuran. Negara berhasil menjerat seorang penista agama pun kita tau kalau kemiskinan tetap terjadi.

Di sinilah identitas telah bias dari substansi dari individu. Negara telah berhasil merubahnya menjadi hal yang semakin abstrak. Media sosial jadi medan adu kelincahan kritik tanpa implementasi. Kesucian dan kekafiran sesorang diukur dari bingkai kalimat yang dituliskan di setiap status pribadinya bukan dari seberapa sering beribadah dan bersedekah. Malah media sosial bisa menggunakan foto dan caption untuk menjelaskan kebaikan atau keburukan yang sedang dilakukan seseorang.

Hasil dari aksi demonstrasi yang dikomandoi oleh ormas FPI beberapa bulan lalu diindikasikan memecahbelah kesatuan indonesia mulai terjawab. Seperti boomerang yang sedang memburu orang yang melemparnya kini perpecahan tersebut terjadi. Seruan aksi menolak FPI disebarkan secara luas yang menunjukkan adanya identitas lain yang mulai muncul.

FPI kini tidak bersendirian dalam menambah lagi perpecahan.  Muncul gerakan garis bawah (GMB) yang siap “perang” terhadap aksi yang dilakukan FPI. Jika dirunut rentetan yang awalnya hanya saling hujat di media sosial kini ia mulai berubah menjadi adu jotos.

Saya hanya teringat kalimat yang keuatannya cukup mensugesti saya. Bahwa kata-kata adalah doa dan doa yang banyak diucapkan oleh rakyat Indonesia telahpun diaminkan Tuhan.

Sumber gambar:lelang-lukisanmaestro.blogspot.co.id

Ilmu Astronomi dan Lem yang Aku Hirup

Aku pernah menguasai sedikit ilmu falaq. Sedikit sekali. Sehingga aku menjangakui masa depanku hanya untuk  satu tahun saja. Setahun setelah aku berhenti bergelut dengab ilmu falaq,  malah kehidupanku melambat.  Sangat lambat.  Ada apa,  bisa disimak lebih seksama tulisanku kali ini.

Keberuntunganku mengalahkan logika terhebat saat itu. Jika teman SMA mengatakan aku orang yang mempunyai ilmu cukup mapan dalam bidang perhitungan maka ianya salah besar. Malah teramat salah mengalahkan kesalahnya memilih media yang sarat dengan pemberitaan hoax seperti yang sedang marak sekarang.

Sampai sekarang kemampuan perkalian sebagai dasar perhitungan pun tak bisa aku hafal tuntas. Apalagi menggabungkannya dengan rumus yang penuh simbol-simbol kuno dan berbagai istilah lainnya untuk dapat terbang ke luar angkasa.

Apa karena aku pernah bergelut dengan dunia hitam masa persekolahan. Saking hitamnya ada kelompok di sekolah kami saat itu menamakannya blackheart. Ya, hati hitam. Inilah penyebabnya sampai kulitku pun ikut hitam. Kalian tau lem? Aku salah satu dari sekian banyak pencandunya dulu. Kini aku insaf.

Tidaklah pula tujuan tulisan ini untuk mengkampanyekan kalau lem punya hasil yang positif setelah dihirup. Tidak sama sekali. Melainkan ia meninggalkan kesan negatif. Salah satu efeknya aku menderita kanker (kantong kering) saat mengkonsumsi lem secara rutin. Itu salah satunya.

Migrain dan kantuk yang berlebihan saat belajar dalam ruang kelas juga merupakan efek paling negatif. Khususnya mata pelajaran matematika kantukku tak terbendung. Kalian tau kalau aku sangat kurang senang dengan matematika. Malah mungkin aku bisa digolongkan diskalkulia.  Itu masih asumsi pribadi.

Tapi kalau disebabkan pengakuanku ini kalian akan menghujatku.  Aku tahu, kalian semua suci sedangkan aku penuh dosa. Penuh dosa. Pengakuan ini membantu merawat keawarasanku agar tetap terpelihara dan tidak melakukan kesalahan yang sama.

Namun di balik itu, Lem yang kuhirup rasanya bisa mempercepat imajinasiku menjangkau ruang-ruang di semesta itu. Bahkan sangat cepat dibandingkan kecepatan cahaya. Bahkan bulan pun bisa aku lihat dekat. Sangat dekat. Sehingga diameter, volume,  massa jenis yang ada di bulan bisa aku amati dan pelajari secara baik dan detail. Walau hanya sebatas delusi efek lem. Berkat lem pula aku bisa belajar astronomi dengan baik.

Hubungan antara Ilmu astronomi dan kemampuanku di bidang matematika yang lemah pastilah sangat tak masuk akal, melainkan aku membutuhkan lem. Kalian tahukan yang aku maksud?

Betapa lem itu membantu akselerasi sistem kerja otakku. Membantuku mendekati sembilan planet yang ada di galaksi Bima Sakti sebelum planet Pluto dikeluarkan. Aku juga pernah merasakan berpergian dengan kecepatan cahaya. Semua berkat lem yang aku hirup. Malah aku pernah melihat diriku dijemput ajal. Semua berlaku dengan cepat  di depan mataku di kamar kos. Aku melihat semuanya terjadi. Rohku terangkat dari ragaku. Semua berkat lem yang aku hirup sendirian atau bersama teman kos saat SMA dulu.

Kalian percayakan kalau aku pernah menjadi pencandu lem? Selama satu tahun. Aku siap diwawancarai.

Aku hanya ingin menjelaskan secara tegas kalau lem membantuku melampaui realitas yang terbentuk di ide,  dan lem juga membantuku melampaui rumus matematika dan fisika, sehingga aku bisa bergelar juara Olimpiade Sains Nasional bidang Astronomi tingkat Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

 

Sumber gambar: https://id.pinterest.com