Semua tulisan dari Ahmad Dhanur

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Pernah menyemarakkan Hari Penyair Nasional dan Hari Kemerdekaan dengan menjadi kontributor antologi puisi bersama Tim CTA Creation. Sekarang sedang mengambil fokus di studi Aqidah dan Filsafat Islam.

Zaman Gelisah; Refleksi Bersama KH. Husein Muhammad

Dari Cinta kita berasal, dari Cinta kita terlahir, atas Cinta kita berjalan, dan kita akan pulang ke asal menjemput Cinta”

Dewasa ini nilai-nilai spiritualitas manusia tampaknya sudah semakin pudar seiring pula dengan kemajuan zaman yang begitu pesat. Dengan kemudahan yang serba-serbi dapat kita temui ini, lantas tidak serta-merta membuat sisi paling ‘rahasia’ di dalam diri kita juga mendapatkan asupan yang sesuai. Justru berbanding terbalik, jiwa manusia di zaman sekarang ini semakin kerontang dari nilai-nilai kearifan. Zaman kita telah maju juga sekaligus mengalami kemunduran. Maju dalam bidang IPTEK tetapi nilai-nilai spiritual masih tertinggal entah disengaja ataupun tidak.

Husein Muhammad, pendiri perguruan tinggi Institut Studi Islam Fahmina menamai fenomena ini sebagai Zaman Yang Gelisah. Dalam bukunya “Kidung Cinta dan Kearifan”, beliau mengajukan sebuah pertanyaan; Bagaimana sesungguhnya makna dari hidup dan berkehidupan? Hendak kemanakah akhir dari perjalanan ini? Kita sedang di mana? Sedang apa? Lalu bagaimana kelak dan nanti? Mengapa banyak penderitaan? Lalu sebaiknya kita harus bagaimana?

Di tengah pertanyaan yang terus menganggu itu beliau berkontempelasi, wira-wiri ke pelbagai literatur yang ditulis oleh para bijak bestari dari masa ke masa, mereka antara lain Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Husein Manshur al-Hallaj, Abu Yazid al-Bisthami, Abu Hamid al-Ghazali, Abu Qasim al-Qusyairi, Ibn Arabi, Maulana Rumi, Plato, Aristoteles, Budha Gautama, hingga masa sekarang ini Soekarno, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Gus Dur, Daisaku Ikeda, Mahatma Gandhi dan masih banyak lagi tentunya.

Beliau menyebut mereka sebagai para ‘asyiqin (perindu), pengembara yang menerjang gurun pasir, rela kelaparan, terkucil, demi cintanya kepada kehidupan manusia. Para bijak bestari itu menghidupi dan memberi makna intelektual serta spritiual kepada manusia, dan di atas segalanya adalah Baginda Nabi  Muhammad Saw. Dialah imam para perindu itu. Dia yang merindu juga dirindu.

Menurut KH. Husein Muhammad, salah satu penyebab yang paling mendasar dari kegelisahan zaman sekarang ini adalah tercerabutnya akar cinta dari segala aspek kehidupan manusia. Beliau mengibaratkan bahwa kehidupan ini adalah perjalanan singkat yang dari awal keberangkatan sampai kita kembali pulang harus senantiasa berpegang kepada Cinta sebagaimana syair dalam buku beliau yang saya angkat di awal tulisan ini.

Di zaman sekarang, kita telah kehilangan teladan yang memperkenalkan nila-nilai berasaskan cinta. Kita kehilangan para genius spiritual yang mampu mendialogkan antara akal dan hati, kita sebenarnya sedang berada pada kerinduan yang dalam, namun pada saat yang sama kita juga telah kehilangan bahasa untuk mengungkapkan kerinduan itu, untuk siapa rindu itu, dan kenapa harus rindu.

Kemarahan, kecemasan, kegalauan, frustasi, ketergantungan, dan kerinduan yang tengah berlangsung pada zaman ini adalah tanda jiwa-jiwa yang dirundung situasi yang boleh jadi disebut skizofrenia, perasaan berkuasa yang ingin memonopoli segala sesuatu untuk kepentingan pribadi. Kalau ini dibiarkan pengetahuan yang mestinya membangun keseimbangan hidup dan memudahkan manusia mengemban amanah Tuhan sebagai Khalifah lil Ard, justru menjadi ‘senjata makan tuan’ yang menimbulkan kengerian-kengerian yang tak tertanggungkan.

Kini ilmu pengetahuan semakin ingin memisahkan diri dari segala hal yang dianggap kuno dan tidak dapat diajak ‘maju’. Salah satu yang paling kentara saat ini adalah anggapan bahwa agama sebagai penghalang pembangunan, agama kemudian dipersepsikan sebagai candu yang membuat orang mabuk dogma. Akhirnya muncullah sekulerisme, yang kemudian menjadi titik awal kita kehilangan nila-nilai religiusitas dan cinta.

Akibatnya ilmu pengetahuan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan perut indsutri dan yang anti akan tergilas zaman. Misalkan sebuah pabrik industri tertentu, atau sebuah perkantoran membutuhkan tenaga kerja yang ahli dalam bidang akuntansi, manajemen, dan leadership, maka sekolah akan memenuhi kebutuhan tersebut dengan membentuk fakultas tertentu katakanlah program studi Manajemen. Industri membutuhkan ahli masak, maka sekolah akan menyediakan pendidikan memasak, dan begitu seterusnya.

Sehingga jangan kaget kalau masih hangat kita rasakan suasana di mana masyarakat lebih melihat peluang kerja terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam studi tertentu dengan harapana agar kelak hidup terjamin, selamat dunia, dan akhirat. Sedangkan seharusnya ilmu pengetahuan dan pendidikan haruslah berada di puncak struktur berkehidupan manusia, sebagai sarana membentuk karakter seseorang sehingga melahirkan manusia-manusia yang militan dan menciptakan lapangan kerjanya sendiri-sendiri. Dan yang terpenting adalah membentuk manusia yang bermoral, dewasa, dan berwajah senyum. Sehingga benarlah sebuah maqolah yang mengatakan Dengan seni hidup jadi indah, dengan ilmu hidup menjadi  mudah, dan dengan agama hidup jadi terarah.

Jadi, di sanalah peran agama dan kebudayaan mengiringi perkembangan pengetahuan. Agama sebagai rambu-rambu, dan kebudayaan sebagai warna karakter dalam berkehidupan kita, sebagaimana kehendak Tuhan yang Menghendaki kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kita saling kenal dan tahu.

Para bijak bestari seperti tersebut di awal telah lebih dulu memulainya, mereka menebarkan semangat cinta di manapun mereka berada hingga gaungnya telah menjadi oasis bagi gurun pasir yang kerontang saat ini, serta menjadi suntikan semangat untuk kita berbenah dari zaman yang gelisah.