Ada hal yang menarik dalam tulisan Asratillah, Korwil Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Sulawesi Selatan, “Filsafat dan Manusia yang tidak Pernah Selesai” dalam bukunya Hasrat Kebenaran. Saya yakin, bahwa dalam “membaca diri dan dunia”, salah satunya terbentuk relasi yang di dalamnya sarat dengan pembicaraan dan (pencarian) makna hidup (the meaning of life).
Asratillah menegaskan, bahwa dalam pembicaraan the meaning of life berarti pula membicarakan mengenai arti menjadi manusia. Sedang dirinya menegaskan, bahwa hidup yang kita maksud di sini, bukanlah hidup dalam konteks vegetatif (nutritive, reproduksi, dan tumbuh) maupun hidup dalam konteks animalia (instingtif, sensasional, dan mobile).
Saya sepakat dengan Asratillah, apalagi jika dihubungkan dengan penegasan Ahmad Faizin Karimi—merujuk dari Stanley Millgram, Christakis dan Flower—yang pada substansinya, di antara makhluk, manusialah yang paling terkoneksi antara satu sama lain. Selain itu, dalam konteks kekinian, koneksi manusia mengalami hyper-connected.
Selain yang ditegaskan oleh Asratillah dan Ahmad Faizin, manusia secara personal maupun kolektif, memiliki harapan-harapan (sukses-bahagia), kehadirannya memiliki tugas dan membawa mandat kosmis. Dan bukan hanya itu, tanpa kecuali menghadapi kompleksitas hidup, baik berupa tantangan maupun peluang. Karena sesungguhnya manusia hidup dalam jaring-jaring teks atau tanda.
Dari kesadaran inilah, sehingga dibutuhkan basis filosofis untuk “membaca diri” dan “membaca dunia”. Tujuannya untuk menjawab harapan dan kompleksitas di atas, juga memberikan spirit untuk menjalani hidup dan kehidupan.
Basis filosofis yang saya maksud, adalah sesuatu (bisa berupa kerangka pikir, ilmu pengetahuan, pemahaman, dan cara pandang) yang menjadi landasan untuk memahami hal yang ingin kita pahami secara mendalam, radikal, sistematis, dan logis. Meskipun tepatnya basis filosofis yang dimaksud adalah filsafat itu sendiri, atau minimal dimensi-dimensi dalam filsafat ilmu (ontologis, epistemologis, dan aksiologis). Hanya saja tulisan ini, tidak sedang bermaksud menguraikan segala sesuatu tentang pengertian, seluk-beluk, dan jenis-jenis filsafat. Tetapi diarahkan dan secara fungsional berguna sebagai pengantar, dan pemantik spirit pentingnya filsafat.
Diri sebagai manusia, dunia sebagai tempat menjalani kehidupan, secara ontologis sebagai ruang mewujudkan eksistensi dirinya, perlu pembacaan mendalam. Hal ini guna mendapatkan pemahaman tentang diri dan dunia. Di sinilah urgensi apa yang saya maksud sebagai “basis filosofis”.
Diri dalam menjalani kehidupan sebagai manusia dalam dunia—termasuk dunia dalam diskursus semiotik yang dipandang bukan hanya alam semesta atau bumi yang kita diami. Ada upaya untuk terus membangun masyarakat, kebudayaan, ataupun peradaban. Hanya saja, sebagaimana dikutip oleh Moh. Mudzakkir dari Ali Syari’ati, bahwa semuanya akan gagal total apabila pertanyaan tentang “siapa” dan “bagaimana” manusia tidak terlebih dahulu dijawab.
Laiknya dalam perspektif Moh. Mudzakkir—yang terinspirasi dari Paulo Freire—diri dalam menjalani hidup dan kehidupan, tentunya salah satu harapan yang terus diperjuangkan adalah keadilan dan kesejahteraan. Hemat saya di dalamnya terkait apa yang disebut aktus “humanisasi”. Hanya saja, proses “humanisasi” maupun “dehumanisasi” tidak akan pernah bisa dilakukan, jika kita belum mengetahui dan memahami tentang hakikat manusia itu sendiri.
Satu contoh sederhana dari Moh. Mudzakkir, yaitu pelaksanaan UN (Ujian Nasional)—karena tulisannya ini memiliki setting historis tentang dialektika IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah). Kita tidak akan bisa menyimpulkan bahwa UN adalah sesuatu yang dehumanisasi, untuk selanjutnya harus diadvokasi untuk disuarakan dihentikan/ditolak, jika belum mengetahui hakikat manusia. Ternyata manusia ideal, secara esensial mempunyai potensi ruhiyyah (spiritual), aqliyah (intelektual), jasmaniyyah (biologis), dan nafsiyah (emosional).
Jika diri yang dimaksud, adalah diri dan harapan-harapannya, yang ingin senantiasa berkembang maupun memberikan manfaat besar dalam kehidupan, maka satu hal utama adalah bersentuhan dengan pemahaman tentang “pendidikan”. Sedang bicara pendidikan, maka tidak bisa lepas dari “mengupas” manusia. Dan telah dipahami bersama, bahwa mengupas manusia, sangat membutuhkan alat baca bernama filsafat. Di sinilah urgensi basis filosofis itu.
Belum lagi, jika diri kita terlibat dalam sebuah dialektika, pergumulan, dan pergulatan sebuah komunitas yang memiliki harapan kolektif, untuk melakukan perjuangan dan mencapai tujuan besar bersama. Maka, satu hal penting adalah urgensi daripada “basis fiosofis”. Mengapa?
“Pertama, secara teoritik bahwa sebuah gerakan harus memiliki landasan filosofis, paradigma, ideologi, maupun teori gerakan sebagai dasar dalam bergerak. Kedua, realitas empirik, bahwa sebuah gerakan yang tidak memiliki basis filosofis yang radikal (mendalam dan kuat menghujam) dan sistematik akan mengalami pendangkalan arah tujuan gerakan. Ketiga, untuk meningkatkan elan vital (daya hidup) sebuah gerakan, semakin mempertajam visi, memperkuat misi, serta memperkaya program, dan aksi gerakan.” Begitulah penegasan dari Moh. Mudzakkir.
Membaca diri dalam konteks tulisan ini, berbeda jauh dengan konsep diri sebagaimana dipahami bersama, ataupun yang sering saya bawakan dalam forum-forum perkaderan dan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK). Membaca diri dalam tulisan ini, sebagai pemantik untuk melahirkan kesadaran betapa pentingnya filsafat, sedang konsep diri adalah hasil pembacaan filosofis dengan pendekatan multi-disiplin, termasuk ilmu filsafat itu sendiri.
Selain membaca diri, membaca dunia pun memerlukan basis filosofis yang mendalam. Agar dunia tidak hanya menjadi korban eksploitasi, tetapi di dalamnya lahir sebuah kesadaran, bahwa dunia harus dijaga, dirawat, dan menunjang pencapaian kemakmuran manusia secara seimbang dan merata. Basis filosofis yang digunakan untuk membaca dunia harus tepat, jangan seperti basis sains modern, justru menimbulkan kerusakan di muka bumi. Di dalamnya harus mengandung sebuah kesadaran, bahwa merawat dunia, sama saja menunda “kiamat ekologis”.
Belum lagi, jika dunia yang dimaksud adalah dunia dalam dialektika semiotik yang beraneka ragam: dunia literasi, dunia pendidikan, dunia Islam, sangat menuntut tilikan filosofis mendalam. Tanpa pemahaman mendalam, dunia terakhir yang dimaksud ini, bisa saja menghilangkan kesadaran manusia, termasuk menjebak diri dan dunia itu sendiri, untuk berada dalam mesin hasrat—berorientasi materialistik daripada spiritualistik.
Membaca diri dan dunia, tentunya multi arah, dan tulisan ini hanya diperuntutkan untuk media online atau media sosial, terbatas untuk menjelaskannya secara detail.
Akhirnya, saya ingin menegaskan, khusus dalam membaca diri dan dunia, sekaligus dalam relasi dua arah, dan dalam konteks transendensi—sebagai bagian dari kesadaran manusia yang beragama—bahwa basis filosofis yang dimaksud, bisa berwujud lain, seperti pemahaman teologis.
Pemahaman teologis seseorang, berimplikasi luas dan urgen, apakah seseorang itu bersikap, berpikir, dan bertindak dinamis atau fatalis dalam kehidupan. Sehingga, jika kita mencermati lebih dalam, justru bisa menjadi kunci awal untuk mau atau tidak membaca diri, juga dunia. Sebelum memahami secara mendalam tentang diri dan dunia.
Ilustrasi: Amanda T. Ayala
Mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Kini, menjabat sebagai salah seorang Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bantaeng