Semua tulisan dari Aedil Akmal

Lahir di Bantaeng, 24 oktober 1994. Pelajar di Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar. Aktivis MEC RAKUS Makassar, dan Peserta Kelas Literasi Paradigma yang mencintai kopi dan buku terutama novel sejarah.

Bahlul, Rumi, dan Dosa Kambing

Aku tak di rumah, ketika Ramadan bertamu. Padahal sudah berjanji bakal temu. Bisa jadi tak ada tahun-tahun lain, aku dengannya jumpa kembali. Menyambutnya penuh rindu. Menjamunya dengan segenap cinta. 

Itu yang aku bilang padanya. Ketika kubujuk melaui doa-doa yang dikirim embun di kaki langit yang teduh dan biru. Atau di subuh hari lalu yang haru nan kudus. Kini ia akan berlalu dan aku masih sibuk dengan diri sendiri.

Rasa-rasanya, aku hanya pamit sebentar saja pada orang di rumah. Ingin ke toko membeli sedikit kebutuhan di sana. Di perempatan jalan, di mana semua orang kerap lupa jalan pulang.

Aku masih sibuk berbelanja, memuaskan semua ingin, saat orang di rumah menelpon dan menanyakan kapan aku pulang menemui Ramadan. Aku bilang, “Tunggu! Sebentar lagi.” Atawa Sekadar mengiyakan celotehnya, agar tak khawatir dan segera mematikan telepon. Sebab kadang-kadang perasaan muak mencuat, jika ia mulai berceramah. Pun sering-sering, aku pura-pura saja tak mendengar dering dan getar telepon di balik saku bajuku. Jauh di kedalaman dadaku.

Rasanya, aku menginginkan semua-muanya. Mengisi setiap inci perutku dengan dunia, yang terlihat seperti sebotol anggur dan roti dengan selai cokelat di atasnya. Aku mau membeli kenikmatan dan menikmatinya sendirian. 

Aku tahu, aku tenggelam dalam ekstasi. Hilang di balik gemerlap pesona dunia yang memabukkan, dan kehibukan pun membawaku jauh dari diriku sendiri. Riuh bujuk rayu kebendaan dan hasrat yang menggairahkan, menutup pintu masuk ke dalam jiwaku, yang entah. Akhirnya, semu menyuburkan nafsu dan hasrat, mengaburkan rasa malu dan sadar.

***

Dewasa ini, dunia dan semua yang enak-enak yang ditawarkannya, hanya membawa kita untuk sekadar memenuhi keinginan-keinginan dan nafsu. Di mana memberi peluang bagi setiap orang, untuk asyik dengan dirinya sendiri.

Yasraf Amir Piliang telah mengatakannya berulang-ulang, yang diguratnya dalam buku Sebuah Dunia yang Dilipat. Sekarang ini, dunia kita, kehidupan masyarakat kita adalah sebuah kondisi di mana di dalamnya hampir semua energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu. Kita sibuk melayani nafsu kebendaan, kekayaan, kekuasaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan, dan kesenangan. Sementara,  kita hanya menyisakan sedikit saja ruang bagi penajaman mata hati. Sejengkal saja lahan menumbuhkan kebijaksanaan, peningkatan kesalehan, dan pencerahan spritiual.

Nafsu menjadi musuh besar manusia, tapi juga bagian esensial dari makhluk Allah Swt. Adanya nafsu, membuat manusia memiliki dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, tidur, dan sebagainya. Namun, nafsu seringkali dimaknai dengan hal-hal yang buruk. Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafsu dimaknai sebagai keinginan, kecenderungan, atawa dorongan hati yang kuat. Pun dapat diartikan sebagai selera atau gairah

Hawa nafsu dalam konsep psikoanalisis Lacan dibedakan dengan kebutuhan kata Yasraf Amir Piliang. “Kebutuhan (need) adalah energi murni organik, seperti dorongan makan, tidur, dan sebagainya. Sedangkan nafsu (desire) adalah energi aktif yang berkaitan dengan proses psikis, seperti dorongan seksual. Nafsu adalah kekuatan pendorong aparatus psikis, yang diarahkan sesuai dengan persepsi tentang sesuatu yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, yang tidak dimiliki oleh kebutuhan.”

Dalam Nanatsu no Taizai – salah satu anime Jepang yang diangkat dari manga Nakaba Suzuki – hawa  nafsu dilambangkan dengan kambing. Nanatsu no Taizai atau The Seven Deadly Sins merupakan anime yang berkisah tentang tujuh kesatria, yang melambangkan tujuh dosa besar.

Dosa kambing atau hawa nafsu, diemban oleh Gowhter. Ia punya kekuatan yang disebut invasion. Kemampuan unik dan spesial yang dapat mempermainkan dan memanipulasi ingatan seseorang. Gowhter sang dosa kambing, dapat menjebak lawannya dengan pikiran mereka sendiri. Yah, begitulah hawa nafsu. Akal dan hati mampu dimanupulasi dan dikuasainya. Manusia yang lebih cenderung mengikuti hawa nafsunya, bakal menampik kata hati dan mengakal-akali segalanya agar masuk akal.

Menariknya, dijadikannya kambing sebagai simbol dosa hawa nafsu dalam Nanatsu no Taizai, senada dengan ungkapan Rumi. Bahwa amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang.  Itulah sebabnya nafsu harus diikat sebagaimana kambing. Lihatlah kambing jika dilepaskan begitu saja. Bakal memantik perang dunia ketiga. Sebab tanaman bunga hias ibu-ibu bisa diembatnya. Kalau ibu-ibu sudah marah, kambing tetangga bisa jadi kambing gulai. 

Sebagaimana kambing, kehendak hawa nafsu harus diikat, diperangi, ditundukkan, dan dijinakkan. Melawan hawa nafsu adalah perang besar bagi manusia, kerana harus melawan diri sendiri. Rasulullah saw., telah mengingatkan kita ribuan tahun lalu pasca perang badar. Sang Nabi Agung bersabda, “Kalian telah pulang dari suatu pertempuran kecil menuju pertempuran yang lebih besar.” Para sahabat bertanya, “Apakah perang yang lebih besar itu wahai Rasulullah?” Sang Nabi Agung menjawab, “Perang melawan hawa nafsu.”

Bagaimana cara melawan hawa nafsu? Sebagaimana dilansir NUOnline, dalam memerangi hawa nafsu, agama memberikan dua senjata serupa rasenggan dan cemeti amarasuli yang paling ditakuti Mak Lampir. Pertama, mengurangi tidur, sebab tidur bisa menjadi sumber yang menutup kejernihan kita dalam menerima cahaya Tuhan. Kedua, melalui puasa. Hawa nafsu laksana api yang berkobar, dan makanan menjadi bahan bakarnya. Api akan terus berkobar, jika secara terus-menerus diberi bahan bakar. Olehnya, puasa menjadi piranti menjinakkan hawa nafsu dalam diri manusia.

“Kehidupan semua Nabi dan Rasul Allah penuh dengan kisah-kisah tentang puasa,” kata Emha Ainun Nadjib. “Baik puasa dalam arti harfiah langsung maupun puasa dalam pemaknaannya yang luas. Bukankah segala perkara yang kita alami bersama selama beratus-ratus abad di muka bumi ini dimulai dan disebabkan oleh baginda Adam as., yang mokel (baca: bucok atau membatalkan puasa secara diam-diam), seharusnya menahan diri tak makan buah larangan itu, tapi beliau memakannya?”

Di titik ini, kita semua banyak mengalami kekalahan telak. Sepanjang hari menahan lapar dan dahaga, Namun, ketika tiba waktu buka puasa, perut-perut kita dicekoki kembali makanan sampai kekenyangan. Ketika puasa, bukannya mengurangi tidur, tetapi tidur sepanjang hari. Ketika menjelang hari lebaran, kita ingin membeli semuanya. Sehingga, tanpa disadari nafsu ingin dipuji, nafsu kebendaan, ketenaran, kesenangan, popularitas, dan sebagainya, mencuat kembali. Bebas tak terkendali.

***

“Puasa itu adalah upacara korban, ia adalah kehidupan bagi jiwamu, Bahlul. Marilah korbankan badanmu, karena jiwa telah datang menjadi tamunya.” Senandung Rumi di sela-sela relung renung, akhirnya membangunkanku dari lamunan. Barulah kusadari lelah mulai menjarah raga dan sukmaku. Aku lalu menepi di sudut toko yang sepi, mengais-ngais kelesah yang entah. Duduk seperti gelandangan memangku bimbang dan sesal. Bersandar membasuh peluh di hadapan cermin jiwa yang keruh.

Aku duduk sejenak, meraba-raba benak. Merenungi jejak. Membuka pagina kenangan di relung sadar yang tersisa. Dan, tetiba kau datang, Ramadan. Menemuiku di sini yang seperti gembel tak tahu arah. Ingin rasanya aku menghambur dalam pelukmu. Tapi ragu dan malu berdesakan menyesaki dadaku. 

Hening. Suara hiruk pikuk menghilang. Kau pun diam. Menatapku iba. Lalu, mememulukku erat, sembari berbisik lirih, “Aku pulang!”

Aku Ingin Berhenti Jadi Guru

Aku ingin berhenti jadi guru. Menjadi anggota dewan tampaknya bukan pilihan buruk. Bisa perjalanan dinas ke mana-mana pakai uang negara yang hampir bangkrut. 

Menjadi anggota dewan, rada-rada enak. Semua-muanya difasilitasi negara. Bisa berkantor di gedung mewah. Berpendingin. Pantat dimanjakan kursi empuk yang bisa diputar sekehendak jidat. Ya, macam laporan pertanggungjawaban tahunan biar tak ketahuan boroknya.

 Gaji anggota dewan selangit. Belum terhitung tunjangan lainnya dan yang “lain-lain”. Padahal sebagian kerjanya tidur saja kala rapat. Tak bisa adu otak, adu otot.

Tak ayal, kericuhan di ruang rapat kerap menghias ruang tamu yang sumpek. Ditonton jutaan jiwa. Separuh dari mereka adalah anak-anak.

Mungkinkah itu kelakuan paling “bermoral”, yang bisa dicontohkan wakil-wakil rakyat?

“Adakah yang paling memuakkan yang belum dilakukan anggota dewan?” Tohok telak Najwa Shihab suatu waktu.

Pertanyaan yang tak sulit. Tak perlu bantuan fifty-fifty. Rakyat, telah mengunci jawaban masing-masing di kepalanya berdasar hasil pengamatan. Hanya saja di satu sisi, orang-orang di negeri ini tak boleh bertumbuh menjadi manusia pengeluh. Pesimisme harus dipotong sulur-sulurnya. Optimisme mesti dipupuk. Agar kita lebih tabah menghadapi kenyataan-kenyataan pahit bangsa ini.

Perkara kelakuan anggota dewan, percayalah, di balik gulitanya malam, ada kunang-kunang yang masih berupaya berbagi cahaya. Ada wakil rakyat yang baik di balik yang biadab. Yang jujur di antara yang penipu.

Seperti tempo hari di kelas menulis yang kugeluti, seorang anggota dewan dari Butta Toa turut menyata. Beliau penggerak Komunitas Boetta Ilmoe. Maksud kedatangannya, menguatkan peserta kelas menulis dan memberi urita baik. Katanya wakil rakyat Butta Toa, bakal menyambut bola harapan pegiat literasi Bantaeng. Memperjuangkan lahirnya Perda Literasi sebagai payung hukum literasi. Tindakan sederhana yang berdampak besar.

Tindakan kecil macam ini lebih dibutuhkan, karena bisa sedikit menawar kekecewaan dan rasa sakit di PHP. Apalagi bersentuhan langsung dengan rakyat. Tinimbang mega proyek, dengan peletakan batu pertama yang mewah plus acara potong pita. Acara begini ruang terbaik membangun citra, manarik pujian, dan simpati rakyat. Usai pita dipotong, anggaran yang mengucur turut disunat. Proyek terbangkalai jadi bangkai.

Aku juga pernah berpikir jadi kepala desa, kalau tak bisa jadi guru. Mumpung musim pemilihan kepala desa hampir tiba.

Sayang, jadi kepala desa cukup berat. Rakyat turut “berkembang”. Imunitas rakyat berevolusi dengan kondisi sosial politik yang ada. Iklim politik yang kotor memberi trauma mendalam bagi mentalitas rakyat. Mencemari demokrasi. Menodai cita-cita luhur Pancasila.

Serba salah menjadi aparatur negara. Mencoba bermain bersih, rakyat enggan memilih jika tak disuapi. Ala bisa karena biasa.

Attitude hal kesekian yang dipertimbangkan. Duit. Nomor satu untuk satu suara. Meski tak semua, suara pemilih cerdas masih kalah banyak. Rakyat dan aparatur negara, jika ingin perbaiki nasib, perbaiki negara, harus belajar jujur sejak dalam pikiran. Apalagi dalam perbuatan.

Kalau esok aku tak lagi jadi guru, aku ingin jadi petani saja. Sejak dulu, pernah tebersit bakal bertani usai menamatkan kuliah. Apa pasal?

Mencari kerja di negeri yang sumpek ini bukan hal remeh-temeh. Tak semudah mengisap jempol.

Berkali-kali terbuka lowongan pegawai negeri. Tetapi kalau tak pandai jawab soal TIU, TWK, dan TKP, buang jauh-jauh mimpi jadi PNS. Jalan menjadi anggota dewan lebih mulus. Tak perlu soal-soal macam ini.

Pengabdian sebagai guru atau pegawai honorer, meski tahunan lamanya, sampai tua sekalipun, tak bakal dilirik. Orang-orang yang bekerja lebih lama tanpa pamrih, mencerdaskan anak bangsa, disabung dengan sarjana muda yang baru keluar dari kampus.

Di sisi lainnya, kultur pakai “orang dalam” subur di pikiran-pikiran kebanyakan orang. Persaingan jadi tak sehat. Orang dalam jadinya lebih digandrungi dari yang klenik. Imbasnya, lalu lintas perdukunan mulai sepi peminat. Canda.

Tidak adakah tempat untuk pengalaman, kerja keras, dan pengabdian yang menahun, tuan? Andai saja tak bisa diangkat sebagai PNS, jaminlah kesejahteraan kami. Ada periuk yang harus diisi. Anak dan istri yang mesti dinafkahi.

Aku kerap ingin mengeluh sedemikian rupa. Tapi kepada siapa aku bisa mengeluh? Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Mahasiswa sibuk dengan tugas yang menumpuk. Lupa perannya sebagai social of control dan parlemen jalanan. Pejabat- pejabat sibuk berebut kursi.

Adalah Che Guevara, revolusioner yang identik dengan baret berbintang satu, berambut gondrong, yang menasihati kalau ingin bebas jadi petani saja. Dia bersyarah, “Petani itu adalah seorang yang berkeyakinan baik, orang yang bermoral tinggi, dan memiliki cinta kepada kebebasan yang kokoh.”

Petani itu merdeka. Mengatur jam kerja sendiri. Tak diatur bos-bos yang songongnya minta ampun. Meski tak digaji negara, kalau makan di tepi sawah, dengan tahi sapi di kiri kanan, makan teramat nikmat sekali. Tertawa renyah bersama. Berceloteh tentang politik yang semrawut.

Karena itu aku pernah bercita-cita jadi petani. Lagi pula Bapak dan Amma’ petani. Kakek dan nenek petani. Calon mertua juga petani. Jadi, berlabuh sebagai petani pilihan yang cocok. Meneruskan kerja-kerja orang tua dan kakek buyut. Meski belum kecipratan warisan juga.

Sayangnya kiwari ini, anak-anak petani yang sarjana – dari hasil bumi, dari keringat orang tua yang kulitnya berubah legam dan kasar – enggan menjadi petani. Maunya jadi PNS dan pegawai kantoran. Katanya lebih elit. Lebih bergengsi. Di mata mereka, pakaian dinas terlihat lebih elok dari caping dan baju berlumpur berbau keringat.

Anak-anak petani yang sarjana, semestinya tak usah pusing kalau ditolak kantor-kantor dan calon mertua. Pulang ke kampung. Membangun desa lewat bertani dan beternak. Sembari menunggu Bapak bilang, “Nak, kapan kita bisa ke rumahnya?”

Tapi rasa-rasanya menjadi petani cukup memprihatinkan di negeri yang hutan(g)nya subur. Harus sabar! Sewaktu-waktu subsidi pupuk dicabut. Harganya melambung tinggi. Embel-embel ambil pupuk kian banyak macam urus CPNS. Berkas ini dan itu di foto copy . Ujung-ujungnya formalitas belaka.

Nasib petani di negeri bak kepingan tanah surga ini, tambah apes. Sebab harga hasil panen di pasar kerap membungkuk. Apa lacur, pemerintah sukanya impor beras dan hasil bumi dari negara orang lain.

Semestinya negeri ini, orang-orangnya, belajar menghargai petani. Berterima kasih pada petani. Tanpa petani, kita tak bisa menikmati hasil bumi tanah ini.

Setelah memikirkan semuanya, pada hakikatnya semua pekerjaan baik. Bergantung pada kualitas pribadi masing-masing. Kejujuran. Amanah. Empati. Kecerdasan. Kebijaksanaan. Dan semua-muanya. Benih nilai-nilai kebajikan universal yang demikian, harus dijadikan karakter. Ditanam di hati, pikiran, dan laku kita.

Sistem yang kotor harus disuling. Dijernihkan kembali. Kita tak boleh lagi menjadi bangsa yang penakut. Emha Ainun Nadjib dalam bukunya, Gelandangan di Kampung Sendiri, mengulik perihal ketakutan.

“Ketakutan adalah hak milik budaya kita yang tradisional. Sejak kecil kita dididik untuk takut kepada orang tua, bapak-ibu guru, pak lurah, hantu, dan tentara. Sedemikian rupa sehingga mereka akhirnya selalu menakutkan. Alangkah indahnya kalau pola hubungan ketakutan itu kita ganti pelan-pelan dengan pola hubungan cinta, sayang, saling memahami, dan saling memberi uang.”

Olehnya kita tak boleh lagi takut melawan ketakutan, ketidakadilan, kekolotan, kebiadaban, dan kebebalan. Pasal Cak Nun jualah, sepanjang malam aku bergelut dengan ketakutan menjadi guru.

Kalau memilih jadi guru, itu artinya bersiap menisbahkan diri pada umat. Menyisihkan kenyamanan dan kemapanan. Mengorbankan waktu dari pagi, bergelut hingga di bibir petang.

Guru itu digugu dan ditiru. Mencontohkan lewat keteladanan. Guru punya tanggung jawab besar menyalakan lilin dalam kegelapan. Mencerdaskan kehidupan bangsa.

 Abu Hamid Al-Ghazali yang kebetulan lewat turut nimbrung dalam pergulatan pikir, membujuk dan merayu. “Kerja seorang guru tidak ubah seperti kerja seorang petani, yang senantiasa membuang duri, serta mencabut rumput yang tumbuh di celah-celah tanamannya.”

Baiklah! Aku mau belajar memantaskan diri jadi guru dan murid sekaligus. Serta menjadi guru kehidupanmu dan bagi anak-anak kita di masa mendatang.

Ilustrasi: nusantaranews.co

Bendera Tanpa Tiang

“Kemerdekaan sejati, bebas dari terungku dunia.Pucuknya ada di kewafatan paripurna.” (Sulhan Yusuf, Maksim Daeng Litere)

Seraut wajah murung, berdiri tegap di atas tanah sendu yang meminjamkan punggungnya diinjak dan dibajak. Ia mengendus bau tanah dengan kesedihan yang terpendam, dan sisa-sisa anyir darah yang menyeruak. Di hadapannya terbayang tegak membisu, sebatang bambu yang merelakan diri berpisah dari rumpunnya.

Di kepalanya, berkibar secarik kain merah putih dan sedikit ingatan, teriakan-teriakan “merdeka”. Setelahnya, erangan kesakitan, serapah, dan balada kematian yang memenuhi cakrawala. Sang saka menari-nari di genggaman langit. Berkilau. Bersahaja bak senyum para syuhada yang mati ditembaki kompeni.

Lalu, lelaki itu meresapi bunyi semilir angin, yang berarak mengabarkan cerita-cerita heroik pada anak-anak kecil yang asyik bermain layangan di pesisir pantai. Tempat di mana tanah ini mengerami luka, sebab yang dijanjikan kepadanya belum tunai. “Kemerdekaan!”

Tujuh belas Agustus tempo hari, satu-satunya hari di mana kita merasai kemerdekaan. Paling tidak, menghadirkan semangat kemerdekaan yang diwariskan dari masa ke masa. Sedang, esok hari dan setelahnhya, kita harus kembali mengais-ngais makna kemerdekaan di antara sampah-sampah yang berserak di laut. Mesti menyuling dengan teliti arti merdeka dari limbah-limbah pabrik yang menghias sungai-sungai. Urat nadi tanah ini.

Hari ini dan esok hari, kita masih harus mempertanyakan, bagaimana itu merdeka? Kata orang keadilan masih dilelang di meja-meja hukum. Semakin tinggi jabatanmu, kian banyak duitmu, keadilan akan menjadi milikmu seorang sayang. Sungguh. Percayalah! Peduli lacur dengan benar dan salah. Begitulah di negeri ini, keadilan hanya milik segelintir orang saja.

Ketika kita merayakan tujuh puluh enam tahun usia kemerdekaan, kasus korupsi negeri ini masih melejit. Menggurita melilit tubuh renta tanah ini. Rakyat diam saja. Tak berdaya. Sembari mencoba tetap percaya pada pemerintahnya. Pada wakil-wakilnya. Meski kita semua tahu, banyak dari mereka penipu.

Mahbub Djunaidi pernah bilang dalam buku Kolom Demi Kolom, bagi para pemerintah kita, yang berkuasa, tersedia pilihan-pilihan yang menegangkan. Coba-coba menjadi pahlawan atawa menjadi penipu. Jurusnya berbeda-beda. Yang satu menyemai keuntungan, yang satunya lagi merampok keuntungan. Yang satu bekerja untuk orang, yang lain menggiring orang bekerja untuknya.

Pahlawan kata Mahbub, “Berpegang pada tali kalbunya, bagai tabiat orang Badui. Penipu menyimpan cakar-cakar rahasianya yang sukar diduga, tapi terasa berbisa.” Mahbub mestinya tahu, dewasa ini, penipu-penipu itu punya jurus-jurus menampilkan diri sebagai pahlawan. Mereka bisa tampak saleh. Beragama. Bermoral. Jujur.

Kita terkadang tak bisa membedakan, apakah ia penipu atau bukan. Sebab kata-katanya terlalu manis. Penuh rasa simpati. Pun kadang-kadang meminjam dalil-dalil yang mendukung kepentingannya. Raut wajahnya jua bisa diganti-ganti sekehendak hati, yang penting menutupi wajah bopeng dan culasnya.

Hari ini kita tak lagi bisa berkata pada pejabat kita, seperti yang dilagukan Iwan Fals, “Urus saja moralmu. Urus saja akhlakmu. Pemerintahan yang sehat, yang kami mau.” Sebab kata-kata kita diawasi banyak mata tak terlihat. Dijerat UU. Pembuat mural, “Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit, 404 Not Found, Tuhan Aku Lapar”, dicari-cari. Dituduh kurang ajar pada tuan-tuan kita. Mereka buron macam koruptor. Lambat laun bakal dicap teroris. Kalau dipikir-pikir lucu juga. “Tuhan Aku Lapar”, pembuatnya ngeluh sama Tuhan. Lah kok, yang tersinggung bapak-bapak? Jangan-jangan, bapak-bapak ini merasa dirinya Tuhan yah.

Kita harusnya bangga, bakat kesenian masih diwariskan Tuhan kepada anak-anak bangsa kita. Apa salahnya kalau mereka mengekspresikan kritiknya? “Hampir disemua tradisi Nusantara, pujian itu sifatnya membunuh. Mestinya yang dihapus itu pujian. Karena itu tempat para penjilat, yang belum tentu mencintai NKRI,” kata Sujiwo Tejo ketika menjadi narasumber di TV One. “Justru yang di tempatkan di pelopor kencana, di tempat emas, adalah kritik,” lanjutnya.

Ataukah, tuan dan puan sekarang anti kritik? Otoriter dong. Semoga tidak. Kami masih percaya, kelucuan itu hanya ulah segelintir oknum yang memang tak pernah tuntas di sekolah. Tak pernah belajar berdinamika dan berdialektika di organisasi-organisasi. Sehingga punya ketersinggungan yang cukup kronis.

Padahal kata-kata tersebut, cukup berdasar. Masih banyak orang-orang kelaparan berkeliaran di sudut-sudut negeri kita yang merdeka 76 tahun lamanya. Masih ada orang-orang tua buta tak terurus dinas sosial. Anak-anak mulung putus sekolah. Masih Ada. Masih banyak.

Cobalah tuan dan puan sesekali turun ke jalan. Ke pelosok-pelosok negeri ini. Cari mereka. Sebab kemerdekaan adalah hak seluruh rakyat Indonesia. Tuan jangan duduk saja dengan santai di gedung berpendingin. Menggulir gawai dan mencari cari proyek apa lagi yang bisa disunat.

Esok hari dan lusa nanti, kita harus mencari lagi arti kemerdekaan di celah-celah bulir keringat buruh tani negeri ini. Mereka kerap dibuat bekerja kasar dengan gaji minimum, syukur kalau dibayar. Sedang para pengusaha mulai mendatangkan “tukang sapu” dari negeri asing. Begitulah, lambat laun kita menjadi asing di negeri sendiri. Sawah dan kebun-kebun kita ditanami gedung-gedung, pabrik-pabrik penuh limbah yang merusak lingkungan.

Tanah tanah-tanah kita, masih dihabisi isi perutnya. Dijual pada korporasi asing. Dijual tuan-tuan kita yang licin dan licik. Mereka itu, mengambil banyak sekali dari kita. Hutan kita digunduli. Laut kita diracuni. Sungai kita dimatikan. Tanah kita dirusak. Lalu, bola api kesalahan bakal dilempar kepada rakyat. Kita rakyat, selalu salah di hadapan tuan-tuan itu. Tak lagi dilihat orang, kecuali kita menguntungkan bagi mereka. Di hadapan hukum, kita kecil bagi tuan besar.

Tak perlu kaget, dalam majalah Pitutur yang pernah saya baca, mungkin ini akibat kita terjajah terlalu lama, hingga bertumbuh jiwa marsose kompeni yang suka menjajah rakyat sendiri. Menjadi mentalitas bangsa kita. Ditambah lagi, dengan tulus kita mencaplok mentalitas korup VOC. Jiwa-jiwa bar-bar kompeni.

Benar kata Presiden kita yang pertama, Bung Karno. Hari ini, perjuangan kita bakal lebih sulit. Kita bakal melawan bangsa sendiri. Kadang keluarga sendiri. Melawan teman sendiri. Melawan rekan kerja sendiri. Tetapi, kemerdekaan harus tetap diisi. Harus dilanjutkan. Meski kita hanya merasakan kemerdekaan hanya sehari saja, 17 Agustus tok.

Esok hari dan lusa nanti, kita harus berjuang kembali. Memerdekakan jiwa-jiwa kita dari cengkraman kemiskinan, ketidakadilan, kapitalisme, barbarisme, apatisme, dan semua isme-isme lain yang mengancam negeri ini. Yang mengancam Pancasila. Selama merah putih masih berkibar di kepala tiang-tiang yang terpancang di atas tanah ini, kita harus merdeka. Harus berbahagia. Harus berjuang lebih keras dari sebelumnya.

Lelaki itu, mengorek-ngorek tanah, air matanya jatuh menimpa sehelai rumput yang kering. Ia baru sadar, sedari tadi bendera itu berkibar tanpa tiang. Diterbangkan angin. Ditarik kemana-mana sesuai kepentingan. Tak ada tiang rasa iba dan simpati. Hanya kerakusan yang mencuat. Egoisme yang membatu.

Sejak lama bendera itu berkibar tanpa tiang. Tiang keadilan dilelang. Tiang kebebasan direnggut. Tiang persatuan diremuk. Tiang demokrasi dicabik-cabik. Tersisa satu tiang penyangga negeri ini, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Yang ini pun mulai diacak-acak.

Tiang ini harus dicari. Dijaga. Dipasak dalam jiwa-jiwa kita semua. Agar merdeka yang sebenar-benarnya merdeka dapat diraih. Sebagaimana petuah Daeng Litere di awal, “Kemerdekaan sejati, bebas dari terungku dunia. Pucuknya ada di kewafatan paripurna.”

Lelaki itu, memandang langit. Melintasi bintang-bintang. Memandang ke laut, mengarungi samudera tempat perahu Gajah Mada berlayar di masa lalu. Memandang ke tanah, melihat tulang-tulang yang berserak. Tubuh-tubuh yang terkubur. Memandang ke dalam dirinya. “Ke mana lagi aku mencari arti kemerdekaan? Kebebasan yang mengorbankan 4 sampai 5 ribu jiwa?”

Ilustrasi: Masvian.com

Negeri Plintat-Plintut

Tempo hari, Syifa mulai masuk sekolah. Ia berangkat dengan riangnya. Senyumnya mekar bak bunga petunia di taman Firdaus. Syifa berjalan ke timur, memanggul tas kecil berisi harapan-harapan.

Setelah setahun “dipaksa” belajar di rumah, sekolah Syifa yang dikelilingi kebun itu, berinisiatif melawan sikap plinplan bapak yang di atas. Gerbang sekolah yang berkarat dibuka, meski izin resmi belajar tatap muka belum diwartakan. Mungkin pemerintah kita lupa, atau masih sibuk menyusun tes wawasan kebangsaan bagi aparat negara. Maklumlah, soal-soal buatan mereka amat sulit dicerna pikiran dan lumayan menguras “energi kehidupan”.

Persoalan bangsa kita seakan tak ada habisnya. Itu-itu melulu. Pun selalu lucu-lucu. Entah sejak kapan, orang-orang kita suka sekali bermain-main dan mempermainkan orang lain. Tampaknya, selama orang-orang jujur masih bergentayangan di instansi-instansi, akal bulus mereka bakal terus bekerja. Mencari cara menumpas yang dianggap mengancam jabatan, popularitas, dan kekuasaan mereka.

Hal ini pernah disentil Cak Nun, bahwa orang baik di tengah air keruh, itu tidak dihargai dan tak diakui sama sekali. Menjadi orang baik dan ikhlas di negeri ini, justru menjadi ancaman bagi kiri kanan kita. Dan, semua yang mengancam bagi penguasa korup adalah musuh. Musuh yang harus ditumpas, meski ia rakyat sendiri.

Sikap tak jelas dan tak berpendirian teguh dari pemangku kebijakan kita, sedikit banyaknya menjadi faktor mudahnya membungkam keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hukum diperjual belikan. Konstitusi dibuat berdasar kepentingan segelintir orang. Janji-janji palsu bertebaran. Inkonsistensi ini akhirnya berujung pada turbulensi, yang menggiring perahu bernama bangsa Indonesia, kian terseret di jantung olakan air di samudra waktu.

Tidak adanya pendirian teguh yang melandasi bangsa kita, plinplannya pemerintah kita dalam banyak hal, membuat kita terlihat seperti bangsa tak berkarakter. Terjerembab di jurang krisis identitas. Lamat-lamat negeri kita juga menjelma negeri plintat-plintut alias plinplan.

Katanya, sumber daya alam negeri ini, milik rakyat Indonesia. Nyatanya, korporasi-korporasi asing diizinkan bercokol. Mengeruk kekayaan alam kita. Mencemari lingkungan. Menjadikan rakyat budak di tanahnya sendiri. Dan, ketika rakyat hendak menggunakan kekayaan alam untuk keperluan hidupnya, mengambil ranting-ranting dijual sebagai kayu bakar, mereka dihardik. Diusir dan dibui.

Ketika mereka menuntut lahan-lahan yang hendak dijadikan tambang, bersuara karena air-air tercemar limbah pabrik, mereka ditendang. Dipreteli. Katanya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tapi masih saja praktik-praktik hukum kita runcing ke bawah. Keadilan tidak untuk mereka yang miskin.

Sikap tak berpendirian pemangku kebijakan kita makin kesini makin jadi. Selain persoalan KPK yang mengundang gelak tawa dan jengkel sekaligus. Atawa tentang pelarangan mudik tempo hari, sedang mal dibiarkan mengangkang bebas dan turis asing seenaknya melanglang buana keluar masuk. Turut merembes ke dunia pendidikan kita. Apalagi jika bukan perihal sekolah tatap muka yang masih tidak jelas.

Plintat-plintutnya putusan soal sekolah sesarinya lagu lawas, dimulai sejak pertengahan tahun 2020. Wacana tatap muka kala itu, menjadi kasak kusuk yang panas di dunia pendidikan. Anak-anak gembira bukan main, mendengar mereka bisa bermain kembali di halaman sekolah. Guru-guru yang lelah, pun bernapas lega dengan urita tersebut.

Tapi ang ing ung eng, tiba-tiba ditunda. Para siswa tetap belajar daring sepanjang tahun. Si biang kerok Covid menjadi alasan utama. Kita manut saja. Mencoba menerima dengan lapang dada. Meski riak-riak di akar rumput juga tak sedikit jumlahnya.

Menjelang semester genap, isu tentang belajar tatap muka kembali mencuat. Sayangnya, pemerintah belum meluluskan harapan banyak orang. Siswa mesti melanjutkan belajar daring. Dan, sampai sekarang, putusan tentang sekolah tatap muka masih simpang siur. Sama seperti sebelumnya, desas-desus ini mengundang beragam reaksi dari masyarakat.

Beberapa orang melihat, sekolah semestinya sudah bisa dibuka kembali. Sebab mal, tempat wisata, dan tempat-tempat umum lainnya berjalan seperti biasa. Normal. Seolah tak ada apa-apa. Berkerumun dengan atau tanpa masker. Senggol sana sini. Beliau juga sudah blusukan kembali, hingga kondangan ke pesta artis beken. Warga asing pun boleh seenaknya masuk – menjajah dan menjarah – di tanah kita.

Syifa, satu dari segelintir anak yang harus merasakan sikap plinplan pemangku kebijakan di negeri yang plintat-plintut ini. Mereka inilah makhluk yang dibenci kaum wanita dan lelaki tersakiti di dunia, akibat ketidakjelasan yang mereka berikan. Semua orang butuh kejelasan, bukan ketidakpastian. Apalagi harapan palsu.

Di negeri kita, perihal pendidikan memang masih dipandang sebelah mata oleh penguasa. Pendidikan kerap menempati posisi kesekian kali jika membahas kebijakan, apatah lagi anggaran negara. Entah mengapa dan sampai kapan, pikiran-pikiran macam ini terus dirawat. Pikiran picik yang kerdil dan dangkal, seperti selokan-selokan kita di kota-kota besar.

Mari kita belajar dari Kaisar Hirohito, ketika Hiroshima dan Nagasaki di bom atom oleh negeri Paman Sam. Usai peristiwa yang jua menjadi titik kulminasi kemerdekaan bangsa kita, Kaisar Hirohito mengumpulkan jenderalnya. Ia melontarkan satu tanya yang membikin jenderalnya heran bin takjub. “Berapa jumlah guru yang selamat?” Para jenderal tersebut lantas menegaskan – boleh dikata pasang badan, macam tuan dan puan sebagian yang suka cari muka – bahwa mereka bisa menjaga dan melindungi sang kaisar meski tanpa guru.

Barangkali di pikiran mereka – juga di pikiran tuan-tuan yang di atas, guru kerjanya hanya mengajar tok. Tak penting-penting amat bagi kemajuan suatu negeri. Tetapi cara berpikir sang kaisar ternyata lebih maju dan terbuka dari para jenderal ini. Kaisar Hirohito lantas berujar, “… maka kumpulkan semua guru yang tersisa di seluruh negeri ini. Sekarang kepada mereka kita bertumpu, bukan pada kekuatan pasukan.”

Kaisar Jepang melihat peran guru dan pendidikan, amatlah penting sebagai kerangka dasar membangun suatu negeri. Mereka, bapak-bapak pemangku kebijakan kita, harusnya banyak-banyak baca buku. Supaya wawasannya luas dan bisa belajar banyak hal. Tidak lagi plinplan mengambil keputusan. Baca buku jauh lebih cocok untuk kesehatan jiwa dan mental. Jadi memberi tugas baca buku sebanyak-banyaknya kepada pejabat KPK dan lain-lain, lebih baik tinimbang soal-soal yang keblinger.

Kembali ke Syifa yang kini khusyuk menikmati kelasnya yang pengap. Setelah sebelumnya berlari dengan bahagia di taman sekolah. Memainkan bel sekolah yang terbuat dari lonceng besar. Menulis di papan tulis berdebu. Lalu duduk di bangku yang reyot sembari berharap cemas menunggu putusan resmi soal pembukaan sekolah. Syifa merasakan kerinduan mengalir seperti sungai di dadanya. Dan, diam-diam sekolah itu, pun rindu hiruk pikuk dan tawa anak-anak di tubuhnya.

Ilustrasi: lensaindonesia.com

Menyambut Kekasih

Setelah setahun kemelut dan bergelut dengan pagebluk, kita patut berbahagia. Aroma khas sang kekasih, semerbak tercium di seantero jagat. Begitu wangi. Betapa syahdu. Kerinduan turut berkelindan meresap ke relung jiwa. O.. jiwa-jiwa yang mendamba, sambutlah sang kekasih, bulan yang dipenuhi berkah dan ampunan.

“O.. jiwa-jiwa yang merindu, sudahkah kau jujur pada dirimu sendiri, mengapa selalu mengatakan Ramadan bulan ampunan? Apakah hanya menirukan Nabi, atau dosa-dosa dan harapanmu yang berlebihanlah yang menggerakkan lidahmu begitu?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut, sahaya sadur dari puisi Gus Mus. Tanyakanlah pada diri masing-masing. Dalam hening malam pertama Ramadan. Di tiap sujud panjang dan khusyuk.

Pada tulisan ini, izinkan sahaya banyak mengutip puisi KH. Mustafa Bisri, “Nasihat Ramadhan”. Sebagai bahan renungan dan teguran bagi diri kita yang kadang bebal dan lalai.

Mustofa,

Ramadhan adalah bulan antara dirimu dan Tuhanmu.

Darimu hanya untuk-Nya dan Ia sendiri tak ada yang tahu apa yang akan dianugerahkan-Nya kepadamu.

Semua yang khusus untuk-Nya khusus untukmu.

Mustofa,

Ramadhan adalah bulan-Nya yang Ia serahkan padamu dan bulanmu serahkanlah semata-mata pada-Nya.

Bersucilah untuk-Nya. Bersalatlah untuk-Nya. Berpuasalah untuk-Nya.

Berjuanglah melawan dirimu sendiri untuk-Nya.

 Ramadan 1442 Hijriah segera menghidu. Menyapa kita semua dengan ramah. Apakah kita sudah siap menyambutnya dengan khidmat? Menjamunya dengan segenap jiwa raga dan cinta? Setahun lalu, kita mesti berjalan bersamanya dengan sendu dan menerungku diri dalam rumah. Tak boleh tarawih dan iktikaf di masjid-masjid.

Kita banyak mengisinya dengan kekhawatiran, ketakutan, dan juga perdebatan-perdebatan. Sedikit banyaknya, mendorong kita ke pertengkaran-pertengkaran dan klaim kebenaran berbuntut perpecahan.

Kita mungkin risih dan kecewa sekaligus, dengan beredarnya urita peniadaan mudik yang menjadi tradisi. Kita tak bisa menyata di kampung sendiri, menikmati sahur dengan sanak keluarga terkasih. Pun tak bisa merayakan hari lebaran mendatang bersama mereka.

Namun, kita patut berbahagia, Ramadan tahun ini bakal banyak berbeda dari sebelumnya. MUI Sulawesi selatan misalnya, sudah mengizinkan masyarakat menjalankan ibadah di masjid. Memperbolehkan tradisi buka puasa bersama dihelat. Ini warta gembira bagi kita, bisa menubuh dan menjalani tirakat-tirakat cinta bersama sang kekasih. Melepas dahaga usai meniti perjalanan panjang di gurun kehidupan yang kian edan.

Ramadan sang kekasih, kian mendekat. Datang dari langit. Diiringi ribuan malaikat yang bersenandung dan bersalawat. Begitu anggun. Betapa agung. Sambutlah dengan syukur melimpah dan bahagia yang membuncah. Sebab ia datang membawa banyak berkah. Padanya, malam kemuliaan yang dijanjikan bersemayam dan kitabullah diturunkan sebagai petunjuk kepada manusia.

O.. jiwa-jiwa yang berpasrah;

Sucikan kelaminmu. Berpuasalah.

Sucikan tanganmu. Berpuasalah.

Sucikan mulutmu. Berpuasalah.

Sucikan hidungmu. Berpuasalah.

Sucikan wajahmu. Berpuasalah.

Sucikan matamu. Berpuasalah.

Sucikan telingamu. Berpuasalah.

Sucikan rambutmu. Berpuasalah.

Sucikan kepalamu. Berpuasalah.

Sucikan kakimu. Berpuasalah.

Sucikan tubuhmu. Berpuasalah.

Sucikan hatimu.

Sucikan pikiranmu.

Berpuasalah.

Sucikan dirimu.

Sayang, malang tak dapat ditolak, mujur tak bisa diraih. Ada luka tercipta dari belati kepandiran yang mengiris kemanusiaan kita. Saat “aroma” rahmat-Nya tercium, suara ledakan bom dan teriakan-teriakan yang menyayat menyambutnya.

Angging mammiri menebar bau asap mesiu dan aroma daging terbakar, serta anyir darah dari tubuh berserak. Air mata dan ketakutan, dibungkus kemarahan, membumbung di cakrawala Kota Daeng yang sendu.

Ramadan telah tiba, awan kelabu mengiringnya. Mengapa Ramadan, kita sambut dengan darah dan kebencian?

Mustofa,

Bukan perut yang lapar bukan tenggorokan yang kering yang

mengingatkan kedlaifan dan melembutkan rasa.

Perut yang kosong dan tenggorokan yang kering ternyata hanya penunggu

atau perebut kesempatan yang tak sabar atau terpaksa.

Barangkali lebih sabar sedikit dari mata tangan kaki dan kelamin, lebih tahan

sedikit berpuasa tapi hanya kau yang tahu

hasrat dikekang untuk apa dan siapa.

Tetapi mengapa masih ada di antara kita, kerap merasa lebih benar dari orang lain. Sehingga membenarkannya membenci dan menumpahkan darah sesama. Jika kini membunuh mereka yang berbeda keyakinan dianggap sebagai jihad, sungguh kita benar-benar gagal paham kata Habib Luthfi. Sebab, bagi beliau, “Jihad saat ini bukan mengangkat pedang atau senapan. Jihad yang dibutuhkan zaman kita, adalah jihad ekonomi dan pendidikan. Karena musuh kita adalah kemiskinan dan kebodohan, serta lemahnya keyakinan.”

Saat kita mestinya saling memaafkan, kita justru saling menikam. Puasa mestinya membuat kita mengambil jarak, dari kebencian dan jiwa-jiwa kebinatangan yang bersemayam dalam diri. O.. jiwa-jiwa yang merindu;

Puasakan kelaminmu untuk memuasi Ridla

Puasakan tanganmu untuk menerima Kurnia

Puasakan mulutmu untuk merasai Firman

Puasakan hidungmu untuk menghirup Wangi

Puasakan wajahmu untuk menghadap Keelokan

Puasakan matamu untuk menatap Cahaya

Puasakan telingamu untuk menangkap Merdu

Puasakan rambutmu untuk menyerap Belai

Puasakan kepalamu untuk menekan Sujud

Puasakan kakimu untuk menapak Sirath

Puasakan tubuhmu untuk meresapi Rahmat

Puasakan hatimu untuk menikmati Hakikat

Puasakan pikiranmu untuk menyakini Kebenaran

Puasakan dirimu untuk menghayati Hidup.

Tidak.

Puasakan hasratmu

hanya untuk Hadhirat-Nya!

O.. jiwa.. betapa kita semua paling tahu, Rasulullah mengemban risalah cinta. Mengajarkan kita agar senantiasa mencintai sesama manusia. Padahal di batang tubuh lokalitas Bugis-Makassar, pun mengajarkan nilai-nilai kebajikan nan bijak. Sipakaingaki, sipakalabbiriki, na sipakatauki.

Tidakkah cukup bagi kita untuk pengambil pelajaran dari perjalanan Lelaki Penggenggam Hujan, yang namanya disebut-sebut dalam berbagai kitab, sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta, lewat keindahan dan keangungan akhlaknya.

Apakah kisahnya yang agung belum membuat kita memahami, bahwa Rasulullah amat pemaaf dan tak pendendam. Betapun ia disakiti, dihina, dicaci, dimaki, pun pada satu segmen hidupnya, pernah dilempari batu dan kotoran. Sang Nabi tetap tenang dan memaafkan. Tak ada amarah. Tak ada caci maki. Tak ada kebencian. Yang ada hanya cinta.

Lantas, mengapa kita menyebut diri sebagai umatnya, tapi tak pernah benar-benar menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan? Mengapa kita yang sepanjang waktu bersalawat, tak pernah benar-benar menghayati ajarannya?

O.. jiwa-jiwa yang mendamba. Sang kekasih, Ramadan, kini berdiri di hadapanmu. Bebaskanlah hatimu dari kebencian yang terselubung. Padamkan api amarah yang berkobar. Lembutkan hatimu dan jadilah pemaaf di bulan suci ini.

Mustofa,

Ramadlan bulan suci katamu, kau menirukan ucapan Nabi atau kau telah

merasakan sendiri kesuciannya melalui kesucianmu.

Tapi bukankah kau masih selalu menunda-nunda menyingkirkan kedengkian

keserakahan ujub riya takabur dan sampah-sampah lainnya yang mampat dari

comberan hatimu?

O.. jiwa.. Mustafa, engkau, aku, dan kita semua. Sang kekasih, Ramadan, kini menatap lekat. Memeluk erat penuh kerinduan. Sambutlah!

Mustofa,

inilah bulan baik saat baik untuk kerjabakti membersihkan hati.

Mustofa,

Inilah bulan baik saat baik untuk merobohkan berhala dirimu

yang secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi

kau puja selama ini.

Atau akan kau lewatkan lagi kesempatan ini

seperti Ramadlan-ramadlan yang lalu.

Gambar: enews.hamari.web