Semua tulisan dari Ahmad Nurfajri

Ahmad Nurfajri Syahidallah. Aktif sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Asia Barat. Selain aktif di bidang akademik, juga aktif di beberapa Lembaga kemasiswaan. Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institute

Barisan Penggiat Terakhir

Menjadi seorang pegiat dan penggiat literasi, kasadnya merupakan pekerjaan yang membahagiakan namun menyedihkan sekaligus. Sebab, berkecimpung di dunia literasi menawarkan masa depan yang cerah bagi kehidupan orang banyak. Serta memberikan keluwesan dan kearifan jiwa bagi mereka yang bersedia menekuni jalan tersebut. 

Dengan kedekatannya bersama masyarakat, pegiat dan penggiat literasi akan meningkatkan kualitas kultural dari sebuah masyarakat tempatnya hidup. Ia akan menunjukkan jalan yang lurus dan terang benderang terhadap dunia, sekaligus berjalan dan menapaki jalur tersebut bersama masyarakatnya. Ia akan merasakan kebahagiaan menjadi kumpulan individu yang tercerahkan dan dicerdaskan oleh kualitas literasi yang cakap serta mumpuni.

Hal itu diakibatkan oleh efek literasi yang mengajarkan kedamaian hidup lewat kearifan, kesahajaan, dan kecerdasan dalam membaca, mengeksplorasi, dan menuliskan peradabannya. Sebuah peradaban yang dibaca, dieksplorasi, dan ditulis dengan daya rasionalisme yang kuat dan kukuh. Sesuatu yang seharusnya disediakan dan ditanggungjawabi oleh negara, yang justru semakin rajin berbohong dan menipu peradaban rakyatnya.

Melalui literasi, seorang pegiat dan penggiat literasi, bak seorang imam dalam kumpulan jamaah, akan menikmati ibadahnya yang khusyuk. Ibadah yang jauh dari tendensi kesemuan dan pragmatis belaka.

Bagi saya pribadi, lewat literasi yang cakap dan mumpuni, saya berhasil menentukan, mana kehidupan yang semu dan tipu daya belaka, dan mana kehidupan yang nyata dan berisi kebenaran-kebenaran. Ya, hanya dengan dua kata kunci sederhana: membaca dan menulis.

Sulhan Yusuf, seorang pegiat dan penggiat literasi asal Makassar menamakan keduanya dengan “Moyang”-nya literasi. Penulis buku Pesona Sari Diri tersebut menabalkan, bahwa membaca sama dengan menginternalisasi dunia ke dalam diri seorang manusia. Sedangkan menulis berarti mengeksternalisasi dunia yang telah dielaborasi dan dieksplorasi sebelumnya. 

Saya jadi teringat kalimat bijak bestari dari Ali bin Ali Abi Thalib yang kurang lebih seperti ini maknanya: manusia yang paling sempurna adalah manusia yang berhasil memasukkan dunia ke dalam dirinya. 

Ya, dengan menjadikan membaca sebagai habitus, seseorang akan menjadi magnet terhadap dunia yang ditinggalinya. Ia akan menguasai dunia tersebut, alih-alih dideterminasi oleh dunianya. Sebab, dengan membaca, ia akan terus mengenali dan takkan pernah dikelabuhi oleh dunianya. 

Begitu juga dengan menulis. Seorang pegiat dan penggiat literasi akan terus menuliskan kebenaran dan kesejatian hidup. Ia tak akan membiarkan dunianya ditafsirkan oleh para penipu yang setiap saat ingin menyabotase dan mengangkangi hidup orang lain dibawah ketiak dan selangkangannya. Ia tak akan pernah sudi dan rela jika dunia yang telah ia baca dengan saksama dituliskan kembali dengan narasi-narasi kebohongan dan kesombongan. Saya berani bersumpah, demi apapun, seorang pegiat dan penggiat literasi yang sejati, tak akan rela jika dunianya yang jernih dinodai oleh gegap gempita noktah yang menyesatkan.

Sebab, sekali lagi, dengan literasi yang cakap dan mumpuni, akan lahir sebuah peradaban yang cerdas dan cerdik. Namun, pada titik itu pula lah tantangan dan kesedihan para pegiat dan penggiat literasi dimulai. Mereka akan terus berjuang dan berjibaku melawan para hipokrit peradaban. Yakni mereka yang akan terus meninabobokan masyarakat dengan narasi-narasi semu.

Para pegiat dan penggiat literasi akan merasakan sulit dan sengitnya berperang di ruang-ruang kultural. Satu-satunya ruang tempat literasi yang sehat dan jernih bisa berlangsung, sekaligus wadah bagi literasi yang sakit dan kotor berlaku.

Namun, apa maksudnya literasi yang sakit dan kotor itu? Sedehana saja jawabannya. Adalah literasi yang justru menghalau orang-orang untuk membaca, mengeksplorasi dan menuliskan dunianya dari pusparagam perspektif. Literasi itu justru menyeragamkan pandangan dunia setiap orang. 

Lalu seperti apakah literasi yang sehat dan jernih itu? Yaitu literasi yang mengajak setiap orang untuk membaca, menyelami, dan menuliskan setiap sendi dan lini kehidupannya dari banyak perspektif. Literasi yang merayakan keberagaman dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pertanyaan selanjutnya, apa buktinya jika literasi yang sakit dan kotor itu ada? Jawabannya gampang. Baca saja majalah yang isinya 100 orang terkaya di dunia, yang entah tujuannya untuk memotivasi atau justru meledek orang miskin. Atau buku-buku yang membahas tentang tips dan trik menjadi kaya dalam tujuh langkah, misalnya. Atau bisa juga buku-buku yang menawarkan kiat-kiat menjadi penulis andal dalam lima belas menit. 

Bahkan, yang lebih ekstrem, silakan baca penelitian dari para civitas akademik yang kering gagasan kritis dan segar, tapi tetap dipublikasikan demi kenaikan rating universitas dan raihan poin yang menjadi koin bagi si penulis. Untung-untung jika hasil penelitian yang Anda baca itu bukan hasil plagiat. Memang ada seperti itu? Ada. Banyaaaak!

Tentu, kita tak menginginkan literasi yang abu-abu dan samar-samar seperti itu dibaca, dieksplorasi, dan dituliskan kembali oleh masyarakat. Tentu pula, bukan dunia seperti itu yang ingin kita internalisasi dan eksternalisasi dalam kehidupan kita. Juga jelas, bukan seperti itu peradaban yang kita harapkan. Peradaban yang hanya membesarkan orang yang besar, memarjinalkan yang kecil, mendambakan hasil yang besar tapi melupakan proses yang panjang, serta perilaku buruk yang kerap menyontek dan menjiplak karya orang lain.

Sayangnya, justru literasi yang sakit dan kotor itu lah yang ramai didiskusikan, dibicarakan, disawalakan, bahkan mengendap dalam kepala hampir setiap orang. Literasi yang mengelabuhi banyak orang atas dunia yang sebenarnya. 

Untuk menghadapi hal tersebut, para pegiat dan penggiat literasi yang sejati, tidak bisa tidak, akan merasakan kesepian. Sebab, mereka akan dianggap sebagai yang liyan karena berbeda dengan arus utama. Mereka akan dipinggirkan, dipersempit ruang geraknya untuk mendedahkan dunia yang terang dan jelas. Mereka akan disudutkan ke pojok-pojok peradaban, dan dijauhkan dari masyarakat yang seharusnya menginjeksi dan mempenetrasi dunia yang jernih dan kalis.

Arkian, menjadi seorang pegiat dan penggiat literasi yang sejati, akan tetap dijauhkan dari sorot lampu yang megah dan berkilauan dalam kehidupan ini. Bagi Anda yang yakin memilih jalan demikian, bersiap-siaplah menjadi prajurit terakhir, barak terakhir, barisan terakhir dalam menjaga gawang kehidupan yang rasional dan bermartabat. Ya, bersiap-siaplah menjadi barisan terakhir.

Anre Gurutta Sade’ dan Firanda Andirja

Sejak pertama kali menyentuh tanah air ini, Islam sebagai sebuah ajaran membawa perubahan yang sangat signifikan pada masyarakat Nusantara. Pada beberapa waktu dan tempat, Islam bahkan menjadi landasan bagi progresivitas masyarakat Indonesia. Ia menjadi semacam alasan bagi terjadinya perubahan di bumi yang gemah ripah loh jinawi ini.

Pada masa-masa mempersiapkan dan menyambut kemerdekaan, sisi Islam yang progresif sangat jelas terlihat. Sisi transformatif ini tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan berlanjut hingga perumusan arah dan bangsa ini dalam memperkukuh kedaulatan negara. Oleh karena itu, membahas Islam dalam konteks Indonesia tidak dapat diceraikan begitu saja. Apalagi hanya karena sifatnya yang transnasional.

Islam di Indonesia memiliki bentuk dan wataknya tersendiri. Namun, bukan berarti umat muslim Indonesia, menyembah tuhan dan memiliki nabi baru. Bukan. Akan tetapi, Islam tumbuh dan berkembang dengan cara yang unik. 

Ini dapat dilihat dari kreativitas para ulama dalam menjalankan agenda dakwah. Misalnya, menggunakan wayang sebagai alat dakwah, memperkenalkan tradisi Islam melalui busana, menginternalisasikan nilai-nilai Islam pada ritus ziarah, mengajarkan sirah Nabi dengan membaca barazanji, dan semacamnya. Sayangnya, kreativitas ulama-ulama terdahulu itu dianggap heretik dan bukan Islam otentik oleh ustaz-ustaz belakangan ini. 

Waima seperti itu, semangat dan kreativitas para ulama berhasil mengantarkan Islam sebagai sebuah ajaran, menjadi Islam sebagai paradigma kebudayaan. Termasuk peran Anre Gurutta K.H. Muhammad As’ad dalam berdakwah di tanah Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan.

Mengapa harus Anre gurutta Saide’ yang diangkat pada tulisan ini? Mengapa pula harus Wajo? Pertama, saya ingin menelusuri jalan dakwah Anre Gurutta Saide’ di tanah Bugis. Kedua, saya tertarik untuk merespon berita kedatangan dai kondang yang ditolak di Wajo. 

Tahun 1928 adalah penanda awal Anre Gurutta Sade’ dalam menjalankan dakwahnya di Sengkang. Ia dan para santrinya memilih berdakwah melalui pendidikan. Metode yang digunakannya adalah halaqah atau mangngaji tudang, dalam bahasa Bugis. Model pendidikan itu berhasil mengubah kesadaran masyarakat Sengkang, Wajo yang waktu itu masih dikuasai oleh perbuatan bidah dan khurafat. 

Walhasil, karena prestasinya yang cukup cemerlang dalam mengubah dan memperbaiki masyarakat Sengkang menjadi lebih melek agama Islam. Anre Gurutta Sade’ dipercayakan untuk mengelola Masjid Jami’. Pada tahun 1929, setelah mendapatkan kepercayaan dari Petta Arung Matoa Wajo Andi Oddang, maka jadilah Masjid Jami’ itu sebagai pusat pengajian, pendidikan dan dakwah Islam. 

Laiknya Masjid Nabawi di Madinah pada masa Nabi Muhammad saw, Masjid Jami’ juga disambangi oleh para pencari ilmu. Mereka berbondong-bondong dari tempat jauh hanya untuk belajar Islam kepada Anre Gurutta Sade’. Ia disukai oleh masyarakat, sebab gaya dakwahnya yang santai tapi berisi. Penuh wibawa dan sangat berkharisma. Hal itu benar-benar membuat Anre Gurutta dikerubungi oleh penuntut ilmu. Makanya tidak heran kalau Masjid Jami’ ramai dan sesak akan murid. 

Hidayatullah, S.Pd.I, M.M dalam Dari Pesantren ke Pesantren; Kiprah 55 Pesantren Berpengaruh di Indonesia, mendokumentasikan Anre Gurutta Sade’, setelah berdiskusi dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo seperti H. Donggala, La Baderu, La Tajang, Asten Pensiun, dan Guru Maudu, bersepakat untuk memugar Masjid Jami’ yang sudah tua dan sempit itu. 

Masjid Jami’ dipugar dalam waktu yang cukup cepat. Kurang lebih satu tahun, mulai 1929-1930 M/1348-1349 H. Ini berkat bantuan dari para santri, keluarga santri, dan masyarakat setempat yang memandang Masjid Jami’ kelak akan menjadi pusat intelektual dan penyebaran Islam di Sengkang, Wajo, bahkan di Sulawesi Selatan.

Benar, selepas dipugar, di masjid inilah Anre Gurutta Sade’ mendirikan madrasah yang diberi nama al-Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo. Sekolah itu didirikan dengan beberapa tingkatan. Tingkatan-tingkatan itu adalah Tahdhiriyah (3 tahun), Ibtidaiyah (4 tahun), Tsanawiyah (3 tahun), I’dadiyah (1 tahun), dan Aliyah (3 tahun).

Seluruh kegiatan persekolahan dipimpin langsung oleh Anre Gurutta Sade’ dan dibantu oleh dua orang ulama besar: Sayyid Abdullah Dahlan Garut, mantan Mufti Besar Madinah Al-Munawwarah, dan Syekh Abdul Jawad, dari Bone. 

Selain itu, beliau juga dibantu oleh santri-santri senior, seperti Anre Gurutta Daud Ismail dan Anre Gurutta Abdurrahman Ambo Dalle. Kelak, dua orang santri senior ini, juga akan menjadi ulama besar di Sulawesi Selatan, dan menjadi pendiri pondok pesantren. 

Setelah proses belajar mengajar formal selesai, pendidikan dilanjutkan dengan pengajian halaqah atau mangngaji tudang setiap selesai salat Subuh, Asar, dan Magrib. Pengajian ini berisi telaah kritis terhadap kitab-kitab klasik karangan pemikir-pemikir Islam. Contohnya, Kitab Tafsir Jalalain, Kitab Arbain An-Nawawiyah, Kitab Maraqi’ul Ubudiyah, dan pusparagam kitab lainnya.

Tidak bisa tidak, hasil dari pendidikan seperti itu, membentuk satu corak Islam yang khas dan menjadi cikal bakal Pondok Pesantren As’adiyah, Sengkang. Seperti yang dituliskan oleh Hidayatullah, Pesantren As’adiyah benar-benar menjadi pesantren yang cukup berpengaruh di Indonesia. 

Sebab, sejak awal perintisannya, Anre Gurutta Sade’ tidak mendakwahkan Islam dengan cara-cara yang pejal dan kaku. Dan tradisi mangngaji tudang itu merupakan proses transfer pengetahuan yang jauh dari unsur-unsur pejoratif dan dapat diterima secara positif oleh masyarakat luas.

Tradisi intelektual dan dakwah Islam yang inklusif, yang dirintis oleh Anre Gurutta Sade’ bertiwikrama menjadi minda keberagamaan umat Islam dan berpendar di Sulawesi Selatan. 

Walhasil, tak salah sepenuhnya jika Sumardi Ketua IKA PMII Kab. Wajo, dalam Tribunnews.com (25/03/2022) mengatakan: “Wajo sebagai kota santri yang pengamalan agamanya secara mutawatir dari para anregurutta, jangan ternodai akibat ceramah-ceramah dari ustaz yang banyak ditolak di berbagai daerah”.

Kalimat itu diucapkan sebagai respon atas rencana Pemkab Wajo yang mengundang Firanda Andirja untuk membawakan tabligh akbar di Masjid Ummul Quraa dalam memperingati Hari Jadi Wajo ke-623. 

Firanda Andirja dikenal sebagai dai kondang, lulusan doktor jurusan Aqidah, Fakultas Dakwah dan Ushuluddin di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi. Bagi beberapa kalangan, ceramah-ceramahnya dianggap terlalu tekstualis-skripturalis. Sehingga seringkali, prinsipnya dalam berdakwah cenderung menghakimi golongan lain. 

Model berdakwah Firanda Andirja tentu sangat berbeda dengan model dakwahnya Anre Gurutta Sade’.  Jika Firanda Andirja berdakwah dengan gaya tekstualis-skripturalis, Anre Gurutta Sade’ memilih berdakwah dengan gaya yang lebih konstekstual: cenderung asosiatif terhadap tradisi yang tidak bertentangan dengan akidah Islam. 

Waima begitu, saya pun tak sepakat jika ucapan-ucapan pejoratif dilayangkan kepada Firanda Andirja. Sebab, itu hanya memperkeruh situasi dan kondisi di tengah umat Islam di Indonesia. Walakhir perkenankan saya mengajak Anda membaca al-Fatihah kepada Anre Gurutta Sade’. 

Lahul Fatihah


Sumber gambar: www.datdut.com/k-h-muhammad-asad-pencetus-pendidikan-pesantren-di-sulawesi-selatan/

Mendadak Metaverse: Rumah Bagi Homo Digitalis?

Beberapa waktu lalu, tersebar melalui pesan WhatsApp berisi tulisan Denny JA. Tulisan pendek itu diberi tajuk “Ulama Hebat Dari Robot dan Pengalaman Haji Dunia Metaverse”. Isinya, kondisi teranyar yang sedang ramai-ramainya diperbincangkan: Arab Saudi membuat tiruan Mekah di Metaverse. 

Dilansir oleh NU Online (08/02/2022) program Kerajaan Arab Saudi ini diberi nama “Virtual Black Stone Initiative”. Kakbah Metaverse sudah dapat dikunjungi. Dengan menggunakan VR (Virtual Reality), Imam Besar Masjidil Haram Syeikh Abdul Rahman Al Sudais menjadi pengunjung pertama Kakbah Metaverse itu.

Tentunya, hal ini, tidak bisa tidak, memunculkan wacana ibadah haji di Metaverse. Selain itu, program Kerajaan Arab Saudi ini semakin memperkaya argumentasi dan perbincangan tentang kehidupan di Metaverse. 

Jauh sebelum itu, sejak pertama kali diperkenalkan oleh Mark Zukerberg, Metaverse sudah menyita banyak perhatian orang di dunia. Selain dianggap sebagai sebuah kebaruan, Metaverse juga disebut-sebut sebagai kemajuan dan puncak dari fase Revolusi Industri 4.0. 

Klaus Scwhab dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution menyebutkan setidaknya ada tiga tema besar yang diusung oleh fase revolusi keempat ini: a). desentralisasi sistem kehidupan, b). digitalisasi secara massal, dan c). otomatisasi di banyak bidang kehidupan.

Desentralisasi membuat kehidupan semakin mudah untuk dijalani. Hal ini dimungkinkan oleh teknologi digital yang semakin pesat dan canggih. Serta, beberapa lini dari kehidupan ini yang telah diotomatisasi. 

Sebagai seorang anak manusia yang lahir di awal abad 21, saya tak pernah membayangkan betapa sulitnya berdakwah di masa lalu. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Selain cukup menguras tenaga, juga membutuhkan banyak dana. Kiwari, metode dan gaya dakwah seperti itu tampaknya tidak dibutuhkan lagi.

Untuk melakukan dakwah di era sekarang, Anda hanya membutuhkan setidaknya tiga modal ini: gawai atau perangkat digital, kuota internet, dan semangat dakwah. Dengan tiga modal tersebut, ulama ekstrem di belahan bumi nun jauh di sana, bisa menginjeksikan pikiran konservatifnya kepada umat Muslim di Indonesia. 

Gambaran sederhananya seperti ini: desentralisasi, digitalisasi, dan otomatisasi membuat kehidupan manusia berada dalam sebuah—meminjam istilah Yasraf Amir Piliang—dunia yang dilipat. Sebuah Global Village. Dunia yang bersulih menjadi sebuah desa!

Pusparagam pertanyaan di atas dibahas secara khusus dalam sebuah buku keren berjudul Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. Anggitan seorang pengajar filsafat di STF Driyakarya, F.Budi Hardiman. Semesta di balik punggung sebuah buku itu, mengulas evolusi Homo Sapiens ke Homo Digitalis

Berangkat dari asumsi dasar filsafat Rene Descartes, Je pense donc je suis (Cogito Ergo Sum): Aku Berpikir Maka Aku Ada. F. Budi Hardiman menegaskan, bahwa keberadaan manusia dalam jagat digital, tidak lagi berangkat dari pernyatan filosofis si Bapak Renaissance. Homo Sapiens sebagai cikal bakal manusia modern, yang mengejawantahkan dirinya sebagai The Thinking Man bertiwikrama menjadi Homo Digitalis

Istilah digital berasal dari bahasa Latin, Digitus berarti jari. Artinya, kini, keberadaan seorang manusia ditentukan dari kehadirannya di dunia virtual. Melalui jarinya. I Click (I browse) therefore I am: Aku Klik Maka Aku Ada. Selain menekan (to click), berpikir—sebagai ciri dasar manusia modern—digantikan oleh kegiatan menghitung (to count). 

Sederhananya, budaya digital adalah budaya “menghitung”. Manusia digital selalu berperilaku menghitung dan menghitung. Nomor, angka dan jumlah seakan-akan menggantikan genius malignus: setan cerdas yang diandaikan oleh Rene Descartes sebagai alat hipotetis untuk sampai pada suatu kepastian.

Manusia digital, di abad ke-21, menandai keberadaannya berdasarkan kehadirannya di dunia virtual. Mulai dari unggahan fotonya di Facebook, kicauannya yang dikomentari orang di Twitter, hingga seberapa banyak followers di Instagram, dan subscribers yang berhasil mereka rekrut di YouTube. Bagi manusia digital, eksistensi si Ego tidak lagi ditentukan oleh kesangsiannya. Justru melalui personal brand-nya di dunia virtual. 

Selanjutnya, dunia virtual atau jagat digital merupakan milieu bagi Homo Digitalis. Hampir seluruh tindak-tanduk kehidupannya dilakukan di dalam dunia maya tersebut. Mulai dari bangun tidur, hingga tidur kembali, aktivitasnya lebih banyak diselesaikan secara digital. 

Kehadiran Metaverse, sebagai penetrasi puncak virtual sphere bagi Homo Digitalis semakin menguatkan tema besar dari Revolusi Industri 4.0 yang diwedarkan oleh Klaus Schwab. Metaverse, sebagai dunia virtual, menegaskan kondisi dan situasi yang semakin terdesentralisasi, didigitalisasi, dan terotomatisasi.

Seperti program “Virtual Black Stone Initiative” yang dicetuskan oleh Kerajaan Arab Saudi dan dibuat di Metaverse. Siapa pun mereka, apa pun latar belakangnya, dan dimana pun mereka berada. Mereka bisa seolah-olah menyentuh batu suci itu, menciumnya, dan merasakan aromanya. 

Maka, hanya masalah waktu saja. Jika Arab Saudi telah membuat Mekah sebagai public sphere di realitas asli, menjadi public virtual sphere di Metaverse. Akan masih banyak lagi ruang publik di reality space yang akan “diimigrasikan” ke cyberspace. Pada akhirnya, dengan Metaverse, kita tak lagi memerlukan WhatsApp, Facebook, Twitter, Instagram, YouTube dan platform media sosial lainnya. 

Sebab, dengan kehadiran Metaverse, sebagai ruang virtual, kita hanya menggerakkan tokoh avatar kita. Dan, bum! Sekali klik! Semua aktivitas dapat dilakukan. Meskipun, sejauh ini kita hanya berandai-andai. Bagaimana caranya makan di Metaverse? Bagaimana nikmatnya ngopi di Metaverse? Bisakah saya berkuliah di Metaverse? Atau dapatkah saya menemukan jodoh dan menikah di Metaverse? 

Namun, sejauh ini Metaverse masih menempati fase pertama dari empat fase perubahan tanda (visual) menurut Jean Baudrillard. Pertama, tanda (visual) merupakan refleksi (representasi) dari realitas. Kedua, tanda (visual) menutupi/menyembunyikan dan merusak realitas. Ketiga, Tanda (visual) menutupi/menyembunyikan tiadanya (absence) realitas. Terakhir, tanda (visual) tidak lagi memiliki relasi pada realitas apapun—murni menjadi Simulakrum.

Kebudayaan digital, disadari atau tidak, menjerat manusia menjadi manusia refleks tanpa refleksi. Martin Heidegger menyebut yang pertama sebagai Berpikir Kalkulatif. Sedangkan, yang kedua disebut dengan Berpikir Meditatif. Bisakah to click disertai to think?

Arkian, dapatkah Metaverse benar-benar menjadi sebuah rumah bagi Homo Digitalis? Masihkah kita menjadi manusia jika berada-dalam-WWW? 

Jika Kucing Bisa Bicara: Cerdas Menulis, Menulis Cerdas

Bagi seorang pemula seperti saya, ternyata menulis itu gampang-gampang susah. Sebab, menulis tidak hanya menyusun huruf demi huruf. Merangkai kata demi kata. Menyusun kalimat demi kalimat. Akan tetapi, menulis lebih dari kegiatan semacam itu. Menulis adalah sebuah aktivitas yang menuntut seperangkat kecerdasan. Disebut seperti itu, karena menulis mengharuskan ketepatan logika, kerunutan akal pikir, kesesuaian antara satu paragraf dan paragraf lainnya.

Tentunya, untuk mengatasi kebuntuan-kebuntuan yang dialami saat menulis tidak berhenti hanya dengan mengikuti kelas menulis. Namun, harus disertai dengan latihan secara konsisten dan persisten. Pahitnya, meski menyadari hal itu, saya sepertinya menyepelekan hal urgen di atas. Walhasil, setelah beberapa purnama vakum menulis, saya merasa kesulitan untuk memulai kembali.

Hingga beberapa waktu lalu, saya memberanikan diri memulai kembali aktivitas menulis saya yang sempat libur. Melalui sebuah sawala santai tapi berisi, Kak Sulhan Yusuf memberikan pepatah petitih dan sebentuk motivasi untuk menghidupkan semangat dan kemampuan menulis yang sempat memudar.

Tak hanya itu, saya juga diberikan beberapa judul buku yang diyakini dapat membetot kesadaran dan semangat untuk menulis. Ternyata benar, setelah membaca buku tersebut, tidak bisa tidak, saya seperti menemukan kembali apa yang hilang dari saya: semangat dan motivasi menulis.

Takjub bin ajaib, berkat bunga rampai esai yang diikat menjadi sebuah buku, saya merasa seperti dilahirkan kembali. Penasaran? Ini judul bukunya: “Jika Kucing Bisa Bicara” ditulis oleh seorang guru PJOK sekaligus pustakawan Bantaeng, Ikbal Haming.

Awalnya, ketika pertama kali melihat sampulnya, saya mengira buku tersebut membidik tema perkucingan yang ada di semesta jagad raya ini. Ternyata, tema yang disediakan lebih dari itu. Mulai dari tema Kependidikan, Kedirian, Kemasyarakatan, Keberagamaan dan Keliterasian. Setelah berpacu dengan waktu, saya berhasil mengeja buku ini sampai khatam. Meski, tak seluruh isinya akan saya ingat sampai akhir hayat. Akan tetapi, setidaknya ada beberapa poin yang saya dapatkan dari buku tersebut.

Mari, saya coba uarkan satu per satu. Tema pertama yang disuguhkan kepada pembaca adalah kependidikan. Pada tema ini, IH mencoba mendedah satu, dua, tiga persoalan pelik yang ada di dalam dunia pendidikan kita: kecerdasan, merdeka belajar, hubungan guru-murid, dan bagaimana wajah pendidikan Indonesia kala pagebluk koronan menerungku.

Bagi saya secara pribadi, sepertinya agak sulit untuk menentukan cerdas atau tidaknya seseorang. Sebab, menurut saya, kecerdasan tidak dapat divalidasi secara siginfikan dengan angka statistik dan variabel yang baku. Hal tersebut diakibatkan oleh perbedaan yang terdapat dalam setiap diri anak manusia.

Senada dengan hal di atas, Yasraf Amir Piliang, dalam buku anggitannya, Kecerdasan Semiotika menjabarkan hal yang sama. Serta memaparkan betapa tidak adilnya indikator dan variabel yang digunakan selama ini untuk mengukur kecerdasan seseorang. Umumnya, alat untuk mengukur cerdas atau tidaknya seseorang adalah The Bell Curve.

The Bell Curve pertama kali diperkenalkan oleh Hernstein dan Murray pada tahun 1994. Peranti tersebut mengukur kecerdasan seseorang berdasarkan faktor tunggal serba mencakup (an overall single factor). Hasilnya dinamai dengan IQ, Intelligent Question. Menurut Piliang, rerata yang diwedarkan oleh Kurva Bel atau Kurva Normal membuat orang-orang terbagi menjadi dua bagian. Cerdas dan tidak cerdas. Tentunya, hasil oposisi biner tersebut menganggap orang-orang yang berada di garis tengah sebagai yang normal. Sedangkan, mereka yang tak berada di wilayah tengah atau mean adalah abnormal.

Salah satu penelitian yang dipublikasikan dan menggunakan Kurva Bel atau Kurva Normal menunjukkan bahwa orang-orang berkulit putih lebih cerdas dan lebih dapat bertahan hidup tinimbang orang yang berkulit hitam.

Indikatornya sederhana: dilihat dari kebiasaan sehari-hari subjek penelitian. Selain itu, tak hanya berisi oposisi biner, Kurva Bel atau Kurva Normal juga meyakini sistem hereditas. Bagi anak yang lahir dari keluarga terbelakang, sangat sulit untuk mereka menjadi cerdas dan berkembang.

Nampaknya, seperti itulah kenaifan kita dalam melihat rerata yang ada. Melihat kecerdasan berdasarkan angka di atas kertas yang statis dan baku. Akibatnya, tak heran jika ada berita anak murid yang merenggang nyawa karena tidak lulus Ujian Nasional. Bagi masyarakat, keberhasilan seorang anak murid jika berlaksa kelulusan pada dari sebuah ujian sekolah. Tak lulus berarti bodoh, dan keluar dari kenormalan. Kasadnya, untuk memandang sebuah rerata, tak hanya menyorot dominasi mayoritas, melainkan juga memperhitungkan minoritas, keliyanan.

Kemudian, setangkup dengan Kurva Bel atau Kurva Normal yang hanya menganggap keumuman sebagai kenormalan, berimbas kepada kemerdekaan belajar. Di sekolah, kemampuan matematis-logis menjadi produk unggulan. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan matematis-logis, dianggap sebagai murid berkebutuhan khusus. Padahal, hakikatnya, sekolah tak hanya melahirkan kemampuan seragam. Melainkan pusparagam kemampuan.

Berangkat dari alasan di atas, tak heran jika IH, melalui esai yang diberi tajuk “Catatan Seorang Guru” kemudian dilanjutkan dengan “Semua Anak adalah Bintang: Membumikan Paradigma Multiple Intelligences” sebagai pembuka bukunya. Artinya, IH adalah salah seorang guru yang percaya akan setiap kemampuan yang menubuh pada setiap anak manusia.

Selanjutnya, kecerdasan IH dalam menulis juga menyata dalam tema-tema lain yang ditikkan dalam buku kumpulan esainya. Bagi Anda yang sedang merasa cemas, galau, senewen, khawatir terhadap masa mendatang, tulisan-tulisan yang dirangkum menjadi tema kedirian dapat menjadi bacaan menarik. Pada tulisan-tulisan tersebut, Anda akan disuguhkan kisah-kisah bijak yang dapat menstimulus kedirian Anda untuk menjadi bajik.

Tak sampai disitu, tema kemasyarakatan juga tak kalah asyiknya untuk dibaca. Fenomena-fenomena sosial yang tampak sederhana dipotret dengan baik oleh IH. Sehingga, meski penampakannya yang sederhana, kita diajak untuk mencermatinya dengan penuh penghayatan.

Sebut saja contohnya, esai “Desa vs Covid”, membidik wajah desa di tengah tirani korona. “Menjadi Pahlawan Di Kekinian” yang memberikan tips bagi kawula muda untuk menjadi pahlawan sejati. Serta “Jika Kucing Bisa Bicara” yang mengajarkan manusia, makhluk Tuhan, untuk menjadikan kucing sebagai salah satu suluk demi meninggikan makam ruhaniahnya sebagai hamba.

Keempat, tema keberagamaan. Pada tema ini, sikap keleluasaan dan inklusifisme IH sebagai umat beragama sangat dirasakan. Dua sikap tersebut sepertinya menjadi semacam emas pada timbunan limbah beracun.

Berlapikkan “Saleh Ritual, Saleh Sosial”, IH menyorot fenomena keberagamaan yang lahir berdasarkan pemahaman literal yang di banyak tempat menimbulkan perpecahan. Melalui esai tersebut, IH menawarkan banyak “masjid” yang layak ditempati untuk beribadah bagi sehimpun umat beragama.

Walakhir, yang paling pamungkas. Tema keliterasian. Selain memandang penting literasi pada umumnya, IH juga mengajak untuk menilik kemampuan kita dalam menggunakan literasi digital: bermedsos. Problemnya adalah, kita kadang merasa sangat pandai berselancar di dunia maya. Menganggap pintar menggunakan gawai dan teknologi. Padahal, belum tentu kita bijak menggunakannya. Ingin tahu cara bijak bermedsos? Baca esai berjudul “Belajar Bermedsos dari Socrates” dan temukan jawabannya.

Setelah belajar bermedsos dari Socrates, IH juga memaparkan tips-tips menjadi penulis yang beliau sadur dari Puthut EA. Serta alasan-alasan penting untuk apa dan kepada siapa Anda harus menulis. Kesimpulannya, lewat bukunya, IH membuktikan dirinya sebagai penulis cerdas yang cerdas menulis. Semoga, saya bisa mengikuti langkah beliau. Selamat.

Menafakuri Eksistensialisme Tubuh dengan “Kawan Rebahan”

Siapa sangka, kiwari, rebahan merupakan salah satu kegiatan yang banyak digemari oleh banyak orang. Selain berguna untuk merehatkan badan disela-sela kesibukan, kini dengan rebahan anda bisa melakukan banyak hal secara bersamaan. Anda hanya butuh dua perangkat ini: kuota internet dan sebuah gawai.

Dengan dua perangkat di atas, anda bisa memesan makanan, menonton hiburan, berbagi cerita dengan kawan dunia maya, menulis sebuah larik puisi, membaca buku, mengunggah foto terkeren, mengintip keseharian artis idola, mengikuti pengajian, bahkan berkuliah. Keren bukan? Anda tak perlu susah-susah. Hanya dengan rebahan!

Apatah lagi, sejak pagebluk mendera, tidak bisa tidak, rebahan menjadi salah satu aktivitas favorit hampir setiap orang. Sebab, kehadiran makhluk bertubuh nano-mikro itu menjadi salah satu ancaman bagi kelangsungan hidup manusia. Makhluk kecil itu hanya butuh waktu kurang dari 14 hari untuk mengakhiri hidup anda. Suka tidak suka, manusia dipukul mundur sampai barak terakhir: rumah.

Alaf 2020 menjadi kisah yang akan sulit untuk dilupakan oleh manusia di seluruh penjuru dunia. Betapa tidak, hanya dalam waktu beberapa bulan, seluruh sendi-sendi kehidupan ambruk seketika. Mulai dari kisah kinasih sepasang kekasih yang harus berjarak, roda perekonomian yang hampir tiarap, pertemuan politik yang tertunda, sampai pertandingan sepak bola pun tak bisa dilangsungkan.Ya, semua karena korona.

Bermacam-macam cara yang digunakan oleh pemerintah untuk menekan angka penyebaran virus korona. Rupa-rupa nama program yang diterapkan memiliki satu fungsi yang sama: membatasi ruang spasial manusia, agar tak dihinggapi virus korona itu. Sederhananya, pembatasan ruang spasial tersebut demi menyelamatkan peradaban. Peradaban tak boleh mati hanya karena makhluk bertubuh nano-mikro tersebut.

 Pada saat yang bersamaan, ketika semua orang diharuskan bermukim di rumah masing-masing, para ilmuan berkutat di laboratorium-laboratorium untuk meneliti dan berupaya semaksimal mungkin untuk membuat vaksin. Ya, semua orang memainkan perannya masing-masing untuk menyelamatkan dunia.

Para tenaga kesehatan bekerja berpuluh-puluh kali lipat menangani pasien yang mengidap virus korona. Para cendekiawan yang tak henti-hentinya meneroka sebab-musabab terjadinya wabah. Penulis-penulis, pemula maupun yang profesional, membuat catatan harian di masa pandemi agar tak cepat mati, akibat diterungku. Ustaz-ustaz yang makin sering berwara-wiri di dunia maya untuk menyampaikan sepatah kata, untaian hikmah di balik pandemi ini. Serta para pegiat sosial media yang tak henti-hentinya memperingati untuk berdiam di rumah saja, serta melaksanakan protokol kesehatan jika terpaksa berada di ruang-ruang sosial.

Meski tak sedikit pula yang bebalnya bukan main. Bahkan, beberapa dari mereka menganggap bahwa korona hanya teori konspirasi belaka. Katanya, virus itu hanya bikin-bikinan para globalis untuk mengokupasi dan merenggut kebebasan orang-orang di dunia ini. Entahlah, saya tidak bisa menghukumi mereka benar/salah, baik/buruk. Yang jelas, tidak sedikit orang yang merenggang nyawa akibat korona.

Bagi mereka yang masih percaya pandemi ini benar-benar sunyata, dan tidak memiliki keahlian khusus dan kemampuan berlebih untuk menyelamatkan dunia seperti para ilmuan dan tenaga kesehatan, berdiam di rumah merupakan salah satu upaya yang jitu. Waima tampak sederhana, mendekam di mukim menjadi bagian penting untuk menjalankan misi mulia: mempertahan peradaban dari serangan pandemi.

Untuk mengusir kegusaran, keresahan, kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, kekalutan, rasa senewen, akibat pandemi yang tak kunjung mangkat dari muka bumi, anda bebas mengeksplorasi apa saja yang ada di rumah. Anda diberi kesempatan bermain dan bercengkrama dengan sanak famili lebih intens lagi tinimbang sebelum-sebelumnya. Anda dapat mengasah dan meningkatkan kemampuan anda memasak dan pelbagai keterampilan yang lainnya. Atau, jika anda sedang merasa mager berat, rebahan bisa jadi kegiatan yang bermanfaat.

Selain mengeksplorasi dunia maya, pada saat rebahan, anda dapat mempertanyakan kembali secara kritis makna keberadaan anda sebagai manusia di masa pandemi ini. Apakah anda masih tetap menjadi manusia ketika ruang spasial semakin dikungkung dan dibatasi? Serta apa arti tubuh bagi anda sebagai manusia yang justru, di masa pandemi ini menghindari tubuh manusia lainnya? Bukankah manusia merupakan makhluk sosial, yang membutuhkan manusia lainnya untuk mempertahankan peradaban?

Jika anda merasa terlalu berat untuk menjawab itu semua, saya ajukan sebuah buku yang dapat membantu anda. Ini judul bukunya: Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19. Ditulis oleh seorang bapak rumah tangga, dosen partikelir, dan pegiat literasi, Bahrul Amsal.

Semesta dibalik punggung buku itu mendedahkan catatan-catatan refleksi seputar makna keberadaan dan tubuh manusia di masa pandemi. Seluruh tulisan yang ada di buku tersebut merupakan gagasan kritis dan segar. Sebab, buku itu membidik hal-hal besar yang sering dilupakan karena tampaknya yang sederhana.

Sebut saja contohnya, tulisan Pandemi dan Kepandiran. Tulisan pertama di buku itu mengulas bahwa, manusia dikalahkan oleh dua sebab: pandemi Covid-19 dan pandemi kepandiran. Keterbatasan tenaga medis dan teknologi medis yang masih sederhana membuat manusia semakin keder dengan virus. Pada saat bersamaan, pengetahuan yang kurang memadai tentang “dunia virus” membikin manusia kalah dua kali. Kira-kira sama seperti ini: sudah jatuh tertimpa tangga pula.

“Mereka seperti yakin hidup di masa Firaun dan menganggap pandemi saat ini merupakan sihir ciptaan konco-konco Firaun, dan mendaku hanya dengan iman yang kuatlah jalan keluar atas penyakit ini” (h.21). Demikianlah pandemi kepandiran yang ditabalkan oleh Bahrul Amsal,

Selanjutnya, tulisan bertajuk 4 Jalan Spiritual Menghadapi Korona dan 10 Pertanyaan Melihat Rumah dari Rumah.

Pada tulisan pertama yang disebut, keempat jalan spiritual tersebut adalah: berkhalwat selama masa physical distancing, bersiap-siap puasa selama darurat sipil, perbanyak ibadah tidak terkecuali berdoa, dan belajarlah dari pemerintah. Keempat tips tersebut memang benar-benar dibutuhkan oleh manusia beragama di masa pandemi. Ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap kondisi keberagamaan kita. Khusus yang terakhir, yang dimaksud adalah sabar. Pahit untuk diakui, pemerintah terlambat merespons dampak pandemi ini. Bahkan, “…bukannya pendekatan medis yang bakal diutamakan, tapi militer, bung!” (h.56)

Sedangkan pada tulisan lainnya, tidak bisa tidak, 10 pertanyaan tersebut membetot kesadaran kita tentang makna rumah. Tak jarang, kita hanya melihat rumah sebagai bangunan fisik, tempat bermukim dan sebagainya. Akan tetapi, rumah bukan hanya bangunan fisik yang melingkupi semesta fisik lainnya. Melainkan, rumah merupakan bangunan ruhani yang melingkupi perbendaharaan ruhani yang ada di dalamnya.

Walakhir, dan ini yang paling pamungkas. Berangkat dari penjabarannya tentang Eksistensialisme yang diperkenalkan oleh dua pemikir Eksistensialis tersohor: Martin Heidegger dan Jean Paul Sartre, Bahrul Amsal berhasil mengetuk kesadaran atas makna keberadaan manusia di masa pandemi.

Pada Heidegger, topik penting yang diuarkan oleh Bahrul adalah, bagaimana mati eksistensialis ala Heidegger: melambari ajal. Di masa pandemi, berita kematian semakin akrab ditemui. Hampir sama dengan berita-berita lainnya. Kematian, seolah-olah menjadi momok yang sangat menakutkan bagi manusia yang tengah diterungku akibat korona. Akan tetapi, “Kematian, menilik pendakuan Martin Heidegger mesti dialami di bawah terang penghayatan…Manusia…memiliki piranti penghayatan untuk menemukan keautentikan dirinya melalui faktisitas yang sudah ia bawa sejak awal kehidupan: ajal” (h.103). Artinya, kematian bagi Heidegger, merupakan pilihan bebas bagi Dasein. “Anda ingin berakhir melalui ajal di masa pengabdian kemanusiaan, atau berakhir tragis di sudut gelap sel penjara” (h.106).

Setelah mengungkap makna eksistensi manusia dari Heidegger, Bahrul Amsal mengangkat tema yang sama dengan orang yang berbeda: Jean Paul Sartre. Bagi Sartre, eksistensi seorang manusia ditentukan oleh kebebasan dan kesadarannya. Karena merasa kurang lengkap atau mungkin kurang relevan (?), Bahrul Amsal mengajukan topik serupa dari seorang pemikir Iran, Ali Syariati.

Berkaitan dengan karakteristik khas manusia, selain iradat (kehendak bebas) dan berpengetahuan (kesadaran), Ali Syariati menambahkan satu lagi: daya kreasi (daya cipta). Bahrul Amsal mewedarkan pemikiran Ali Syariati tentang dua makna atau hakikat manusia berdasarkan terminologi Quran. Keduanya adalah: Basyar, dan Insan.

Bagi Syariati, Basyar merupakan dimensi fisiologis seorang manusia yang kapan saja bisa berhenti berfungsi. Selain dapat malfungsi kapan saja, dimensi fisiologis seseorang dapat dikekang, dikurung, dan diterungku. Sedangkan, Insan adalah dimensi spiritualitas dari seorang manusia yang tetap bertumbuh dan berkembang. Berbeda dengan Basyar, Insan, dimensi spritualitas seorang manusia tak bisa direpresi dan diintervensi oleh apapun. Olehnya, sepadan dengan konsep being-for-itself dari Sartre, bagi Syariati, seorang manusia dapat menjadi becoming dari being, ketika mengaktifkan dimensi Insaniyah menjadi orientasi utama.

Jika menilik makna atau gagasan Eksistensialisme Ali Syariati, setidaknya dapat menjadi salah satu alternatif dari banyak cara memandang eksistensialisme tubuh manusia di masa pandemi. Pertanggal 5 Juli 2021, Walikota Makassar menetapkan PPKM, sama seperti yang dilakukan oleh Jawa-Bali. Sejatinya, PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) tak berbeda banyak dengan kebijakan PSBB di awal pandemi. Mungkin, perbedaannya hanya terletak pada nama programnya. Intinya sama saja: membatasi ruang spasial, menekan aktivitas sosial, menerungku tubuh manusia.

Sepertinya, gagasan Ali Syariati tentang Eksistensialisme yang ditikkan oleh Bahrul Amsal patut untuk diupayakan. Sebab, boleh saja tubuh kita dibatasi ruang spasialnya, dikekang aktivitas sosialnya. Akan tetapi, hal tersebut bukanlah alasan untuk tidak menjadi manusia seutuhnya. Selama masa pembatasan ini, sudah saatnya dimensi spiritualitas kita ditingkatkan. Semoga saja, upaya meningkatkan dimensi spritualitas tersebut, menjadi penolong kita, serta menjadi sebuah suluk untuk meraih Insan Kamil. Ya, manusia sempurna. Semoga saja.

Tubuh Buku:

Judul: Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh dan Covid-19

Penulis: Bahrul Amsal

Penerbit: Liblitera Institute

Jumlah Halaman: 153 Halaman

Nomor ISBN: 978-602-6646-36-1