Semua tulisan dari Ahmad Rhandy

Individu yang mencoba merdeka. Peserta di Kelas Menulis Esai Rumah Baca Panrita Nurung dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Jika ingin mengenal lebih jauh sila berkunjung di Instagram @dokennnz

Membidik dan Mendidik Kemanusiaan

Pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari momok senioritas. Senioritas akut, selalu menanak tulah di setiap termin pendidikan. Waima sekolah tingkat dasar sekali pun. Jika dirunut, kubangan perundungan, pelonco, pengumpatan, dan tindak kekerasan, paling sering ditemui di dunia kampus. Menyusul sekolah menengah atas, sekolah menengah pertama, dan sekolah dasar.

Berangkat dari SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, hingga ke PT, perilaku keji inheren dengan bertumbuhnya pendidikan. Hal ini menguak fallacy dalam tatanan pendidikan.

Seyogianya semakin tinggi peserta didik melangkah, maka semakin sadar jualah mereka memaknai tujuan pendidikan, yaitu kemanusiaan.

Mengapa tertuju pada kemanusiaan? Izinkan saya menyandarkan opini pada buah pikir Tan Malaka, yang diabadikan di buku Dari Penjara ke Penjara, “Tujuan pendidikan yaitu, untuk mempertajan kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.”

Potret bangsa Indonesia, pendidikan bercorak feodal. Pendidikan gaya ini bertentangan dengan pendapat Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Beliau bersabda, “Nawaitu pendidikan Indonesia adalah upaya memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia”. Memaknai kalimat beliau, kemerdekaan yang dimaksud, merujuk pada terbebas dari kepandiran. Dengan bekal pengetahuan, setiap cendekiawan mengetahui apa saja yang diinginkannya. Pula setiap manusia diharuskan secara sadar melakukan kritik terhadap apa-apa saja yang melakukan intervensi atas jiwa manusia lainnya.

Sedangkan feodal dari kacamata KBBI menjelaskan, “Berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan.” Secara harfiah. Penjelasan terminologinya, entitas yang merasa mengeneskan dirinya, merasa berhak atas keberlangsungan hidup orang yang berada di bawahnya.

Menarik benang merah dari penjelasan singkat di atas, saya dibuat kagum dengan kehebatan senior-senior ini. Dengan bermisil pandir, menentang tokoh dan pemikir bangsa macam Tan Malaka dan Ki Hadjar Dewantara. Mengapa tidak? Mereka menahbiskan diri pada pusaran pendidikan feodal yang mengandung benih-benih kebencian warisan kolonial.

Setiap orang berhak terbebas dari intervensi manusia lain terhadap dirinya.

Saya digelitik oleh lantang suara senior menggema ke seluruh penjuru aula, membacakan peraturan wajib semasa mengikuti Masa Orientasi Siswa atau MOS. Pekiknya, “Pasal satu, senior tidak pernah salah. Pasal dua, jika senior salah, kembali ke pasal satu.”

Arkian di bangku kuliah. Pula saya mendapati hal demikian, sewaktu mengikuti pengaderan di lembaga kemahasiswaan dan organisasi daerah. 

Peraturan yang sifatnya sewenang-wenang, bermetamorfosis ke sistem yang lebih mutakhir, sebut saja “rezim kakanda”. Bergumul menyoal kata kanda, tidak ada yang salah jika menilik makna harfiahnya, “kakak”. 

Lamun, banyak yang salah kaprah mengenai kata “kakak” ini, merasa berhak untuk mengatur langkah dan gerak si “adik”. Diperparah dengan dalih yang telah berseliweran dan masih eksis di kampus dengan sebutan “kultur lembaga”.

Senior berkuasa.

Senior adikuasa.

Senior luar biasa.

Berikut seikat quote dari kanda bebal kepada adinda tersayangnya, saya persembahkan kepada pembaca sekalian, “Woy! Kau selamanya harus membungkukkan badan jika lewat depan senior. Jangan pernah melawan perkataan seniormu. Ini ada uang lima ribu, beli rokok Surya satu bungkus, dan saya mau kembalian sepuluh ribu yah Dik, sekalian titip satu gelas kopi susu.” Dan masih banyak lagi.

Sekiranya orang-orang demikian lebih tertarik mempertahankan kulturnya dibanding membaca buku Pramoedya, atau jangan-jangan mereka memang tidak membaca karena sibuk menjaga kultur?

Saya meyakini, Pram paham betul mengenai argumennya menentang senioritas yang ditabalkan dalam salah satu anak rohaninya, terhimpun di tetralogi, Anak Semua Bangsa, “Telah bersumpah kami, menjadi pekerja yang baik bagi gerakan angkatan muda. Sebab semua percuma jika kalau toh harus diperintah oleh angkatan tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan harus ikut jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Percuma, Tuan.” 

Semakin hari, pendidikan dipisahkan dari sisi asketiknya. Malah mengasah naluri hewani manusia.

Sehari-hari saya membayangkan dunia kampus menghasilkan gerakan massa yang gigantik, ideologis, dan progresif. Dipelopori kaum muda dengan jiwa yang membara.

Sebab, sejarah mencatat perubahan yang terjadi di atas bentala yang dipijak, hampir pasti dipelopori oleh gerakan kaum muda. Kaum muda yang kesehariannya kuat membaca, berdiskusi, riset, dan aksi. Tapi mental korup senioritas mengejawantahkan kolonialisme dan imperialisme. Memasam dan membenamkan cita-cita anak muda revolusioner.

Sekiranya, di tanah yang kita pijak ini, kultur yang harus dirawat dan dibesarkan adalah membaca, menulis, dan berbicara.

Lantip buyut kita bertutur dan menulis. Ditahbiskan dengan karya sastra terpanjang di dunia. Telah mendapat pengakuan oleh Unesco, ialah kitab masyhur La Galigo.

Bukannya akan sangat menjanjikan ke generasi yang sedang membara jika mahir menulis, kuat membaca, serta gigih menggali fakta?

Bergumul pendidikan dan senioritas. Syarat utama sebuah bangsa ingin maju, adalah terjaminnya pendidikan yang bermutu dan dibekali kesetaraan. Tidak diperbolehkan manusia menganggap lebih tinggi derajatnya dibanding manusia lain. 

Bahwa setiap manusia berhak bebas. Berhak untuk berkawan dengan siapa pun.

Setiap manusia di muka bumi ini setara!