Semua tulisan dari Agusliadi Massere

Mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Kini, menjabat sebagai salah seorang Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bantaeng

Basis Filosofis Membaca Diri dan Dunia

Ada hal yang menarik dalam tulisan Asratillah, Korwil Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Sulawesi Selatan, “Filsafat dan Manusia yang tidak Pernah Selesai” dalam bukunya Hasrat Kebenaran. Saya yakin, bahwa dalam “membaca diri dan dunia”, salah satunya terbentuk relasi yang di dalamnya sarat dengan pembicaraan dan (pencarian) makna hidup (the meaning of life).

Asratillah menegaskan, bahwa dalam pembicaraan the meaning of life berarti pula membicarakan mengenai arti menjadi manusia. Sedang dirinya menegaskan, bahwa hidup yang kita maksud di sini, bukanlah hidup dalam konteks vegetatif (nutritive, reproduksi, dan tumbuh) maupun hidup dalam konteks animalia (instingtif, sensasional, dan mobile).

Saya sepakat dengan Asratillah, apalagi jika dihubungkan dengan penegasan Ahmad Faizin Karimi—merujuk dari Stanley Millgram, Christakis dan Flower—yang pada substansinya, di antara makhluk, manusialah yang paling terkoneksi antara satu sama lain. Selain itu, dalam konteks kekinian, koneksi manusia mengalami hyper-connected.

Selain yang ditegaskan oleh Asratillah dan Ahmad Faizin, manusia secara personal maupun kolektif, memiliki harapan-harapan (sukses-bahagia), kehadirannya memiliki tugas dan membawa mandat kosmis. Dan bukan hanya itu, tanpa kecuali menghadapi kompleksitas hidup, baik berupa tantangan maupun peluang. Karena sesungguhnya manusia hidup dalam jaring-jaring teks atau tanda.

 Dari kesadaran inilah, sehingga dibutuhkan basis filosofis untuk “membaca diri” dan “membaca dunia”. Tujuannya untuk menjawab harapan dan kompleksitas di atas, juga memberikan spirit untuk menjalani hidup dan kehidupan.

Basis filosofis yang saya maksud, adalah sesuatu (bisa berupa kerangka pikir, ilmu pengetahuan, pemahaman, dan cara pandang) yang menjadi landasan untuk memahami hal yang ingin kita pahami secara mendalam, radikal, sistematis, dan logis. Meskipun tepatnya basis filosofis yang dimaksud adalah filsafat itu sendiri, atau minimal dimensi-dimensi dalam filsafat ilmu (ontologis, epistemologis, dan aksiologis). Hanya saja tulisan ini, tidak sedang bermaksud menguraikan segala sesuatu tentang pengertian, seluk-beluk, dan jenis-jenis filsafat. Tetapi diarahkan dan secara fungsional berguna sebagai pengantar, dan pemantik spirit pentingnya filsafat.

Diri sebagai manusia, dunia sebagai tempat menjalani kehidupan, secara ontologis sebagai ruang mewujudkan eksistensi dirinya, perlu pembacaan mendalam. Hal ini guna mendapatkan pemahaman tentang diri dan dunia. Di sinilah urgensi apa yang saya maksud sebagai “basis filosofis”.

Diri dalam menjalani kehidupan sebagai manusia dalam dunia—termasuk dunia dalam diskursus semiotik yang dipandang bukan hanya alam semesta atau bumi yang kita diami. Ada upaya untuk terus membangun masyarakat, kebudayaan, ataupun peradaban. Hanya saja, sebagaimana dikutip oleh Moh. Mudzakkir dari Ali Syari’ati, bahwa semuanya akan gagal total apabila pertanyaan tentang “siapa” dan “bagaimana” manusia tidak terlebih dahulu dijawab.

Laiknya dalam perspektif Moh. Mudzakkir—yang terinspirasi dari Paulo Freire—diri dalam menjalani hidup dan kehidupan, tentunya salah satu harapan yang terus diperjuangkan adalah keadilan dan kesejahteraan. Hemat saya di dalamnya terkait apa yang disebut aktus “humanisasi”. Hanya saja, proses “humanisasi” maupun “dehumanisasi” tidak akan pernah bisa dilakukan, jika kita belum mengetahui dan memahami tentang hakikat manusia itu sendiri.

Satu contoh sederhana dari Moh. Mudzakkir, yaitu pelaksanaan UN (Ujian Nasional)—karena tulisannya ini memiliki setting historis tentang dialektika IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah). Kita tidak akan bisa menyimpulkan bahwa UN adalah sesuatu yang dehumanisasi, untuk selanjutnya harus diadvokasi untuk disuarakan dihentikan/ditolak, jika belum mengetahui hakikat manusia. Ternyata manusia ideal, secara esensial mempunyai potensi ruhiyyah (spiritual), aqliyah (intelektual), jasmaniyyah (biologis), dan nafsiyah (emosional).

Jika diri yang dimaksud, adalah diri dan harapan-harapannya, yang ingin senantiasa berkembang maupun memberikan manfaat besar dalam kehidupan, maka satu hal utama adalah bersentuhan dengan pemahaman tentang “pendidikan”. Sedang bicara pendidikan, maka tidak bisa lepas dari “mengupas” manusia. Dan telah dipahami bersama, bahwa mengupas manusia, sangat membutuhkan alat baca bernama filsafat. Di sinilah urgensi basis filosofis itu.

Belum lagi, jika diri kita terlibat dalam sebuah dialektika, pergumulan, dan pergulatan sebuah komunitas yang memiliki harapan kolektif, untuk melakukan perjuangan dan mencapai tujuan besar bersama. Maka, satu hal penting adalah urgensi daripada “basis fiosofis”. Mengapa?

Pertama, secara teoritik bahwa sebuah gerakan harus memiliki landasan filosofis, paradigma, ideologi, maupun teori gerakan sebagai dasar dalam bergerak. Kedua, realitas empirik, bahwa sebuah gerakan yang tidak memiliki basis filosofis yang radikal (mendalam dan kuat menghujam) dan sistematik akan mengalami pendangkalan arah tujuan gerakan. Ketiga, untuk meningkatkan elan vital (daya hidup) sebuah gerakan, semakin mempertajam visi, memperkuat misi, serta memperkaya program, dan aksi gerakan.” Begitulah penegasan dari Moh. Mudzakkir.

 Membaca diri dalam konteks tulisan ini, berbeda jauh dengan konsep diri sebagaimana dipahami bersama, ataupun yang sering saya bawakan dalam forum-forum perkaderan dan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK). Membaca diri dalam tulisan ini, sebagai pemantik untuk melahirkan kesadaran betapa pentingnya filsafat, sedang konsep diri adalah hasil pembacaan filosofis dengan pendekatan multi-disiplin, termasuk ilmu filsafat itu sendiri.

 Selain membaca diri, membaca dunia pun memerlukan basis filosofis yang mendalam. Agar dunia tidak hanya menjadi korban eksploitasi, tetapi di dalamnya lahir sebuah kesadaran, bahwa dunia harus dijaga, dirawat, dan menunjang pencapaian kemakmuran manusia secara seimbang dan merata. Basis filosofis yang digunakan untuk membaca dunia harus tepat, jangan seperti basis sains modern, justru menimbulkan kerusakan di muka bumi. Di dalamnya harus mengandung sebuah kesadaran, bahwa merawat dunia, sama saja menunda “kiamat ekologis”.

 Belum lagi, jika dunia yang dimaksud adalah dunia dalam dialektika semiotik yang beraneka ragam: dunia literasi, dunia pendidikan, dunia Islam, sangat menuntut tilikan filosofis mendalam. Tanpa pemahaman mendalam, dunia terakhir yang dimaksud ini, bisa saja menghilangkan kesadaran manusia, termasuk menjebak diri dan dunia itu sendiri, untuk berada dalam mesin hasrat—berorientasi materialistik daripada spiritualistik.

 Membaca diri dan dunia, tentunya multi arah, dan tulisan ini hanya diperuntutkan untuk media online atau media sosial, terbatas untuk menjelaskannya secara detail.

        Akhirnya, saya ingin menegaskan, khusus dalam membaca diri dan dunia, sekaligus dalam relasi dua arah, dan dalam konteks transendensi—sebagai bagian dari kesadaran manusia yang beragama—bahwa basis filosofis yang dimaksud, bisa berwujud lain, seperti pemahaman teologis.

         Pemahaman teologis seseorang, berimplikasi luas dan urgen, apakah seseorang itu bersikap, berpikir, dan bertindak dinamis atau fatalis dalam kehidupan. Sehingga, jika kita mencermati lebih dalam, justru bisa menjadi kunci awal untuk mau atau tidak membaca diri, juga dunia. Sebelum memahami secara mendalam tentang diri dan dunia.  

Ilustrasi: Amanda T. Ayala    

Ingat Pakaian Dalam, Lupa Kedalaman

 

Dalam pemahaman dan pengamatan sederhana, baik yang menyentuh sisi sensitivitas psikologis saya maupun orang lain, saya menemukan fenomena kehidupan yang bisa dianalogikan bahwa, dia, mereka, atau bisa saja termasuk kita dan kami, ”Ingat Pakaian Dalam, Lupa Kedalaman.” Fenomena ini, tidak hanya bersentuhan dengan aspek sosial, budaya, bahkan sampai pada aspek pemahaman agama. Dan lebih parah lagi ada yang bersentuhan, yang dalam pandangan saya, spirit utama peradaban yaitu “literasi”.

Frasa “Pakaian Dalam”, secara harfiah tentunya semua pembaca memahaminya. Namun, jujur saja⸻mungkin faktor didikan dan kebiasaan⸻menyebut frasa yang secara kategoris bersifat umum ini saja, saya masih risih menyebutnya dalam ruang publik. Apalagi yang bersifat spesifik dan lebih spesifik lagi. Namun pada dasarnya frasa “pakaian dalam” dalam konteks tulisan ini, bersifat metaforis atau memiliki makna konotatif.

Frase “Ingat Pakaian Dalam”, melalui tulisan ini, saya bermaksud mengungkapkan secara deskriptif bahwa dalam interaksi dan dinamika kehidupan, kita terkadang disuguhi sebuah fenomena yang landasan pengetahuan dan pemahaman yang dikedepankan, hanya sejauh atau sedalam “pakaian dalam”. Artinya, meskipun sudah menunjukkan kedalaman tetapi ternyata menunjukkan sesuatu yang masih di luar. Masih dangkal, belum menyentuh aspek substansial atau spirit yang melandasinya. Dia, mereka, mungkin termasuk kita dan kami “Lupa Kedalaman”. Sesuatu yang berdasarkan substansi dan spirit. Sehingga lebih jauh hanya ingat pakaian-dalam secara harfiah.

Ada pula yang karena lupa kedalaman dan akhirnya pakaian-dalam pun dilupa bahwa itu pakaian-dalam, sehingga menjadi pakaian-luar. Ini beberapa hal sebagai pengantar dan pemantik sehingga saya merasa terpanggil untuk menuliskannya dalam bentuk tulisan yang sederhana ini. Dalam kehidupan ini saya pernah mengalami langsung beberapa fenomena yang relevan dengan judul dan makna dari judul tulisan ini.

Saya masih ingat, mungkin tahun 2005/2006. Saya mendaftar calon PNS (Pegawai Negeri Sipil) bagian administrasi untuk tingkat SMA. Salah satu persyaratannya adalah sertifikat komputer. Pada saat itu, saya tidak punya sertifikat komputer hanya memiliki Surat Keterangan sebagai instruktur komputer (pengajar) di sebuah lembaga kursus komputer. Singkat cerita panitia penerimaan calon PNS menolak berkas saya, karena tidak dilengkapi dengan sertifikat komputer.

Dalam konteks tulisan ini, panitia mungkin lupa dan tidak memahami substansi bahwa “sertifikat komputer” adalah sebagai bukti legalitas bahwa orang yang bersangkutan paham dan memiliki skill dalam bidang komputer. Dan mereka juga lupa atau tidak berpikir substantif bahwa SK sebagai Instruktur (pengajar) Komputer⸻yang menjadi pelengkap dalam berkas dokumen pendaftaran saya⸻tentunya secara substantif “maqam/level”nya lebih tinggi daripada sertifikat komputer.

Saya juga teringat di sebuah tempat saat itu, saya bawa buku Filsafat Pendidikan, ada teman menegur saya dan memvonis akan menjadi kafir jika membaca buku tersebut. Sama halnya ketika saya memposting buku koleksi terbaru judulnya Psikologi Sufi terbitan Mizan, seorang teman menegur dan terkesan mengeluarkan statement kontroversial dengan spirit saya bahkan terkesan konfrontatif, karena baginya Mizan berafiliasi dengan syiah.

Dia terkesan menganjurkan menghindari terbitan Mizan dan baginya koleksi buku yang baik adalah yang halaman depannya, diawali dengan tulisan basmalah. Tentunya dari ribuan buku saya, ada ratusan bahkan mungkin lebih banyak yang tidak sesuai anjurannya. Tetapi dia sendiri lupa pada dirinya, karena saya tahu orangnya, bahwa tentunya beberapa koleksi bukunya termasuk milik anaknya tidak memenuhi persyaratan yang dimaksud: bertuliskan basmalah.

Saya juga teringat dengan salah satu teman, mengomentari berita “Halaqah Kebangsaan” yang dilaksanakan Pimpinan Pusat Muhamadiyah, yang saya share ke beranda facebook akun pribadi. Komentarnya sangat sadis karena menilai hal itu haram. Bahkan tingkat keharamannya menurut dia lebih haram daripada makan babi dan menzinai ibu kandung sendiri. Lalu saya berdebat, sampai akhirnya saya menunjukkan kepada dirinya sendiri, bahwa dia sedang berada, menggunakan instrumen bahkan sedang mengerjakan suatu proyek, yang secara langsung maupun tidak langsung, merupakan produk “demokrasi” yang diharamkannya itu. Jadi dia lupa dirinya, bahwa sedang melakukan perbuatan haram berdasarkan perspektifnya sendiri. Senjata makan tuan.

Contoh terakhir, fenomena yang ingin saya sampaikan adalah ketika seseorang, berkomentar di status facebook bahwa “segala sesuatu yang tidak diajarkan atau tidak ada di zaman nabi, Rasulullah maka itu tidak boleh bahkan haram”. Maka spontan saya berkomentar “Pak ustadz, berkomentar di sini menggunakan apa? Apakah facebook diajarkan dan ada di zaman nabi? Begitupun perdebatan saya dengan teman yang katanya “haram menggunakan nada dering/ringtone suara azan di handphone”, salah satu alasannya jika itu berbunyi dalam toilet. Singkat cerita dalam perdebatan itu, saya mengatakan apa bedanya dengan suara azan yang kita dengar dalam toilet melalui toa (pengeras suara) masjid. Padahal suara itu sama-sama kita dengar dari hasil konversi suara asli seseorang, melalui instrumen teknologi (handphone dan toa).

Dari logika-logika sederhana saya ini dan bagi saya tetap memperhatikan hal substansial dan spirit utama, maka diamlah dia. Mungkin dia sedang hanya “ingat pakaian dalam” dan “lupa kedalaman”. Sama halnya, mungkin saja, tulisan-tulisan saya selama ini, ada segelintir orang yang menilai sinis, membosankan ketika dibaca dan membanding-bandingkan dengan tulisan orang lain yang mengikuti selera “millenial”.

Jika ada yang menilai seperti itu terhadap tulisan saya, bagi saya itu bukan sebuah problem, karena mungkin saja dia sedang hanya ingat pakaian-dalam dan lupa kedalaman. Kedalaman apa yang saya maksudkan, salah satunya bahwa menulis, tentunya tulisan yang dilahirkan tidak semuanya sesuai dengan selera pembaca, kedua, kualitas tulisan akan mengikuti intensitas menulis. Dan ketiga, apa pun yang dibiasakan kelak akan menjadi karakter dan nasib hidup. Jadi bagi saya teruslah menulis tanpa memperhatikan ocehan orang, semoga kelak dirimu menjadi seorang penulis. Namun ingat saran dan kritik konstruktif tetap harus diterima dan diperhatikan.

Jadi ada banyak hal yang terkesan kita “lupa kedalaman”. Lupa hal substantif dan spirit yang melatarinya. Jika kita coba mendalami, ini adalah efek lanjutan dari dampak negatif globalisasi dengan segala determinan dan hal paradoksnya. Salah satunya tidak lagi berdasarkan bahwa pengetahuan itu adalah power sebagaimana temuan akademik Michael Foucault. Tetapi kita sedang berada dalam paradigma yang menggiring kita terhadap “ekstasi kecepatan” sampai memengaruhi kedangkalan berpikir.

Sebagaimana tahapan nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dirumuskan oleh Baudrillard, kita sedang berada pada tahap keempat yang berorientasi fraktal. Hanya berorientasi pada sesuatu yang viral. Sebagaimana pandangan Yasraf Amir Piliang, kita sedang terjebak pada kekacauan organisme kebudayaan, salah satunya organ kepala telah menjadi dengkul, sehingga kini orang lebih banyak bertindak ketimbang berpikir. Organ mata telah menjelma menjadi otak, sehingga kini orang lebih banyak menonton daripada merenung. Mulut telah mengambil alih hati, sehingga, lebih gandrung melepaskan hasrat ketimbang mengasah hati.

Dalam konteks agama, kita masih terjebak pada pemahaman keagamaan yang literal-tekstual, memahami agama hanya fokus pada teks dan lupa bahwa agama yang kita pahami adalah agama yang telah termanusiakan. Atau dalam perspektif Haidar Bagir, Islam Tuhan dan Islam Manusia.

Selain daripada Asratillah mengutip dari Hamid Abu Zayd yang pada intinya menjelaskan bahwa “Allah menyampaikan wahyu kepada Rasul Muhammad Saw, tidaklah dalam kondisi vakum historis atau vakum sosial. Hal ini, bisa kita konfirmasi minimal bagaimana kita memahami bahwa ayat-ayat makkiyah itu sangat berbeda karakternya dengan ayat-ayat madaniyyah. Artinya apa bahwa agama tidak cukup hanya dipahami secara literal-tekstual tetapi membutuhkan sikap moderat-progressif.

Dari hal ini, minimal agar kita tidak fokus pada ingatan hanya pada pakaian dalam arti harfiah semata dan bisa untuk selalu ingat dengan kedalaman, maka penting kiranya kita meningkatkan spirit literasi, termasuk bagaimana memahami filsafat khususnya filsafat ilmu, meskipun belum sepenuhnya.

Kita perlu memahami pendekatan keagamaan yang dikenal dengan Bayani, Burhani, dan Irfani. Dan jika kita meminjam perspektif Amin Abdullah, maka kita harus mau dan mampu mengintegrasi-interkoneksikan pemikiran keagamaan Islam dengan berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu sosial kontemporer, agar agama (Islam) bisa sesuai spiritnya, rahmat bagi seluruh alam semesta dan Shalih Li Kulli Zaman Wal Makan.

Saya menyadari keterbatasan ruang ini, sehingga belum sepenuhnya menguraikan secara lebh dalam lagi tentang apa, mengapa, dan bagaimana agar bisa mencapai “kedalaman” khususnya dalam hal ilmu pengetahuan.

 

Ilustrasi: Nusasatu.com

Dari Cinta Agama Menjadi Agama Cinta (Bagian Kedua)

 

Saya mensiyalir “cinta agama” yang dimaksud oleh Sulhan Yusuf (Kak Sul) dalam Maksim Daeng Litere-nya tersebut adalah sesuatu yang berdimensi kurang positif. Untuk tidak menyebutnya negatif. Sehingga Sulhan Yusuf merekomendasikan bahkan menginterupsi untuk diparipurnakan.

Dalam realitas kehidupan, tidak sedikit fenomena yang bisa disimpulkan bahwa karena “cinta agama” secara berlebihan atau kurang tepat dalam pemahaman dan implementasinya, sehingga bukan melahirkan kehidupan yang damai, tentram dan bahagia serta agama sebagai rahmat, justru sebaliknya yang terjadi. Contoh sederhana: terorisme, radikalisme dan ekstrimisme. Disimpulkan demikian, karena pada umumnya mereka melandaskan perilakunya pada basis ideologis dan teologis agama. Dan tentunya sangat salah jika disimpulkan Islam adalah teroris. Agama pada dasarnya adalah jalan menuju kedamaian dan kebahagiaan.

Cinta Agama adalah sejatinya terpahami sebagai sebuah sikap yang mengedepankan paradigma apresiatif. Melihat dan membawa agama dalam pemahaman yang positif, afirmatif, fleksibel, terbuka dan mengedepankan dialog. Meskipun agama pada wajah lain dipahami cenderung memiliki mekanisme internal untuk menciptakan sistem tertutup bahkan menciptakan “musuh”. Saya menyebutnya paradigma defisit. Jadi salah satunya, cinta agama mengedepankan paradigma apresiatif daripada paradigma defisit. Pemahaman tentang kedua paradigma ini, saya terinspirasi dari buku Apreciatif Inquiry karya Diana Whitney & Amanda Trosten-Bloom (2007).

Dalam paradigma apresiatif, kontekstualisasinya terhadap cinta agama, harus mampu bersikap melepaskan egoisme sebagaimana cinta ideal secara umum mensyaratkan dan mengisyaratkan pelepasan egoisme. Selain daripada itu harus mampu melihat secara jernih, memahami dan menyadari bahwa agama yang dianutnya, dicintainya adalah agama yang telah termanusiakan. Melewati dimensi sejarah dan sosial. Dan sebagaimana cinta kepada sesuatu maka cinta kepada agama akan membuat penganutnya untuk terus berupaya mendalami dan mencari sumber otentik.

Agama, terutama dalam hal ini Islam adalah agama yang membawa misi sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Dan agama pada dasarnya memiliki ajaran utama tentang tauhid. Sebagaimana dikutip oleh Nurul Hidayah dari Amin Rais, tauhid ini diformulasikan dalam bentuk tauhid sosial yang memiliki lima dimensi yaitu: kesatuan ketuhanan (unity of godhead), kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusia (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life).

Tauhid sosial ini meskipun bisa juga sebagai bentuk lain dari agama cinta, tetapi untuk dalam aspek dimensi cinta agama yang saya maksudkan, ini perlu diserap, diinternalisasi sebagai bentuk cinta kita terhadap agama. Apa yang diserap dari agama, jangan hanya yang bersifat normatif semata. Apalagi ⸻ meskipun saya sudah lupa sumbernya ⸻ khususnya Islam, dalam kitabnya – Al-Qur’an, ajaran yang berdimensi sosial jauh lebih banyak daripada yang berdimensi ibadah vertikal. Bahkan dalam situasi darurat, dianjurkan untuk lebih memilih dimensi sosial dan menunda dimensi ibadah vertikal.

Pada intinya cinta agama merefleksikan model pembacaan kita terhadap teks agama. Terkait teks agama dari Asratillah sebagaimana salah satunya dikutip dari Fazlurrahman. Fazlurrahman mengajukan sebuah cara pembacaan terhadap teks agama yang dikenal dengan metode Double Movement. Model ini terdiri dari dua tahap yaitu Tahap Etik Al-Qur’an dan kedua Tahap Sosiologis.

Dari sini, saya memahami bahwa dalam memahami makna ayat–ayat Al-Qur’an idealnya melalui sinaran sosiohistoris yang bukan hanya menggunakan Asbabun Nuzul tetapi termasuk memerlukan bantuan studi-studi lain. Sepeti yang saya pahami dari Amin Abdullah, mengintegrasi dan menginterkoneksikan antara pemikiran Islam klasik, pemikiran Islam kontemporer dengan pemikiran sosial kontemporer. Setelah itu mengeneralisir dan mengkategorikan makna spesifik dari ayat–ayat ke dalam tema–tema etik yang sifatnya umum. Ini dua langkah dari tahap pertama.

Sedangkan dua langkah dari tahap kedua, bisa dipahami yaitu mengurai, membaca, dan menganalisa beberapa kondisi dan problem–problem sosial manusia kontemporer, kemudian membenturkan dengan tema–tema etik umum Al-Qur’an yang didapatkan pada tahap pertama dengan problem sosial keagaman. Intinya mengedepankan usaha dialektis mempertemukan teks dan konteks. Karena pada preseden historisnya, Muhammad datang dengan ajaran moral dengan penekanan pada dua hal yaitu monoteisme dan keadilan sosial.

Selain daripada Asratillah mengutip dari Hamid Abu Zayd yang pada intinya menjelaskan bahwa “Allah menyampaiakn wahyu kepada Rasul Muhammad Saw tidaklah dalam kondisi vakum historis atau vakum sosial. Hal ini, bisa kita konfirmasi minimal bagaimana kita memahami bahwa ayat–ayat Makkiyah itu sangat berbeda karakternya dengan ayat –ayat Madaniah.

Setelah proses internalisasi aspek cinta agama, atau dalam istilah Sulhan Yusuf (Kak Sul) “paripurnakanlah cinta agama” maka langkah selanjutnya adalah bagaimana merefleksikan, menghadirkan, mengimplementasikan agama cinta dalam realitas kehidupan. Agama cinta yang hadir di tengah kehidupan sosial merupakan hasil pembacaan dari teks agama tersebut.

Dari beberapa buku yang saya baca sebagai referensi untuk penulisan esai sederhana ini, agama cinta bisa terwujud dan sebagai refleksi dari ajaran tasawuf/sufisme. Kecendrungan terhadap sufisme merupakan langkah solutif atas kemajuan teknologi modern yang terkesan mengikis nilai-nilai spiritual sebagai basis fundamental dalam kehidupan manusia.

Dalam realitasnya, ada fonemena sufisme atau para sufi yang pendekatannya kepada Allah (ma’rifatullah) terkesan pincang dalam pemahaman dan implmentasinya. Pemahaman sederhananya fokus kepada persoalan akhirat dan lupa bahkan membutakan diri pada urusan dunia. Agama cinta dalam perspektif sufisme yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah sebagaimana yang dipahami oleh Muhammadiyah dengan istilah Neo Sufisme Muhammadiyah.

Neo Sufisme Muhammadiyah merupakan state of mind, yang menandai adaya gerak reflektif keagamaan, dari kepekaan teologis menuju kepekaan sosial. Saya memahami ini relevan dan sekaligus bentuk pemahaman kongkret dalam realitas kehidupan bahwa pemahaman Muhammadiyah terhadap surah Al-Ma’un tidak berhenti pada aspek teologisnya saja sebagai firman dari Allah, tetapi mengimplementasikan dalam bentuk amal bahkan dalam bentuk pelembagaan amal. Hal lain dari Muhammadiyah yang bagi saya merupakan bentuk neo sufisme adalah konsep Islam Berkemajuan dan Kosmopolitanisme ala Muhammadiyah.

Yang lebih kongkret terkait neo sufisme bahkan diterapkan dalam dunia bisnis dan korporasi, ⸻ sebagai spirit dasarnya noe sufisme dianalogikan setelah sampai di langit jangan lupakan bumi, tetapi harus kembali ke bumi mengimplementasikan yang apa yang diperoleh di langit ⸻ bisa dibaca dalam karya spektakuler Ary Ginanja Agustian yaitu buku ESQ Power sebuah Inner Journey melalui Ihsan.

Agama Cinta yang merupakan refleksi dari sebuah sufisme pada dasarnya mengedepankan spiritualitas ihsan. Pada preseden historisnya yang bisa dipahami dalam sebuah hadis yang dikenal dengan Hadis Jibril. Ada satu dari tiga pilar agama yang cenderung dilupakan yaitu Ihsan ⸻ dua pilar lainya rukun iman dan rukun Islam. Ihsan adalah menyembah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihat engkau. Ini relevan dengan pemahaman saya dengan QS. Az – Zariyat/51: 56 bahwa apa pun aktivitas kita, idealnya berada dalam dimensi “rida Allah”.

Ihsan sebagai sebuah drive (dorongan) untuk senantiasa mengedepankan kualitas terbaik. Dari Ary Ginanjar saya memahami bahwa orang –orang yang mengedepankan spiritualitas (ihsan) cenderung mengedepankan sikap sederhana, tidak berorientasi pada pemuasan material bahkan senang berbagi. Dan Ary Ginanjar menemukan itu dalam diri para CEO perusahaan terkemuka di dunia.            

Harvard pernah melakukan diskusi yang dihadiri oleh para CEO Perusahaan terkemuka dunia untuk merumuskan nilai–nilai spiritual yang mampu membantu mereka menjadi ”Powerful leaders”. Hasil diskusi mereka sampai pada kesimpulan tentang nilai–nilai spiritualisme dan termasuk hasil survey yang dilakukannya ternyata jawabannya jujur menempati urutan pertama. selain jujur, sikap senang memberi, adil menjadi nilai spiritualitas yang dikedepankan oleh para CEO tersebut. Ary Ginanjar Agustian bahkan sampai pada kesimpulan bahwa para sufi bukan hanya ditemuka di masjid-masjid, gereja atau tempat peribadatan lainnya. Tetapi para sufi bisa ditemuka pada perusahaan terkemuka dunia.

Agama cinta adalah agama yang yang mengutamakan koheseivitas sosial bahkan kolaborasi kemanusiaan universal. Agama cinta menjadi solusi utama dalam setiap problematika kehidupan. Agama cinta mengedepankan integritas, mengedepankan dialog intra-agama dan inter-agama. Agama cinta memadukan hati suci dan pikiran jernih. Agama cinta mengintegrasi-interkoneksikan ajaran agama dengan interdisipliner tanpa kecuali ilmu-ilmu sosial kontemporer.

Sekali lagi keluasan dan kedalaman tema “cinta”, “agama”, “cinta agama” dan “agama cinta”, sungguh tanpa diuraikan dalam tulisan yang sangat terbatas ini, apalagi keilmuan yang saya miliki belum mampu menyelami lebih kedalaman samuderanya. Namun semoga percikan perspektif ini, bisa sedikit memberikan pencerahan atau minimal menyampaikan referensi-referensi yang saya kutip untuk didalami lebih jauh.

 

 

 

 

Dari Cinta Agama Menjadi Agama Cinta (Bagian Pertama)

 

Judul tulisan ini, saya terinspirasi dari Maksim Daeng Litere “Paripurnakanlah Cinta Agama Menjadi Agama Cinta”. Status singkat, prinsipil dan inspiratif sejenis itu, rutin ditulis oleh Sulhan Yusuf (Saya lebih akrab memanggilnya Kak Sul/Sulhan) pada beranda akun facebooknya setiap hari pada pagi hari.

Ahmad Faizin Karimi dalam buku Membaca Korona (2020), saya menangkap pesannya bahwa di antara makhluk hidup, manusialah yang paling terkoneksi antara yang satu dengan yang lainnya. Dan ini membentuk jejaring sosial kehidupan. Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Faizin  Karimi dari Stanley Milgram, menyimpulkan sebagian besar manusia di dunia ini terhubung dengan rata –rata “enam derajat keterpisahan”. Contoh: Presiden Amerika itu, temannya teman dari teman dari teman dari teman dari teman saya.

Masih dalam tulisan pencerahan Ahmad, saya memahaminya bahwa “enam derajat keterpisahan” itu dalam koneksi secara fisik dan konvensional. Berbeda dengan koneksi secara virtual, itu lebih dekat lagi jaraknya, bahkan jika saya hubungkan dengan tesis “Dunia yang Dilipat” Yasraf Amir Piliang bisa disebut “tanpa batas”. Ini membentuk jejaring maha besar. Christakis & Flower menyebutnya “hyper-connected”.

Dalam koneksi dan relasi kehidupan manusia ini, baik secara fisik (konvensional) maupun virtual tidak terlepas dari sebuah problematika yang merupakan paradoks dari the ultimate goal manusia itu sendiri: “kebahagiaan”. Meskipun lazimnya, selain berupaya mencapai kebahagiaan manusia juga berupaya mencapai kesuksesan. Tetapi ingat sukses belum pasti bahagia.

Sebagaimana bisa kita baca dalam buku Tasawuf Modern karya Prof. Dr. Hamka (Buya Hamka) yang terbit pertama kali 1939, berbagai pendapat tentang bahagia mulai dari pemikir Islam klasik, termasuk perspektif dari para filsuf tanpa kecuali Aristoteles, defenisi dan pemahamannya berbeda–beda. Meskipun saya bukan seorang mufasir (ahli tafsir) tetapi saya menarik sebuah konklusi (kesimpulan) bahwa hakikat hidup itu adalah “bahagia”.

Kesimpulan ini saya tarik dari premis yang bersumber dari firman Allah yaitu pada QS. Az – Zariyat/51: 56 “Manusia diciptakan hanya untuk menyembah kepada Allah” dan QS. Ar- Ra’du/13: 28 “Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram (bahagia)”. “premis-premis” (firman) dan konklusi ini saya anggap benar, karena saya (pemeluk agama Islam) mengimani Al-Qur’an.

Segala dinamika yang terjadi dalam jejaring sosial kehidupan tersebut, pada dasarnya diharapkan bermuara pada “kebahagiaan”. Bahagia disimpulkan berasal dari dalam diri, bukan dari luar sehingga dinamika yang saya maksudkan di sini bukanlah dalam perspektif materiil atau capaian–capaian materi. Melainkan dinamika yang bersifat intelektual, emosional, dan spiritual.

Ada banyak fenomena dalam realitas empirik yang bagi saya sangat paradoks dengan kebahagiaan atau menjadi pemantik ketidakbahagiaan. Dan aktor–aktornya secara psikologis itu tidak bahagia. Mungkin saja ada yang mengklaim bahwa ini adalah “kebahagiaan”, apalagi jika fenomena yang dimaksud menurutnya memiliki basis teologis (ada dalil pembenarannya). Namun kita perlu berhati–hati mendefenisikan dan merasakannya karena bisa jadi kesenangan yang menyamar/menjelma menjadi kebahagiaan.

Fenomena–fenoma yang saya maksudkan antara lain: Hoax terus diproduksi dan direproduksi. Yang lebih parah daripada hoax itu ada radikalisme, ekstrimisme, terorisme, intoleransi, korupsi, amoral, antipati, takfiri, truth claim, resisten, chaos, making fun, kriminal anti kritik, anti dialog. Saya berani menyimpulkan bahwa aktor dari semua ini, sesungguhnya itu kurang bahkan tidak bahagia.

Apalagi jika saya mengorelasikan dengan QS. Az- Zariyat/51:56 di atas, fenomena yang saya sebutkan bukan dalam konteks menyembah kepada Allah. Saya mencoba memahami frasa “menyembah kepada Allah” bukan cuma dalam konteks “beribadah”, apalagi jika ibadah yang dimaksud adalah ibadah vertikal. Tetapi saya memahami frasa “menyembah kepada Allah” itu adalah bagaimana agar segala aktivitas kehidupan manusia dalam dimensi “rida Allah”. Kata kuncinya “rida Allah”.

Meretas semua problematika dan fenomena tersebut, maka penting menghadirkan “cinta” dan “agama” pada diri manusia dan dalam jejaring sosial kehidupan manusia. Cinta dan agama merupakan modal psikologis dan teologis yang sangat urgen dan vital bagi manusia dalam mengarungi kehidupannya. Pemahaman terhadap “cinta” dan “agama” itu tidak tunggal bahkan dari keduanya berpotensi ⸻ khususnya agama ⸻ memiliki wajah ambigu (meminjam istilah Asratillah).

“Cinta” dan “agama” yang sebagian anasirnya sesungguhnya telah built-in pada diri manusia bersama kelahirannya, memiliki potensi yang bukan hanya menjadi pemantik pencapaian the ultimate goal manusia tetapi justru sebaliknya. Menjadi basis lahirnya fenomena yang saya sebutkan di atas dan paradoks dengan kebahagiaan tersebut.

Membaca tiga tulisan (sub judul) yang memiliki relevansi dengan “agama” dalam buku Hasrat Kebenaran karya Asratillah (2014), agama bukan hanya membantu manusia membaca makna yang tiada batas, menjelaskan posisi manusia di tengah tengah kosmos, mengingatkan keterhubungan antara manusia yang profan dengan seuatu yang transenden dan memicu tekad manusia. Ternyata agama juga memicu benih yang tak membawa kebahagiaan: menciptakan musuh, truth claim, takfiri, terorisme, radikalisme ,hasrat kekuasaan dan lain lain.

Hal ini terjadi karena kita hanya menilai sebagaimana pandangan Asratilah “…mengira agama adalah sesuatu eksisten yang independen di alam metafisik sana”. Secara substansial bisa jawaban “iya”. Tetapi Asratillah juga mengingatkan, bahwa kita jangan lupa, agama yang kita anut, kita bela dan yang kita hujat adalah agama yang termanusiakan. Ini relevan dengan pembacaan Haidar Bagir dalam buku karyanya Islam Tuhan Islam Manusia (2017).

Untuk tujuan mulia dan utama manusia: “kebahagiaan”, penting kiranya memformulasikan antara modal psikologis (cinta) dan modal teologis (agama) dalam jejaring sosial kehidupan manusia. Formulasi yang dimaksud, adalah bagaimana kita mencintai agama. Ini juga bisa berarti bagaimana menghadirikan cinta yang dilandasi oleh agama (nilai–nilai dan ajaran agama). Setelah itu, bagaimana mengimplementasikan agama cinta, agama yang memancar dengan penuh cinta.

Inilah yang saya maksudkan “Dari Cinta Agama Menjadi Agama Cinta”, untuk diurai lebih jauh agar mampu meretas fenomena kehidupan yang paradoks dengan kebahagiaan dan dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup. Saya menyadari bahwa persoalan “cinta”, “agama”, “cinta agama” dan “agama cinta” merupakan tema yang sangat luas dan dalam. Jadi tulisan saya ini, betapapun panjang narasi yang saya goreskan dengan argumentasi dan referensi yang jelas tetapi ini hanya setetes atau percikan perspektif dalam pemahaman saya yang masih terbatas. Setetes air pengetahuan dari samudera ilmu pengetahuan.

Salah satu indikator yang menunjukkan hal tersebut, tulisan ini sudah satu pekan saya rumuskan (rangkai), beberapa kali saya rombak/bongkar total (edit) karena tema ini bukan cuma menunjukkan hal paradoks antara pemahaman saya yang masih terbatas dibandingkan tema yang amat luas dan dalam. Tetapi tema ini pula sangat sensitif, fundamen bahkan merupakan persoalan yang paling purba, lebih tua dari sains. Sebagaimana dikutip oleh Asratillah dari sosiolog positivistic, August Comte “Fase agama adalah fase yang lebih primitif dari fase metafisika apalagi fase positif”. Komaruddin Hidayat menyimpulkan “agama punya seribu nyawa”.

“Dari Cinta Agama Menjadi Agama Cinta”, ditilik dari Habitus Pierre Bourdieu, “Dari Cinta Agama” itu saya menilai sebagai proses internalisasi eksterior. Menyerap substansi cinta yang relevan dengan nilai–nilai agama yang otentik dan cinta itu sendiri menjadi pemantik agar dalam proses internalisasi (menyerap) nilai dan ajaran agama secara baik dan benar. Untuk memudahkan pemahaman secara baik dan benar, singkatnya relevan sebagaimana Asratillah memahami agama yang termanusiakan dan dalam perspektif Haidar Bagir memahami Islam Tuhan dan Islam Manusia.

Sedangkan “Agama Cinta” itu merupakan proses eksternalisasi interior. Bagaimana menghadirkan agama dalam realitas kehidupan dengan penuh cinta sebagai hasil pemahaman agama yang baik dan benar. Mengedepankan spirit cinta sebagai refleksi agama yang otentik. Sederhananya agama cinta itu relevan dengan Tasawuf Modern-nya Buya Hamka (2015) ⸻ terbitan pertama 1939, Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan-nya Haidar Bagir (2012), The Garden of Truth-nya Seyyed Hossein Nasr (2007), Teologi Al-Ma’un dan Etos Welas Asih-nya KHA. Dahlan (1912-), dan Spiritualitas Ihsan-nya Ary Ginanjar Agustian. Tanpa kecuali relevan dengan konsep Islam Berkemajuan dan Kosmopolitanisme-nya dan Neo-Sufisme-nya Muhammadiyah.

Meskipun cinta oleh sebagian pujangga menilainya sesuatu yang misteri namun ada banyak defenisi tentang cinta. Cinta memiliki kekuatan yang dahsyat untuk melakukan transforrmasi baik kehidupan personal maupun sosial. Cinta dalam perspektif tertentu ada yang mengarah pada hal–hal yang negatif dan destruktif, maka di sinilah signifikansi cinta harus dilandasi dengan nilai-nilai dan ajaran agama. Agar cinta yang lahir adalah merefleksikan cinta yang ideal. Cinta ideal merefleksikan cinta kepada Allah dan cinta-Nya Allah kepada hamba-Nya.

Bersambung pada bagian kedua…

 

Ilustrasi: Serat.Id

 

 

 

Nilai Sosial dan Psikologis Puasa (Bag. 2)

Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa dibutuhkan pemahaman filosofi habits dan seperti apa mekanisme yang terjadi di dalamnya. Dan untuk selanjutnya diperkuat dengan pemahaman psikologi untuk menggali potensi psikologis yang telah built dalam diri setiap manusia.

Dalam buku Habits karya Felix Y. Siauw (2015) Habits yang disebut juga sebagai kebiasaan adalah segala sesuatu yang kita lakukan secara otomatis, bahkan ita melakukan tanpa berpikir. Habits adalah sesuatu aktivitas yang dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi bagian daripada seorang manusia.

Yang perlu ditambahkan sebagaimana defenisi dari Felix tentang habits adalah bahwa secara otomatis dan tanpa berpikir bukan berarti bahwa apa yang dilakukan atau aktivitasnya tersebut sangat dangkal, kurang bermakna dan tidak bermanfaat. Melainkan karena sebelumnya telah melewati sebuah proses internalisasi eksterior yang didalamnya melewati proses berpikir dan memahami yang sangat dalam.

Sederhanaya, Habits atau kebiasaan adalah suatu tindakan/aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang. Jika memperhatikan alur sikap dan perilaku salah satunya dari Erbe Sentanu seagaimana dalam bukunya Quantum Ikhlas, setelah Habits akan menuju pada lahirnya karakter dan muara pada nasib.

Erbe Sentanu memetakan dalam dua dimensi alur tersebut yakni dimensi fisika newton dan fisika quantum. Alur yang dimaksud adalah: Perasaan – Pikiran – Kata-kata – Tindakan – Kebiasaan – dan terakhir Nasib. Pikiran dan perasaan berada dalam dimensi fisika quantum sedangkan kata – kata, tindakan, kebiasaan, karakter dan nasib berada dalam dimensi fisika newton.

Berdasarkan alur tersebut, bisa disimpulkan bahwa segala sesuatu: perasaan, pikiran, kata – kata dan tindakan yang diulang – ulang akan menjadi sebuah kebiasaan. Jadi jika hal tersebut bersifat positif maka akan menjadi kebiasaan positif, begitupun sebaliknya. Jika sesuatu telah menjadi kebiasaan baik yang positif maupun negative cepat atau lambat kelak akan menjadi karakter dan selanjutnya akan bermuara pada nasib.

Kedahsyatan dari sebuah kebiasaan yang termanifestasi dalam karakter dan bahkan nasib, contoh realitas konkretnya dan preseden historisnya bisa ditemukan dalam fakta tersebut. Pertama, Saya yakin di antara para pembaca tulisan ini, pernah masuk kebun. Setelah dari kebun kita bisa kembali pulang ke rumah yang ditandai adalah jalanan. Padahal jika kita mau jeli dan bertanya, apakah jalanan tersebut sengaja dibuat oleh orang tertentu?, maka jawabnya, tidak. Lalu kenapa terbentuk jalanan kebun tersebut? Maka jawabanyannya karena sering dilewati. Ini contoh atau realitas konkret dari kedahsyatan sebuah habits.

Kedua, masa-masa awal berdirinya Muhammadiyah, Kiai Dahlan mengajarkan kepada santrinya surah al-ma’un dan diulang–ulang selama kurang lebih 3 bulan. Lalu apa yang terjadi dari kedahsyatan pengulangan tersebut, Muhammadiyah mampu melahirkan puluhan ribu sekolah tingkat TK sampai SMA/SMK, ribuan rumah sakit, panti asuhan, dan klinik kesehatan serta sebanyak 176 Perguruan Tinggi. Semua mengakui bahwa hal itu merupakan implementasi dan implikasi dari teologi dan/atau etos al-ma’un.

Habits, sebagaimana dalam buku karya Felix menjelaskan bahwa habits (kebiasaan) memiliki ibu yaitu practice (latihan) dan bapak yaitu pengulangan (repetition). Practice makes right, dan repetition makes perfect.

Puasa Ramadan dilaksanakan selama 29/30 hari, berarti puasa yang dilakukan memenuhi kategori sebagai sesuatu yang dilakukan secara berulang–ulang. Dan hal ini tentunya memenuhi unsur untuk terwujudnya kedahsyatan habits bagi yang melakukannya. Dan selanjutnya sebagaimana alur yang dibuat oleh Erbe Sentanu akan menjadi karakter bahkan kelak akan menjadi nasib bagi yang melaksanakannya.

Apalagi secara teologis, saya menemukan bahwa alur habits – karakter sebagaimana digambarkan di atas terkonfirmasi secara langsung tentang kebenarannya dalam QS. Al-Baqarah/2: 183, “…Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Secara tegas ayat ini menunjukkan ultimate goal dari puasa adalah bertakwa.

Tujuan konkret dari puasa sebagaimana ayat tersebut di atas adalah takwa. Bagi saya, ini mempertegas makna filosofis dari habits bahwa yang diulang–ulang itu memiliki kedahsyatan dan bahkan takwa bisa dikategorisasikan sebagai sebuah karakter. Dan ini relevan dengan alur bahwa setelah terwujud habits maka selanjutnya akan dicapai karakter.

Uraian tersebut di atas bisa disimpulkan, bahwa apa yang dilakukan selama kita menjalani puasa ramadan, mulai dari menahan makan, minum, nafsu dan beberapa perbuatan yang membatalkan puasa lainnya, idealnya membentuk sebuah nilai sosial dan psikologis yang positif dan bermanfaat.

Termasuk amal–amal kebaikan yang mengiringi ibadah puasa kita selama bulan Ramadan karena dilakukan secara berulang–lang idealnya termanifestasi menjadi sebuah karakter positif. Dan karakter positif ini mengandung dua dimensi dan nilai yaitu: nilai sosial dan psikologis.

Dan untuk memperkuat pemahaman habits tersebut di atas selain secara filosofis sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, maka secara psikologispun bisa kita uraikan lebih dalam. Untuk memperkuat hipotesis bahwa idealnya puasa dan segala amalan (kebaikan) yang dilakukan selama bulan Ramadan berimplikasi positif dan membentuk sebuah karakter dan atau membentuk sebuah habitus sebagaimana perspektif Pierre Bourdieu.

Manusia berdimensi fisiologis dan psikologis. Kedahsyatan habits beroperasi dalam ruang psikis dan selanjutnya termanifestasi dalam realitas empirik. Salah satu dimensi psikologis yang relevan dengan kedahsyatan habits jika kita mengharapkan nilai sosial dan psikologis dapat termanifestasi dalam kehidupan sosial adalah Alam Bawah Sadar, Perasaan dan Pikiran Positif.

Puasa yang esensinya adalah menahan dan/atau pengendalian diri serta amal kebaikan dilakukan selama 29/30 hari dalam bulan ramadan. Begitupun kebaikan lainnya seperti: bersedekah, membaca Al-Qur’an akan menjadi nilai positif yang tersimpan di dalam alam bawah sadar. Karena alam bawah sadar salah satu syarat operasional agar sesuatu tersimpan di dalamnya adalah pengulangan.

Begitu pun selama ramadan tentunya akan terpancar perasaan dan pikiran pikiran positif dan akan akan saling tarik menarik dengan perasaan dan pikiran positif dari orang lain. Selain daripada itu rasa lapar dan haus dirasakan selama puasa akan terakumulasi dalam energi positif dalam diri kita untuk menumbuhkan empati.

Jadi idealnya jika kita berpuasa, maka lahir nilai sosial berupa sikap empati, kohesivitas sosial dan pengendalian untuk tidak melaksanakan perbuatan negatif: korupsi, menipu, kikir, dan perbuatan negatif berdimensi sosial lainnya. Selain daripada itu akan lahir nilai psikologis puasa, berupa lahirnya sosok yang berkarakter, menjauh perbuatan merugikan diri sendiri.