“Maksim, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran umum tentang sifat-sifat manusia; aforisme; peribahasa. Maksim Daeng Litere, sebagaimana judul buku ini, dimaksudkan seperti pengertian dalam KBBI tersebut” (lihat sinopsis buku Maksim Daeng Litere)
Satu tahun lamanya Daeng Litere menekuni, menekuri untuk menuliskan aforisma-aforismanya. Bukti bahwa beliau memiliki keluasan dan kedalaman ilmu sekaligus kejernihan pikir. Kekayaan hati juga kekayaan kata, serta kekayaan pengalaman, mencerminkan maksim-maksim yang tertuang di dalamnya. Jadi, yang diungkapkan tidak semata sikap reaktif dari setiap fenomena, tetapi buah dari sikap reflektif.
Betapa tidak, di luar sana berseliweran ungkapan-ungkapan kebencian dan berita-berita bohong. Tapi, membaca status-status yang dibuat oleh Daeng Litere, yang dititipkan melalui akun facebook Sulhan Yusuf, dan sekarang hadir berbentuk sebuah buku. Menjadi upaya meminimalisir hal-hal yang memuakkan dan menjemukan tersebut. Para pengujar kebencian alih-alih memikirkan cara untuk keluar dari zona Corona, malah ujaran-ujaran itu menambah keruhnya suasana.
Saya yang sangat susah mencerna kata-kata hikmah, tapi sangat mudah menelan petatah-petitih yang keluar dari mulut berbusa nan berbisa. Pasti akan mudah terprovokasi oleh tulisan-tulisan yang memang bertujuan memprovokasi tersebut. Apatah lagi pada era keterbukaan informasi, kebebasan berekspresi, semua yang tersaji tak mampu terfilter lagi, khususnya di media-media sosial.
Namun, hadirnya ungkapan yang mengandung kata-kata hikmah, tutur Daeng Litere, seakan menjadi obat pelipur lara. Sekaligus penambah imun di tengah perang pagebluk sekarang ini.
Kata seorang tokoh “sesuatu yang keluar dari hati akan sampai ke dalam hati, akan tetapi sesuatu yang keluar dari lisan maka akan sampai ke telinga saja.” Dan apa yang diungkapkan oleh Daeng Litere, bisa disimpulkan, itu semua dari hati setelah pembacaan mata batin pada sebuah realitas.
Hal ini sesuai pada penggalan maksim dengan kode 130920: “Kata hati meniti hati…” (Hal. 86)
Tidak melulu, persoalan-persoalan serius, nan berbelit yang disentil, pun hal receh bagi yang awam, juga dituliskan oleh sang pendekar literasi ini. Lihatlah pada maksimnya yang pertama menuliskan tentang rambutan.
“Salam. Bagi yang botak. Musim rambutan telah tiba. Makanlah sepuasnya. Siapa tahu rambut subur kembali.” (hal.21)
Juga pada maksim yang diberi kode 010320 yang terdapat pada halaman 21.
“Ayo, perbanyak minum kunyit, mumpung musim Langsat. Biar kulit jadi kuning langsat.”
Ungkapan tersebut memang sangat sederhana dan sedikit jenaka. Meskipun di baliknya terkandung makna yang dalam. Tidak menggurui orang lain, tetapi mengembalikan ungkapan itu pada dirinya sendiri, yang memang seorang berkepala botak.
Dengan demikian, para pembaca yang budiman, tak perlu merasa terberati dengan membaca buku ini. Apalagi dengan mengerutkan dahi untuk memahami maknanya.
Bahkan membacanya pun tak harus selalu runut dan berurutan. Dari halaman pertama hingga terakhir. Dibaca dari maksim bagian paling akhir pun sangat bisa. Hal itu tak akan mengurangi pemahaman kita pada apa yang ingin disampaikannya. Seperti yang penulis lakukan saat membaca buku penuh makna ini.
Pada beberapa maksim, seperti sebuah rangkaian yang saling berkaitan. Waima, peletakannya yang tidak langsung berdekatan. Seperti pada maksim dengan kode 260420.
“Sayup terdengar orang membaca ayat-ayat suci. Dengarkan saja dengan khusyuk, maka pikiran dan hati ikut mengaji.” (hal. 40)
Kemudian, persambungkan dengan maksim yang memiliki kode 150221:
“Dengan amal ibadah sedikit-dikitnya, untuk mendapatkan pahala yang sebanyak-banyaknya.” (hal. 138)
Artinya, dengan modal berdiam diri saja, mendengarkan orang yang membaca ayat suci, maka pahalanya pun akan mengalir ke pendengar, sebagaimana pahala orang yang membaca ayat-ayat tersebut, tanpa mengurangi pahala di pembaca.
Begitu pula dengan bahasa yang dipakai, begitu akrab dalam perbincangan keseharian kita. Waima, pada beberapa term yang dipakai, harus dicari terlebih dahulu dalam kamus bahasa Indonesia. Di antaranya, arkian, definit, dan sekotah. Meskipun kata-kata tersebut adalah bahasa Indonesia, tapi, jarang dipakai (atau jangan-jangan hanya saya yang jarang menemukannya karena jarang membaca). Sehingga, saya musti jeda dan mencari maknanya terlebih dahulu di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi digitalnya.
Tentang kejenakaan Daeng Litere yang ditunjukan dalam buku yang berjumlah 142 halaman ini, sering pula ditunjukkan saat menjadi pembicara dalam setiap diskusi serius seminar, workshop, talk show dan sebangsanya) terlebih pembicaraan yang santai. Jadi wajar saja jika beberapa Maksim yang dituturkannya pun ada yang berbau jenaka. Supaya pembaca tak mengantuk, mungkin.
Jika kita sering mencari kata-kata motivasi, ungkapan yang menyejukkan, dengan menggunakan mesin pencari seperti Mbah Google atau Mr. Yahoo. Maka, buku Maksim Daeng Litere ini, layak menjadi referensi. Tidak tanggung-tanggung ada 366 ungkapan di dalamnya ditulis oleh hanya seorang tokoh saja. Jadi, sangat wajar buku ini dimiliki, kemudian dibaca. Bukan sesuatu yang tak mungkin, satu atau dua maksim di dalamnya, bisa menjadi motivasi hidup atau inspirasi dalam aktifitas yang sedang kita geluti.
Maksim Daeng Litere yang pertama kali dibuat perihal rambutan. Pada maksim pamungkasnya pun berbicara tentang rambutan.
“Sudahlah, bagi yang botak. Ternyata makan rambutan, bukan jaminan rerambut tumbuh lagi. Wassalam,” (hal. 142)
Ini bukan sebuah kebetulan, tetapi penanda akan adanya perputaran roda waktu yang terus bergulir. Setiap hari, kemudian berganti bulan, pun berganti musim. Hingga akhirnya bertemu kembali dengan titik tumpu yang semula. Berawal pada rambutan dan berakhir di rambutan. Berawal dari ketiadaan, hingga berakhir juga pada ketiadaan.
Judul : Maksim Daeng Litere
Penulis : Sulhan Yusuf
Penerbit/Tahun : Liblitera Institute
Tahun : 2021
ISBN : 978-602-664635-3
Halaman : 142 hlm.; 12 x 19 cm
Guru SMAN 9 Takalar. Pegiat literasi di Sudut Baca al Syifa Ereng-Ereng Bantaeng dan Komunitas Pena Hijau Takalar.