Aku tak di rumah, ketika Ramadan bertamu. Padahal sudah berjanji bakal temu. Bisa jadi tak ada tahun-tahun lain, aku dengannya jumpa kembali. Menyambutnya penuh rindu. Menjamunya dengan segenap cinta.
Itu yang aku bilang padanya. Ketika kubujuk melaui doa-doa yang dikirim embun di kaki langit yang teduh dan biru. Atau di subuh hari lalu yang haru nan kudus. Kini ia akan berlalu dan aku masih sibuk dengan diri sendiri.
Rasa-rasanya, aku hanya pamit sebentar saja pada orang di rumah. Ingin ke toko membeli sedikit kebutuhan di sana. Di perempatan jalan, di mana semua orang kerap lupa jalan pulang.
Aku masih sibuk berbelanja, memuaskan semua ingin, saat orang di rumah menelpon dan menanyakan kapan aku pulang menemui Ramadan. Aku bilang, “Tunggu! Sebentar lagi.” Atawa Sekadar mengiyakan celotehnya, agar tak khawatir dan segera mematikan telepon. Sebab kadang-kadang perasaan muak mencuat, jika ia mulai berceramah. Pun sering-sering, aku pura-pura saja tak mendengar dering dan getar telepon di balik saku bajuku. Jauh di kedalaman dadaku.
Rasanya, aku menginginkan semua-muanya. Mengisi setiap inci perutku dengan dunia, yang terlihat seperti sebotol anggur dan roti dengan selai cokelat di atasnya. Aku mau membeli kenikmatan dan menikmatinya sendirian.
Aku tahu, aku tenggelam dalam ekstasi. Hilang di balik gemerlap pesona dunia yang memabukkan, dan kehibukan pun membawaku jauh dari diriku sendiri. Riuh bujuk rayu kebendaan dan hasrat yang menggairahkan, menutup pintu masuk ke dalam jiwaku, yang entah. Akhirnya, semu menyuburkan nafsu dan hasrat, mengaburkan rasa malu dan sadar.
***
Dewasa ini, dunia dan semua yang enak-enak yang ditawarkannya, hanya membawa kita untuk sekadar memenuhi keinginan-keinginan dan nafsu. Di mana memberi peluang bagi setiap orang, untuk asyik dengan dirinya sendiri.
Yasraf Amir Piliang telah mengatakannya berulang-ulang, yang diguratnya dalam buku Sebuah Dunia yang Dilipat. Sekarang ini, dunia kita, kehidupan masyarakat kita adalah sebuah kondisi di mana di dalamnya hampir semua energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu. Kita sibuk melayani nafsu kebendaan, kekayaan, kekuasaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan, dan kesenangan. Sementara, kita hanya menyisakan sedikit saja ruang bagi penajaman mata hati. Sejengkal saja lahan menumbuhkan kebijaksanaan, peningkatan kesalehan, dan pencerahan spritiual.
Nafsu menjadi musuh besar manusia, tapi juga bagian esensial dari makhluk Allah Swt. Adanya nafsu, membuat manusia memiliki dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, tidur, dan sebagainya. Namun, nafsu seringkali dimaknai dengan hal-hal yang buruk. Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafsu dimaknai sebagai keinginan, kecenderungan, atawa dorongan hati yang kuat. Pun dapat diartikan sebagai selera atau gairah
Hawa nafsu dalam konsep psikoanalisis Lacan dibedakan dengan kebutuhan kata Yasraf Amir Piliang. “Kebutuhan (need) adalah energi murni organik, seperti dorongan makan, tidur, dan sebagainya. Sedangkan nafsu (desire) adalah energi aktif yang berkaitan dengan proses psikis, seperti dorongan seksual. Nafsu adalah kekuatan pendorong aparatus psikis, yang diarahkan sesuai dengan persepsi tentang sesuatu yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, yang tidak dimiliki oleh kebutuhan.”
Dalam Nanatsu no Taizai – salah satu anime Jepang yang diangkat dari manga Nakaba Suzuki – hawa nafsu dilambangkan dengan kambing. Nanatsu no Taizai atau The Seven Deadly Sins merupakan anime yang berkisah tentang tujuh kesatria, yang melambangkan tujuh dosa besar.
Dosa kambing atau hawa nafsu, diemban oleh Gowhter. Ia punya kekuatan yang disebut invasion. Kemampuan unik dan spesial yang dapat mempermainkan dan memanipulasi ingatan seseorang. Gowhter sang dosa kambing, dapat menjebak lawannya dengan pikiran mereka sendiri. Yah, begitulah hawa nafsu. Akal dan hati mampu dimanupulasi dan dikuasainya. Manusia yang lebih cenderung mengikuti hawa nafsunya, bakal menampik kata hati dan mengakal-akali segalanya agar masuk akal.
Menariknya, dijadikannya kambing sebagai simbol dosa hawa nafsu dalam Nanatsu no Taizai, senada dengan ungkapan Rumi. Bahwa amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang. Itulah sebabnya nafsu harus diikat sebagaimana kambing. Lihatlah kambing jika dilepaskan begitu saja. Bakal memantik perang dunia ketiga. Sebab tanaman bunga hias ibu-ibu bisa diembatnya. Kalau ibu-ibu sudah marah, kambing tetangga bisa jadi kambing gulai.
Sebagaimana kambing, kehendak hawa nafsu harus diikat, diperangi, ditundukkan, dan dijinakkan. Melawan hawa nafsu adalah perang besar bagi manusia, kerana harus melawan diri sendiri. Rasulullah saw., telah mengingatkan kita ribuan tahun lalu pasca perang badar. Sang Nabi Agung bersabda, “Kalian telah pulang dari suatu pertempuran kecil menuju pertempuran yang lebih besar.” Para sahabat bertanya, “Apakah perang yang lebih besar itu wahai Rasulullah?” Sang Nabi Agung menjawab, “Perang melawan hawa nafsu.”
Bagaimana cara melawan hawa nafsu? Sebagaimana dilansir NUOnline, dalam memerangi hawa nafsu, agama memberikan dua senjata serupa rasenggan dan cemeti amarasuli yang paling ditakuti Mak Lampir. Pertama, mengurangi tidur, sebab tidur bisa menjadi sumber yang menutup kejernihan kita dalam menerima cahaya Tuhan. Kedua, melalui puasa. Hawa nafsu laksana api yang berkobar, dan makanan menjadi bahan bakarnya. Api akan terus berkobar, jika secara terus-menerus diberi bahan bakar. Olehnya, puasa menjadi piranti menjinakkan hawa nafsu dalam diri manusia.
“Kehidupan semua Nabi dan Rasul Allah penuh dengan kisah-kisah tentang puasa,” kata Emha Ainun Nadjib. “Baik puasa dalam arti harfiah langsung maupun puasa dalam pemaknaannya yang luas. Bukankah segala perkara yang kita alami bersama selama beratus-ratus abad di muka bumi ini dimulai dan disebabkan oleh baginda Adam as., yang mokel (baca: bucok atau membatalkan puasa secara diam-diam), seharusnya menahan diri tak makan buah larangan itu, tapi beliau memakannya?”
Di titik ini, kita semua banyak mengalami kekalahan telak. Sepanjang hari menahan lapar dan dahaga, Namun, ketika tiba waktu buka puasa, perut-perut kita dicekoki kembali makanan sampai kekenyangan. Ketika puasa, bukannya mengurangi tidur, tetapi tidur sepanjang hari. Ketika menjelang hari lebaran, kita ingin membeli semuanya. Sehingga, tanpa disadari nafsu ingin dipuji, nafsu kebendaan, ketenaran, kesenangan, popularitas, dan sebagainya, mencuat kembali. Bebas tak terkendali.
***
“Puasa itu adalah upacara korban, ia adalah kehidupan bagi jiwamu, Bahlul. Marilah korbankan badanmu, karena jiwa telah datang menjadi tamunya.” Senandung Rumi di sela-sela relung renung, akhirnya membangunkanku dari lamunan. Barulah kusadari lelah mulai menjarah raga dan sukmaku. Aku lalu menepi di sudut toko yang sepi, mengais-ngais kelesah yang entah. Duduk seperti gelandangan memangku bimbang dan sesal. Bersandar membasuh peluh di hadapan cermin jiwa yang keruh.
Aku duduk sejenak, meraba-raba benak. Merenungi jejak. Membuka pagina kenangan di relung sadar yang tersisa. Dan, tetiba kau datang, Ramadan. Menemuiku di sini yang seperti gembel tak tahu arah. Ingin rasanya aku menghambur dalam pelukmu. Tapi ragu dan malu berdesakan menyesaki dadaku.
Hening. Suara hiruk pikuk menghilang. Kau pun diam. Menatapku iba. Lalu, mememulukku erat, sembari berbisik lirih, “Aku pulang!”
Lahir di Bantaeng, 24 oktober 1994. Pelajar di Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar. Aktivis MEC RAKUS Makassar, dan Peserta Kelas Literasi Paradigma yang mencintai kopi dan buku terutama novel sejarah.