Semua tulisan dari Ahmad Mursyid Amri

Termasuk penulis yang lahir dari generasi terakhir 90-an, yaitu tanggal 10-10-1999, lahir dan dibesarkan di kabupaten Bantaeng, pada tahun 2011 beliau memutuskan untuk merantau hanya sebentar, rentang waktu 2011-2014 karena alasan bersekolah di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta, di sekolahnya satu cerpennya pernah dipublish oleh majalah yang sangat populer di kalangan pelajar sekolahnya, Majalah Sinar Kaum Muhammadiyah, yang berjudul Punya Maksud (2014), lanjut 2014-2017 kembali ke kampung halaman dan mengenyam pendidikan di SMA Negeri 1 Bantaeng, pada masa putih abu-abu itulah juga lahir buku pertamanya berjudul Tacin (2015), dan 2017-sekarang ia memutuskan untuk mengenyam pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta jurusan Ilmu Komunikasi.

Tiada Pertanyaan yang Berakhir Pada Pertanyaan Itu Sendiri

Semuanya berlalu begitu saja, tapi saya tak tahu untuk apa. “Apa yang terjadi setelah suatu urusan usai?”, mungkin rehat sejenak, pikirku. “Tapi, apa yang terjadi setelah waktu rehat usai? Barangkali hidup hanya seputar itu-itu saja. Kalau pun tidak, “Mengapa tidak ada rehat yang benar-benar rehat? Mengapa tidak ada kesibukan yang benar-benar menyibukkan?”, sehingga semua bisa keluar menuju ruang yang tak memiliki sekat, prasangka, perasaan, serta hubungan sebab-akibat.

Pertanyaan-pertanyaan itu yang kemudian berulang kali menghinggapi kepala. Di tiap-tiap sudut sepi dan ramai. Ia menagih jawaban yang selama ini tak bisa kusiasati. Ia hadir seperti gayung kamar mandi yang dinding-dindingnya mulai timbul bercak-bercak hitam. Tubuh yang telanjang dan harap cemas terkena air dingin pagi itu, serta sikat gigi yang selalu bikin bingung. Akan ditaruh dimanakah ia?. Pasal, tak ada tempat untuk menyimpan peralatan mandi di ruang yang hanya dipisahkan dinding dua kali tinggi manusia itu.

Syahdan, kebingungan merayap ke mesin motor yang pekan lalu divonis mesin turun. Entahlah saya tidak begitu paham, atas apa yang dikatakan montir bengkel. Mungkin sudah tidak sehat lagi, pikirku. Tapi, toh saya harus tetap memakainya, selain alasan berhemat. Saya juga merasa telanjur mengenali motor yang sudah keluar semasa saya masih kanak-kanak. Memakainya serasa menuntun orangtua yang senang duduk di halaman rumah, berjemur diri sembari meneriaki orang-orang yang lalu lalang tak acuh padanya. Lamun, ia masih tetap menyukainya. Ia masih ingin berkelana. Belakangan ini ia juga jarang mengeluh, mungkin bosan dipreteli. Atau mungkin ia putuskan untuk menahan perih yang terus meradang.

Sepagi itu, selepas bersiap, mengenakan pakaian dan sekonyong-konyong menujukan motor ke kampus. Kelas berlangsung sebagaimana biasanya, saya merasa tidak ada yang menarik hari itu. Manusia-manusia dituntut untuk fokus. Hingga waktunya tiba, semua pulang dan kembali rehat. Jikalau hari itu tak banyak kuliah, mungkin balik ke indekos atau pergi kemana yang sekiranya tidak membuat diri berada pada lingkaran itu-itu saja, alias rehat dalam bentuk lain.

Begitulah saya menyimpulkan sesaat. Hidup untuk sibuk, hidup untuk rehat. Tak ada yang bisa memilih untuk tetap berada pada satu sisi. Tapi, ketika saya pikir-pikir:

Bukankah rehat juga masuk dalam rutinitas? Maka Adakah sesuatu yang selangkah saja keluar dari hakiki lingkaran menyebalkan atau ke-rutinitas-an itu?.

Jadilah pasrah dan quote “basi” yang menghiasi kepala. “Jalani aja dulu, nanti sampai juga” menjadi simbol bagi yang menyimbolkan apa yang saya rasakan akhir-akhir ini. Padahal, jika dipikir-pikir apa bagusnya kata-kata itu, tak menjamin sesuatu. Arahnya tak jelas, tingkat kerendahan dirinya pun tak sungguh-sungguh merendah. Seolah merasa ingin menenangkan seseorang, tapi kalimat selanjutnya berpotensi bikin orang tak tenang. Pasal orang jadi berharap. Seperti putri malu yang merayakan hari mekarnya, ketika bulir hujan usai menghantamnya bertubi-tubi sepanjang musim. Lamun di penghujung kemarau ia menyalak juga minta musim kembali. Padahal, kalau musim kembali, hampir-hampir ia tak bisa merasa kebebasan. Pasal harus menguncup sepanjang hujan merajai.

Kelas hari itu pun berakhir, saya memutuskan untuk ke perpustakaan. Lagi-lagi seperti hari yang lalu. Ambil buku, nyalakan laptop, nyambung ke wifi kampus. Sekonyong-konyong menghabisi waktu dengan imajinasi peran sebagai ksatria yang tersisa di medan perang. Namun, nahasnya seperti perang yang tak berkesudahan, mati lalu hidup kembali. Tak ada yang sungguh-sungguh mati di sini, baik saya atau lawan imajiner, yang ada hanya berdamai dengan diri sendiri.

Seiring saya berdamai dengan perang imajinasi dan kesendirian. Seorang teman datang, yang sesuai janji, hendak mengerjakan tugas yang menghantui kami tiap pekan. Itu artinya membuat saya kembali ke sebuah rutinitas yang membosankan itu lagi. Oh, tidak, barangkali hanya berpindah ke rutinitas yang lain saja. Bukankah, sudah kubilang semua ini hanya rutinitas, lingkaran yang tanpa ujung? Bahkan rehat pun masuk dalam lingkaran itu.

“Apa yang terjadi setelah suatu urusan usai?”, mungkin rehat sejenak, pikirku. “Tapi, apa yang terjadi setelah waktu rehat usai? Barangkali hidup hanya seputar itu-itu saja. Kalau pun tidak, “Mengapa tidak ada rehat yang benar-benar rehat?, “Mengapa tidak ada kesibukan yang benar-benar menyibukkan?”. Suara itu kembali bermunculan di kepala. Tak kuhiraukan dia kali ini, kubiarkan menderu-deru. Toh, nanti juga diam sendiri, pikirku.

Suasana berlangsung kembali seperti hari-hari, pekan, bulan, tahun yang lalu. Tak ada yang signifikan untuk bisa diajak bebas yang benar-benar bebas. Langit siang sampai sore hari pun sama persis dengan hari-hari yang lalu. Kalau tidak hujan ya mendung, berawan dan cerah. Itu-itu saja. Kendaraan juga tidak ada yang berubah, masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri. Tak ada yang mau saling mengalah, saling sikut, paling merasa lebih penting dari yang lain. Oh, tuhan lihatlah pengamen, pengemis difabel dan penjual asongan di jalan itu juga masih tetap sama. Mereka masih berkutat di situ-situ saja, masih banyak menerima ketidakacuhan. Kaca-kaca mobil ditutup rapat enggan mengeluarkan sepeser pun, pengendara motor tetiba acuh dengan ponsel genggamnya yang tidak ada apa-apa masuk, atau pura-pura tidak melihat. Apalagi engkau, tuhan yang maha melihat lagi maha mengetahui segala sesuatu. Semua-muanya berjalan seakan engkau tidak berada pada rutinitas mereka yang membosankan.

Maka malam pun berdiri tegak pada pukul tujuh malam waktu bagian barat. Dengan gas motor yang dipacu lunglai, saya memasuki pemukiman yang unik itu. Karena ada tulisan, “Silakan ngebut” dan tak ada polisi tidur satu pun yang menjelma keresahan warga. Umumnya, orang-orang yang hidup di jalan-jalan sempit melarang pengendara ngebut di jalan depan rumahnya. Lamun, jalan menuju indekosku berbeda. Sepertinya, mereka lebih paham bahwa tidak ada yang berhak melarang orang lain, selain diri sendiri. Toh, percuma, dilarang pun beberapa orang akan melanggar. Sebab itulah hakikat manusia bebas, yang berhak melarang hanya keyakinannya dalam bentuk ketuhanan atau hal-hal yang menurutnya sakral. Itu pun bukan dalam bentuk larangan, melainkan menasihati dan menegur semata untuk tak berbuat semena-mena.

Dalam diam yang sebentar lagi tiba di penghujung malam, saya menuntun motor tua itu kembali ke parkiran indekos, meletakkan helm, memeriksa apa yang perlu diperiksa, menaiki tangga, menuju kamar mandi. Sekonyong-konyong saya sudah tiba kembali di kamar yang baru saya tempati sebulan. Seperti biasa, suara itu muncul kembali. Sebelum melepas saya ke dalam dunia lelap.

“Apa yang terjadi setelah suatu urusan usai?”, mungkin rehat sejenak, pikirku. “Tapi, apa yang terjadi setelah waktu rehat usai? Barangkali hidup hanya seputar itu-itu saja. Kalau pun tidak, “Mengapa tidak ada rehat yang benar-benar rehat?, “Mengapa tidak ada kesibukan yang benar-benar menyibukkan?”. Dan seperti biasa saya belum kunjung menemui jawabannya.

***

Beberapa bulan terakhir, sesekali saya menyetel musik atau memutar beberapa video di platform youtube. Tujuannya untuk menemani jelang tidur, ya sekedar menuntun saya ke alam mimpi. Bukan karena saya insomnia, pasal saya bisa tidur kalau saya mau. Tinggal pejamkan mata, tunggu beberapa menit pastilah sudah tidak sadarkan diri sampai esok hari. Bukan. Melainkan, saya butuh semacam relaksasi atau bahasa kerennya meditasi. Video yang saya putar pun biasanya berupa musik meditasi atau murrotal quran. Entah mengapa saya senang saja melakukan itu, walau sudah masuk ke dalam rutinitas, saya merasa hal ini tidak membosankan.

Selagi saya mendengar dan mencari-cari meditasi di youtube, tetiba sebuah video muncul di beranda aplikasi dan membuat alam bawah sadar menekannya. Video itu berisi ceramah ustad yang sedang menafsirkan kalimat-kalimat puitis seorang sufi ternama. Ialah Jalaluddin Rumi. Namanya tak asing di telinga, pasal baru beberapa hari yang lalu saya membaca buku kumpulan kisah para sufi di perpustakan. Itu pun setelah lelah memilih buku apa yang hendak saya baca hari itu. Lalu saya menemukan nama dia beserta dengan kisah bijaknya diantara sufi lainnya. Kesan pertama saya ke semua kisah di dalamnya biasa saja, walaupun beberapa curi-curi quotes seorang sufi ternama lainnya, Al-Hujwiri namanya. Mana tahu kepake untuk tulisan atau pembicaraan di tempat lain.

Salah satu yang saya tulis adalah pengertiannya tentang cinta. Beliau mengatakan bahwa “Cinta adalah sebuah kendi yang penuh dengan genangan air. Bilamana cinta terkumpul dalam hati dan memenuhinya, tak ada lagi ruang bagi pikiran kecuali sang kekasih, sebagaimana cinta menghapus dari segala hal selain kekasih”.

Pada saat itu, saya menganggapnya tidak begitu serius, tapi malam itu benar-benar berbeda. Sesuatu mendesak masuk pada penghujung malam. Pada saat saya mencoba untuk memejamkan mata. Tepatnya, saat ustad yang menafsirkan perkataan Rumi itu mengatakan dalam ceramahnya. Bahwa pada gagasan dasarnya hampir semua sufi melampaui yang lahiriah. Selanjutnya disambung dengan ungkapan bahwa:

“Yang lahir itu tidak sejati, yang kelihatan itu tidak asasi”

Tubuh yang telanjur rileks itu pun, manakala usai mendengar beberapa musik meditasi sebelumnya. Kini, tulus mendengar ceramah ustad yang bernama Fahruddin itu secara seksama, teruslah ia memaparkan perkataan Rumi dengan menyentuh kebatinan diri, yang selama ini seolah dibentengi ego yang kokoh.

Entah saya kemasukan apa, tapi, kasur tempat saya berbaring seakan membawa diri kepada suatu padang yang luas. Mataharinya meneduhi, angin-anginnya sejuk membelai lembut, tubuh pun sontak menari bersama orang-orang berjubah putih di sana. Itulah tarian sema atau sederhananya sebutlah tarian sufi, yang membuat tubuh ini begitu ringan, tenang dan khusyuk memuja-Nya. Siluet senja di ufuk sana terlihat elok sebagai latar, kawanan burung terbang berpasangan sebagai pelengkap, bayang-bayang cahaya menambah kesan kasih-Nya. Seakan di tempat itu adalah kesempurnaan yang terbentuk lewat kerendahan hati-diri para makhluk-Nya

Tak lama kemudian, saya perlahan memasuki alam bawah sadar. Membuat saya merasa sedang berdialog dengan sajak penyair kelahiran Afghanistan itu. Membuat saya menerka-nerka pada sisi yang lain atas apa yang terjadi?. Membuat kamar indekos seakan berubah bentuk sebagai ruang tak bertepi dipenuhi bintang-bintang. Dan saya melihat dan merasakan suara-suara dalam tubuh saling bermunculan. Membentuk senyawa yang bersisi lalu bertanya dan menjawab diri mereka masing-masing.

“Apa yang membuat saya merasa terus bertanya-tanya. Perihal Apa yang akan terjadi setelah suatu urusan usai?”, pada satu sisi saya akan menjawab, mungkin rehat sejenak, pikirku. “Tapi, apa yang terjadi setelah waktu rehat usai?. Barangkali hidup hanya seputar itu-itu saja. Kalau pun tidak, Mengapa tidak ada rehat yang benar-benar rehat?, Mengapa tidak ada kesibukan yang benar-benar menyibukkan?”

Pertanyaan demi pertanyaan berloncatan dari dalam diri. Saya menjadi pasif di sini. Tak bisa menguasai apa yang seharusnya bisa saya kuasai. Dalam ketidakberdayaan itu pun alunan merdu seruling menghinggapi kedua lubang telinga. Tapi, setelah kupikir-pikir, bukan telinga yang dihinggapi, lebih tepatnya segala sisi di jantung hati. Membuat saya semakin berlutut dalam pejaman mata yang mulai mengambang.

Mungkinkah ini yang namanya hari kematian sebelum mati itu sendiri. Hari dimana mulut dikunci dan hanya terdengar suara-suara dari sesuatu yang tak pernah bersuara. Nahasnya, saya hanya menyaksikan tanpa bisa menyelah.

Di tengah-tengah nada merdu itu merayap. Timbullah suara dari sajak-sajak Rumi. Ia berkata, “Sekian lama aku berteriak memanggil namamu, sambil terus menerus mengetuk pintu rumahmu. Ketika pintu itu terbuka, aku pun terhenyak dan mulai menyadari sesungguhnya selama ini aku masih mengetuk pintu dalam rumahku sendiri”. Pikiranku seakan menafsirkan bahwa suara sajak itu adalah saya itu sendiri pada sisi yang lain. Lanjutnya, suara sajak itu terdiam sejenak. Sebelum saya benar-benar terhenyak pada larik selanjutnya.

“Selama ini aku masih mengetuk pintu dari dalam rumahku sendiri. Demi Allah, ketika kau melihat jati dirimu sebagai yang maha indah maka kau pun akan menyembah dirimu sendiri. dimana saja kau berada, apapun keadaanmu cobalah menjadi sesuatu atau seorang pecinta yang selalu dimabuk oleh kasih-Nya. Sekali kau dikuasai oleh kasih-Nya maka kau akan hidup sebagai seorang pecinta yang hidup bagaikan dalam pusara”.

Suasana masih tenang dan menyejukkan. Tak terasa angin yang lewat celah-celah jendela indekos menyentuh beberapa titik tubuhku. Suara dari dalam diriku pun kembali berujar.

“Mengapa saya harus jadi pecinta terhadap seonggok yang selama ini diyakini sebatas angan dan momentum ibadah tertentu? Bukankah cukup menjalankan apa yang diperintahnya saja itu cukup?”, Kali ini saya benar-benar tidak bisa mengontrol apa-apa. Seharusnya kalimat itu tidak keluar dari dalam diri. Sebab dia hanya sebagian kecil yang sebenarnya bisa diatasi, tetapi sulit nian untuk diyakinkan seratus persen.

Selepas suara dari arah tertentu bertanya. Suara dari sisi lain, sebagai bentuk jelmaan suara sajak Rumi merasa tak keberatan untuk menjawabnya. Kurasa ia malah tersenyum bahkan tertawa. Di sisi lain kurasa tak ada prasangka di balik suara dan tingkahnya.

“Aku telah cukup bersama-Mu, tanpa kehadiran-Mu, seluruh dunia ini adalah sebatang kayu yang mengapung dan terombang-ambing di samuderaku. Yakinlah, di jalan cintamu itu tuhan akan selalu bersamamu.”

Selepas itu, suara itu kembali mengucapkan sesuatu sekaligus mengakhiri ucapannya yang membuat saya sempurna tertidur. Lagi-lagi saya pun merasa berpindah ke ruang yang lain. semakin masuk ke ruang yang tak bisa dikendalikan.

“Jika kau dapat bertemu dengan jati dirimu meski hanya sekali maka rahasia dari segala rahasia akan terbuka bagimu.”

Dalam hening itu pun saya menyimpulkan, tidak peduli apa yang terjadi, tidak peduli lingkaran membosankan apa ini, yang terpenting adalah seberapa besar kekuatan cintamu untuk memahami dan memberi jawaban atas semua pertanyaan.

“Apa yang terjadi setelah suatu urusan usai?”, (mungkin kita perlu memahami hakiki arti) rehat sejenak, pikirku. “Tapi, apa yang terjadi setelah waktu rehat usai?. Barangkali hidup (bukan) hanya seputar itu-itu saja. Kalau pun iya, “Mengapa (kita perlu gegabah menyimpulkan bahwa) tidak ada rehat yang benar-benar rehat? “Mengapa (kita perlu gegabah menyimpulkan bahwa) tidak ada kesibukan yang benar-benar menyibukkan?”

Barangkali jawaban terbaik dari semua ini adalah bukan berakhir pada pertanyaan itu sendiri. Melainkan akan berlanjut pada pertanyaan seberapa besar kekuatan cintamu? Pasal, kemurnian dan kekuatan cintamu akan membawamu keluar dari ruang tak bertepi. Sebagaimana yang dikatakan Rumi:

“Tanda-tanda seseorang jatuh cinta adalah ketika ia tidak lagi egois”

Maka manusia-manusia tidak perlu memikirkan untuk apa dia menjalani semua rutinitas dan meminta keuntungan atas semua hal terjadi ketika dia sudah berada pada titik kemurnian cinta yang hakiki.


sumber gambar: Pinterest.com

Jangan Terlalu Cinta Membaca

Sewaktu hujan sedang melepas rindu dengan bumi. Saya masih sibuk bertatap muka dengan butirnya. Membasuhi separuh tubuhku di jalan. Di tengah derasnya hujan, saya masih memaksa motor tua yang tak bisa dipaksakan lagi itu, menebas rintik-rintik hujan bermata peluru – Seperti itulah kira-kira penggambaran singkatnya – ditemani tubuhku yang kecil dan kurus.

Sepuluh menit di jalan. Tapi tidak dengan isi kepalaku. Sudah gentayangan di tempat berteduh. Bagian depan kemeja biru dan celana cokelat serta sepatuku jadi basah. Buatku geram. Semakin ingin cepat sampai. Sementara baju dan celana bagian belakang, untungnya hanya kena cipratan air sedikit saja. Begitupun tas hitam tipis, yang bisa dibilang tidak terlalu parah, sehingga harus membasahi seperangkat alat tulis dan laptop di dalamnya.

Sore itu saat keluar dari gedung Perpustakaan Kota Jogja. Sebenarnya, Bola mataku sudah menangkap langit berwarna abu-abu, tapi kupikir mungkin tidak akan terjadi apa-apa. Maka kuputuskan untuk bergegas pergi. Sialnya! Di tengah perjalanan saya baru ingat satu hal. Sore selalu mengundang macet di kota. Maka jadilah setelah kuingat-ingat akan hal itu, motor tua yang kukenakan harus rela berjalan pelan. Laksana senja di sore hari. Walaupun sejujurnya, motor itu pun harusnya memang harus jadi senja, tidak lagi jadi masa remaja yang liar dan kebut-kebutan di jalan.

Tiga menit di antara tumpahan mobil dan motor. Hujan lalu turun tanpa permisi. Hanya menggerutu yang bisa saya lakukan. Lalu saya teringat dengan ucapan kawanku. Ia bilang begini, “Ketika hujan turun, ada rahmat tuhan yang terselip. Ketika mengeluh, tidak jadi rahmat, malah bisa jadi bencana.” Bisa disimpulkan, banjir dan bencana lainnya yang disebabkan oleh hujan terjadi dikarenakan banyak yang mengeluh. Mengingat-ingat itu membuatku ngeri sendiri, saya jadi cepat-cepat bersyukur akan turunnya hujan ini, lantas membayangkan yang tidak-tidak.

Bagaimana jadinya kalau hanya saya seorang yang terseret banjir misalnya karena yang kulakukan adalah mengeluh sepanjang perjalanan, sementara saya berada di tengah kemacetan, headline beritanya besok pagi pasti akan konyol sekali. “Azab Bagi Orang yang Suka Berkeluh Pada Saat Macet, Tubuhnya Akan diseret Banjir Sendirian”. Hal itu membuat saya semakin ngeri memikirnya dan ambigu antara keduanya, antara harus bersyukur karena hujan turun, tapi harus menggerutu dalam hati karena muak dengan macet yang melanda ditambah cuaca yang tidak bersahabat. Apakah tuhan akan kirim banjir dan rahmat sekaligus ketika saya terjebak diantara mobil dan hujan?

Akhirnya lelah bertengkar dengan diri sendiri dan ketakutan-ketakutan. Maka sepanjang perjalanan saya memutuskan untuk pasrah saja. Tidak berat sebelah. Sehingga saya jadi paham, Tuhan lebih menyayangi hamba yang pasrah daripada yang menggurutu sepanjang jalan.

Pasrah adalah tingkat yang paling tinggi antara keduanya. Saat tak ada pilihan. Tuhan akan kirimkan keajaiban. Alhasil tidak ada banjir di kota hari itu – walaupun sejujurnya memang tidak pernah ada – sebelum akhirnya kutemui sebuah mini market yang cukup sepi dan cocoklah untuk menepi.

Saya membeli sebotol air mineral dan sebungkus cemilan. Setelah mengucap terima kasih kepada mbak kasir yang menyambutku tiba, saya menuju kursi di pelataran mini market. Sepi, hanya saya dan seorang laki-laki tua betopi pet abu-abu di belakangku, serta perempuan belia yang mengenakan kerudung kuning kecokelat-cokelatan di sampingku. Terpisah dua langkah. Sedang duduk juga menanti hujan reda sembari memainkan ponsel pintarnya.

Daripada bosan, pikirku. Lebih baik kukeluarkan buku karya Kahlil Gibran dari tasku. Buku yang sudah diterjemahkan oleh Ruslan itu.

Lalu kubaca larik-larik puitis roman biografinya “Sang Nabi Abadi Dari Lebanon” dengan hikmat, yang terangkai di buku “Sayap-sayap Patah”.

Buku yang baru kemarin sore kubeli dari toko buku ternama. Adalah media sosial yang mengantarku bertemu dengan karya laki-laki kelahiran Bsharre itu. Ketertarikanku bermula ketika sebuah akun media sosial mengulasnya. Saat pertama kali membaca ulasan buku-bukunya Kahlil Gibran, saya seolah menemukan sebongkah berlian yang telah lama terpendam di dasar bumi dan dengan sinar ajaibnya yang menyala-nyala, buku-buku Kahlil Gibran itu mencuri pandangku, sinarnya tak seterang buku-buku baru, tapi mampu memikat.

Kutemukan buku-bukunya itu di deretan buku tua dan muda di linimasa media sosial. Tak pikir panjang, setelah terkesima dengan sinopsisnya yang syahdu, yang kata teman kampusku sampulnya mirip buku-buku religi, beberapa hari setelah membaca ulasannya di media sosial, saya pergi ke toko buku ternama dan memutuskan untuk beli dua buah buku yang kuanggap menarik, di antaranya bersampul biru dan warna merah jambu.

Waktu terus mengalir, membentuk muara lalu menuju ke laut dan ketika kubaca bagian pendahuluan. Di sela-sela itu juga, sesekali kutatap sekitar – juga sesekali kutatap diam-diam perempuan yang ada di sampingku. Masih sedang sibuk mainkan ponsel pintarnya. Jikalau boleh diandaikan, ia semacam perempuan bernama Selma Karamy, perempuan yang menghiasi kesendirian Gibran menjadi saat-saat membahagiakan, lantas saat ini perannya digantikan olehku dan perempuan itu. Saya jadi Gibran, perempuan itu Selma – tapi tak lama habis itu kulanjut lagi membaca. Karena membaca membuat orang jatuh cinta, sehingga bisa-bisa lupa dengan keadaan sekitar. Apalagi membaca buku Kahlil Gibran ini. Sungguh nikmat rasanya.

Terlalu banyak bahasa yang menggugah jiwa dan raga. Buat khayalku melayang dan terbang. Sehingga kadang-kadang memilih diam terkesima, tapi tiap kali lanjut saya seolah tidak bisa berhenti terpukau dengan kalimat puitis yang baru saja kubaca, sehingga saya mengulangnya lagi dan berhenti lagi. Seolah-olah ingin cepat-cepat kuhapal bagian penting kalimat puitis itu, mana tahu bisa dijadikan bahan merayu perempuan-perempuan di luar sana atau menjadikannya status di media sosial guna menggaet perhatian warganet.

Seperti salah satu kalimat puitisnya yang ini: menyentuh jiwaku untuk pertama kalinya dengan jari-jemarinya yang membara. Entah semacam ada sebuah pertunjukkan yang menarik di depanku saat itu juga. Kalimat itu tidak hanya menawarkan titisan-titisan puitis, tapi di dalamnya ada proses, lakon, dan drama yang menjadi epik ketika diperagakan sembari diucapkannya untuk kemudian dipersembahkan bagi penonton setia.

Namun sayang, di tengah membaca larik manis puitis Gibran itu. Saya harus terhenti membaca sejenak. Dan tersadar akan satu hal. Seorang laki-laki datang dan menjemput perempuan yang ada di sampingku itu. Seperti ada yang hilang. Bagian-bagian puitis yang seolah menggenapi kalimat puitis Gibran yang kubaca barusan. Ada yang ganjil. Tak lengkap rasanya. Tokoh bernama Selma Karamy seolah lenyap. Semacam ada rasa. Padahal kasihnya saja tak sampai, saling tatap saja tak pernah, apalagi hati kami saling bercumbu.

Tepatnya, laki-laki itu datang saat membaca bagian: Namun apa yang terjadi terhadap Adam pun terjadi pula padaku, dan pedang membara yang mengusir Adam dari surga mirip pedang yang menakut-nakuti aku dengan ujungnya yang mengilau, dan memaksaku menjauhi surga cintaku…

Tapi tidak lama saya larut. Selepas mereka pergi, saya kembali tenggelam dalam dunia kepuitisan Gibran. Cepat-cepat menganggap ketiadaan sosok Selma Karamy yang tadi masih di sampingku sebagai sebuah keindahan kini menjadi suatu realitas, bahwa mau tidak mau harus saya terima, ketika cinta itu rasanya manis, ia sebenarnya juga menyimpankanmu rasa pahit yang tiada tara, maka ketika memahami keculasan dan keindahan hidup ini sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan, semua akan jadi baik-baik saja di antara kepahitan dan kemanisan hidup.

Sementara hujan semakin deras adanya, kilat dan guntur mungkin tak datang menghampiri, tapi ricik hujan yang mengenai aspal dan atap pelataran mini market, sudah cukup meributkan suasana. Para pengendara motor dan jas-jas hujannya lewat sesekali, sayangnya saya tidak punya. Pikirku. Gerombolan mobil berhulu-hilir santai mengibas hujan. Angin tak kencang, tapi daun-daun pohon di pinggir jalan tetap saja gerak oleh tiupan angin kecil kibasan pengendara yang lewat disertai ricik-ricik hujan.

Di depanku, tepatnya di seberang jalan beraspal, ada tembok putih yang menjulang tinggi. Kalau saya tidak salah ingat isi bangunan tersebut adalah lapas. Mungkin benar yang kubaca tempo hari di gerbang bangunannya, tak jauh dari saya duduk, atau bisa jadi sekadar bangunan tua yang digunakan oleh pemerintah buat keperluan sejarah atau yang lainnya. Benteng peninggalan Belanda mungkin? Entahlah.

Kata orang, ketidakmengertian membuat orang hampa, dan kehampaan membuat orang tak peduli. Saya baru saja membaca petikan kalimat itu ketika seorang laki-laki berkepala nyaris botak, rambutnya pendek dan tipis. Ekspresinya bergelora. Marah. Berteriak tidak jelas di depan pintu masuk mini market.

“Edan! Moso’ lampu hargane larang tenan!” Artinya, “Gila! masa’ lampu harganya mahal banget!” ujarnya seperti mengumpat kepada mbak kasir yang seolah tidak peduli. Tetap melanjutkan proses pembayaran dengan pelanggan yang lain.

Pikirku, daripada terlibat masalah dengan dia, saya lebih memilih diam, melihatnya, mengabaikan lalu lanjut membaca buku sayap-sayap patah itu sembari menikmati cemilan dan air mineral yang kubeli tadi.

Tak sampai di situ, di tengah-tengah membaca buku, laki-laki yang tadi marah-marah sendiri bin tidak jelas itu, berdiri di tengah-tengah hujan, mengumpat yang entah apa kepada setiap pengendara dan orang-orang yang memerhatikannya. Mondar-mandir di depan mini market, tak dipedulikannya lagi bajunya yang basah.

Saya malah jadi berkahayal. Dia seperti melakukan seleberasi atas kemarahannya itu, berteriak sambil menengadahkan kepalanya ke atas, mengepalkan kedua tangannya di bawah, sembari berteriak, “Arrrgggghhhhh”.

Sekilas kutangkap dia juga mengajak orang-orang yang menatapnya untuk melakukan hal yang sama dengan dirinya. Dengan melambaikan tangannya yang diayunkan ke atas, telapak tangannya terbuka, semacam menyemangati orang-orang dan berkata, “Ayo! Ayo! Ayo!”.

Semakin ke sini saya jadi paham kenapa mbak kasir mini market itu jadi tampak tak peduli dan biasa saja. Mungkin karena sudah terbiasa melihatnya. Melihat laki-laki itu berlagak seorang aktivis yang sedang mendemo harga lampu yang mahal di depan mini market, bedanya tanpa massa, atribut dan pengeras suara.

Saya pun tertawa kecil, menggelengkan kepala dan kembali membaca sisa halaman di bab yang berjudul, “Duka yang Bisu”. Sesekali kukunyah lagi cemilan, juga kutenggak air mineral. Waktu bergulir, menggelinding. Setelah melihat jam di ponsel pintar, ternyata sudah setengah jam duduk di sini, menanti hujan reda, tapi tak reda-reda juga. Sepertinya musim hujan begitu rindu kepada bumi, sehingga di awal pertemuannya, dia menangis haru sejadi-jadinya.

Walaupun demikian, hujannya tidak lagi parah dibandingkan yang sebelumnya, hanya tersisa rintik-rintik kecil, tapi kupikir akan basah juga jika memaksakan diri untuk beranjak sekarang. Saya pun dilema, antara pulang atau tetap tinggal, sementara malam sebentar lagi akan memenuhi sudut kota. lampu-lampu jalan mulai dihidupkan. Cahanya menerangi rintik hujan bagaikan paku tanpa payung yang berjatuhan. Bebas. Menerkam siapa saja di bawahnya.

Akhirnya kuputuskan untuk pulang saja, tak kupedulikan lagi jarak mini market ke kosku yang cukup jauh, yang bisa membuatku basah lagi. Saya lalu bergegas, menghabiskan sisa-sisa cemilan dan air mineral. Meletakkan sampahnya di atas meja, malas bergerak ke tempat sampah, lanjut saja saya lalu mengemas buku ke dalam tas dengan nada buru-buru. Karena efek untuk cepat-cepat meninggalkan mini market sebelum hujan kembali deras.

Selanjutnya kutatap dan kuberi senyum ke laki-laki tua bertopi pet di belakangku yang lama-lama kupikir mirip Eyang Sapardi Djoko Damono. Ternyata dia masih di belakangku sejak tadi, menunggu hujan reda juga. Tak tahu apa yang dilakukannya sejak tadi. Mungkin menatap hujan atau mungkin ikut membaca buku yang kubaca tadi, lamun tak mungkin, orang seperti dia kan butuh kacamata apalagi dengan jarak antara kami terlampau sekitar satu setengah langkah, pikirku.

Selepas kutinggalkan senyum untuknya, dan kulangkahkan kaki kananku, laki-laki tua itu tiba-tiba mendehem dengan intonasi yang ditekan di ujungnya yang membuatku berbalik lagi menatapnya.

Lalu berbeda dengan yang sebelumnya, tatapannya kini menunjukkan kekecewaan, kemudian menggelengkan kepala, tanda tidak terjadi apa-apa.

Lalu kutanyakan maksudnya, tetapi selanjutnya dia hanya menggeleng lagi sambil tersenyum tanggung, semakin membuatku lagi tidak mengerti, lantas membuatku jadi bodo amat dan tidak peduli, malas untuk bertanya.

Tetapi di jalan, saya justru jadi mengira-ngira maksud laki-laki tua itu, dan berusaha memahami. Tapi tak kutemukan apa maksudnya. Sampai matahari menjadi senja dan motorku berbelok ke kanan. Saya masih bertanya-tanya ada apa maksud gerangan laki-laki tua itu? Apa tadi dia minta tolong tapi tak terdengar suaranya atau apa?

Di atas motor yang melaju, pikiranku ke mana-mana. Tidak fokus ke jalan. Hampir saja kutabrak tukang becak yang tiba-tiba melambat di perempatan jalan. Saya berkeluh. Tidak terima. Di sela itu juga pikirku. Andai kata saya memilih tinggal sejenak dan menanyakan maksudnya laki-laki tua itu. Mungkin saya akan paham. Tapi saya tidak bisa menunggu lama untuk mendengarkan ucapannya. Takut hujan menderas lagi. Dan pada akhirnya saya hanya bisa kembali pasrah. Mencoba melupakannya. Dan tidak mempedulikannya.

“Kata orang, ketidakmengertian membuat orang hampa,
dan kehampaan membuat orang tak peduli”
– Kahlil Gibran. Sayap-sayap Patah –

“Kata orang, membaca membuka jendela dunia,
Dan jendela dunia membuka kepekaan kita pada dunia,
Tapi terlalu jatuh cinta pada membaca, akan menutup jendela dunia,
Karena dunia tak kau peduli, justru kepada bacaan kau peduli,
bijaklah dalam membaca”
-Ahmad Mursyid Amri-

Sumber gambar: www.deviantart.com

Penikmat Ekspresi

“Jadi, apa yang membuatmu jatuh cinta kepadaku?” tanyamu, membuka cerita.

“Ekspresi.”

“Kau gila!” ucapmu, menyambut jawaban singkatku barusan. Aku tersenyum mendengarnya, aku suka caramu menjawab ucapanku, karena itulah aku menikmatinya, menikmati ekspresimu.

“Yah, aku jatuh cinta kepadamu pada pandangan yang ke-empat,” ucapku.

“Maksudmu?” lagi-lagi kau menyambut ucapanku barusan.

“Pada dasarnya, jatuh pada pandangan pertama benar-benar tidak pernah ada, kelakukan nakal penyair itulah yang membuat paradigma kita menjadi satu, tatapan pertama adalah ketidaksengajaan yang dibuat oleh keadaan, tatapan kedua karena aku mulai penasaran dari ketidaksengajaanku sendiri, tatapan ketiga aku mulai suka, namun, bukan berarti aku jatuh cinta, jatuh cinta tidak semudah itu, ada tatapan keempat yang tidak dilukiskan dalam bilangan, ia imaji yang bersetubuh dengan waktu, menggilai rasa yang dengan cepat menyerbak ke frasa yang lain, dan aku tidak sadar dibuatnya.”

“Ya, jatuh cinta tidak semudah itu, butuh proses,” tambahku.

“Berarti jatuh cintamu adalah soal tatapan?” kau sepertinya tertarik dengan cara pandang yang aku rancang sendiri, aku kembali tersenyum ke arahmu, mengangguk.

Kali ini kau terdiam, aku kembali memperhatikan ekspresi diammu, kau nampak memikirkan sesuatu, tapi pikiranku tidak ingin menembus pikiranmu, bagiku merekam ekspresimu lebih menyenangkan daripada merekam caramu berpikir.

Merekam cara berpikir bisa aku dapatkan dari jutaan bahkan miliaran makhluk di jagad raya, berpikir tentang cara bertahan hidup, belajar, mencerna masalah, cara menyelesaikannya, itu sangat mudah bagiku.

Tapi, aku butuh tantangan, yaitu mencari hal yang jarang aku temukan, ialah merekam ekspresimu, yang tiada duanya dengan makhluk lain di jagad raya ini, itulah yang aku sebut menyenangkan.

“Berarti kau sudah tidak suka dengan ekspresimu sendiri?” ucapanmu membuyarkan lamunanku.

“Hmm… aku manusia tanpa ekspresi,” jawabku.

“Aku adalah manusia yang senang memainkan lakon orang lain ke dalam tubuhku, termasuk ekspresi, tidak tahu diri sendiri, senangnya hanya bermain, tanpa harus mengetahui bahwa saya tidak sedang berada dalam diri saya sendiri, melainkan pergi, selalu pergi sampai lupa caranya pulang, dan kau datang merazia semua lakon dan ekspresi dalam diriku, mendobrak alam bawah sadarku, dan kau tahu dengan cara apa kau melakukan itu semua?”

“Ekspresi, bukan?” ucapmu menebak, tawaku meledak, kau akhirnya tersenyum, aku kembali menangkap ekspresi senyummu.

Hanya butuh beberapa menit aku merasakan fantasi itu lagi, fantasi yang menyenangkan, itu karena kau dan ekspresimu.

Aku menyelesaikan tawaku, kau sesekali tersenyum lagi ke arahku, aku menangkapnya lagi.

“Tapi, bagaimana jika akhirnya semua ekspresi yang ada dalam diriku hilang, lenyap dan tak tersisa? Apakah kau masih tetap jatuh cinta kepadaku?” kau sedikit mengagetkanku dengan pertanyaanmu barusan.

Aku diam, kau menunggu jawabanku, ekspresimu untuk kesekian kalinya terekam lagi dan lagi, “Aura yang membawa ekspresimu kemari, Qis, siapapun yang hendak membawa lari auramu, ekspresi tentang dirimu tidak akan pernah hilang, ekspresi tetap hidup, walau auramu mati, seberapa besar kau menunjukkan bahwa kau sedang bahagia, aku bisa saja menebak dan tahu kalau kau sedang merekayasa semuanya.”

Kau tersenyum mendengarnya, untuk kesekian kalinya aku kembali merekamnya saat waktu seolah berjalan lambat, nyatanya dia berjalan cepat tak terduga, tapi, aku dan kau tidak perlu lagi memperdebatkan masalah seperti itu, karena kau telah merekam ekspresiku dan aku telah merekam ekspresimu untuk dibawa pulang, dan kita berdua telah menjadi penikmat ekspresi.