Semua tulisan dari Aksan Al-Bimawi

Pengajar di Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNMUL Samarinda Kaltim

Radikalisme dalam Islam: Tindakan Kekerasan Atas Nama Perintah Tuhan

“Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak  yang berdo’a , Ya tuhan kami keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang penduduknya Zalim, berilah kami pelindung di sisimu, dan berilah kami penolong dari sisimu (Q.S. An  Nisa: 75).

Ayat di atas merupakan salah satu dari sekian banyak ayat dalam Al-Qur’an yang membahas tentang pentingnya peperangan di jalan Allah. Ayat tersebut juga menjadi landasan bagi umat Islam untuk berjuang di jalanNya. Semua orang tentu menyetujui jika ayat di atas dipahami dan dilakukan demi kebaikan diri sendiri juga orang lain, sekaligus sebagai usaha untuk menegakkan Islam yang rahmatan lil alamin. Akan tetapi, semua umat manusia juga tentu tidak menyetujui jika dalam menegakan kalimat Allah SWT dilakukan dengan cara kekerasan. Cara-cara kekerasan seperti melakukan pemboman dan merusak tempat-tempat yang dianggap sarang dari tindakan asusila, amoral serta merusak tata sosial yang ada, dengan alasan apapun, tindakan semacam ini tentu tidak dibenarkan baik dari segi hukum maupun dalam pandangan agama. Dalam menduduksoalkan masalah-masalah yang berkaitan dengan radikalisme atau kelompok-kelompok radikal, tentu harus diperhatikan tentang karakteristik dan penyebab gerakan radikalisme yang semakin marak dipersoalkan.

Maraknya gerakan radikalisme di Indonesia dapat diamati dengan pelbagai perspektif berdasarkan kenyataan lapangan yang didukung oleh fakta-fakta yang dikritik dan diverifikasi dalam menganalisa setiap munculnya gerakan radikalisme tersebut. Secara teologis, radikalisme lahir karena adanya keyakinan yang absolut oleh sekelompok orang yang cenderung memahami Islam secara eksklusif, sehingga melegitimasi ayat Al-Qur’an sebagai sebuah kebenaran tunggal. Kebenaran yang dipahami adalah kebenaran berdasarkan penafsiran dan cara pandangnya sendiri, bukan kebenaran berdasaran teks dan konteks yang dibicarakan dan meng-counter dengan akalnya sebagai mahluk yang merdeka (asbabun nujul). Inilah yang terjadi di abad-abad pertengahan sehingga terjadi perselingkuhan antara kaum agamawan dengan pemerintah (negara menyatu dengan agama).

Secara umum, terjadinya radikalisme karena; pertama, adanya pemahaman yang bersifat normatif dan tesktual terhadap agama yang dianggap sudah final sehingga dalam tindakannya dinilai sebagai perintah yang suci dari Tuhannya. Kedua, Adanya pemahaman yang bersifat eksklusif, dalam menafsirkan ayat-ayat tuhan, sehingga orang-orang yang berbeda dengan kelompoknya dianggap orang-orang kafir yang harus diperangi. Ketiga, adanya ketidaksabaran dan ketidakmampuan dalam menghadapi narasi-narasi modern (kapitalisme, liberalisme, materialisme dll) maupun keserakahan sosial dan politik yang dilakukan oleh elit pemerintah.

Radikalisme juga bisa terjadi karena adanya pemaknaan mereka yang rigit dan kaku terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sebagai landasan untuk memerangi orang-orang yang dianggap memfitnah. Ayat-ayat di bawah ini terkadang dijadikan dasar tindakannya seperti dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka kerjakan (Q.S. Al Anfal: 39). Ada juga ayat yang menyuruh untuk berjihad “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami , kami akan tunjukan mereka jalan-jalan kami. Dan sungguh Allah beserta orang-orang yang berbuat baik (Q.S. Al Ankabut: 69)”.

Terjadinya gerakan radikalisme internasioanal dalam Islam khususnya yang ada di Indonesia perlu pengkajian secara serius. Sebab ada perbedaan yang sangat mencolok tentang radikalisme dalam masyarakat Indonesia dibanding dengan negara-negara Arab. Radikalisme Indonesia diperhadapkan dengan kondisi sosio-cultural yang sangat berbeda baik dari segi tantangan yang dihadapi maupun ekspresi keberislamannya dibanding dengan negara-negara Arab. Adanya radikalisme di Indonesia bisa saja didesain oleh pemerintah untuk mengalihkan setiap isu-isu penting yang dapat membongkar dan merusak nama baik dari koruptor-koruptor di negara-negara ini. Selain itu, munculnya radikalisme di Indonesia bisa saja terjadi karena sering dijadikan sebagai kelinci percobaan oleh negara-negara asing yang punya kepentingan dalam menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Secara perlahan, radikalisme telah memunculkan stereotip Barat yang di alamatkan kepada umat Islam bahwa Islam itu agama yang identik dengan terorisme.

Stereotip semacam itu direkayasa sedemikian rupa melalui media massa atau sosial media di dunia maya. Tidak sedikit berita-berita yang berkaitan dengan gerakan radikal menjadi topik utama dalam setiap pemberitaan dan sampai sekarang sedang hangat diperbincangkan. Maraknya radikalisme dan pemberitaan dipelbagai media dapat merusak citra umat Islam. Tentu sangat diperlukan analisa secara kritis dari pelbagai sisi, supaya kita tidak terjebak pada informasi atau rekayasa publik yang membuat cara pandang kita membawa pada kedangkalan berpikir dan bertindak. Terutama dalam memahami dan menganalisa segala permasalahan yang dihadapi umat Islam, termasuk yang berkaitan dengan terorisme dan radikalisme di Indonesia.

Dalam dunia Islam, radikalisme muncul karena memahami ajaran yang sangat normatif dan menganggap kelompoknya yang paling benar. Pandangan semacam ini berpotensi mengarahkan manusia ke jalan yang salah arah. Jika memang demikian, maka tepatlah kata Charles Scimbal kalau agama bisa saja salah ataupun jahat karena selalu mengkultuskan pemimpinya seperti kebanyakan orang-orang yang ada di pedesaan yang warisan “budaya masa lampau”. Sekedar contoh di Sulawesi Selatan sebagian kecil masih ada yang menjadikan gelar-gelar seperti karaeng, puang, dan andi di jaman dulu diperlakukan sebagai seorang raja yang mewakili perintah tuhan di bumi ini. Memperlakukan mereka sesuai dengan strata sosialnya, saya pikir hal yang wajar saja, tetapi ketika memperlakukan mereka secara berlebihan apalagi menganggap perkataan dan perintah mereka juga dianggap perintah Tuhan tentu akan bermasalah.

Pembacaan terhadap ayat Al-Qur’an secara tekstual seperti innadiina indallahil Islam, “sesungguhnya agama yang diakui di sisi Allah yaitu Islam (Adz Zariyat: 56)”. Apabila tidak ditempatkan secara proporsional baik secara tekstual maupun kontekstual bisa melahirkan cara pikir yang eksklusif. Bisa jadi klaim kebenaran yang dianutnya dibenturkan dengan kebenaran agama-agama lain yang memang berbeda dengannya (toleransi dalam menghargai keyakinan orang lain).

Selalu merindukan masa depan yang ideal adalah sebuah perjuangan dan cita-cita suci dalam Islam, tetapi cita-cita ini tidak akan tercapai jika merusak dan mencederai kelompok lain. Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, karena itu Islam selalu menyebarkan kedamaian dan keharmonisan dalam dalam hidup antar umat beragama. Banyak jalan menuju Roma, banyak juga cara mencapai surga Allah SWT. Allah SWT pun menegaskan walan tharda angkal yahuudu walannasraniyah walaa kinkaana khanifammuslimaa wamaa kaana minnal musrikiin. Dalam ayat ini Allah SWT menegaskan bahwa dia tidak pernah memandang bulu siapa pun orangnya dan dari mana asalnya, apakah dia dari agama manapun semasih ia mau berbuat yang terbaik maka mereka akan mendapatkan tempat yang terbaik pula. Memang secara eksoterisme kita berbeda, tapi secara substansial kita sama, maka sudah seharusnya agama Islam dipelajari, dipahami, dimaknai dan dijalankan secara holistik dan komprehensif. Wallahu alam bishawab.

 


sumber gambar: islaminesia.com