Semua tulisan dari Ahmad Rusaidi

Guru SMAN 9 Takalar. Pegiat literasi di Sudut Baca al Syifa Ereng-Ereng Bantaeng dan Komunitas Pena Hijau Takalar.

Merapal Maksim Daeng Litere

“Maksim, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran umum tentang sifat-sifat manusia; aforisme; peribahasa. Maksim Daeng Litere, sebagaimana judul buku ini, dimaksudkan seperti pengertian dalam KBBI tersebut” (lihat sinopsis buku Maksim Daeng Litere)

Satu tahun lamanya Daeng Litere menekuni, menekuri untuk menuliskan aforisma-aforismanya. Bukti bahwa beliau memiliki keluasan dan kedalaman ilmu sekaligus kejernihan pikir. Kekayaan hati juga kekayaan kata, serta kekayaan pengalaman, mencerminkan maksim-maksim yang tertuang di dalamnya. Jadi, yang diungkapkan tidak semata sikap reaktif dari setiap fenomena, tetapi buah dari sikap reflektif.

Betapa tidak, di luar sana berseliweran ungkapan-ungkapan kebencian dan berita-berita bohong. Tapi, membaca status-status yang dibuat oleh Daeng Litere, yang dititipkan melalui akun facebook Sulhan Yusuf, dan sekarang hadir berbentuk sebuah buku. Menjadi upaya meminimalisir hal-hal yang memuakkan dan menjemukan tersebut. Para pengujar kebencian alih-alih memikirkan cara untuk keluar dari zona Corona, malah ujaran-ujaran itu menambah keruhnya suasana.

Saya yang sangat susah mencerna kata-kata hikmah, tapi sangat mudah menelan petatah-petitih yang keluar dari mulut berbusa nan berbisa. Pasti akan mudah terprovokasi oleh tulisan-tulisan yang memang bertujuan memprovokasi tersebut. Apatah lagi pada era keterbukaan informasi, kebebasan berekspresi, semua yang tersaji tak mampu terfilter lagi, khususnya di media-media sosial.

Namun, hadirnya ungkapan yang mengandung kata-kata hikmah, tutur Daeng Litere, seakan menjadi obat pelipur lara. Sekaligus penambah imun di tengah perang pagebluk sekarang ini.

Kata seorang tokoh “sesuatu yang keluar dari hati akan sampai ke dalam hati, akan tetapi sesuatu yang keluar dari lisan maka akan sampai ke telinga saja.” Dan apa yang diungkapkan oleh Daeng Litere, bisa disimpulkan, itu semua dari hati setelah pembacaan mata batin pada sebuah realitas.

Hal ini sesuai pada penggalan maksim dengan kode 130920: “Kata hati meniti hati…” (Hal. 86)

Tidak melulu, persoalan-persoalan serius, nan berbelit yang disentil, pun hal receh bagi yang awam, juga dituliskan oleh sang pendekar literasi ini. Lihatlah pada maksimnya yang pertama menuliskan tentang rambutan.

Salam. Bagi yang botak. Musim rambutan telah tiba. Makanlah sepuasnya. Siapa tahu rambut subur kembali.” (hal.21)

Juga pada maksim yang diberi kode 010320 yang terdapat pada halaman 21.

Ayo, perbanyak minum kunyit, mumpung musim Langsat. Biar kulit jadi kuning langsat.”

Ungkapan tersebut memang sangat sederhana dan sedikit jenaka. Meskipun di baliknya terkandung makna yang dalam. Tidak menggurui orang lain, tetapi mengembalikan ungkapan itu pada dirinya sendiri, yang memang seorang berkepala botak.

Dengan demikian, para pembaca yang budiman, tak perlu merasa terberati dengan membaca buku ini. Apalagi dengan mengerutkan dahi untuk memahami maknanya.

Bahkan membacanya pun tak harus selalu runut dan berurutan. Dari halaman pertama hingga terakhir. Dibaca dari maksim bagian paling akhir pun sangat bisa. Hal itu tak akan mengurangi pemahaman kita pada apa yang ingin disampaikannya. Seperti yang penulis lakukan saat membaca buku penuh makna ini.

Pada beberapa maksim, seperti sebuah rangkaian yang saling berkaitan. Waima,  peletakannya yang tidak langsung berdekatan. Seperti pada maksim dengan kode 260420.

    “Sayup terdengar orang membaca ayat-ayat suci. Dengarkan saja dengan khusyuk, maka pikiran dan hati ikut mengaji.” (hal. 40)

Kemudian, persambungkan dengan maksim yang memiliki kode 150221:

    “Dengan amal ibadah sedikit-dikitnya, untuk mendapatkan pahala yang sebanyak-banyaknya.” (hal. 138)

Artinya, dengan modal berdiam diri saja, mendengarkan orang yang membaca ayat suci, maka pahalanya pun akan mengalir ke pendengar, sebagaimana pahala orang yang membaca ayat-ayat tersebut, tanpa mengurangi pahala di pembaca.

Begitu pula dengan bahasa yang dipakai, begitu akrab dalam perbincangan keseharian kita. Waima, pada beberapa term yang dipakai, harus dicari terlebih dahulu dalam kamus bahasa Indonesia. Di antaranya, arkian, definit, dan sekotah. Meskipun kata-kata tersebut adalah bahasa Indonesia, tapi, jarang dipakai (atau jangan-jangan hanya saya yang jarang menemukannya karena jarang membaca). Sehingga, saya  musti jeda dan mencari maknanya terlebih dahulu di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi digitalnya.

Tentang kejenakaan Daeng Litere yang ditunjukan dalam buku yang berjumlah 142 halaman ini, sering pula ditunjukkan saat menjadi pembicara dalam setiap diskusi serius seminar, workshop, talk show dan sebangsanya) terlebih pembicaraan yang santai. Jadi wajar saja jika beberapa Maksim yang dituturkannya pun ada yang berbau jenaka. Supaya pembaca tak mengantuk, mungkin.

Jika kita sering mencari kata-kata motivasi, ungkapan yang menyejukkan, dengan menggunakan mesin pencari seperti Mbah Google atau Mr. Yahoo. Maka, buku Maksim Daeng Litere ini, layak menjadi referensi. Tidak tanggung-tanggung ada 366 ungkapan di dalamnya ditulis oleh hanya seorang tokoh saja. Jadi, sangat wajar buku ini dimiliki, kemudian dibaca. Bukan sesuatu yang tak mungkin, satu atau dua maksim di dalamnya, bisa menjadi motivasi hidup atau inspirasi dalam aktifitas yang sedang kita geluti.

Maksim Daeng Litere yang pertama kali dibuat perihal rambutan. Pada maksim pamungkasnya pun berbicara tentang rambutan.

    “Sudahlah, bagi yang botak. Ternyata makan rambutan, bukan jaminan rerambut tumbuh lagi. Wassalam,” (hal. 142)

    Ini bukan sebuah kebetulan, tetapi penanda akan adanya perputaran roda waktu yang terus bergulir. Setiap hari, kemudian berganti bulan, pun berganti musim. Hingga akhirnya bertemu kembali dengan titik tumpu yang semula. Berawal pada rambutan dan berakhir di rambutan. Berawal dari ketiadaan, hingga berakhir juga pada ketiadaan.

Judul                    : Maksim Daeng Litere

Penulis                 : Sulhan Yusuf

Penerbit/Tahun     : Liblitera Institute

Tahun                   : 2021

ISBN                   : 978-602-664635-3

Halaman               : 142 hlm.; 12 x 19 cm

Demi Waktu dan Puisi Lainnya

Gunung yang Retak itu

Lompobattang, gunung tinggi menjulang

Terpancang, tegak sebagai pasak.

Pepohonan menghijau, mengasrikan pandangku,

menyejukkan alamku.

 

Namun, semua itu, hanya cerita masa lalu.

Kini, tiada lagi dapat dinikmati.

Seperti hendak menjemput ajal,

Tak lama lagi, pasti mati.

 

Mata air yang bening, telah kering.

Tanahnya yang cokelat, telah retak.

Tinggal menunggu waktu untuk lantak.

Lalu, hilang tak bersisa, tak berjejak.

 

Ulah pengolahan lahan yang tak bijak.

Hanya karena alasan pemerataan pembangunan,

Segala rupa diratakan.

 

Magrib menjelang, kami tercengang,

Tersentak mendengar hulu  dirundung pilu,

tebing-tebing menggelinding.

Duka tak terbendung,

di hilir, getir membanjir.

Bandang menyapu.

 

 

Rindu yang Terbunuh

Pucuk-pucuk daun bambu

Jadi saksi rindu

Pada yang tersimpan di dalam kalbu

 

Angin semilir yang berhembus,

kutitip rindu yang terhunus.

Kuyakin ia mampu menembus.

 

Lalu, bayu itu menjadi lesus.

Menyapu alam seluruh,

hingga luluh.

 

Memecah belah bambu,

menjadi sembilu

yang membunuh rindu.

Sebelum bersetuju.

 

 

Kemis

Kusambut pagi dengan meminta

Kulepas siang dengan meminta

Kuawali malam dengan meminta

Kujelajahi malam dengan meminta

Biarlah begitu selamanya dan seterusnya

Karena aku papa

 

 

Terlena

Sungguh aku terlena oleh pesona,

Terpana oleh cerita nostalgia

Hingga aku lupa

Masa lalu adalah milikmu.

 

Sementara,

Kini yang kualami

dan yang akan bertandang,

Kepunyaanku.

Kejayaan yang engkau wariskan

Tiadalah bermakna

Bila tak kuteruskan

dan kuberi warna yang berwarni.

 

Jika kemegahan dan keindahan itu

Hilang dan pergi meninggalkan

Aku tersuruk dan hanyut dalam kedukaan.

Rupanya aku tuna pada hikmah.

 

 

 

Demi Waktu

Demi waktu yang hampir berganti,

Aku lalai untuk menyadari,

Bahwa sebentar lagi engkau akan pergi.

Tapi aku masih tetap saja seperti ini.

 

Demi waktu yang hampir usai,

Sesungguhnya akulah manusia yang paling merugi

Isyarat yang kau beri, tak pernah aku peduli

Barulah saat engkau benar-benar pergi, terlambat aku sesali.

 

Demi waktu yang tak pernah kembali,

Aku belum mengabdi sepenuh hati.

Sementara engkau telah terbang tinggi,

Di tempat abadi, yang tak terjangkau lagi.

 

 

Urgensi Sikapaccei dalam Melawan Covid 19

 

“Berikanlah yang terbaik dari milikmu, seolah yang akan menerimanya adalah dirimu sendiri. Pemberian mesti dimaksudkan sebagai titik temu antara kemampuan menyatakan kesanggupan dan keterbatasan beban bagi yang menerimanya.” (Sulhan Yusuf, Pesona Sari Diri, 2019).

 

Sikapaccei berasal dari kata pacce. Dalam Wikipedia, istilah pacce diartikan, mengajarkan solidaritas dan kepedulian sosial yang tidak mementingkan diri sendiri dan kelompok. Sehingga sikapaccei dapat diartikan saling memiliki sikap solidaritas, antara satu orang dengan orang lain.

Dengan demikian dalam sikapaccei, perlu hubungan timbal balik, dan kerjasama yang baik. Antara satu orang dengan orang lain. Jika pacce berlaku satu arah, sikapaccei harus timbal balik, bahkan multi arah atau multi pihak.

Istilah pacce biasanya diiringkan dengan istilah siri‘. Siri’ dan pacce merupakan budaya/kearifan lokal suku Bugis-Makassar yang telah ada dan berlaku sejak dahulu dan masih dipertahankan hingga sekarang ini.

***

Virus korona atau Covid 19, adalah virus yang gampang menular dari satu orang kepada orang lain, jika seseorang yang positif bersentuhan atau menyebarkan virusnya melalui bersin dan atau batuk, disadari atau dan tanpa disadari. Sehingga protokol kesehatan yang dikeluarkan pemerintah, untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran virus ini, antara lain dengan cara menjaga jarak dan menghindari kerumunan atau berkelompok. Pun akhirnya berlaku kebijakan bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah.

Lalu, di mana letak urgensi budaya sikapaccei, bila kita menjaga jarak sosial (social distancing) bukankah dengan pemberlakuan ini, menyebabkan kita tidak bisa bersosialisasi, membangun keakraban, dan kekerabatan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain?

Solidaritas dan kepekaan sosial dalam konteks hari ini, tidak hanya dimaknai saat kita bisa berkumpul, bergerombol, nongkrong, dan berjemaah. Sementara kemaslahatan atau keselamatan orang yang ada di sekitar kita terancam. Karena jarak yang dekat, rapat memudahkan virus ini berpindah-pindah. Terutama bagi mereka yang memiliki imunitas tubuh yang lemah. Apatah lagi jika yang menyebarkan virus ini, termasuk kategori OTG ( orang tanpa gejala) karena fisiknya sehat dan kuat.

Ya, pilihan untuk tetap di rumah, tidak keluar rumah saat tidak terlalu penting atau mendesak, adalah pilihan yang sangat bijak. Meskipun bagi yang memiliki aktivitas di luar rumah, dan sama sekali tak bisa meninggalkannya. Ini merupakan pilihan yang sungguh berat. Oleh karena itu, siklus sikapaccei tidak bisa berhenti pada satu titik atau orang tertentu saja. Tetapi harus selalu bergulir dan saling menguatkan pada seluruh masyarakat.

***

Bagi orang yang tidak terganggu penghasilannya oleh pandemi dan pemberlakuan sosial distancing, harus menanamkan dalam dirinya sikap sikapaccei ini, dan menerapkannya dalam pergaulan sosial sehari-hari pada lingkungan sekitarnya.

Mengulurkan tangan, menyedekahkan sebagian pendapatannya untuk membantu dan menolong tetangga-tetangganya. Tidak memanfaatkan situasi dan kondisi untuk menyulitkan, meresahkan, menjatuhkan, dan mencelakakan sesamanya.

Misalnya, kasus langkanya masker awal merebaknya virus korona ini, disebabkan oleh ulah oknum yang menimbun, membeli secara massal masker yang diperjualbelikan di pasar. Dengan maksud untuk dijual kembali dengan harga yang jauh lebih tinggi atau harga normal. Perilaku yang mementingkan diri sendiri ini, telah menyebabkan rumor dan teror keresahan dan kepanikan di masyarakat.

Beruntunglah budaya sikapaccei masih bertahan dan  melekat dalam masyarakat kita, sehingga perilaku-perilaku menyimpang tersebut dapat diminimalisir. Budaya dan  sikap sikapaccei ini pula, telah melahirkan sikap kerelawanan berbagai pihak. Relawan gugus tanggap covid 19 multi pihak lahir, terbentuk dan tersebar di seluruh daerah. Baik kota hingga ke pelosok desa. Mereka dengan ikhlas, mengulurkan tangannya, membantu pemerintah dan sesamanya untuk mengedukasi masyarakat dalam mencegah dan memutus mata rantai penyebaran virus yang telah memakan korban ratusan ribu jiwa, di berbagai negara ini.

Para relawan ini, ada yang membagi secara gratis hasil kebun atau pertaniannya, menyisihkan sebagian pendapatan, upah atau gajinya. Membuat dan membagikan  alat pelindung diri (kostum untuk tenaga medis, masker, sarung tangan dan lain-lain), sarana kebersihan, secara gratis. Melakukan penyemprotan disinfektan ke rumah-rumah warga, tanpa mengharapkan imbalan dan balasan apapun. Serta mengedukasi masyarakat untuk tanggap, waspada terhadap penyebaran virus ini. Serta memberikan pengarahan dan penerangan terkait virus ini serta suntikan semangat tetap tenang dan tidak panik.

Sikap kerelawan ini tentu saja hadir sebagai bagian dari sikap dan budaya sikapaccei yang masih bersarang dalam sanubari kita. Dan, artikulasi sikapaccei ini, cukup benderang penampakannya di masyarakat Bantaeng, Pun, di seantero pelosok negeri. Ini dapat kita lihat dari banyaknya laporan aktivitas kerelawanan di media daring dan luring.

Kita semua, dapat memberikan bantuan sebagai bentuk kepedulian pada sesama, dengan cara dan dalam bentuk apapun. Yang penting mendatangkan kemanfaatan bagi sesama. Setiap orang harus tergerak untuk membantu sesamanya.

***

Virus ini, awalnya menyerang satu orang. Kemudian menyebar ke orang lain dalam satu keluarga, ke tetangga, ke desa atau kampung lain, kota lain. Menyeberang dan menyerang negara lain, hingga situasinya seperti yang kita rasakan sekarang ini.

Demikian pula, jika setiap orang memiliki sikap empati, solidaritas, sikapaccei. Maka virus ini perlahan-lahan dapat dilawan dan dihentikan penyebarannya. Sebagaimana wabah penyakit yang pernah menyebar sebelum-sebelumnya.

Memperhatikan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah, menjaga jarak, menjaga kebersihan dan kesehatan, serta tidak panik, adalah hal-hal yang bisa kita terapkan untuk diri sendiri dan bisa disampaikan ke orang lain.

Setiap peristiwa, memiliki dua sisi pandang. Negatif dan positif. Sisi negatifnya, membuat kita atau orang-orang di sekitar sakit, kekurangan juga kehilangan. Tetapi sisi positifnya harus membuat kita lebih optimis. Di antaranya, lebih memerhatikan kualitas kesehatan, meningkatkan kualitas hubungan dengan keluarga dan sesama. Menumbuhkan sikap empati ke sesama dan lingkungan sekitar.

Sumber ilustrasi: SuakaOnline

Tanyaku dan Puisi-Puisi Lainnya

Tanyaku

 

Aku ingin mengetahui, asal kata-kata itu,

hingga ia mudah menjadi cerita.

 

Aku ingin mengetahui, awal mula waktu itu,

hingga ia menjawab setiap cita-cita.

 

Aku ingin mengetahui, hulu sungai keberadaan itu,

hingga ia mengalir sekaligus menyata.

 

Sebuah isyarat

Ia memang sebuah bahasa

Tapi, tak terekam abjad a, b dan seterusnya

Ia hanya terbaca indra

Sekaligus penyebab segala tuna indra

Hadirnya mencipta segala gulita

Meski ia jalan menuju cahaya yang baka

Tak perlu dipinta, akan tiba bila sudah masanya

 

Aku

Sedikit menghamba, banyak mendamba

Sedikit mengabdi, banyak menanti

Sedikit kasih, banyak pamrih

Sedikit berkaca, banyak mencerca

Sedikit membaca, banyak berkata

Sedikit berpeluh, banyak mengeluh

Selalu terlambat, berharap cepat

 

Dia tetap bekerja

Badan yang lemah, bertambah, berlipat-lipat lemahnya

Tak membuatnya berhenti bekerja.

 

Di bawah guyuran hujan

dalam sengat panas

Gigil dingin yang menikam

Dia tetap bekerja.

 

Senyum meringankan kerjanya.

Ikhlas penikmat kerjanya.

Bekerja jalan ibadahnya.

 

Cela selalu mendera,

Menginterupsi kerjanya

Mundur pun datang menyandera,

Menghiburnya untuk duduk istirahat

Tapi, dia tetap bekerja.

 

 

 

 

Presiden-Presidenan

Teman, bagaimana kabarmu sekarang? Kelihatannya kamu tambah sejahtera dan bahagia saja.

Kamu katakan dirimu belum sukses? Ukuran sukses itu relatif, teman. Menjadi petani, nelayan, pegawai, atau apapun pekerjaanmu, terpenting bisa bemanfaat. Sebenarnya kamu itu sudah sukses.

Janganlah kamu ukur kesuksesan dirimu dengan melihat kesuksesan orang lain. Terlebih jika kamu mau membandingkan dirimu dengan saya,

Oh iya, teman. masih ingatkah kamu, saat dulu kita sama-sama duduk di bangku sekolah? Untuk pertama kalinya kita bertemu, berkenalan lalu kian akrab.

Saya rasanya ingin mengulangi masa-masa itu teman. Apalah daya. Kita tak mampu merayu waktu agar mau berjalan mundur.

Tapi, tiada mengapa jika kita mengulangi itu dengan berbagi cerita saja.

Baik, saya yang pertama bercerita, meskipun cerita saya tak seasyik kisah nyata yang sebenarnya, seperti apa yang saya dan kamu telah lalui.

Tahukah kamu, teman. Ada satu kejadian yang hingga saat ini, sulit saya lupakan. Saya, jika mengingatnya, sering tertawa sendiri. Demikian pula bila saya ceritakan ke istri dan anak-anak, mereka ikut ikut tertawa. Mereka sedang menertawai saya, atau cerita saya, entahlah.

Ah, bukan itu teman. Bukan saat kamu menulis surat untuk si Jelita, yang kamu titip melaui saya. Dan dia menolakmu. Tidak pantaslah saya mengenang duka laramu itu teman.

Tapi, yang selalu saya ingat dan membuat saya terpingkal-pingkal tanpa sadar, adalah saat kita masih siswa baru di kelas satu. Lalu, diospek oleh kakak senior.

Teman, dari sekian banyak permainan yang ditampilkan kakak senior kita dulu, ada satu permainan yang hingga saat ini tidak bisa saya lupakan. Bahkan, telah membuat saya terobsesi mewujudkannya.

Masa sih kamu sudah lupa?

Ya. itu, main presiden-presidenan. Masih ingatkah kamu aturan mainnya? Ah, sudah lupa juga? Padahal kamu tak pernah dihukum kakak senior, jika mereka memainkan, permainan ini. Selalu lolos, jalanmu sangat mulus. Tapi, bisa jadi karena kemulusanmu itulah, yang membuatmu tak mengingatnya sma sekali. Karena  menganggapnya sesuatu yang tidak istimewa, untuk dijadikan kenangan.

Pantas pula, kamu tak bisa jadi presiden kalau begitu. Main presiden-presidenan saja, enggan kamu ingat. Tapi, beruntunglah kamu lebih memilih bertani dan berkebun. Hidupmu pasti sangat tenang. Berbeda dengan yang berambisi jadi presiden, hidupnya selalu gelisah. Seperti yang saya alami teman.

Karena kamu tak ingat sama sekali. Tak apalah saya ulang peraturan permainan itu.

Setiap yang ditunjuk menjadi presiden, menyebutkan namanya terlebih dahulu, kemudian kata presiden, presiden. Lalu diikuti nama teman lain yang hendak ditunjuk. Misalnya. Ahmad pesiden, presiden Ali. Ali akan menjawab. Ali presiden, presiden Syukri. Begitu seterusnya.

Jika yang disebut namanya ternyata tidak menjawab, atau telat merespon. Akan dikasih hukuman oleh kakak senior. Kamu masih ingat kan, hukuman yang paling sering diperintahkan kakak senior?

Ya, betul itu yang saya maksud. Menyanyi, ketawa sepuluh macam, menulis nama pakai pantat, atau merayu kakak senior.

Untunglah, saat itu saya masih belum bisa merayu. Pasti kakak senior yang punya tahi lalat di pipi kanannya itu, akan menggelepar mendengar rayuan saya.

Buktinya, sekarang. Ribuan hingga jutaan orang mau mengikuti saya, itu karena kepiawaian saya merayu. Sebenarnya mereka tahu dan sadar, bahwa saya pandai merayu. Tetapi mereka percaya bahwa rayuan saya itu sangat bagus.

Kamu tahu teman, siapa yang mengajari saya rayuan? Itu, kakak senior yang memulai permainan presiden-presidenan yang sedang kita bicarakan saat ini.

Saya bertemu dengannya, saat dia menjadi penghuni terlama di kampus. Dan saya masih calon mahasiswa yang akan digunduli dan diospeknya lagi.

Ternyata, permainan presiden-presidenannya, dia bawa hingga ke perkuliahan. Lebih hebatnya lagi, dia terpilih menjadi presiden di kampus sampai tiga kali, gara-gara permainan itu. begitu katanya. Pasti kamu meragukan dan tak memercayainya, bukan? Saya pun demikian, awalnya.

Nah, pasti sekarang kamu sudah ingat, teman? Bukan. bukan senior itu yang saya minta untuk kamu ingat. Tapi, permainan itu.

Saat main permainan itu, saya selalu kena hukuman. Setiap saya yang ditunjuk untuk melanjutkan presiden-presiden. Saya hanya menyebut diri saya sendiri.

Waktu ospek di kampus pun, saya melakukan itu. Nah, saat itulah kakak senior itu, mengenali saya.

Dia bercerita. bahwa, saat diospek dia mendapatkan permainan itu di kampus. Padahal, sudah diketahuinya. Lalu, dia memainkan permainan itu. Sebagaimana saya memainkannya. Itulah yang membuatnya terkenal di kampus.

Satu sampai dua kali, kesalahan itu saya lakukan. Bahkan, tiga hingga empat kali. Saya masih saja dianggap salah. Padahal, saya menganggap diri saya benar.

Saya tidak mau menyebut atau menunjuk yang lain menjadi presiden. Hanya saya saja yang boleh menjadi presiden. Sekalipun itu hanya dalam permainan presiden-presidenan.

Teman-teman kita, termasuk kamu, selalu menunjuk orang lain untuk menjadi presiden. Hingga kalian tidak mendapat hukuman. Sementara saya. Saya ingin menjadi presiden. Meski hanya presiden-presidenan. Makanya saya menunjuk dan menyebut diri saya. Amir presiden, presiden Amir . Amir presiden, presiden Amir.