Semua tulisan dari Alfathri Adlin

Lahir di Padang Panjang, 4 Oktober 1973. Sekarang bekerja sebagai Manajer Redaksi Pustaka Matahari. Pernah menjadi Editor Pelaksana Penerbit Jalasutra. Telah menerbitkan beberapa buku di antaranya: Antologi FSK ITB “Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multiperspektif”, penerbit Jalasutra 2006. Antologi FSK “Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas”, penerbit Jalasutra, 2007. Antologi FSK “Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer”, penerbit Jalasutra, 2007.

Postmodernisme dan Fenomena Kebudayaannya

Charles Jencks, seorang arsitek sekaligus pemikir, mengklaim bahwa postmodernisme lahir pada tanggal 15 Juli 1972, pukul 15.32 bersamaan dengan diruntuhkannya kompleks perumahan untuk orang-orang berpenghasilan rendah, yaitu, Pruitt-Igoe di St. Louis, Missouri, yang baginya merupakan lonceng kematian bagi arsitektur modern. Kompleks perumahan tersebut di desain oleh Minoru Yamasaki, yang juga mendesain gedung WTC (dan kini pun sudah ambruk). Arsitektur adalah sebuah titik awal yang cukup bagus untuk mulai membicarakan tentang postmodernisme, karena istilah modernisme pun lahir dari bidang arsitektur. Awalnya adalah Suger, seorang kepala biarawan, yang merekonstruksi basilika St. Denis pada tahun 1127, yang kebingungan untuk menyebut apa gaya arsitektur baru yang didesainnya tersebut, karena merupakan suatu “penampakan baru” untuk masa itu. Maka dia pun mencomot istilah Latin, yaitu opus modernum, yang artinya “sebuah karya modern”. Kata modern sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu modo yang artinya “barusan”.1

Jencks, dalam sebuah artikel singkat di surat kabar, pernah menjelaskan bahwa istilah postmodern sebenarnya telah dipakai pada tahun 1870 oleh seniman Inggris, John Watkins Chapman, dan pada tahun 1917 oleh Rudolf Panwitz. Namun, apa arti dari istilah modernisme dan juga postmodernisme biasanya malah baru mendapat penjelasan yang tajam dan detail justru setelah beberapa abad berlalu. Lucunya, di era modern Franco Moretti pernah menyebut istilah Modernisme sebagai “istilah tanpa arti dan jangan terlalu sering digunakan”, namun di kemudian hari, kamus The Modern-Day Dictionary of Received Ideas malah mendefinisikan Postmodernisme sebagai “Kata ini tak punya arti. Gunakan saja sesering mungkin.”2 Namun, meski pun demikian, Bambang Sugiharto menjelaskan bahwa apa arti dari postmodernisme itu bisa  bermacam-macam: (1) Berbagai sikap kritis atas pola pikir dan mentalitas Modern (cakupannya luas, aliran pikirannya sangat beragam); (2) Babakan zaman baru dengan gejala budaya baru yang cakupannya global, pada milenium ketiga ini; (3) Aliran filsafat tertentu (Lyotard, Derrida, Foucault, dsb), yang hingga kini sangat kontroversial; (4) Style tertentu dalam dunia seni dan arsitektur.3 Postmodernisme—walau belum bisa dikatakan sebagai suatu era tersendiri—setidaknya bisa dilihat fenomenanya dalam tiga ranah dengan cirinya masing-masing, yaitu, filsafat, seni dan sosial budaya yang, bagaimana pun, memang memperlihatkan suatu perubahan drastis dari ciri-ciri modernisme secara umum.

Modernisme yang Justru Memicu Postmodernisme

Modernisme merupakan konsep yang umumnya sering dikaitkan dengan fenomena dan kategori kebudayaan, khususnya estetika atau gaya, sedangkan modern seringkali dikaitkan dengan penggal sejarah atau periodisasi, sementara, konsep modernitas digunakan untuk menjelaskan totalitas kehidupan. Benih modernisme setidaknya mulai bersemi di Eropa bersamaan dengan awal gelombang Renaissance. Era Baru yang, salah satunya, terlahir dari luka atas dominasi gereja yang memenjara manusia dalam dogma dan pikiran hidup untuk mati (momento mori). Luka tersebut, di kemudian hari, akan melahirkan antara lain moralisme sekuler, humanisme, individualisme, rasionalisme dan kepercayaan akan progresivitas atau kemajuan sejarah. Awal dari dunia modern seringkali dinisbatkan kepada Renaissance yang dianggap sebagai awal dari perkembangan sains dan teknologi, perluasan dan ekspansi perdagangan, perkembangan wawasan modern tentang humanisme; sebagai tantangan terhadap kepercayaan keagamaan Abad Pertengahan juga sebagai sebentuk pendayagunaan rasionalitas dalam pemecahan masalah-masalah manusia. Semangat Renaissance jelas sekali diwakili oleh pemikiran Rene Descartes, dan melalui wawasan humanismenya yang menjadikan manusia—dengan segala kemampuan rasionalnya—sebagai aku (subjek) yang sentral dalam pemecahan masalah dunia.

Descartes menyulut api Renaissance di Eropa, menyibak Abad Kegelapan, melalui metode “Dubium Methodicum” (Metode Keraguan). Bahwa pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang memiliki kepastian, namun untuk memperoleh kepastian maka kita harus meragukannya dulu. Jangan takut. Ragukan semuanya, hingga yang tersisa adalah sesuatu yang pasti, yaitu keraguan itu sendiri. Bahwasanya ada satu yang tak bisa diragukan, yaitu ‘aku yang meragukan semuanya’, karena untuk meragukan harus ada yang ‘berpikir’, dan untuk berpikir harus ada aku yang berpikir, sehingga dengan demikian, aku ada. Maka lahirlah adagium ‘cogito ergo sum’, ‘aku berpikir maka aku ada’. Dengan itu, maka Descartes menjadikan subjek yang berpikir (yang di kemudian hari nanti dikenal sebagai subjek cogito) sebagai pijakan atau titik tolak bagi filsafatnya. Wawasan humanisme  Cartesian, dalam hal ini, bersifat sangat mekanistis, dalam pengertian rasionalitas dijadikan sebagai ukuran tunggal kebenaran, dan mesin dijadikan sebagai paradigma, dalam mewujudkan mimpi-mimpi utopis manusia modern akan kekuasaan. Bambang Sugiharto menjelaskan bahwa yang dimaksud “modernisme” di bidang filsafat adalah gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang pada awalnya diinspirasikan oleh Descartes, dikokohkan oleh gerakan Pencerahan (Enlightenment/Aufklärung), dan mengabadikan dirinya hingga abad keduapuluh melalui dominasi sains dan kapitalisme.4

Pengertian subjek dalam wawasan humanisme-rasional Cartesian ini, menurut David Michel Levin, sebenarnya penuh dengan kekaburan dan paradoks oleh karena di satu pihak penyanjungan  kemampuan akal budi manusia, yang menjadikan manusia sebagai subjek yang merdeka, self-determination dan self-affirmation; merupakan awal dari keterputusan manusia dari Tuhan; di lain pihak, konsep rasional ini justru diandalkan oleh Descartes sebagai perangkat untuk membuktikan eksistensi Tuhan itu sendiri. Dan bila dikaitkan dengan eksistensi manusia di dalam ruang dan waktu, Heidegger menjelaskan bahwa apa yang disebut dengan periode modern, “…dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa manusia menjadi pusat dan ukuran dari semua ada (beings).”5

Apa yang disebut dengan Pencerahan (Aufklärung) dalam diskursus filsafat modern, sebenarnya adalah suatu proses penyempurnaan secara kumulatif kualitas subjektivitas dengan segala kemampuan objektif akal budinya dalam mencapai satu tingkatan sosial yang disebut dengan kemajuan. Keterputusan dari nilai-nilai mitos, spirit ketuhanan, telah memungkinkan manusia modern untuk mengukir sejarahnya sendiri di dunia—suatu proses self-determination, di mana manusia menciptakan berbagai kriteria dan nilai untuk perkembangan diri mereka sendiri sebagai subjek yang merdeka. Keterputusan dari nilai-nilai dan spirit yang lama, telah memungkinkan manusia modern untuk hidup di dunia baru, dunia modern. Hegel menyebut dunia baru ini sebagai zaman baru (new age), dengan spirit yang baru. Seperti yang dikemukakannya bahwa: “Zaman kita adalah sebuah zaman kelahiran dan periode peralihan menuju satu era baru. Spirit telah terputus dari dunia yang sebelumnya dihuni dan diimajinasikannya, dari pikiran yang telah menenggelamkannya di masa lalu, dan ia dalam proses transformasi. Spirit tidak pernah diam di tempat, akan tetapi selalu dalam proses bergerak ke depan…ketidakstabilan dan kebosanan yang mengguncang orde yang mapan, ramalan samar-samar tentang sesuatu yang belum diketahui di depan, semuanya ini adalah petanda dari perubahan yang tengah menjelang…”6 Hegel, dalam hal ini, melihat periode modern sebagai satu periode di mana manusia sebagai subjek, menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya di dunia. Baginya, tidak ada landasan lain yang dapat menopangi subjek yang merdeka selain dari akal budi sang subjek itu sendiri—akal budi yang mencari kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Baginya adalah ilmu pengetahuan yang menjadi mahkota dari apa yang disebutnya Kebenaran Ideal (Spirit), menggantikan mitos, legenda, atau wahyu.

Namun, di masa berikutnya, gambaran dunia yang dibangun oleh modernisme ini melahirkan berbagai konsekuensi negatif bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya. Bambang kembali memaparkan setidaknya enam konsekuensi negatif pada taraf praksis, yaitu: pertama, pandangan dualistik yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual-material, manusia-dunia dan lain sebagainya, telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivis dan positivitis akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin sehingga cenderung menjadi tidak manusiawi. Ketiga, dalam modernisme, ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi sehingga nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya, akibatnya terjadi disorientasi moral-religius yang meningkatkan pula kekerasan, keterasingan, depresi mental. Keempat, materialisme ontologis, bahwa materilah yang dianggap sebagai kenyataan terdasar, yang bergandengan dengan materialisme praktis, yaitu bahwa hidup adalah keinginan yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Kelima, militerisme, yaitu ketika kekuaaan yang menekan dengan ancaman kekerasan dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mengatur manusia, bahkan religi pun menjadi sama koersifnya ketika dihayati secara fundamentalistis. Keenam, bangkitnya kembali Tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri.7

Dunia modern sendiri tampaknya lebih mirip sebagai sebuah dunia yang kontradiktoris. Marshall Berman menggambarkan bahwa menjadi modern adalah menemukan diri manusia di dalam sebuah lingkungan yang menjanjikan petualangan, kekuasaan, suka cita, pertumbuhan, perubahan diri manusia sendiri dan dunia—dan pada saat yang sama, mengancam untuk menghancurkan segala sesuatu yang manusia punyai, segala sesuatu yang diketahuinya, segala sesuatu dari diri manusia sendiri. Ini dikarenakan masyarakat modern, di satu pihak, membutuhkan moralitas, tetapi di pihak lain ia membuatnya mustahil. Dunia modern memunculkan pemahaman-pemahaman tertentu tentang moralitas, tetapi juga menghancurkan dasar-dasar untuk menganggap serius pemahaman tertentu. Sampai sejauh ini perdebatan seputar permasalahan tersebut masih menjadi bahan pembicaraan.8

Postmodernisme dan Seni

Ada semacam antagonisme dialektis antara “dulu” dan “kini” dalam perjalanan sejarah Barat yang senantiasa berpacu dalam ketidaksukaannya terhadap segala yang lama, dalam penolakan kepada pendahulu terdekat sebelumnya yang tampaknya selalu diturunkan secara naluriah. Hal lainnya adalah bias kesejarahan budaya Barat yang sangat kuat, suatu kepercayaan bahwa sejarah menentukan cara bagaimana sesuatu itu semestinya, yang bisa terlihat dalam pemikiran dialektika dari Hegel dan juga materialisme dialektik dari Marx. Konsep Geist (Ruh) dari Hegel menjelaskan konsep orde universal yang diidentifikasikan sebagai kehendak Tuhan yang menjelma di dunia. Ilmu pengetahuan itu sendiri—sebagaimana subjek yang mencarinya—tidaklah sempurna dari awalnya. Ruh dan subjek selalu berada dalam proses menjadi sehingga subjek selalu berada dalam proses dialektik pembaharuan secara konstan karena ketidakpercayaannya terhadap ruh dan hukum alam.9 Perubahan yang dihasilkan dari proses bergerak ke depan dan proses menjadi inilah yang oleh subjek modern itu sendiri yang dinilai sebagai kemajuan, dan hal ini paling mudah terlihat dalam sejarah seni.

Di Abad Pertengahan, segala hal dalam kehidupan manusia harus senantiasa menjadi pelayan bagi agama, seperti filsafat, sebagaimana ditegaskan olehThomas Aquinas, adalah ancilla theologiae, pelayan bagi teologi. Demikian pula berbagai seni sebelum lahirnya seni modern, dituntut untuk menjadi hiburan dan pendorong bagi yang hidup serta menyampaikan pesan dan ajaran agama serta mengingatkan akan hari akhirat. Abad Pertengahan bisa dikatakan sebagai abad teosentris, karena segala hal selalu diarahkan kepada Tuhan, dan manusia cenderung diabaikan, sebab Kehendak Yang Maha Kuasa di atas segala-galanya, baru pada masa Renaissance terjadi perubahan kepada manusia, sehingga seni pada zaman ini hingga menjelang abad 20 bisa dikatakan bersifat antroposentris. Namun, di masa-masa tersebut belum muncul sesuatu yang bisa dikatakan sebagai seni modern, karena prinsip naturalisme dalam lukisan masih mendominasi teknik melukis saat itu, hanya temanya saja yang berubah-ubah, hingga kemudian ditemukannya kamera foto.

Penemuan ini mengakhiri otoritas seni untuk mereproduksi realitas dan mendadak gaya naturalis menjadi ketinggalan zaman. Seniman seperti mendapat saingan berat; apabila realitas natural bisa diabadikan dalam sekejap dengan jauh lebih baik, tepat, akurat dan benar oleh kamera foto, maka di mana lagi tempat bagi seniman. Maka para seni pun harus mengubah arahnya, dari mereproduksi realitas menjadi merepresentasikan yang tak terhadirkan. Maka mulailah muncul gaya seni impresionisme yang menitikberatkan pada perubahan cahaya dan cuaca di sepanjang hari; bahwa melukis suatu pemandangan di pagi hari akan berbeda warnanya dengan melukisnya di sore hari. Bahkan pergeseran posisi seniman dalam melukis pun akan menghasilkan kesan dan warna yang berbeda dari objek lukis yang sama. Seniman yang dikenal di aliran ini adalah Claude Monet, Eduard Manet, Edgar Degas, Aguste Renoir, Camille Pissaro, dan Alfred Sesley. Kemudian dilanjutkan oleh neo-impresionisme yang melukis dengan petak-petak kecil warna, hampir merupakan titik-titik, sehingga disebut juga sebagai pointilisme, yang tujuannya untuk membuat efek cahaya yang kuat. Seniman yang dikenal di aliran ini adalah George Seurat, Paul Signac, Paul Cezanne dan Paul Gauguin. Berikutnya, muncul aliran realisme yang mencoba melukiskan realitas sebagaimana adanya, kenyataan sehari-hari tanpa ‘dibungai-bungai’ oleh perasaan romantis yang malah menutupi realitas dari kepahitan hidup, seperti kehidupan para pekerja kasar, orang-orang miskin , kesibukan kota dan pelabuhan. Seniman yang dikenal di aliran ini adalah George Hendrik Breitner dan Rodin, seorang pematung.

Kemudian gaya tersebut dilampaui kembali dengan lahirnya gaya ekspresionisme yang mencoba melukis dengan mencurahkan jiwa dan perasaan sang seniman seutuhnya saat melukis; yang ingin dilukiskan adalah segala yang dipikirkan maupun dirasakan sang seniman terhadap objeknya. Seniman yang dikenal di aliran ini adalah Vincent van Gogh, Paul Gaguin, dan Ernast. Namun, karya seni yang bisa dikatakan benar-benar merepresentasikan semangat modern dan benar-benar baru, karena berbeda dari gaya seni sebelumnya, adalah Kubisme yang mencoba melukis objek lukisannya dengan bentuk-bentuk geometris, bahkan manusia pun disederhanakan menjadi bentuk-bentuk geometris, tak ubahnya arsitektur. Seniman yang dikenal di aliran ini adalah Pablo Picasso, G. Braque, dan Paul Cezanne. Gaya ini pun kemudian coba dilampaui oleh gaya Abstrak yang dalam melukis mencoba menghilangkan semua referensi representasional untuk menghapuskan semua “jejak” realitas  dari (re)presentasi apa-apa yang tak tergambarkan, sesuatu yang sublim. Seniman yang paling dikenal dari aliran ini adalah Piet Mondrian. Lalu muncul juga gaya Surrealisme yang mencoba membebaskan seniman dari kontrol kesadaran dan masuk ke ketaksadaran, menginginkan kebebasan seperti orang bermimpi dan mencoba menghadirkan mimpi tersebut. Seniman yang paling terkenal dari aliran ini adalah Salvador Dali. Lalu muncullah gaya Ekspresionisme Abstrak yang seperti mengakhiri peran seni lukis dalam menghadirkan dan mereproduksi realitas, untuk kemudian beralih mencoba menghadirkan yang tak terhadirkan, yaitu sesuatu yang sublim dan emosi serta ekspresi sang seniman. Seniman paling terkenal dari aliran ini adalah Jackson Pollock.

Sampai di sini, kita menyaksikan perkembangan dan percepatan gaya seni rupa yang masih berada di atas kanvas. Di tengah perubahan gaya yang senanatiasa bersikap antagonis kepada gaya sebelumnya, penolakan untuk mengulang gaya yang sudah ada, seni lukis seperti ‘tumpah ke luar dari kanvas’ yang mulai dilakoni oleh Dadaisme, sebuah nama yang diambil dari ucapan bayi tak bermakna “da da da da…” sebagai suatu aliran seni yang muncul dari proses terhadap mekanisasi lini perakitan mesin pembantai di Perang Dunia I serta eksploitasi teknologi modern untuk prang dan saling membunuh antar manusia. Sebentuk gaya seni yang justru anti seni dan anti ekspresi, dengan menggunakan berbagai barang jadi sebagai karya seni. Seniman yang dikenal dari aliran ini adalah Hans Arp, Francis Picabia, Marcel Duchamp, Ruigi Russalo dan Severini.

Gaya ini pun kemudian dilampaui lagi oleh gaya berikutnya. Bukannya menghadirkan karya seni, namun yang diangkat dan belum pernah diolah gaya dan seniman sebelumnya adalah aura sang seniman itu. Aura dan otonomi karya seni dipindahkan kepada sang seniman, seperti yang dilakukan dua seniman London, Gilbert dan George, yang memamerkan diri mereka sendiri sebagai “patung hidup”. Kemudian, ini pun dilampaui oleh seniman berikutnya, yang juga tidak menghadirkan karya seni atau pun mengolah aura sang seniman, tapi mengolah peristiwa sebagai karya seni, seperti yang dilakukan oleh Yves Klein dengan memerintahkan dua perempuan telanjang yang dilumuri cat biru untuk bergulingan di sekeliling kanvas di atas lantai sambil diiringi simponi bernada tunggal sebagai latar belakangnya. Gaya ini pun kemudian dilampaui kembali oleh Josef Beuys yang membuat karya instalasi, yang menggeser kekuatan aura dari objek seni, dari aura sang seniman ke peritiwa dan kini ke tempatnya itu sendiri, yaitu ke galeri atau museumnya itu sendiri. Dan akhirnya, ini pun coba dilampaui lagi dengan Seni Konseptual yang bahkan membuang sama sekali proses estetika dalam karya seni, sebentuk protes dan penghinaan atas seni yang telah dikooptasi oleh pengobralan karya seni dan elitisme yang tercemar. Contohnya adalah Piero Manzoni yang mengawetkan kotorannya sendiri serta menjualnya dengan diberi judul “100% Pure Artist Shit” atau Damien Hirst memamerkan seekor domba mati dalam akuarium formaldehida, atau bahkan air seni dari seniman itu sendiri. Lalu, hendak ke mana seni akan melangkah ketika seni mengambil jalan pembaharuan terus menerus yang malah berujung pada peniadaan seni itu sendiri?

Yasraf Amir Piliang menjelaskan hal tersebut sebagai berikut: “Dalam perkembangan dan pengalaman estetika modernitas, penggunaan konsep referensi diri (self reference) menjadi sangat akut. Sang seniman modern mempunyai kesadaran tentang dirinya dan karyanya dalam rentang sejarah sebagai mengalami pengalaman temporalitas yang abadi. Setiap proses berkarya sama artinya dengan proses mencari lagi landasan, paradigma, referensi, dan kriteria-kriteria baru, dan membuat sang seniman semakin menjauh dari konvensi dan kode-kode sosial, budaya, bahasa dalam kehidupan sehari-hari.”10 Obsesi modernisme dalam seni akan kebaruan dan autentisitas karya, menurut Habermas, sifatnya tak lebih dari “…pemenuhan sementara  terhadap kerinduan yang abadi akan keindahan”11 karena pencarian kebaruan tersebut secara terus menerus untuk mencapai ‘keindahan Absolut’ merupakan “…tanda yang mencolok dari karya-karya yang disebut modern adalah sesuatu yang baru, yang segera dikuasai dan dijadikan usang melalui kebaruan gaya yang berikutnya.”12

Terkait ini, Jean-Francois Lyotard menyatakan: “Lantas, apa itu postmodern?… Tak diragukan lagi ia adalah bagian dari modern. Semua yang telah diterima, sekali pun kemarin… harus disangsikan. Ruang macam apa yang diragukan Cézanne? Ruangnya para impresionis. Objek macam apa yang diserang Picasso dan Braque? Objeknya Cézanne. Anggapa macam apa yang telah dipatahkan oleh Duchamp pada 1912? Anggapan yang mengatakan seseorang harus membuat sebuah lukisan, sekali pun itu Kubis. Dan (Daniel) Buren mempertanyakan anggapan lain yang diyakininya tak disinggung dalam karya Duchamp: tempat presentasi dalam karya tersebut. Dengan percepatan yang mengagumkan, generasi tersebut memacu dirinya sendiri. Seuah karya dapat menjadi modern hanya jika ia pertama-tama adalah postmodern. Postmodernisme, dengan demikian, bukanlah akhir modernisme, tapi keadaan awalnya, dan keadaan ini konstan.”13 Namun, seperti yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard, obsesi dan pacuan kecepatan untuk mencipta kebaruan sebagai prinsip dalam wacana modernisme ini pun secara “Tiba-tiba tampak sebuah tikungan jalan, sebuah titik balik. Di suatu tempat, panorama nyata menghilang, panorama di mana Anda masih mempunyai aturan bermain dan pegangan tempat bergantung.”14

Sebelumnya seni memang sering diidentikkan dengan dekorasi, ornamen, dan kepuasan, namun meski pun kini hal itu dianggap kuno, toh ketiga hal tersebut masih bisa ditemukan, misalnya di kalangan desainer (sense of beauty). Di ujung evolusi dan percepatan perubahannya tersebut, kini seni seringkali tak lagi menampilkan keindahan. Pada titik ini, menurut Clive Bell, seni lebih tepat disebut sebagai bentuk bermakna (significant form), dan seniman adalah “tukang utak-atik bentuk” guna memberi makna pada pengalaman sebagai sebentuk reflektivitas.15 Paul Ricoeur, yang mengolah konsep Sigmund Freud tentang ketaksadaran dan kesadaran, mengajukan bahwa ketaksadaran itu berupa berbagai imaji (seperti video), yang dibekukan ke dalam kesadaran oleh kata/konsep/verbal (seperti fotografi). Namun, bagi Benedetto Croce, dalam tahap awal apresiasi seni, kedua hal ini tak terdiferensiasi karena dicerap oleh totalitas diri secara fisikal (individual physiognomy). Menurutnya, mengapresiasi seni merupakan tindakan intuitif.16

Dengan berbagai bentuknya, kini seni lebih merupakan persoalan kebenaran eksistensial atau kenyataan (das Sein). Kebenaran di sini bukanlah kebenaran moral atau persoalan idealitas (das Sollen), dan bukan pula kebenaran ilmiah seperti rumus atau pola. “Seni adalah kebohongan yang memungkinkan kita menyadari kebenaran”, begitu cetus Pablo Picasso. Kebenaran eksistensial tersebut disampaikan melalui olah bentuk, sehingga nilai karya seni terletak pada kesadaran baru yang ditimbulkannya. Karya seni bermutu hanya menyiratkan berbagai kemungkinan, bukan menyuratkan atau menerang-jelaskan, jarang sekali mendikte.

Ini terkait juga dengan estetika, namun bukan dalam pengertian yang dicetuskan oleh Baumgarten sebagai “filsafat keindahan”. Estetika diserap dari bahasa Yunani, aisthetikos, yang artinya persepsi atau kesadaran. Kata aisthanomai artinya saya menyadari atau mencerap sesuatu. Justru pengertian dasar dalam bahasa Yunani inilah yang kini lebih tepat untuk memaknai estetika terkait dengan kebenaran eksistensial dan kesadaran baru dalam seni. Berbeda dengan seni pramodern—yang merupakan bagian dari ritual dan agama—seni modern—dan juga postmodern—menjadi otonom dari apa pun (art for art sake). Bahkan Immanuel Kant menyatakan bahwa apresiasi seni ditandai oleh sikap tanpa kepentingan (disinterestedness). Setelah agama “terdepak” dari kancah kebudayaan, kini wilayah batin manusia modern lebih sering diisi oleh seni. Namun, salah satu konsekuensinya, seni kontemporer seringkali menampilkan kebenaran eksistensial berupa kesakitan, kecemasan, absurditas, dsb. Carl Gustav Jung banyak membahas hal ini.

Seni murni maupun terapan merupakan pengenaan dimensi batin pada benda, peristiwa, sikap, gerak, bunyi, dsb, secara karikatural atau melebih-lebihkan agar perkara esensial yang diusungnya tertampilkan. Karena dari perspektif seni, kelebihan manusia bukanlah pada nalar atau akal budi, tetapi pada reflektivitas atau kontemplasi yang merupakan perpaduan nalar, rasa dan imajinasi. Dalam seni ada ekspresivitas atau pergumulan batin ketika mengolah bentuk. Ciri khas seni zaman ini adalah hibrid, kolase, intertektualitas, seperti new media art, namun karakternya tetap sama, yaitu, berkomunikasi melalui olah bentuk. Susan Sontag menegaskan bahwa yang terpenting dalam seni adalah the erotics of art, bentuk yang tak terterjemahkan namun mempunyai efek berupa penikmatan berbagai sensasi inderawi. Bahkan kini seksualitas dianggap sebagai jalan masuk ke wilayah tersembunyi dan paling rumit dalam kehidupan manusia. Demikianlah setidaknya wajah seni di ujung perjalanan sejarahnya yang malah meniadakan dirinya sendiri, yang menjadi kabur dan nyaris tak berbeda dengan ‘hidup sehari-hari itu sendiri’.

Postmodernisme dan Budaya

Dengan memandang perbedaan antara budaya dan alam, Rolland Barthes melihat ada dua kesalahan besar dalam masyarakat modern yang berpikir bahwa kebiasaan intelektual dan institusi secara umum disebut sebagai sesuatu yang alami, kemudian kesalahan kedua adalah memandang bahasa sebagai satu fenomena alami ketimbang seperangkat kesepakatan sosial. Barthes mengatakan ia ingin menghancurkan ide bahwa tanda itu alami—hampir dalam seluruh karyanya Barthes ingin menunjukkan perbedaan antara budaya dan alam tersebut. Bagi Barthes adalah sesuatu yang alami apabila kita makan, tidur, berbahasa dan sebagainya akan tetapi apa yang kita makan, kapan kita tidur, kata-kata apa yang kita gunakan merupakan konstruksi sosial yang diberikan kepada kita dalam hubungan kita dengan manusia lainnya serta merujuk kepada dan hanya bermakna dalam masyarakat dan kelas di mana kita berada.17

Pembedaan antara alam dan budaya ini juga sering dipakai untuk membongkar segala hal yang dianggap sakral dan terberi. Biasanya kita beranggapan bahwa budaya hadir setelah alam, dan di bangun di atas alam; bahwa budaya adalah resistensi terhadap alam. Namun, menurut Richard Harland, kini kalau kita berpikir lagi, justru alam yang merupakan konstruksi kultural, dan bahkan merupakan konstruksi yang justru bisa dibilang relatif baru, karena alam masuk ke dalam realitas humaniora melalui kebangkitan ilmu alam pada abad ke tujuh belas. Sama seperti halnya alam, kita beranggapan bahwa masyarakat hadir setelah ada individu, di tata di antara individu-individu. Namun, individualitas justru hanyalah konstruksi kultural yang relatif baru, masuk ke dalam realitas manusia melalui etika individualisme kaum borjuis pada abad ke tujuh belas.18

Budaya menjadi kata kunci karena ada kebutuhan untuk mengontrol atau menguasai dan merekayasa identitas. Dalam artian merumuskan “jiwa” kelompok atau “kepribadian” atau habitus. “Jiwa” kelompok ini adalah “style” atau gaya pengulangan/dominasi (sistem prioritas nilai atau ideologi) serta hegemoni sistem nilai. Ini bisa dilihat salah satunya dalam bidang desain dan arsitektur yang secara langsung bersentuhan dan membentuk gaya hidup dan budaya. Secara umum, istilah desain di masyarakat awam seringkali diidentikkan dengan mode pakaian atau kegiatan artistik. Dalam hal ini, desain adalah materialisasi nilai-nilai melalui unsur-unsur visual yang bisa berbasiskan metode ilmiah, intuisi atau keterampilan semata, dan bisa berupa dua maupun tiga dimensi. Bentuk visual, sebagai aspek paling fundamental dalam desain, mempunyai prinsip dasar yang bisa diidentifikasi dengan tiga tahapan perubahan. Perubahan ini berdampak terhadap bagaimana cara desain dipandang, didefinisikan, serta fungsinya di masyarakat—terutama dalam statusnya sebagai komoditi—yang akan mempengaruhi proses perkembangan kebudayaan dan peradaban. Misalnya, pada masyarakat tradisional, objek selalu dikaitkan dengan upacara, ritual, magi dan mitos; pada masyarakat industri, objek dikaitkan dengan berbagai upaya kemajuan dan transformasi; sedangkan pada masyarakat konsumer objek dikaitkan dengan kode, bahasa estetik, dan makna yang baru.

Perubahan tersebut juga mempengaruhi cara produksi, proses, dan ideologi di balik produksi dan konsumsi objek (desain). Perubahan ini sejalan dengan perubahan cara manusia memandang makna di balik suatu objek sebagai cerminan dari dirinya, bagaimana objek tersebut diterima dan ditafsirkan, serta metode penciptaan dan pendekatan dalam pemahamannya. Jean Baudrillard pernah mendedahkan tentang tiga tahapan perubahan penampakan (appearance) kebudayaan yang mempengaruhi desain, yaitu: (1) Counterfeit, adalah pola yang dominan pada periode klasik, dari zaman Pencerahan sampai pada Revolusi Industri, yang ditandai oleh produksi bebas tanda, fashion, model, menggantikan sistem pertandaan kasta atau iklan yang bersifat represif dan hegemonik. Dalam masa ini terjadi semacam demokratisasi dalam bagaimana manusia memilih dan menentukan penampakan dari berbagai aspek kehidupannya dan gaya hidupnya. Seorang biasa bisa saja bergaya hidup seperti seorang raja, yang pada masa sebelumnya mustahil dia peroleh. (2) Produksi, pola yang dominan pada era industri, yang ditandai dengan otomatisasi produksi dan universalisme nilai-nilai. Pola penampakan dengan pola produksi ini ditandai dengan upaya-upaya memassakan kebudayaan dan segala aspek penampakannya, disebabkan adanya pelbagai dorongan ekspansi ekonomi yang dominan (Kapitalisme). Demokratisasi kebudayaan menjadi semacam demokratisasi semu karena manusia disuguhkan berbagai pilihan penampakan, gaya dan gaya hidup, namun pilihan tersebut telah dirumuskan terlebih dahulu oleh orang-orang yang berkepentingan dalam ekonomi. (3) Simulasi, pola yang mendominasi fase sekarang yang dikontrol oleh kode-kode, yaitu fase yang didominasi oleh reproduksi dari realitas buatan—hiperrealitas. Era simulasi ditandai dengan berkembangnya demokratisasi yang ekstrim dalam dunia penampakan, di mana dunia tidak saja diberikan kebebasan dalam memilih gaya dan gaya hidup, akan tetapi justru diberi peluang yang besar untuk menciptakan penampakan berbagai simulasi dari penampakan dirinya sendiri atau penampakan kebudayaan materi di sekelilingnya.19

Dalam perubahan prinsip desain tersebut, terlihat bagaimana tanda dan kode telah merembes ke hampir segenap komoditi (kesenangan, status, simbol), bahkan dianggap mempunyai daya pesona (fetisisme). Baudrillard melihat bahwasanya permainan tanda seperti itulah yang didambakan dan dibeli, ketimbang nilai guna atau nilai utilitas seperti yang diidealkan oleh Marx. Baudrillard melihat bahwa makna atau petanda adalah sesuatu yang menjadi beban masalah saat ini, dan kecenderungan barunya adalah permainan bebas penanda (tanpa makna) yang disebut juga sebagai postmodernisme. Bagi Baudrillard, penanda—dalam wujud simulasinya—tak lebih dari duplikasi, copy atau faksimili dari petanda; sebuah penanda murni. Acuan referensinya adalah dirinya sendiri, bukan realitas di luar dirinya.

Dalam kaitannya dengan relasi pertandaan postmodern ini, Baudrillard membuat sebuah perbandingan semiosis yang menarik antara karya Bauhaus (wakil modernisme) dengan karya postmodernisme. Bauhaus, menurut Baudrillard, di dalam setiap ungkapan karyanya memberikan satu formula yang diasumsikan bersifat universal, bahwa pada setiap objek ada satu petanda atau makna yang bersifat determinan dan objektif, yakni fungsi. Bagaimanapun beraneka ragamnya bentuk, elemen, khasanah kata dan pengkombinasiannya, semuanya pada akhirnya akan bermuara pada makna tunggal, yaitu fungsi. Sebaliknya, pada karya-karya postmodernisme, apa yang disebut tanda itu bersifat sangat mendua, dan mempunyai hubungan yang tidak harmonis dengan fungsi—ia bisa merupakan bentuk ironis dari fungsi; merupakan penopengan, pemutarbalikkan, pelecehan, pelesetan dari fungsi. Oleh karena sifatnya yang mendua, ironik dan kontradiktif ini, maka Baudrillard lebih cenderung mengatakan, bahwa “penanda itu sudah mati” di tangan postmodernisme, disebabkan keterpesonaannya pada permainan penanda (misalnya ornamentasi), yang oleh modernisme dianggap sebagai parasit dari fungsi—berlebihan, sampah, aneh, ornamentasi, mubazir, kitsch.20

Era Prinsip Relasi Pertandaan
Klasik/Pramodernisme Form Follows Meaning penanda/makna ideologis
Modernisme Form Follows Function penanda/fungsi
Postmodernisme Form Follows Fun penanda/penanda (makna ironis)

Secara umum, diskursus “desain” pada era pramodern dapat digambarkan melalui prinsip form follows meaning, karena bentuk (penanda) selalu mengacu pada makna ideologis atau spiritual. Misalnya, pada Abad Pertengahan, sangat lazim dijumpai bentuk-bentuk objek “desain” yang dipenuhi ikon, ornamen atau motif yang merepresentasikan pesan-pesan Alkitab. Bisa dikatakan bahwa “desain” merupakan representasi mimesis dari realitas/alam, sebagaimana yang dikemukakan Platon; sebuah paham idealisme dalam “desain”. Bentuk merupakan manifestasi kualitas-kualitas spiritual, jiwa terdalam, dan makna esoterik, karena dalam era pramodern umum berkembang konsep bahwa manusia dan alam seakan saling mencerminkan; mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta). Pendekatan era pramodern terhadap gaya adalah menganggap gaya sebagai satu ungkapan jiwa yang bersifat transenden, yang melingkupi kediriannya yang sejati. Pada masyarakat pramodern, sistem sosialnya belumlah sekompleks era modern dan postmodern dengan kapitalisme dan rasionalitas sebagai arus besarnya. Hal itu membuat objek “desain” yang dibuatnya tidak terjamah pengaruh komersialisme. Cara berpikir yang dominan pada masyarakat pramodern adalah sapienza poetica, bukan rasionalitas yang instrumentalistik dan materialistik.

Di dalam era modern, khususnya pada desain modernisme, makna-makna ideologis atau spiritual seperti di era pramodern ditolak; melepaskan diri dari mitos, tradisi, kepercayaan, konvensi sosial. Sebagai relasi pertandaan, desain modernisme mengajukan prinsip form follows function, yaitu setiap ungkapan bentuk (penanda) akan mengarah kepada aspek fungsi. Istilah fungsi di dalam desain mengacu pada nilai utilitas yang dapat diberikannya. Bahkan Adolf Loos, seorang pentolan modernisme, menyatakan “ornamen was crime”. Kualitas-kualitas fungsional, rasional, efisiensi menjadi hal yang paling dijunjung tinggi dalam prinsip desain modernisme. Hal ini terlihat jelas dalam pernyataan Nikolaus Pevsner, pendukung modernisme lainnya, bahwa “Gerakan modern dalam arsitektur, agar menjadi ekspresi yang sepenuhnya dari abad ke dua puluh, harus memiliki….kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, pada ilmu pengetahuan sosial dan perencanaan rasional, dan pada kepercayaan romantis pada kecepatan dan deru mesin.”21 Pendukung modernis meyakini bahwa cara mengartikulasikan ungkapan estetik hanyalah melalui penerjemahan elemen-elemen fungsi pada bentuk sehingga terjadilah penyeragaman estetik. Sebagaimana dinyatakan oleh John Thackara, bahwa praktik modernisme “…memperlakukan semua tempat dan semua orang dengan cara yang sama, sebuah pendekatan yang dianggap mengancam identitas individual dan tradisi lokal.”22

Pada desain postmodernisme—dibandingkan dengan era pramodern dan modern—relasi pertandaan bersifat lebih ironis; selain tidak mengacu pada makna ideologis konvensional, ia juga menolak fungsi sebagai referensi dominan, dan lebih menyukai permainan bebas penanda. Postmodernisme mengembangkan satu prinsip baru pertandaan dalam desain, yaitu form follows fun. Nilai-nilai formal dan fungsional tidak lagi menjadi prinsip dalam desain postmodernis, sebagai gantinya ia lebih cenderung kepada makna majemuk (polysemy) dan bukan makna tunggal (monosemy). Salah satu contoh desain postmodern adalah gaya Memphis yang diprakarsai oleh Ettore Sottsass di Milan, suatu gerakan anti-estetik yang menentang pendekatan fungsionalisme dalam desain. Atau seperti slogan yang termuat dalam Swatch Catalogue: 1983-1991, yaitu “Ambil estetika ‘form-follows-function’ Bauhaus yang efisien, dan beri ia sebuah pelesetan besar. Kini, ‘form-follows-function-follows-fun’’”. Postmodernisme mempermainkan keseriusan ekplorasi formal, dan estetika produksi-massa yang baku, dan sekaligus menolak label genius pada sang desainer—plesetan, humor, kritik. Tak jarang, postmodernisme mengambil dan mengaduk-aduk gaya dari masa lalu, bahkan Venturi, Brown dan Izenour menyatakan, “…tidak saja kita tidak terbebas dari bentuk-bentuk masa lalu, dan dari tersedianya bentuk-bentuk ini sebagai model-model tipologis, akan tetapi, bahwa, jika kita beranggapan bahwa kita terbebas darinya, kita akan lepas kendali terhadap sektor imajinasi dan kekuasaan untuk berkomunikasi dengan orang lain yang paling aktif.”23

Di bagian awal tadi telah diperlihatkan bagaimana arsitektur menjadi bidang yang mencetuskan istilah ‘modern’ dan, dalam pengertian tertentu, juga istilah ‘postmodern’. Hal yang menjadi permasalahan dalam desain dan arsitektur modern adalah: manusia sebagai subjek direduksi hanya menjadi fungsi dan ukuran ergonomi. Kompleks perumahan Pruitt Igoe yang awalnya diperuntukkan untuk kehidupan yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah malah berubah menjadi tempat kumuh dan sarang kriminalitas. Jencks menunjuk bahwa itulah kegagalan dari estetika mesin modern yang digadang-gadang oleh Bauhaus, dan terutama sebagaimana yang dicetuskan oleh Walter Grophius dalam Manifesto dan Program Bauhaus (1919): “Mari kita berhasrat bersama, menyusun dan menciptakan struktur masa depan yang akan merangkul arsitektur, seni patung, dan seni lukis dalam satu kesatuan yang suatu hari akan bangkit menuju surga dari tangan-tangan jutaan pekerja seperti simbol kristal dari satu keyakinan baru.”24

Surga yang diimpikan oleh Grophius tersebut ternyata gagal terwujud, prinsip form follows function telah gagal dan dianggap mereduksi manusia dengan segala hasrat dan imajinasinya. Namun, yang terjadi berikutnya, semangat kebaruan dalam modernisme malah diselewengkan menjadi percepatan dan perayaan konsumerisme dan permainan tanda dan citraan dalam berbagai komoditi. Kecepatan tinggi mesin produksi (pertumbuhan ekonomi) harus diiringi oleh kecepatan tinggi arus konsumsi, dalam ajang konsumerisme. Dalam kritik politik ekonominya, ada satu kondisi yang tak dapat diramalkan oleh Karl Marx, yakni menjelmanya kecepatan sebagai kekuatan kapitalisme global. Perpacuan waktu di sebuah pabrik harus diiringi oleh perpacuan gaya dan gaya hidup di Super Mall dan perpacuan citraan dalam industri hiburan. Perpacuan waktu ekonomi menjadi paradigma perpacuan waktu sosial. Fenomena lainnya yang juga mewarnai fenomena kebudayaan postmodern adalah hiperrealitas dalam bentuk cyberspace sebagai jagat maya yang kini begitu mendominasi kehidupan manusia abad 21. Orang bisa saling terhubung satu sama lain secara virtual melalui media sosial dan jaringan virtual lainnya, namun menjadi seperti terputus dari realitas. Akhirnya, muncullah istilah click activism, ketika perubahan sosial diandaikan hanya ramai berlangsung di jagat maya tanpa tindakan konkret. Demikianlah secuplik fenomena postmodernisme dalam filsafat, seni dan kebudayaan di abad 20 dan 21. Memang, postmodernisme belum bisa dikatakan telah menjadi suatu era baru tersendiri, dan bahkan banyak usulan dan kritiknya terhadap modernisme malah gagal sebelum terwujud, seperti janin yang mengalami keguguran sebelum terlahirkan menjadi sosok yang berbentuk. Namun, meski demikian, beberapa tawaran, kritik dan fenomenanya masih bisa dipertimbangkan walau tak harus disetujui begitu saja.[]

Ilustrasi: fineartamerica.com

Catatan-catatan:

  1. Richard Appignanesi & Chris Garratt, Introducing Postmodernism, Cambridge: Icon Books, 1995, hlm. 4.
  2. Bambang Sugiharto, “Meninjau Ulang Postmodernisme” (makalah yang tidak diterbitkan), hlm 1.
  3. Ibid., hlm. 2.
  4. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 29.
  5. David Michel Levin, The Opening of Vision: Nihilism and the Postmodern Situation, London: Routledge, 1988, hlm. 3.
  6. W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, London: Oxford University Press, 1988, hlm. 7.
  7. Bambang Sugiharto, Postmodernisme, 1996, hlm. 29-30.
  8. Marshall Berman, All That is Solid Melts Into Air, London: Verso, 1982, hlm. 99.
  9. Hegel, Phenomenology…, 1988, hlm. 6.
  10. Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna, Bandung: Pustaka Matahari, 2010, hlm. 75-76.
  11. Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, Polity Press, 1990, hlm. 9.
  12. Jürgen Habermas, “Modernity – An Incomplete Project”, dalam Hal Foster (ed.), Postmodern Culture, London: Pluto Press, 1985, hlm. 4.
  13. Jean Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Manchester: Manchester University Press, 1989, hlm. 79.
  14. Jean Baudrillard, Forget Baudrillard, New York: Semiotext(e), 1987, hlm. 69.
  15. Alfathri Adlin, “Kebenaran Eksistensial”, artikel di surat kabar Pikiran Rakyat (tanggal dan tahun tak tercatat karena surat kabarnya telah hilang).
  16. Ibid.
  17. Roland Barthes, Mythologies, London: Granada, 1973, hlm. 111.
  18. Richard Harland, Superstructuralism: The Philosophy of Structuralism and Post-Structuralism, London: Methuen, 1987, hlm. 9.
  19. Jean Baudrillard, Simulations, New York: Semiotext(e), 1983, hlm. 7.
  20. Jean Baudrillard, For a Critique of the Political Economy of the Sign, New York: Telos Press, 1981, hlm. 185-203.
  21. Nikolaus Pevsner, Pioneers of Modern Design, London: Pelican Books, 1960, hlm. 118.
  22. John Thackara, Design After Modernism, London: Thames & Hudson, 1988, hlm. 11.
  23. Robert Venturi, Denise Scott Brown & Steven Izenour, Learning From Las Vegas, edisi revisi, Massachusetts: The MIT Press, 1989, hlm. 131.
  24. Walter Gropius, “Bauhaus Manifesto and Program” (1919), file pdf yang diunduh dari internet beberapa tahun silam, namun tak tercatat alamat situsnya.

Rene Descartes

Suatu ketika, Rene Descartes mengunjungi sahabatnya, orang Inggris, dan diajak makan malam bersama. Sahabatnya bertanya apakah sebelum makan malam dia mau mencicipi hidangan pembuka terlebih dahulu? “No, thank you”, ujar Descartes, “Aku lebih suka kita langsung makan malam saja.” Lalu sahabatnya kembali bertanya, “Apakah Anda mau minum dulu sebelum kita mulai makan malam?” Karena Descartes adalah seorang Katolik saleh yang tidak suka minuman beralkohol, dengan tegas dia berkata “I think not!”, dan WUSSSS! Descartes pun menghilang.

Lelucon di atas memang memparodikan adagium Descartes “cogito ergo sum”. Adagium itu bisa dikatakan menyalakan api pencerahan ke segenap Eropa yang nantinya mengkristal menjadi Renaissance (artinya adalah “kelahiran kembali”). Sebelumnya, filsafat tengah tertidur pulas, dan kedatangan Descartes telah memungkinkan “kelahiran kembali” khazanah pemikiran Yunani. F. Budi Hardiman menyatakan bahwa semenjak Descartes, bisa dikatakan bahwa filsafat Barat seakan menyibukkan diri dengan tema ‘kesadaran’ (sebelum nantinya akan dijungkirbalikkan oleh Sigmund Freud yang ‘menemukan’ terra incognita bernama ketaksadaran). Namun, menariknya, inspirasi pemikiran Descartes, sang rasionalis besar itu, justru lahir dari ketaksadaran, yaitu tiga mimpi beruntun yang dialaminya pada 11 November 1619, saat dia menjadi tentara Bavaria dan sedang berkemah di tengah badai salju.

Mimpi pertamanya memperlihatkan bagaimana Descartes berjuang melawan angin yang sangat kencang ketika hendak menuju gereja yang terdapat di kolesenya di la Flèche, lalu dia berbalik untuk menyapa seseorang, dan dia pun terlempar menjauh dari gereja tersebut dan terjatuh persis di tengah-tengah sekumpulan orang yang sama sekali tak tergerak oleh angin kencang tersebut. Mimpi yang sepertinya mengisyaratkan bagaimana Descartes ‘dicerabut’ dari segenap doktrin gereja Abad Kegelapan agar bisa meragukan segala hal lalu merumuskan pemikirannya. Kemudian mimpi keduanya memperlihatkan bagaimana Descartes tengah mengalami ketakutan, lalu tiba-tiba dia mendengar ‘sebuah suara yang kedengarannya seperti guntur’ dan kamarnya yang gelap pun dipenuhi dengan cahaya yang terang benderang. Suatu mimpi yang mengingatkan pada gambaran tentang orang yang tengah berada dalam gelap gulita, dan tak bisa melihat jalan di depannya, lalu muncul kilat dan guruh yang sesaat menerangi jalan di hadapannya, namun tak jarang itu membuat manusia menutup telinga dengan kedua jarinya serta dilingkupi perasaan takut mati. Kemudian mimpi ketiganya menggambarkan bagaimana Descartes tengah memegang kamus yang masih harus dia lengkapi, lalu dia mendengar kata-kata “Quod vitae sectabor iter?” (Jalan hidup manakah yang seharusnya aku tempuh?). Descartes percaya bahwa melalui berbagai visi dan mimpi yang didapatkannya Tuhan telah mengungkapkan tugas yang diberikan kepadanya sehingga memberinya kepercayaan untuk memenuhi panggilan hidup tersebut, sekaligus kepercayaan terhadap kebenaran penemuan-penemuannya.

Kemudian, inspirasi lainnya Descartes temukan dari Imam Al-Ghazali, sang Hujattul Islam. Pada masa itu, karya-karya Al-Ghazali telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Dominicus Gundisalvus, dan salah satunya adalah Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan) yang merupakan buku autobiografi sang Imam. Descartes memiliki terjemahan bahasa Latin buku tersebut, dan mendapati ungkapan “Keraguan adalah peringkat pertama keyakinan” yang kemudian diberi garis merah dan dilengkapi tulisan tangan dari Descartes di sampingnya “Pindahkan ini ke dalam metode kita.” Kata-kata lainnya yang lebih lengkap dari dalam buku itu adalah “Keraguanlah yang mengantarkan pada kebenaran. Barang siapa yang tidak merasa ragu, maka ia tidak memandang. Barang siapa yang tidak pernah memandang, maka ia tidak pernah melihat. Dan barang siapa yang tidak pernah melihat, maka ia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan.” Lalu, Descartes pun membuat parafrase dari ungkapan Al-Ghazali tersebut menjadi “Keraguan adalah jalan pertama menjadi keyakinan” (La doute est le premier pas vers la certitude).

Dari mimpi dan inspirasi Al-Ghazali tersebut, maka Descartes pun merumuskan metodenya yang dikenal sebagai “Dubium Methodicum” (Metode Keraguan). Dalam baris pembuka buku Meditations I, Descartes menuliskan: “Hal itu dimulai ketika aku pertama kalinya menyadari betapa banyaknya opini keliru yang aku terima sebagai kebenaran dari masa kecilku, dan betapa meragukannya keseluruhan struktur pemikiran yang aku bangun di atas landasan yang salah itu. Karena itu, aku mengerti bahwa aku harus—kalau aku berkeinginan untuk berbuat sesuatu di dalam ilmu pengetahuan yang kokoh dan bisa diandalkan hingga detik terakhir—memperketat diriku sendiri dalam memperlakukan semua opini yang aku terapkan, serta memulainya dari landasan yang baru.”

Sebenarnya, karya awal yang dituliskan oleh Descartes adalah Traité du Monde (Makalah tentang Dunia), namun, karena pada tahun 1633 Gereja telah menghukum dan memaksa Galileo untuk meralat teori heliosentris, sementara makalah yang ditulis oleh Descartes itu justru malah mendukung pemikiran Galileo, maka dia pun memilih tidak jadi menerbitkan makalah tersebut. Lalu dia pun memilih mengkaji dan memaparkan tentang metode, sebab itu lebih aman dan lebih abstrak, dengan menggunakan penalaran yang jelas dan cermat melalui pembuktian matematika. Selain sebagai filsuf, Descartes juga seorang pakar matematika (dan menciptakan sistem koordinat Cartesian, yang kini dikenal sebagai geometri analitis) serta menerapkan ilmu itu pada filsafat. Bahwa pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang memiliki kepastian, namun untuk memperoleh kepastian maka kita harus meragukannya dulu. Jangan takut. Ragukan semuanya, hingga yang tersisa adalah sesuatu yang pasti, yaitu keraguan itu sendiri. Bahwasanya ada satu yang tak bisa diragukan, yaitu ‘aku yang meragukan semuanya’, karena untuk meragukan harus ada yang ‘berpikir’, dan untuk berpikir harus ada aku yang berpikir, sehingga dengan demikian, aku ada. Maka lahirlah adagium ‘cogito ergo sum’, ‘aku berpikir maka aku ada’. Dengan itu, maka Descartes menjadikan subjek yang berpikir (yang di kemudian hari nanti dikenal sebagai ‘subjek cogito’) sebagai pijakan atau titik tolak bagi filsafatnya. Hal ini mungkin tampak sederhana, namun justru filsafat yang menjadikan diri sendiri sebagai titik pangkal adalah sesuatu yang revolusioner pada masa tersebut. Sebelum kemunculan Descartes, kebenaran selalu berdasarkan pada kekuasaan yang justru berada di luar diri manusia, yaitu Gereja, Alkitab, tradisi atau negara. Lalu, oleh Descartes, pusat dunia di Abad kegelapan tersebut dia jungkir balikkan, dan menempatkan subjek cogito sebagai pusatnya, sehingga dengan demikian Descartes telah menyalakan api Pencerahan di Eropa.

Terkait adagium ‘cogito ergo sum’, dalam kata-katanya sendiri, Descartes menuliskan sebagai berikut: “Karena panca indera kadang menipu kita, aku mengandalkan bahwa tak ada hal yang menampakkan diri sebagaimana adanya, dan karena dalam pembuktian bahkan pernyataan-pernyataan geometri sederhana sekali pun sering terjadi kekeliruan dan kesimpulan salah,…aku menolak segala alasan. Akhirnya aku mengenali bahwa pikiran yang sama baik di saat berjaga mau pun dalam mimpi dapat muncul dalam diri kita tanpa memberi alasan kepada kita; karena itu aku sengaja membayangkan bahwa segala yang kutemui di dalam pikiranku tidak lebih benar daripada tipu muslihat mimpi-mimpi. Namun, di sini aku segera menyadari bahwa sementara aku mau menilai segalanya sebagai keliru, aku sendiri yang sedang memikirkan hal itu secara niscaya pasti ada, dan aku menemukan bahwa kebenaran ‘aku berpikir, maka aku ada’ sedemikian kokoh dan pasti, sehingga pandangan seorang skeptikus yang paling sengit tidak akan dapat menggoyahkan kebenaran tersebut. Demikianlah aku meyakini dapat mengambil tesis ini tanpa ragu untuk prinsip pertama filsafat yang kucari.”

Seperti halnya Platon yang meragukan kebenaran inderawi dalam mencari kebenaran dan menyodorkan alegori gua sebagai penggambarannya, dan terkait juga dengan metode keraguannya, maka Descartes mengajukan teka-teki tentang malignus genius (iblis yang sangat cerdik) yang telah menipunya dengan tipuan realitas. Descartes menjelaskannya sebagai berikut: “Oleh karena itu aku menganggap bahwa bukanlah Tuhan, yang Maha Pemurah dan sumber kebenaran, tetapi justru sejumlah setan jahat yang benar-benar kuat lagi licik telah memanfaatkan seluruh energinya untuk menipuku. Aku akan berpikir bahwasanya angkasa, udara, bumi, warna, bentuk, suara dan segala perkara eksternal semata hanyalah delusi mimpi, yang telah ia rancang untuk memerangkap penilaianku.” Untuk penggambaran visual yang canggih dari kisah malignus genius ini bisa kita nikmati dalam film box office garapan Wachowski Bersaudara, yaitu The Matrix, yang menceritakan tentang bagaimana sekian banyak manusia dimanfaatkan menjadi sumber energi bagi Artificial Intelligence sembari dicekoki mimpi kehidupan yang seolah tengah dijalani padahal hanya simulasi yang diciptakan oleh suatu sistem komputer yang sangat canggih.

Descartes juga meluncurkan pertanyaan tentang mimpi. Bagaimana kita yakin bahwa saat ini kita tidak sedang bermimpi, bahwa makalah ini, kertas yang sedang dipegang ini, bukanlah kejadian di dalam mimpi yang terasa sangat nyata dan koheren? Descartes mengemukakan argumen semacam itu untuk melemahkan keyakinan kita bahwa kita mengetahui sebanyak yang kita kira kita tahu, bahwa kita tahu banyak. Jika kita tidak bisa yakin bahwa kita sedang bermimpi sekarang ini, maka bagaimana dengan kejadian beberapa jam yang lalu? Beberapa hari yang lalu? Misalkanlah kita memang tengah bermimpi, lalu dari dalam mimpi itu, apakah ada cara untuk mengetahui atau memastikan bahwa kita tengah bermimpi? Di sini Descartes ingin menyatakan bahwa mungkin apa yang kita sebut sebagai sebagai realitas, sebagai dunia ini tidak benar-benar ada, bahwa semua ini hanyalah mimpi. Kita bisa saja percaya bahwa realitas dan dunia ini memang nyata dan ada, bahkan sangat mempercayainya, tetapi kita tidak dapat mengetahuinya.

Demikianlah, Descartes menjelaskan Dubium Methodicum melalui dua gambaran rekaan tentang malignus genius dan mimpi, bahwasanya segala yang nyata ini mungkin hanyalah mimpi, dan bahwasanya ada iblis yang sangat cerdas menipu pikiran kita dengan gambar-gambar palsu tentang realitas. Akibatnya, kita tidak bisa begitu saja berasumsi bahwa tubuh mau pun pengalaman kita itu ada dan bisa dipercaya sebagai realitas sebenarnya. Pada masanya, gambaran rekaan Descartes ini mengundang banyak tuduhan bid’ah, misalnya oleh Voetius, Jacques Triglandius, Jacobus Revius.

Dubium Methodicum dilandaskan pada dua pertanyaan fundamental, yaitu, pertama, apa yang benar-benar aku ketahui dengan jelas dan terang sehingga demikian mutlak kepastiannya dan berada di luar keraguan apa pun?; kedua, pengetahuan lanjutan manakah yang mungkin diturunkan dari kepastian ini? Dubium Methodicum dilakukan dengan cara meragukan segala sesuatu hingga sampailah pada sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi oleh wujud rasional mana pun; suatu gagasan yang pasti, tidak akan diragukan dan benar secara universal. Dari gagasan yang mutlak pasti dan benar ini, orang kemudian dapat menurunkan kepastian dan kebenaran lainnya secara logis. Sebuah sistem yang dibangun dengan cara seperti itu akan menjadi sekelompok gagasan teratur yang saling bebas, masing-masing konsisten dengan yang lainnya dan masing-masing mengimplikasikan yang lainnya, sehingga sistem tersebut akan menjadi komprehensif dan tanpa cacat.

Descartes tidak pernah ragu tentang adanya prosedur tertentu untuk mencapai pengetahuan deduktif lengkap berdasarkan kebenaran tak terbantah ini. Dia percaya akan kemungkinan untuk mengatasi keraguan atau sikap skeptis itu dan menemukan pengetahuan yang absolut, pasti, wajib, dan terbukti dengan sendirinya, pengetahuan yang menjadi dasar bagi seluruh pengetahuan lain dan bagi pengetahuan tentang seluruh realitas. Dan untuk itu, dia meragukan segala sesuatu, menyangkal eksistensi dunia eksternal, pikiran eksternal, dan lain sebagainya. Karena itulah dia menyatakan barangkali realitas yang kita jalani sekarang hanyalah mimpi, hanya sebentuk tipuan dari malignus genius. Namun, ada satu hal fundamental yang tidak dapat diragukan, yaitu, bahwa dia ada untuk diragukan, untuk di tipu, untuk bermimpi, bahwa dia ada untuk penyangkalan itu sendiri. Siapa pun tidak bisa meragukan bahwasanya dia sedang meragukan, karena dia harus eksis agar bisa meragukan. Dan, seperti sudah dikemukakan sebelumnya, itulah cogito ergo sum.

Descartes memberikan empat kaidah Dubium Methodicum yang bisa memberi kita pengetahuan serta merupakan dasar-dasar dari seluruh pencarian filosofis yang dikemukakannya sebagai berikut: “Berjubel-jubelnya hukum seringkali menghalangi keadilan, sehingga pemerintahan yang terbaik bagi suatu negara berjalan ketika di dalamnya terdapat sedikit hukum yang diselenggarakan dengan ketat; serupa dengan itu, bukan besarnya jumlah hukum yang membuat logika itu baik, dan aku mempunyai opini bahwa empat hukum sudah mencukupi untukku, kalau saja aku mempunyai resolusi yang kokoh dan tak tergoyahkan untuk melaksanakannya dengan jelas setiap saat. Yang pertama adalah sama sekali tidak menerima apa pun sebagai kebenaran kalau aku tidak jelas-jelas mengetahuinya sebagai kebenaran; yakni, dengan hati-hati menghindari pengambilan kesimpulan dan dugaan, lalu, dalam keputusannya tidak menyajikan lebih banyak dibandingkan dengan apa yang tersaji secara jelas dan nyata di pikiranku, sehingga tak ada alasan untuk meragukannya. Yang kedua, memilah-milah masing-masing kesukaran yang aku temui menjadi sebanyak mungkin bagian, karena mungkin diperlukan untuk suatu solusi yang setepat-tepatnya. Yang ketiga, membenahi pemikiranku secara teratur, dengan memulai dari objek yang paling sederhana dan paling mudah diketahui, sehingga aku bisa mendaki, sedikit demi sedikit, langkah demi langkah, untuk menuju ke pengetahuan yang lebih kompleks; dan dengan menyusun sejumlah penataan, termasuk pada objek-objek yang tampaknya tidak memiliki keteraturan. Dan akhirnya, yang keempat, selalu melakukan penghitungan yang selengkap-lengkapnya, serta melakukan peninjauan yang begitu komprehensif, sehingga aku bisa memastikan tak ada yang tertinggal.”

Jadi, melalui Dubium Methodicum, kita bisa dengan jelas dan tajam menangkap kebenaran yang tak terbantahkan. Bagi Descartes, pengetahuan itu harus pasti, harus nyata secara objektif, dan harus teguh lagi musthail untuk diragukan. Jika tidak demikian, maka akan muncul berbagai kontradiksi. Pengetahuan hanya dimungkinkan dengan syarat ada sesuatu atau beberapa hal yang kita tidak pernah salah mengenainya. Seluruh pengetahuan diturunkan oleh proses deduktif seperti proses dalam geometri aksiomatik. Karena itu, seluruh gagasan yang benar harus diketahui dengan cara yang jelas dan tajam, sehingga dengan demikian gagasan itu bisa diketahui dengan benar. Gagasan-gagasan tersebut antara lain: eksistensi suatu dunia eksternal dan pikiran-pikiran lainnya, eksistensi Tuhan dan karakteristik-Nya, bahwa Tuhan tidak pernah menipu (bisa dipersepsi dengan jelas dan tajam bahwa Tuhan tidak mungkin berbuat salah atau cacat karena jika Tuhan seperti itu, maka Tuhan tidak akan menjadi Tuhan, dan kecurangan pastilah bersumber dari kekurangan), bahwasanya Tuhan mendukung prinsip bahwa seluruh gagasan yang dipersepsi secara jelas dan tajam adalah benar (karena Tuhan itu Maha Penyayang dan Tuhan tidak akan membawa manusia pada kesalahan).

Lebih jauh, Descartes menjelaskan rumusan bahwa sebuah ide itu jelas jika ide tersebut dapat dipahami sebagai suatu keseluruhan dan konsisten, misalnya, konsepsi tentang sebuah lingkaran. Sebuah ide dikatakan tajam jika ide itu tidak pernah bercampur baur dengan ide lainya, misalnya, lingkaran tidak pernah dicampurbaurkan dengan persegi empat. Descartes percaya bahwa ide-ide itu memang harus demikian dan hanya ide yang seperti itulah yang dapat diterima sebagai ide yang benar. Selain itu, sebuah ide mungkin jelas tapi tidak tajam, tapi tidak mungkin bahwa ide itu tajam tapi tidak jelas. Menurut Descartes, ada tiga ide yang jelas dan tajam serta terbukti dengan sendirinya tentang realitas yang memberi dasar bagi filsafat yang dirumuskannya, yaitu, pertama, keluasan (materi menempati ruang); kedua, figur (bentuk, ukuran, dimensi spasial); ketiga, perpindahan (gerak).

Descartes pun kemudian menjabarkan tiga jenis ide, yaitu, pertama, ide-ide bawaan (innate ideas) yang muncul dari struktur, aktivitas, atau potensi pemikiran itu sendiri. Ada tiga ide bawaan utama, yaitu, ide tentang Tuhan, ide tentang jiwa (pikiran, ego, substansi pikiran), dan ide tentang materi (benda, objek-objek fisik eksternal, substansi material). Kedua, ide-ide buatan (factitious ideas), yang dibangun oleh pikiran untuk memahami seperti apakah sesuatu itu (seperti seorang ilmuwan fisika atau kimia memodelkan sebuah objek material). Ketiga, ide-ide yang tidak disengaja (adventitious ideas) yang datang sebagai rangsangan dari dunia eksternal seperti bunyi not musik, sinar rembulan, panasnya api. Ide-ide kebetulan tidak datang dari luar ke dalam pikiran seperti halnya berbagai kualitas atau entitas, tetapi dibentuk oleh pikiran dari gerak-gerak fisik yang mempengaruhi otak.

Sejalan dengan paparannya tentang ide bawaan, Descartes menjelaskan bahwasanya ada tiga substansi dalam sistem filsafatnya, yaitu Tuhan, jiwa yang pada hakikatnya adalah pemikiran (cogitatio) dan materi yang pada hakikatnya adalah keluasan (extensio). Namun, sebelum masuk pada penjelasan lebih jauh mengenai tiga substansi tersebut, ada beberapa asumsi yang harus dipahami terlebih dahulu terkait konsepsi Descartes mengenai substansi. Menurut Descartes, substansi adalah sesuatu yang dapat diketahui hanya oleh dirinya sendiri tanpa membutuhkan sesuatu yang lain dan tanpa ketergantungan pada sesuatu yang lain untuk eksistensinya (dan hanya ada satu eksistensi sejati yang memenuhi syarat ini, yaitu Tuhan). Mengenai substansi Tuhan, Descartes menjelaskan bahwa itu adalah sesuatu yang tak terhingga, wujud yang tak diciptakan, yang tidak tergantung pada apa pun selain Diri-Nya untuk eksis. Ini merupakan eksistensi wajib yang sempurna sepenuhnya, yang kepada-Nya segala sesuatu tergantung demi keterciptaannya dan keberlanjutan eksistensinya. Substansi ini bersifat abadi, spiritual, imaterial, tak berubah, tak bisa di bagi, tidak spasial, tidak temporal, selalu ada, serba bisa, Maha Pengasih, Pencipta alam semesta, Pencipta seluruh jenis substansi lainnya, dan eksistensinya kita ketahui secara bawaan.

Asumsi lainnya mengenai substansi selain Tuhan adalah setiap substansi memiliki esensi yang jelas dan tak pernah terlepas darinya. Jika substansi kehilangan esensi, maka esensi tersebut tidak lagi bisa eksis, tidak lagi berfungsi, serta tidak lagi diketahui atau dapat diketahui. Misalnya, esensi substansi spiritual adalah berpikir, dan esensi substansi material adalah keluasan. Sifat-sifat lain yang dimiliki oleh substansi disebut sebagai mode esensi atau atribut esensi. Misalnya, seluruh substansi spiritual seperti berimajinasi, meragukan dan berkehendak merupakan mode, ekspresi, eksemplifikasi, juga manifestasi dari esensinya, yaitu berpikir. Substansi-substansi itu saling berinteraksi, namun juga saling bertentangan; secara logis dan ontologis saling meniadakan serta dapat dipahami dan eksis tanpa yang lain. Substansi-substansi tersebut harus eksis, karena kalau tidak, atribut (yaitu sifat, kualitas dan lain sebagainya) tidak akan memiliki sesuatu yang dikandung di dalamnya, misalnya, atribut berpikir tidak akan menjadi atribut dari sesuatu. Adalah kontradiktif apabila dikatakan bahwa aktus berpikir terjadi tapi tak ada subjek yang melakukan tindakan berpikir tersebut; atau apabila dikatakan bahwa sebuah dimensi spasial itu eksis tetapi tidak ada yang meluas atau memiliki dimensi spasial tersebut. Dengan demikian, maka konsep berpikir dan berkeluasan akan menjadi tak bermakna.

Mengenai dua substansi selain Tuhan, Descartes mengungkapkannya sebagai berikut: “Terdapat perbedaan yang sangat besar antara pikiran dan tubuh, dalam hal bahwa tubuh secara kodrati selalu bisa di bagi-bagi, sedangkan pikiran secara utuh tidak terpisahkan. Sebab, ketika aku memikirkan tentang pikiran, atau lebih tepatnya memikirkan diriku sendiri sebagai sesuatu yang berpikir, maka aku tak dapat membeda-bedakan bagian di dalam diriku, dan aku dengan jernih melihat melihat bahwa aku adalah sesuatu yang benar-benar satu dan utuh. Meski pun keseluruhan pikiranku tampaknya menyatu dengan keseluruhan tubuhku ketika salah satu kaki, atau salah satu tangan, atau bagian tubuh mana pun terkelupas, tetapi aku tidak menyadari adanya apa pun yang disingkirkan dari pikiranku. Akan halnya kehendak, persepsi, konseptualisasi dan sebagainya, dengan berbagai cara bisa disebut sebagai bagian dari pikiran, karena memang pikiran itulah yang selalu melakukan kehendak, persepsi, konseptualisasi dan sebagainya. Sementara itu, hal yang sebaliknya, benar-benar berlaku untuk benda-benda fisik. Sebab, aku tak dapat memikirkan bahwa salah satu di antaranya yang tak bisa dipisah-pisahkan di pikiranku, karenanya aku memahaminya sebagai sesuatu yang dipecah-pecah.”

Dua substansi inilah yang nantinya akan menjadi landasan dualisme manusia dalam filsafat Descartes. Dia membagi manusia menjadi kesatuan dari dua substansi terpisah dan berbeda, yaitu, res cogitans dan res extensa. Res cogitans (dari bahasa Latin yang artinya ‘sesuatu yang berpikir’) merujuk pada suatu frase yang secara prinsip digunakan oleh Descartes untuk menyebut substansi berpikir, yang tidak lain mengacu pada pikiran individual atau diri yang berpikir, juga mengacu pada benda atau jiwa spiritual yang berfungsi sebagai landasan yang mendasari pikiran semua manusia atau diri-diri yang berpikir. Res cogitans merupakan substansi spiritual yang diciptakan, yang esensinya adalah berpikir dan memiliki pemikiran, tidak meluas karena tidak terukur, tidak dapat dilihat, nonspasial dan nontemporal. Ia memuat dan dan menggunakan benda-benda material tetapi tidak terbatas pada benda-benda, karena ia dapat memasuki alam tanpa benda. Jiwa—sebagai res cogitans—dikaitkan dengan seluruh bagian tubuh, tetapi melakukan sebagian besar fungsinya dengan menggunakan kelenjar pineal di dasar otak—argumen yang nantinya juga tidak akan Descartes yakini lagi—yang digunakan untuk berinteraksi dengan tubuh agar menghasilkan berbagai peristiwa mental seperti kesadaran, pikiran, ide-ide, kehendak, imajinasi, dan lain sebagainya.

Sedangkan res extensa (dari bahasa Latin yang artinya ‘sesuatu yang meluas’) merupakan suatu frase yang secara prinsip digunakan oleh Descartes untuk menyebut substansi material (fisikal). Substansi material ini bagi Descartes mengacu pada landasan yang mendasari seluruh perubahan material (mekanis) di alam semesta dan tidak memiliki karakteristik atau kehidupan. Res extensa merupakan substansi material terbatas yang diciptakan, seperti tubuh, objek-objek material, materi, dan alam semesta; singkatnya, esensi substansi benda fisik adalah keluasan. Ia menempati ruang, eksis dalam waktu, terukur, dapat dilihat, dapat dilokasikan, berubah, dapat dibagi, dan memiliki ukuran serta dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Tubuh, sebagai res extensa, dalam hal ini merupakan bagian dari alam fisik dan mekanis dalam kerjanya, sebagaimana segala sesuatu di alam fisik. Tubuh dengan sendirinya dapat—dan memang—menjalankan kehidupannya sendiri, dan sebagian besar aktivitasnya tidak disebabkan oleh jiwa, namun tubuh juga bisa menjadi tak ubahnya mesin yang dijalankan oleh jiwa.

Demikianlah gambaran global dari beberapa pokok pemikiran Rene Descartes terkait dengan cogito ergo sum, dubium methodicum, res cogitans dan res extensa.[]

Ilustrasi: http://aestela.deviantart.com/favourites/38684556/Descartes

Referensi:

Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Descartes, Rene, Risalah Tentang Metode, Jakarta: Gramedia, 1995.

Descartes, Rene, Meditations, Objections, and Replies, edited and translated by Roger Ariew and Donald Cress, Indianapolis: Hackett Publishing Company Inc., 2006.

Gombay, André, Descartes, USA: Blackwell, 2007.

Hamersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983.

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004.

Rowlands, Mark, Menikmati Filsafat Melalui Film Science-Fiction, Bandung: Mizan, 2004.

Strathern, Paul, 90 Menit Bersama Descartes, Jakarta: Erlangga, 2006.

Van Peursen, C. A., Tubuh-Jiwa-Roh: Sebuah Pengantar dalam Filsafat Manusia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988.

Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Al-Ghazali: Sang Sufi, Sang Filosof, Bandung: Pustaka, 1987.

Mata Air Agama-agama: Pluralisme Sufi dan Mencari Titik Temu dalam Perbedaan (Bag-4, Habis)

Mawathin: Pemetaan Kehidupan yang Dilalui Manusia

Untuk memahami entitas manakah yang merupakan diri manusia sejati, maka perlu disimak terlebih dahulu paparan menyeluruh ihwal tahapan kehidupan manusia sebagaimana tertuang dalam Al-Quran, yang memetakan dari minus tak hingga masa lalu sampai plus tak hingga masa depan. Pemetaan menyeluruh tersebut dirumuskan menjadi konsep tujuh mawathin (bentuk jamak mauthin) oleh Ibn ‘Arabi1 plus satu konsep mauthin tambahan dari Zamzam AJT (mendahului ketujuh mauthin lainnya yang dirumuskan Ibn ‘Arabi).2

Makna harfiah dari mauthin adalah tempat, tapi Ibn ‘Arabi mendefinisikannya sebagai “alam manusia dalam perjalanannya pada jenjang kehidupannya.” Dimulai dari mauthin awwal—dari Zamzam AJT—yaitu, suatu tempat di masa awal ketika Allah menciptakan nafs, namun belum diatributi apa pun (lihat QS Al-Insan [76]: 1). Apabila secara jasad nasab manusia itu terhubung kepada Adam, maka secara nafs terhubung kepada Nur Muhammadiyyah. Proses penciptaan tersebut apabila diilustrasikan menyerupai sumber cahaya yang memiliki radius cahaya sekian jauh, merentang dari yang paling terang dan terdekat dengan sumber cahaya hingga yang berbatasan dengan kegelapan dan terjauh dari sumber cahaya. Allah menciptakan nafs dari cahaya di segenap radius cahaya tersebut. Dari sini beralih ke tujuh mauthin yang dipaparkan Ibn ‘Arabi.

Dari mauthin awwal beralih ke mauthin syahadah. Di mauthin inilah nafs dipersaksikan ihwal Allah sebagai Rabb-nya dan mendapatkan ‘amr sebagai atribut kedirian, yaitu, misi hidup masing-masing (lihat QS Al-A‘raf [7]: 172). Penyaksian dan ‘amr ini direkam serta disimpan dalam Rûh Al-Quds sehingga harus dicari, ditemukan dan dibuka dalam mauthin dunya. Kemudian beralih ke mauthin rahim. Di mauthin ini, nafs dimasukkan ke dalam jasad beserta peniupan ruh (min rûhi). Jasad merupakan ‘ciptaan baru’—karenanya bukanlah diri manusia sejati—yang menjadi wahana (markab) untuk nafs di mauthin berikutnya, yaitu mauthin dunya. Pertemuan antara nafs dan jasad menghasilkan psikis. Psikis itu tak ubahnya pertemuan lautan (nafs) dengan pantai (jasad) yang menghasilkan bunyi deburan keras. Psikis memiliki sejarah pembentukannya melalui faktor keluarga, sosial dan budaya (psikoanalisis adalah salah satu bidang keilmuan yang menelaah arkeologi psikis ini, meski seringkali bersifat overinterpretasi). Sementara nafs lebih azali ketimbang psikis, dan bukan bentukan.

Ketika terlahir ke mauthin dunya, manusia dianugerahi pendengaran, penglihatan dan fu‘ad (lihat QS An-Nahl [16]: 78). Fu‘ad merupakan bentuk primitif dari lubb. Ketika jasad tumbuh membesar, fu‘ad membentuk pikiran (mind). Selain itu, psikis pun mulai mengkristal menjadi kepribadian. Psikis, secara sederhana, bisa disamakan dengan shadr (dada), namun konsep shadr dalam Islam lebih lengkap ketimbang konsep psikis Barat yang enggan memasukkan unsur-unsur spiritual dan keilahian dalam konsepsinya. Al-Hakim At-Tirmidzi menjelaskan bahwa shadr itu menyerupai telaga yang menampung sekian banyak mata air, dari mulai ‘air keruh’ beserta kotoran dari sensasi inderawi, pikiran, hasrat, obsesi hingga ‘air mineral’ dari nafs, qalb, atau bahkan rûh. Namun karena teramat derasnya aliran ‘air keruh’ dari mata air lainnya, maka ‘telaga’ shadr tersebut menjadi kotor, hitam, penuh sampah dan hal itulah yang termanifestasi menjadi kepribadian psikis beserta segenap tabiatnya. Namun, tegas Zamzam, bagi yang telah Allah anugrahkan furqan—pembeda antara haqq dan bathil—yang berfungsi menyerupai ‘saringan’, segenap ‘aliran air’ menuju ‘telaga’ shadr akan disaring sehingga hanya unsur haq dari segala sesuatu sajalah yang masuk.

Ketika mati, jasad tidak meneruskan perjalanan ke mauthin barzakh seperti nafs. Di mauthin barzakh ini, nafs melanjutkan ‘perjalanan’ tanpa jasad yang telah terurai menyatu kembali dengan asalnya (yaitu, tanah). Apabila nafs bisa ditimpa azab kubur karena ternodai dosa, maka ruh sudah pasti diterima di sisi-Nya karena ruh tak pernah ternodai oleh dosa dan terkenai segala kelemahan makhluk.3 ‘Perjalanan’ nafs di mauthin barzakh ini merupakan simulasi ulang kehidupan di mauthin dunya, namun dengan berbagai pemanifestasian konkrit segala elemen dalam diri dan kehidupan di mauthin dunya yang tadinya abstrak atau tidak kongkrit, seperti hawa nafsu, syahwat, dosa dan amal buruk yang bermanifestasi menjadi sosok makhluk buruk rupa, atau Al-Quran yang biasa dibaca seorang muslim bermanifestasi menjadi sosok yang rupawan dan menemani nafs dalam ‘perjalanan’ tersebut (sebagaimana disebutkan dalam hadis), dan lain sebagainya.4

Setelah itu, nafs memasuki mauthin mahsyar. Di mauthin ini, nafs dipertemukan kembali dengan jasad yang dulu telah hancur terurai ‘dipeluk bumi’, namun sekalipun bahan baku pembentukannya kembali masih dari ‘tanah’ jasad yang dahulu, kini bentuk lahiriahnya sama sekali berbeda. Apabila di mauthin dunya yang menjadi cetakan jasad adalah aspek ‘kebumian’ kedua orangtua (sehingga anak memiliki aspek keserupaan fisik dengan orangtua dan para leluhurnya), maka di mauthin mahsyar yang menjadi cetakan adalah ‘kondisi’ batin nafs. Itulah sebabnya hadis menggambarkan bahwa di mauthin mahsyar manusia dikumpulkan dalam berbagai bentuk dan keadaan, seperti, perut yang buncit besar, lidah yang panjang terurai hingga tergelar laksana tikar dan terinjak-injak yang lain, hingga jasad-jasad yang menyerupai kompilasi bentuk sekian binatang, dan sebagainya. Sementara nafs yang suci dan bercahaya, maka jasadnya pun akan menjiplak kondisi tersebut.

Kemudian beralih lagi ke mauthin akhirat, yang terbagi menjadi surga dan neraka. Di mauthin ini, nafs dan jasad mendapatkan surga dan nerakanya masing-masing. Surga bagi jasad adalah makan dan minum yang enak, tidur nyenyak, bidadari atau perhiasan mewah, dan kenikmatan material lainnya, sedang surga bagi nafs bukanlah kenikmatan material tersebut, tetapi ‘ilm tentang Allah, al-haqq, berbagai cahaya yang Allah anugerahkan, dan seterusnya. Begitu juga neraka bagi jasad dan nafs.

Terakhir adalah mauthin al-katsîb, atau ‘tempat yang dekat’, merupakan mauthin di pinggiran surga, tempat nafs suci bisa menikmati surga yang tak pernah dicerap indera dan pikiran, yang tak terlintas dalam bayangan, yaitu bertemu dan menatap Allah, sebagaimana diungkap hadis: “Sesungguhnya Allah memiliki surga yang tak ada kenikmatan di dalamnya, selain Allah menampakkan Diri tertawa di dalamnya.”

image6

Bagan Mawathin

 

Dari paparan ihwal mauthin di atas, kita bisa melihat bahwa oknum atau entitas yang selalu ada di semua tahapan mauthin tersebut adalah nafs. Dengan demikian terlihat jelas bahwa diri manusia yang sebenarnya itu adalah nafs, bukan jasad mau pun ruhnya. Namun nafs adalah entitas yang sering dikacaukan dengan pengertian psikologis yang memandangnya sebagai kualitas. Selain itu, nafs pun sering dikacaukan pengertiannya dengan hawa nafsu. Nafs adalah fokus pendidikan Ilahi dan “harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah Al-Haqq.”5 Sejak awal, nafs memang sudah memiliki potensi pengetahuan, yaitu tentang dirinya sendiri. Karena itu, aksioma Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu terbagi menjadi tiga bagian, di mana frasa ‘arafa nafsahu menunjukkan proses sang nafs ketika berusaha memahami pengetahuan yang dikandung dalam dirinya. Frasa ‘arafa Rabbahu menunjukkan proses ketika datang pengetahuan dari Tuhan yang melegalkan (membenarkan maupun menyalahkan) pengetahuan sang diri manusia tentang nafsnya. Sementara kata faqad tidak mesti bermakna serial secara waktu, namun serial secara urutan sebab akibat. Dalam hal ini, Man ‘arafa nafsahu adalah sebab dari ‘arafa Rabbahu. Tuhan berkepentingan terhadap kebenaran proses pengenalan manusia terhadap dirinya, karena manusia diciptakan sesuai dengan citra-Nya, dan sebagai makhluk yang paling ‘mirip’ dengan-Nya, maka diri manusia membawa pengetahuan tentang Tuhan dalam derajat akurasi dan kebenaran tertinggi di seluruh semesta alam. Ma‘rifat merupakan rahmat Tuhan terhadap hamba-Nya yang Dia kehendaki, yaitu rahmat kedua setelah kembali menjadi al-muthaharûn (tingkat kesucian bayi, yang merupakan rahmat pertama). Mengenai hal ini, Ibnu Atha‘illah mengatakannya dalam Al-Hikam:

Ketika terbuka kepadamu wajah pengenalan (ta‘aruf), maka jangan engkau hiraukan amalanmu yang sedikit itu. Sesungguhnya hal ini tidak terbuka bagimu melainkan karena Dia menghendaki pengenalan-Nya atasmu. Tidakkah kau ketahui bahwa sebuah pengenalan itu merupakan pengenalan ihwal Diri-Nya kepadamu, sedangkan amal itu sesuatu yang engkau hadiahkan kepada-Nya. Maka sepadankah antara apa yang engkau berikan kepada-Nya dengan Diri-Nya yang Dia berikan kepadamu?”

Bila dalam proses ‘arafa nafsahu subjeknya adalah jiwa (an-nafs), maka dalam proses ‘arafa Rabbahu subjeknya adalah h Al-Quds. h Al-Quds ini baru akan hadir bila nafs telah sempurna berproses, yaitu telah sampai ke derajat nafs al-muthmainnah. Hadirnya h Al-Quds yang merupakan “utusan-Nya di dalam diri, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (‘amr) si nafs di dunia ini (lihat QS Asy-Syûra [42]: 52, langsung dari bahasa Qur`annya yang mana terdapat kalimah rûh dan ‘amr). h Al-Quds merupakan juru nasihat si nafs dari dalam qalb, dan nafs yang telah diperkuat dengan h ini, selain disebut sebagai an-nafs an-natiqah (jiwa yang berkata-kata disebabkan adanya juru nasehat dari dalam qalbnya), juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainnah. Disebut muthmainnah karena si nafs tersebut telah stabil dalam orbit dirinya (qudrah diri/swadharma), di sini h tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinah dalam bahasa Ibrani) yang diturunkan ke dalam qalb yang memperoleh kemenangan (al-fath) ‘amr.”6

Karena itulah kehadiran h Al-Quds sangat terkait dengan amal shalih yang membuat nafs mampu menggunakan kekuatannya (aradh), maupun membuat tubuh mampu untuk menjalankan amal shalihnya, yaitu sesuai dengan kehendak Tuhan. h Al-Quds ibarat sosok Rasul di suatu kaum, di mana kaum itu adalah diri al-mu‘min. h Al-Quds berbeda dengan nafakh rûh atau nyawa, karena h Al-Quds bukanlah wujud fisik sebagaimana nafakh ruh. Dia pun bukanlah aradh, sebab urusan (‘amr) Tuhan mustahil berupa tubuh maupun aradh. h Al-Quds ini bersifat lathifah ‘alimah, yaitu sesuatu yang lembut (tidak bertubuh), memiliki ilmu dan memberikan kepahaman pada diri (nafs) manusia. Karena itu, bila dikaitkan dengan nafs, kehadiran h Al-Quds ini adalah dalam posisi guru, pemberi pemahaman, dan yang mentransfer pengetahuan dari sisi Tuhan, dikarenakan an-nafs hanya mampu mengetahui kekuatan yang ada dalam dirinya saja. Entitas h Al-Quds ini disebut dengan h ‘Amr dalam terminologi Al-Ghazali.

 

Penjabaran Amanah Misi Hidup Menurut Para Sufi

Perkara amanah misi hidup ini sebenarnya juga sudah banyak dipaparkan oleh para sufi—sebagian contohnya akan diperlihatakan di bawah—dan bahkan sudah tertuang pula dalam pembabakan macapat yang akrab bagi orang Jawa sebagai berikut: (1) Mijil, awal kelahiran manusia ke dunia; (2) Sinom, melukiskan masa muda yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan; (3) Maskumambang, masa ketika masih belum memiliki ilmu yang mantap dan terombang ambing; (4) Kinanthi, masa pembentukan dan pencarian jati diri serta menempuh jalan pencarian jati diri tersebut; (5) Asmarandana, masa-masa di rundung asmara; (6) Gambuh, komitmen untuk menyatukan cinta dalam satu biduk rumah tangga; (6) Pangkur, menyingkirkan syahwat dan hawa nafsu yang melumpuhkan nafs, dan untuk itu diperlukan riyadhah atau “melatih untuk mati sebelum mati”; (7) Dhandhanggula, gambaran dari kehidupan yang serba indah; (8) Durma, ber-dharma dengan menjalankan misi hidup; (8) Megatruh, terpisahnya nyawa (nafakh ruh) dari jasad; (9) Pocung, dibungkus kain mori putih menuju liang lahat; dan (10) Wirangrong, tembang penutup, usailah masa hidup.

Pemaparan semacam itu juga bisa ditemui dalam kitab Gelaran Sasaka Kaislaman karya Haji Hasan Mustapa, sufi dari tatar Pasundan. Kitab tersebut terbagi menjadi 7 bagian, yaitu Islam, Iman, Soleh, Ihsan, Sahadah, Sidikiyah dan Kurbah, yang menggambarkan jenjang status nafs manusia dalam perjalanan menuju Allah. Lima bagian pertama dari kitab tersebut terdiri dari dua kolom berdampingan. Kolom sebelah kiri adalah ajakan atau seruan dari setan (panggoda iblis), sementara kolom sebelah kanan adalah ajakan atau seruan dari Allah SWT (pangjurung kapangeranan). Menjelang akhir bagian Sahadah, kolom sebelah kiri (panggoda iblis) berhenti dengan ucapan “perpisahan” dari setan karena telah gagal menggoda, dan kolom sebelah kanan (pangjurung kapangeranan) terus berlanjut. Pada bagian Sidiq dan Qarib, tidak ada lagi dua kolom yang berdampingan, yang ada hanyalah satu kolom besar yang semata berisi ajakan Allah.

Dalam kitab Fihi Ma Fihi, Jalaluddin Rumi menjelaskan sebagai berikut: “Dan seseorang berkata, ‘Aku telah melupakan sesuatu.’ Sesungguhnya, hanya satu hal saja di dunia ini yang tidak boleh engkau lupakan. Boleh saja engkau melupakan semua hal lain, kecuali yang satu itu, tanpa engkau harus menjadi risau karenanya. Jika engkau mengingat semua yang lain, tapi melupakan yang satu itu maka tiada sesuatu pun telah engkau capai. Dirimu itu bagaikan seorang utusan yang dikirim seorang raja ke sebuah desa dengan suatu tujuan khusus. Jika engkau berangkat dan kemudian mengerjakan seratus tugas lainnya, tapi lalai menyelesaikan tugas yang dikhususkan untukmu tersebut, itu sama saja artinya dengan engkau tidak mengerjakan apa-apa. Demikianlah, manusia diutus ke dunia ini untuk suatu tujuan dan sasaran khusus. Jika seseorang tidak mencapai tujuan itu, berarti ia tidak menyelesaikan apa pun… ‘Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah itu kepada petala langit dan bumi dan gunung-gunung: dan mereka menolak untuk memikulnya dan gentar kepadanya; tetapi Al-Insan mengambilnya; dan sungguh, ia itu zalim dan bodoh’” (QS Al-Ahzab [33]: 72). Lalu dalam salah satu syair Matsnawi, Rumi kembali menegaskan: “Kau mempunyai tugas untuk dijalankan. Lakukan yang lainnya, lakukan sejumlah kegiatan, isilah waktumu secara penuh, dan jika kau tidak menjalankan tugas ini, seluruh waktumu akan sia-sia.” Dan dalam Rubaiyat F#77, Rumi pun menuliskan sebagai berikut:

 

Bertahun kucoba kukenali diriku, dengan meniru orang lain.

Dari dalam diriku, aku tak tahu harus lakukan apa.

Tak kulihat siapa, kudengar namaku di seru dari luar.

Lalu jiwaku melangkah keluar dari dalam diriku.

 

Ibn ‘Arabi pun pernah menceritakan pertemuannya, ketika masih muda, dengan ‘Abd Allah Al-Khayyath atau Al-Qarraq, sebagai berikut: “Aku berjumpa dengannya di Masjid ‘Udays di Seville ketika dia baru berusia sepuluh atau sebelas tahun. Penampilannya sangat tidak rapi, berwajah kurus, seorang yang suka berpikir, sangat intens dalam ekstase dan kesedihannya. Tidak lama sebelum aku berjumpa dengannya, aku telah menerima inspirasi mengenai Jalan yang tak seorang pun belum mengetahuinya. Karena itu, ketika aku melihatnya di masjid itu, aku ingin tampil sebagai tandingan spiritualnya. Aku memandangnya dan dia balik memandangku serta tersenyum. Aku lalu memberikan isyarat kepadanya dan dia melakukan hal serupa. Kemudian, tiba-tiba saja, aku merasa seperti seorang penipu di hadapannya. Dia berkata kepadaku, ‘Rajin-rajin dan tekunlah, sebab terberkahilah seseorang yang mengetahui untuk apa dia diciptakan.” Pemaparan yang gamblang ihwal tujuan penciptaan manusia yang diamanahi misi hidup ini juga dituangkan oleh Nasir-I Khusrau dalam syair berikut:

 

Kenalilah dirimu

Kalau kau pahami dirimu sendiri,

Kau akan bisa memisahkan yang kotor dari yang suci

Pertama, akrablah dengan dirimu

Kemudian jadilah pembimbing lingkunganmu

Kalau kau kenal dirimu, kau akan mengetahui segalanya

Kalau kau pahami dirimu, kau akan terlepas dari bencana

Kau tak tahu nilaimu sendiri

Sebab kau tetap begini

Akan kau lihat Tuhan, kalau kau kenal dirimu sendiri

 

Langit yang tujuh dan bintang yang tujuh adalah budakmu

Namun, kasihan, kau tetap membudak pada ragamu

Jangan pusingkan kenikmatan hewani

Kalau kau pencari surgawi

Jadilah manusia sejati

Tinggalkan tidur dan pesta ria

Tempuhlah perjalanan batin seperti pertapa

Apapula tidur dan makan-makan?

Itu semua urusan binatang buas

Dengan ilmu jiwamu bertunas

Jagalah sekarang juga

Sudah berapa lama kau tidur?

 

Pandanglah dirimu sendiri

Kau sesungguhnya luhur

Renungkan, coba pikirkan dari mana kau datang?

Dan kenapa kau dalam penjara ini sekarang?

Jadilah penentang berhala bagai Ibrahim yang pemberani

Ada maksud kau dicipta serupa ini

Sungguh malu kalau kau telantarkan maksud penciptaanmu ini.

 

Penutup: Amanah Misi Hidup sebagai Titik Temu Agama-agama dalam Berbagai Kitab Suci

Di atas telah diperlihatkan beberapa contoh pembahasan tentang ma’rifat atau pengenalan diri dan penemuan misi hidup yang Allah amanahkan kepada manusia. Sebagaimana telah diungkap di atas oleh Ali bin Abi Thalib, awal dari Ad-Dîn adalah mengenal Allah, dan mengenal Allah itu dengan mengenal diri sendiri, seperti telah dijelaskan di atas, yang ironisnya, justru hal sepenting ini yang paling sering dilupakan oleh banyak penganut agama—termasuk umat Muslim—yang justru menjadi titik temu dan khazanah esoterik yang masih bisa ditemukan dalam berbagai kitab suci. Zamzam menjelaskan “bahwa dalam kitab-kitab ajaran langit yang dibawa para rasul, siapa pun dia, kapan pun dan di mana pun, terbukti memiliki konsep yang sama, mengisyaratkan turun dari satu sumber yang sama. Mata air (kesatuan) agama-agama dalam konsep dan aspek praktis tentang qadar-qadar langit, kelahiran spiritual, kodrat diri dan misi khalifah, empat perkara yang saling terkait erat tak terpisahkan satu sama lain. Pemahaman yang benar atas empat hal di atas adalah pokok dari pemahaman seseorang tentang arti dari saksi Allah yang benar, tentang pengabdian yang benar, tentang kehidupan sejati dan kebahagiaan hakiki.”7

Lebih jauh lagi, Zamzam menjelaskan: “Di dalam Al-Quran, kunci kebahagiaan hidup sejati dari makhluk, terselubung di belakang kata tasbih. Di balik kata tasbih ini, tersimpan makna berserah diri dan ketundukan yang sebenar-benarnya, makna Islam sejati, sebaik-baik keadaan hamba dalam beragama. Firman Allah, “Bertasbih kepada-Nya apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi.” (Al-Hasyr [59]: 24) Tanpa tasbih ini tak ada kehidupan bagi jiwa, sebab jiwa itu hanya dapat hidup dengan memakan kehendak-kehendak Allah. Bertasbihnya makhluk-makhluk Allah itu sesuai dengan bakatnya. Bakat langit dari ikan adalah berenang, bakat langit dari burung adalah terbang. Jika makhluk berjalan di luar bakatnya, berarti kesengsaraan dan kematian…Demikian pula manusia, agar dikatakan hidup, maka ia harus bertasbih menurut bakat langit masing-masing yaitu BEKERJA sesuai dengan bakat langitnya atau sesuai dengan kodratnya, sesuai kuasa yang diberikan Allah kepadanya… Kesamaan arti tasbih inilah yang (salah satunya) menunjukkan bahwa agama-agama langit itu merupakan ranting-ranting suci dari pohon agama universal. Implikasi dari ini adalah: bahwa kebahagiaan itu menjadi universal, dan kesesatan itu juga universal, dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Dosa itu ada pada kesadaran si manusia dan bukan terletak pada batu, simbol-simbol dan papan-papan nama.”8

Demikianlah, hilangnya khazanah tentang amanah misi hidup yang diemban oleh setiap manusia dalam pemahaman kebanyakan pemeluk agama-agama sebenarnya merupakan suatu kehilangan besar yang sangat disayangkan. Namun, ironisnya, sekali pun hal tersebut sangat berharga dan bisa memberi jawaban bagi tujuan penciptaan dan keberadaan manusia di muka bumi ini, tapi justru hal tersebut pula yang sering dipandang tak berharga oleh hasrat manusia (post)modern yang bersikukuh mengikuti obsesi kebebasannya untuk menjadi apa pun, sekali pun bertentangan dengan energi minimalnya, bertentangan dengan jalan yang telah Allah mudahkan baginya karena dia memang diciptakan untuk suatu tujuan khusus bagi setiap individu.[]

Selesai….

Catatan kaki

  1. Zamzam & Tri Boedi., cit., hlm. 7.
  2. Ibn ‘Arabi, Cahaya Penakluk Surga: Sisi Praktis Khalwat di Kalangan para Awliya, 2002, diterjemahkan dari Al-Anwar Fîma Yamnahu Shâhib al-Khalwat min Asrâr, Pustaka Progresif: Surabaya.
  3. Di dalam setiap mauthin terdapat maudhi‘ yang jumlahnya begitu banyak, sehingga akal manusia tidak mampu menangkap seluruhnya. Maudhi‘ itu adalah lokasi atau tempat dari tempat. Misalnya, mauthin saya adalah di Jakarta, maudhi‘ saya adalah di STFD Driyarkara.
  4. Karena itu, tidaklah tepat apabila mendoakan seseorang yang meninggal dengan kata-kata “Semoga arwahnya di terima di sisi Tuhan”. Selain kata arwah itu adalah bentuk jamak dari ruh sehingga mengisyaratkan seseorang memilik banyak ruh, padahal tidak demikian, juga mengisyaratkan bahwasanya ruh itu bisa tertolak karena berlumur dosa, padahal ruh itu senantiasa suci.
  5. Alamah Quchani, seorang pemuka agama di Iran, menulis sebuah buku pengalaman fana pribadi yang menggambarkan bagaimana dia diperjalankan kembali di mauthin barzakh mulai dari penguburan hingga mengalami simulasi ulang kehidupannya dengan berbagai hal menjadi termanifestasi konkrit, seperti kebodohannya yang maujud menjadi sosok Jahal, hawa nafsu dan syahwat menjadi sosok-sosok hitam mengerikan, petunjuk yang menuntun perjalanan menjadi sosok Hadi, berbagai permasalahan diri yang menghimpit di dunia maujud menjadi penjara, dan seterusnya. Namun, karena sentimen Syiah beliau cukup kuat, maka nuansa sentimen tersebut begitu kuat ‘mewarnai’ gambarannya tentang perjalanan di mauthin barzakh. Lihat Alamah Quchani, Tamasya di Alam Barzakh, 2003, Remaja Rosdakarya: Bandung.
  6. Zamzam & Tri Boedi., cit., hlm. 7.
  7. Zamzam A. J. Tanuwijaya, Mata Air Agama-Agama, makalah presentasi di forum kajian Perhimpunan Islam Paramartha, tanpa tahun, tidak dipublikasikan, hlm. 2.
  8. Ibid.

LAMPIRAN UNTUK ARTIKEL ILMIAH “MATA AIR AGAMA-AGAMA (BAG 1-4)”

I. AL-QUR‘AN:

 Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah, kepada-Nya bertasbih apa-apa yang ada di langit dan di bumi, juga burung-burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh! Masing-masing mengetahui (cara) shalatnya dan tasbihnya, dan Allah mengetahui apa-apa yang mereka kerjakan. (QS An-Nur [24]: 41)

Maka Kami telah berikan pengertian kepada Sulaiman, dan kepada masing-masingnya (Daud dan Sulaiman) Kami berikan hikmah dan ilmu, Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. (QS Al-Anbiya [21]: 79)

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS Al-Isra [17]: 44)

Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya. (QS Ar-Ra‘d [13]: 13)

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS An-Nahl [16]: 68-69)

Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku pun bekerja, maka kelak kamu akan mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 39).

Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab (Tuhan), sesungguhnya aku pun menunggu bersama kamu (QS Hud [11]: 93).

Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka (QS Al-Isra [17]: 13).

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS Al-Shaffat [37]: 96)

Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS Al-Isra [17]: 84).

Dan bagi tiap-tiap manusia telah kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. (QS Al-Isra [17]: 13)

Katakanlah, tiap-tiap orang berbuat menurut cara (bakat) masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (QS Al-Isra [17]: 84)

Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba Kami Daud yang mempunyai kekuatan; sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan). Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi, dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masingnya amat taat kepada Allah. Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan. Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu pagi dan petang. (QS Shad [38]: 17-20)

Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai, manusia kami telah diberi pengertian tentang ucapan burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar satu kurnia yang nyata.” Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). Dan apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: “Hai, semut-semut masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”, maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya, Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba Mu yang shalih.” (QS An-Naml [27]: 16-19)

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibangun manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” (QS An-Nahl [16]: 68-69)

II. Bhagawad Gita (Alih Bahsa dan Penjelasan oleh Prof. Dr. I.B. Mantra)

Bab XVIII no. 41 – 48

O, Arjuna, tugas-tugas itu terbagi menurut sifat dan watak kelahirannya sebagai halnya Brahmana, Ksatrya, Waisya dan Sudra

Pembagian empat kelas ini sebenarnya bukan terdapat pada Hindu saja, tetapi bersifat universal. Klasifikasi tergantung dari tipe alam manusia, dari bakat kelahirannya. Tiap-tiap dari empat kelas ini mempunyai karakter tertentu. Ini tidak selalu ditentukan oleh keturunan. Dalam Bhagawad Gita, teori warna diluaskan dan mendalam. Kehidupan manusia di luar, mewujudkan wataknya yang di dalam. Tiap makhluk mempunyai watak kelahirannya, yaitu, swa-bhawa. Dan yang membuat efektif dalam kehidupan adalah kewajibannya, swa-dharma.

Tiap-tiap individu adalah fokus dari Yang Maha Tinggi. Kewajibannya adalah mewujudkan dalam hidupnya kemungkinan kekuatan suci ini. Selama kita melakukan pekerjaan sesuai dengan alam kelahiran kita, maka itu adalah baik dan benar, dan bila itu kita abdikan kepada Tuhan, maka pekerjaan kita menjadi alat penyempurna bagi jiwa. Problem dari kehidupan manusia ini adalah menemukan kebenaran itu dari jiwa kita, kemudian kita hidup menurut kebenaran itu sendiri.

Ada empat tipe dalam garis besarnya dan ini kemudian mengembangkan empat macam kehidupan sosial. Keempat kelas ini tidak ditentukan oleh kelahiran, tetapi berdasarkan karakter jiwa.

Ketenangan, pengendalian diri, keteguhan tapa, kesucian, kesabaran dan keadilan, kebijaksaan dan pengetahuan, dan kepercayaan pada agama, ini adalah kewajiban-kewajiban seorang Brahmana, yang lahir menurut bakatnya (alamnya).

Kepahlawanan, keteguhan, ketetapan hati, kecerdikan, tidak lari dari peperangan, kemurahan hati dan kepemimpinan, ini adalah kewajiban ksatrya yang lahir menurut bakatnya (alamnya).

Pertanian, pemeliharaan ternak dan perdagangan adalah kewajiban-kewajiban dari Waisya yang lahir menurut bakatnya. Pekerjaan yang berkarakter melayani adalah kewajiban dari Sudra yang lahir dari alamnya (bakatnya).

Ingat! berbakti menurut kewajibannya masing-masinglah seseorang bisa mencapai kesempurnaannya. Dengan berbakti pada kewajibannya masing-masing, seseorang mencapai kesempurnaan, dengarkanlah itu!

Dia sebagai asal mula dari semua makhluk dan berada di mana-mana, maka dengan menyembah Dia melalui pelaksanaan kewajiban masing-masing, orang dapat mencapai kesempurnaan.

Lebih baik swa dharma sendiri meskipun kurang sempurna pelaksanaannya, daripada dharma orang lain yang sempurna pelaksanaannya. Karena seseorang itu tidak akan berdosa jika melakukan kewajiban yang telah ditentukan oleh alamnya sendiri.

Orang hendaknya jangan melepaskan pekerjaan yang sesuai dengan diri, O Arjuna! Meskipun mungkin ada kurangnya, karena semua usaha diselimuti oleh kekurangan-kekurangan, seperti halnya api oleh asap.

              

Bab III No. 33 – 35

Sebagai orang bijaksana, bergerak menurut alamnya sendiri, maka demikian pula makhluk bergerak mengikuti alam. Apakah gunanya menahan dari hawa nafsu itu?

Ikatan dan keengganan indra terhadap objek-objek yang bersangkutan, adalah sudah pembawaannya. Barang siapa jua pun, janganlah membiarkan jiwa ditarik oleh kedua pertentangan ini, sebab ini adalah dua musuhnya. Tiap-tiap perbuatan kita hendaknya berdasarkan budi atau pengertian dan jangan sampai dikuasai oleh getaran nafsu, yang akhirnya tidak jauh dengan binatang.

Adalah lebih baik dharma sendiri meski ada kekurangan dalam pelaksanaannya, daripada dharma orang lain walaupun baik dalam pelaksanaan. Kalaupun sampai mati, dalam melakukan dharma sendiri adalah lebih baik, sebab menjalankan bukan dharma sendiri adalah berbahaya. Keinginan kita adalah untuk mencapai kesempurnaan hidup. Kita tidak boleh setengah-setengah dalam kewajiban kita.

Haruslah benar-benar di dalam pekerjaan sendiri. Kewajiban adalah swa dharma. Pada penemuan “swa-dharma” sendiri akan terletak kebahagiaan hidup. Pengabdian yang terbesar yang dapat kita lakukan bagi masyarakat, adalah atas dasar penemuan dari swa dharma, kelahiran bakat sendiri. Iiap-tiap orang harus mengerti bakat kelahirannya. Dalam bakat yang sama, tidak semua orang mempunyai keistimewaan. Yang penting adalah, bahwa tiap-tiap orang itu harus sungguh-sungguh dapat mengerjakan tugas yang diamanahkan kepadanya dengan memuaskan. Tiap-tiap orang itu harus menjadi patriot dalam bidangnya masing-masing, baik kecil maupun besar.

 

Bab IV No. 13 – 14

Catur warna Kuciptakan menurut pembagian dari Guna dan Karma (sifat dan pekerjaan). Meskipun Aku sebagai penciptanya, ketahuilah, Aku mengisi gerak dan perubahan.

Pengertian warna adalah menurut pembawaan dan fungsinya. Pembagian menjadi empat adalah berdasarkan kewajiban. Orang dapat mengabdi sebesar mungkin menurut pembawaannya. Di sini ia dapat melaksanakan tugasnya dengan rasa cinta dan keikhlasan, sesuai dengan ajaran Hindu.

Pekerjaan tidak dapat menodai Aku, pun juga Aku tidak terikat dan tidak merindukan hasil-hasil pekerjaan itu. Ia yang mengetahui Aku demikian, maka ia tidak akan terikat oleh hasil pekerjaan. Juga gerak tidak menodai Aku! Yang menggerakkan pelaksanaan semua itu adalah getaran sinar suci, oleh karena itu mengatasi pengaruh dari karma, yang membawa baik dan buruk dalam proses kosmos ini.

 

Bab V No. 25

Orang suci, yang dosanya telah dimusnahkan, kebimbangannya telah dihilangkan, pikirannya telah mencapai keadaan yang tetap dan yang suka melakukan kebaikan kepada semua makhluk, mencapai kebahagiaan dalam Tuhan.

Melakukan kebaikan kepada semua makhluk bukan berarti memberi bantuan keperluan kebutuhan materil, tetapi membantu untuk dapat menemukan alam (bakat) yang sebenarnya (swa dharma) untuk mencapai kebahagiaan abadi. Bhagawad Gita menekankan pada dua segi dari agama, yaitu: pertama, yang sifatnya perseorangan di mana kita harus menemui yang suci di dalam diri kita sendiri. Dan kedua, segi sosialnya di mana masyarakat dikendalikan dengan bayangan dari yang suci.

 

III. Injil Barnabas

Pasal 114, No. 1 – 16

Isa menjawab: “Sebenarnya kukatakan kepadamu bahwa pemilik kebun itu Allah, sedang tukang kebun itu syariatNya.

Maka di sisi Allah, di surga terdapat pokok kurma dan pokok balsan, pokok kurma adalah setan, sedang manusia pertama adalah pokok balsan.

Kemudian diusir-Nya-lah kedua-duanya, karena keduanya tidak menghasilkan buah berupa amal shalih, bahkan keduanya mengucapkan kata-kata yang tidak baik di mana menjadi hukuman atas malaikat dan banyak manusia.

Dan karena Allah telah menempatkan manusia ini di tengah-tengah makhluk-Nya (alam semesta) yang seluruhnya menyembah Dia menurut (sesuai) titah-Nya, maka jika manusia seperti yang telah kukatakan tidak membuahkan sesuatu, maka Allah akan memotongnya dan melemparkannya ke dalam neraka.

Karena itu Dia tidak memaafkan kepada si Malaikat dan manusia pertama itu, Ia mengutuk si Malaikat untuk selamanya, tetapi kepada si manusia hanya untuk sementara!

Maka berkatalah syariat Allah, bahwa bagi si manusia tersedia bermacam-macam rizki lebih dari semestinya di dalam kehidupan ini.

Dari itu, maka ia harus tahan menerima penderitaan dan menjauhkan diri dari kelezatan duniawi agar ia berbuat amal yang shalih.

Maka atas dasar itulah Allah memberikan kepada manusia ini kesempatan untuk bertaubat.”

Sebenarnya kukatakan kepadamu, “Bahwa Tuhan kita mewajibkan atas manusia untuk bekerja, untuk suatu tujuan seperti yang pernah dikatakan Ayub, Nabi dan kekasih Allah, “Sesungguhnya burung itu dilahirkan untuk terbang, ikan untuk berenang, demikian juga manusia itu dilahirkan untuk bekerja!”

Dan begitu pula Bapak kita Nabi Allah Daud berkata: “Karena apabila kita memakan dari hasil kerja tangan kita sendiri, akan diberkahilah dan menjadi baik bagi kita”

Dari itu kukatakan, bahwa setiap orang itu harus bekerja sesuai dengan bakat masing-masing.

Ketahuilah, bahwa untuk menjadi lebih shalih, maka seorang shalih itu harus dapat membebaskan diri dari kebutuhan.

Karena itu, matahari dan bintang-bintang yang lain itu menjadi kuat dengan perintah-perintah Allah, sehingga mereka tidak dapat berbuat selain perintah itu, maka tiadalah bagi mereka itu suatu kelebihan.

 

Pasal 114, No. 116

Seperti Ayub berkata: “Bahwa manusia itu dilahirkan untuk bekerja”

Dan atas dasar itulah, maka yang bukan tergolong dari jenis manusialah yang bebas dari seruan itu.

Maka andaikata mereka itu mau bekerja, sebagian bertani, sebagian memancing ikan di air, niscaya dunia ini berada dalam kelebihan yang besar.

Maka kekurangan-kekurangan itu akan diperhitungkan di hari pembalasan yang dahsyat kelak!

 

Pasal 59, No. 7 – 15

Ketika itu Petrus berkata kepada Isa as: “Ya, guru, sungguh keadilan Allah itu besar dan engkau pada hari ini telah menjadi iba hati karena uraian-uraian itu…

dari sebab itu, kami memohon kepadamu untuk beristirahat, dan besok beritahulah kami tentang benda apa yang menyerupai neraka”

Isa menjawab: “Ya, Petrus, engkau mengatakan kepadaku untuk beristirahat, sedang engkau ya, Petrus tidak mengetahui apa yang kau katakan, jika engkau paham niscaya engkau tidak bicara yang demikian itu.

Sesungguhnya kukatakan kepadamu, bahwa istirahat di alam ini adalah racunnya takwa dan api yang membakar segala kebaikan.

Lupakah kamu bahwa betapa Nabi Allah Sulaiman dan seluruh Nabi-nabi telah mengecam kemalasan.

Benar seperti apa yang dikatakan bahwa “Si pemalas itu tidak bercocok tanam (di musim dingin) karena takut dingin, sehingga ia mengemis di musim panas”

Dari itu ia berkata: “apa yang bisa dikerjakan dengan tangan, maka kerjakanlah tanpa istirahat”

Dan apa yang diucapkan Ayub sebakti-bakti khalil Allah itu: “Sebagaimana burung itu dilahirkan untuk terbang, begitu juga manusia dilahirkan untuk beramal”

“Sebenarnya kukatakan kepadamu, bahwa aku membenci istirahat itu, lebih dari segala sesuatu”

 

Pasal 83, No. 9 – 12

Di saat itu berkata Isa: “Sesungguhnya kamu tidak mengetahui bahwa makanan yang hakiki itu adalah mengamalkan kehendak Allah.

Karena bukanlah roti yang memberi makan manusia dan memberinya hidup, tetapi sebenarnya kalimat Allah dan kehendakNya.

Oleh karena itu, para Malaikat yang suci itu tidak makan, tetapi mereka hidup dengan cara memakan kehendak-Nya.

Dan begitu pula Kami, Musa, Ilyas dan seorang lagi, pernah tinggal selama 40 hari 40 malam tanpa satu makanan pun!”

 

IV. PERJANJIAN LAMA

Ulangan 8: 2 – 6

Ingatlah, 40 tahun Allah Tuhanmu memimpinmu (Musa as) dalam perjalanan yang amat jauh, melintasi padang gurun. Tujuan perjalanan itu merupakan ujian bagimu, agar Allah dapat melihat apa-apa yang terkandung dalam hatimu dan apakah kamu mentaati perintah-perintah-Nya. Ia membiarkanmu kelaparan, lalu kamu diberi-Nya manna sebagai makanan, sedang kamu dan leluhurmu tak pernah memakan makanan itu sebelumnya.

Tuhan berbuat begitu untuk mengajar kamu, bahwa manusia itu sebenarnya tidak hidup dari makanan, melainkan dari segala sesuatu yang dikatakan Tuhan.

Selama 40 tahun ini pakaianmu tidak menjadi usang dan kakimu tidak menjadi bengkak.

Ingatlah Allah Tuhanmu mengajari kamu seperti seorang ayah mengajari anaknya.

Jadi, lakukanlah segala yang diperintahkan Allah kepadamu. Hiduplah menurut hukum-hukumNya dan hormatilah Dia.

 

Mazmur 128: 2

Berbahagialah orang yang takwa dan hidup sesuai perintah (kehendak) Allah. Engkau makan dari hasil kerjamu dan hidup makmur sejahtera.

 

Yehezkiel 36: 26

Aku akan karuniakan kepadamu hati yang baru, dan ruh yang baru pun akan Kukaruniakan ke dalam batinmu, dan hati batu itu akan Kukeluarkan dari dalam tubuhmu dan hati daging pun akan Kukaruniakan kepadamu.

 

Kejadian 41: 16 – 46

Oleh Ruhul Kudus ia (Yusuf as) dapat menafsirkan mimpi Raja dengan tepat dan karena Ruhul Kudus ia menjadi wazir Negeri Mesir.

 

Keluaran 31: 1 – 6

Dari Ruhul Kudus mereka (Bezaliel dan Aholiab) menerima hikmat dan kepandaian dalam segala pekerjaan tangan untuk mengerjakan segala alat Tabernakel sesuai dengan kehendak Allah.

 

Bilangan 11: 16 – 17, 25

Musa as dapat memimpin bangsa Israil dengan luar biasa karena Ruhul Kudus ada di dalam dia.

 

Bilangan 27: 18 – 23

Yusa terpilih untuk menggantikan Musa karena Ruh Kudus ada di dalam diri Yusha. Atas perintah Allah Musa menumpangkan tangannya di atas dia dan melantik dia sebagai penggantinya di hadapan Imam besar Eliazar.

 

Hakim-hakim 6: 34; 8: 28; 7: 1 – 25

Ruh Kudus datang di atas Gideon, sehingga ia dapat melepaskan bangsa Israil dari serangan tentara Midian dan membawa perdamaian 40 tahun.

Dengan hanya 300 serdadu ia dapat mengalahkan seluruh tentara Midian dan Amalek.

 

Hakim-hakim 3: 9 – 10

Otniel dapat melepaskan bangsa Israil dari musuh mereka dan memerintah 40 tahun lamanya dengan damai karena Ruh Kudus ada di atasnya.

 

Samuel I 10: 1, 6; K.R. 13: 21

Ruh Kudus datang di atas Thalut sehingga ia diubah menjadi orang lain. Dengan ketetapan Allah ia dilantik (oleh Samuel as; ref.: QS 2: 246-251) menjadi raja bangsa Israil yang pertama dan memerintah 40 tahun lamanya.

 

Samuel I 16: 13; Mazmur 51: 13 – 14

Daud diurapi oleh Samuel untuk menjadi Raja atas bangsa Israil menggantikan Thalut. Mulai hari itu Ruh Kudus ada di dalam hidupnya, dan dengan kuasa dan hikmat Allah ia memimpin bangsanya selama 40 tahun dalam kemajuan.

 

Keluaran 18: 21 – 22; Bilangan 11: 17, 25 – 29

Tujuh puluh orang Israil (ref.: QS 7: 154-155) dipilih untuk membantu Musa, harus menerima Ruh Kudus terlebih dahulu, sebelum mereka menjalankan tugasnya.

 

Bilangan 11: 25; K.R. 19: 6

Ketika Ruh Kudus turun di atas mereka, maka mereka bernubuwah. Itulah tanda bagi mereka akan kehadiran Ruh Kudus di dalam diri mereka. Dengan Ruh Kudus mereka berani melayani sebagai pembantu Musa.

 

Kejadian 39: 2, 21, 23

Ruhul Kudus menyertai dia (Yusuf as), sehingga ia sabar dalam segala ujian dan penderitaan. Dan dengan Ruh Kudus ia dapat menerangkan mimpi penghulu penjawat minuman Istana Fir’aun itu.

 

Keluaran 3: 12 – 14; 4: 1 – 12, 21

Ia seorang nabi yang luar biasa, karena Ruh Kudus menyertai dia (Musa as) sepanjang hidup dan pelayanannya. Ia meninggal pada usia 120 tahun sesudah ia melayani selama 40 tahun. Dikatakan bahwa pada hari ia meletakkan hidupnya “matanya belum kabur dan kuatnya pun belum hilang” ia Nabi terbesar karena “Allah mengenal dia wajah dengan wajah”. Dengan kuasa Ruh Kudus ia berbuat perkara-perkara yang hebat dan besar-besar di hadapan segenap bangsa Israil.

 

Daniel 4: 8, 18; 6: 4

Ia (Beltsazar) dapat menafsirkan mimpi raja Nebukanedzar, karena Ruhul Kudus ada di dalam dia.

 

V.  PERJANJIAN BARU

Lukas 1: 35; Matius 1: 18, 20

Ruh Kudus turun di atasnya, menaungi dia (Maryam binti Imran) sehingga ia hamil karena Ruh Kudus dan melahirkan Yesus Kristus.

 

Lukas 1: 41

Ketika Maryam memberi salam kepadanya (Elizabeth isteri Zakaria as), maka bayi (Yahya as) yang ada di dalam kandungan Elizabeth meronta dari Allah suka citanya, dan ia (Yahya as) pun penuh dengan Ruh Kudus.

 

Lukas 1: 13, 67 – 69

Sesudah Yahya si Pembaptis lahir dan diberi nama sesuai petunjuk Malaikat Tuhan (ref.: QS 3: 39; 19: 7; 19: 12), maka ia penuh dengan Ruh Kudus dan bernubuwah.

 

Lukas 1: 15 -17

Ia (Yahya as) akan menjadi seorang yang besar dalam pandangan Tuhan, ia tidak akan minum anggur dan minuman keras. Sejak lahir akan dikuasai Ruh Allah (Ruh Kudus). Banyak orang Israil akan dibimbingnya kembali (bertaubat) kepada Allah, Tuhan mereka. Ia (Yahya as) akan menjadi utusan Allah yang kuat dan berkuasa seperti Elia (Ilyas as).

 

Lukas 1: 67

Zakariya, ayah dari anak itu (Yahya) dikuasai oleh Roh Allah sehingga ia dapat menyampaikan pesan Allah.

 

Yohanes 3: 3

Yesus (Isa as) menjawab: “Percayalah, tak seorang pun dapat menjadi anggota umat Allah, kalau ia tidak dilahirkan kembali.

 

Yohanes 3: 5 – 7

Yesus (Isa as) menjawab: “Sungguh benar ucapanku ini, kalau orang tidak dilahirkan dari air dan dari Ruh Allah (Ruhul Kudus), orang itu tidak dapat menjadi anggota umat Allah. Manusia secara jasmani dilahirkan oleh orang tua, tetapi secara ruhani dilahirkan oleh Roh Allah (Ruh Kudus). Jangan heran kalau aku katakan kepadamu sekalian, bahwa kalian semua harus dilahirkan kembali.

 

Yohanes 3: 34

Sebab (kata Isa as) orang yang diutus Allah menyampaikan kata-kata (firman) Allah, karena Ruh Allah (Ruh Kudus) sudah diberikan kepadanya sepenuhnya.

 

Yohanes 14: 15 – 17

Kalau kalian mengasihi aku (Isa as), kalian akan melaksanakan perintah-perintahku. Aku akan minta kepada Allah, dan Ia akan memberikan kepadamu Penolong lain, yang akan tinggal bersama kalian selamanya. Dia itu Roh Allah (Kuasa Allah, Ruh Kudus) yang akan menyatakan kebenaran tentang Allah. Dunia tak dapat menerima dia, karena tidak dapat melihat atau mengenalnya. Tetapi kalian mengenal dia (Ruh Allah), karena ia tinggal bersama kalian dan akan bersatu dengan kalian.

 

Yohanes 14: 24 – 26

Orang yang tidak mencintai aku (Isa as), tidak akan melaksanakan ajaranku. Ajaran-ajaran yang kalian dengar itu bukan dari aku melainkan dari Allah yang mengutus aku. Semua (ajaran) itu, aku sampaikan kepadamu selama aku masih bersama kalian. Tetapi Roh Allah, penolong yang akan diutus Allah atas namaku, dialah yang akan mengajar kalian tentang segala sesuatu, dan mengingatkan kalian akan semua yang sudah kuberitakan kepadamu.

 

Yohanes 16: 13 – 14

Kalau Roh Allah (Ruh Kudus) itu datang, yaitu dia yang akan menyatakan kebenaran tentang Allah, kalian akan dibimbingnya untuk mengenal seluruh kebenaran. Ia (Ruh Kudus) tidak akan berbicara dari dirimu sendiri tetapi mengatakan apa-apa yang sudah didengarnya dariNya, dan ia akan memberitahukan kepadamu apa-apa yang akan terjadi di kelak kemudian hari.

 

2 Timotius 1: 7

Allah mengaruniai kita bukannya dengan suatu ruh yang penakut, melainkan ruh kuasa dan kasih dan memerintahkan diri.

 

1 Korintus 6: 19

Tidakkah kamu tahu bahwa tubuhmu itu rumah Ruhul Kudus yang diam di dalam dirimu itu, yang telah kamu peroleh dari Allah, dan bukan milikmu sendiri ?

 

Yohanes 15: 1 – 13

Yesus (Isa as) berkata: “Aku adalah pohon anggur sejati dan Tuhanku tukang kebunnya, dan setiap cabang yang berbuah dikurangi daunnya dan dibersihkan olehNya supaya lebih banyak lagi buahnya. Kalian sudah bersih ! karena ajaran yang kuberikan kepadamu. Tetaplah bersatu denganku dan aku pun akan tetap bersatu dengan kalian. Cabang itu sendiri tak dapat berbuah kecuali jika tetap bersatu dengan pohonnya. Demikian juga kalian, hanya dapat berbuah kalau tetap bersatu dengan aku. Akulah pohon anggur dan kalian adalah cabang-cabangnya. Orang yang tetap bersatu dengan aku dan aku dengan dia, akan berbuah banyak ! sebab tanpa aku, kalian tak dapat berbuat apa-apa. Orang yang tidak tetap bersatu dengan aku, akan dipotong dan dibuang seperti cabang, lalu menjadi kering. Cabang-cabang yang seperti itu akan dikumpulkan dan dibuang ke dalam api, lalu dibakar. Apabila kalian tetap bersatu dengan aku dan ajaran-ajaranku tetap tinggal dalam hatimu, mintalah kepada Tuhan apa saja yang kalian mau, niscaya permintaanmu akan dipenuhiNya. Kalau kalian berbuah banyak, maka Tuhanku akan diAgungkan dan dengan demikian kalian betul-betul menjadi pengikutku. Seperti Tuhan mengasihi aku, demikianlah aku mengasihi kalian. Hendaklah kalian senantiasa menjadi orang yang kukasihi. Kalau kalian mentaatiku berarti kalian tetap setia kepada kasihku, sama seperti aku tetap setia kepada kasih Tuhanku, karena aku mentaati-Nya.

Mata Air Agama-agama: Pluralisme Sufi dan Mencari Titik Temu dalam Perbedaan (Bag-3)

Struktur Insan: Triadik Jasad, Nafs dan Ruh Al-Quds

Konsepsi mengenai Struktur Insan serta visi penciptaannya adalah hal fundamental untuk memahami tentang misi hidup. Namun, permasalahnya, sedikit sekali yang dapat menguraikan konsepsi Struktur Insan tersebut secara rigour dan sistematik. Sebagaimana dinyatakan oleh Jane Idelman Smith & Yvonne Yazbeck Haddad bahwa “…sebagian dari ajaran-ajaran eskatologi yang lebih populer, yang dalam hal ini, para penulis—kalangan teolog tradisionis—telah gagal membedakan antara istilah nafs dan ruh, jiwa dan roh, baik dengan cara mempertukarkan kedua istilah itu maupun menggunakan yang satu untuk mengganti yang lain. Kecenderungan ini juga menjadi ciri sebagian besar analisis kontemporer. Persoalan bagaimana menamakan dan memahami fitrah kemanusiaan memang cukup njelimet sehingga banyak penulis kontemporer menegaskan bahwa mereka sangat malas membicarakan hal ini.”1 Kerancuan itu bahkan terlihat lebih luas lagi di wacana Psikologi Islam, misalnya, ketidaktelitian untuk membedakan antara nafs dengan hawa nafsu, nafs dengan psikis, lubb atau ‘aql (orang yang memilikinya di sebut ulil albab) dengan nalar (otak), dan lain sebagainya. Gejala ini sebenarnya telah diungkapkan penyebabnya oleh Al-Ghazali sepuluh abad yang lalu, dan ternyata masih terus terjadi hingga hari ini, yaitu, dikarenakan pemahaman akan istilah nafs, ruh, qalb dan ‘aql yang “…sedikitlah kalangan ulama-ulama yang terkemuka, yang mendalam pengetahuannya tentang nama-nama ini, tentang perbedaan pengertian-pengertiannya, batas-batasnya dan apa yang dinamakan dengan nama-nama tersebut. Kebanyakan kesalahan itu terjadi karena kebodohan dengan arti nama-nama ini dan persekutuannya di antara apa yang dinamakan itu yang bermacam-macam”.2

Ada pun penjelasan tentang Struktur Insan dalam bentuk perumpamaan yang ringkas dan padat dapat dilihat pada QS An-Nuur [24]: 35, yaitu:

Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang di dalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut di dalam kaca, kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

image4Struktur Insan menurut QS An-Nuur (24) : 35

Ayat beserta gambar misykat di atas merupakan skema ringkas namun padat dari Struktur Insan; struktur manusia yang digelari sebagai Cahaya Allah, khalifatullah, yaitu, mereka yang telah menemukan misi hidupnya di muka bumi ini (syuhada) untuk kemudian menjalankan misi hidup tersebut (shiddiqin). Ayat ini merepresentasikan nafs yang di dalamnya terdapat qalb (zujajah) yang bercahaya seperti kaukab (benda langit yang tidak memiliki cahaya sendiri, menyala karena memantulkan cahaya dari benda lainnya) buah dari ketaqwaannya. Titik api yang menyala di inti qalb tak lain adalah Ruh Al-Quds (mishbah). Kesemuanya itu dibungkus dalam sebuah jasad (misykat, benda gelap yang tak tembus pandang). Uraian dari Zamzam A.J.T. berikut ini bisa merangkum dan menjelaskan perbedaan ketiga entitas tersebut:

Cahaya Allah atau insan Ilahi ini diibaratkan dengan misykat, fash, ceruk, lubang tak tembus yang di dalamnya terdapat pelita terang. Misykat melambangkan kegelapan jasad insan, merupakan tempat bertemunya dua lautan, lautan yang mengalir dari mata air ubudiyyah hamba dan lautan yang bersumber dari ketinggian Uluhiyyah-Nya. Aspek ubudiyyah insan keluar dari sisi jasad dan jiwa insan (nafs), sedangkan apa yang datang dari aspek Uluhiyyah adalah Amr-Nya yaitu h Al-Quds yang dilambangkan dengan pelita atau api yang terang nyalanya.

Jasad insan merupakan wujud yang dibangun dari aspek al-ardh (kebumian); sedangkan nafs insan yang karena kejernihan wujudnya bagaikan kaca, dilabel oleh kata as-samaai (langit). Jadi as-samaai dunya dan al-ardh melambangkan pasangan jiwa dan raga insan yang dijenjang tertentu keduanya berperan sebagai cahaya Allah Ta‘ala, saksi Allah sejati. Dalam persoalan mengabdi kepada Al-Khaliq (sang pencipta), nafs insan merupakan imam bagi jasad dimana pasangan ini akan bertindak sebagai pelaku utama dalam persoalan pengungkapan khazanah Ilahi.

“Aku adalah harta tersembunyi (kanzun makhfiy), Aku rindu untuk dikenal, karena itu aku ciptakan makhluk agar aku diketahui.”(hadis qudsi).

Sedangkan tiupan atau nafas h (arwah) ke dalam diri insan merupakan ujung dari nafas panjang Rububiyyah, yang dilambangkan dengan cahaya jernih yang mengisi ruang-ruang petala langit, as-samawaati. Jadi nafs insan merupakan langit pertama, langit terdekat ke sisi jasad, dari tujuh langit malakut yang berlabuh didalam jasad insan.

Jasad atau jism insan merupakan rumah atau wadah bagi nafs insan, dan qalb dari nafs yang telah diterangi cahaya taqwa merupakan rumah bagi Ar-Ruh yang datang dari sisi-Nya. Kehadiran h Al-Quds ke dalam nafs insan dan menetapnya Ar-Ruh ini di dalam qalb merupakan satu persoalan yang mengakibatkan manusia tersebut digelari cahaya Allah, baitullah, ahlul bait.3

Contoh lain yang mungkin lebih mudah dimengerti untuk imajinasi manusia saat ini adalah OHP (Over-Head Projector). Keseluruhan badan OHP itu ibarat tubuh, sementara plastik transparansi itu ibarat nafs. Di atas plastik transparansi tersebut dituliskan sesuatu, itu ibarat misi hidup manusia yang dituliskan di nafs, namun dia tidak bisa membacanya. Dibutuhkan sesuatu yang lain agar tulisan tersebut bisa dibaca, itulah lampu OHP, yang mengibaratkan h Al-Quds. Cahaya dari lampu OHP (h Al-Quds) inilah yang bisa menzahirkan tulisan (‘amr atau misi hidup) di atas plastik transparansi (nafs) tersebut ke layar (alam dunia) melalui lensa proyektor (qalb). Alegori yang sama bisa ditemukan juga pada wayang kulit. Wayang kulit yang dihias indah berwarna-warni, itulah nafs, ternyata hanya dimainkan bayangannya saja, itulah jasad manusia. Lalu api sebagai simbol Ruh Al-Quds, sang utusan dalam diri setiap manusia, adalah obor api yang bersinar di belakang hingga membentuk bayangan di layar, bayangan yang dilihat oleh para penonton. Siapakah yang memainkan pertunjukan wayang tersebut? Sang dalang, yang tersembunyi dan tak terlihat oleh para penonton, itulah simbol Allah yang mengatur segalanya. Ibn ‘Arabi bahkan menjelaskan sebagai berikut:

Barang siapa ingin tahu arti sejati, bahwa Tuhanlah yang berkarya di balik layar alam ciptaan, hendaknya ia memandang pertunjukan bayangan (khayal) dan bayangan-bayangan (suwar) yang ditampilkan (sitara) pada layar, lalu memperhatikan siapakah yang berbicara dalam bayangan-bayangan itu menurut hemat anak-anak kecil yang duduk agak jauh dari layar yang dibentangkan antara mereka dan para boneka. Demikian juga bentuk-bentuk dunia ini; kebanyakan orang masih seperti anak-anak. Di sini kita dapat belajar, dari mana asalnya peristiwa-peristiwa yang dibeberkan (di layar). Anak-anak kecil tertawa dan merasa gembira, orang-orang dungu memandang hal-hal itu sebagai banyolan dan senda gurau, tetapi orang-orang bijak berpikir dan mengetahui, bahwa itu semua oleh Tuhan hanya diatur sebagai suatu perumpamaan, agar manusia tahu, bahwa hubungan antara dunia ini dan Tuhannya seperti antara boneka dan dalangnya, lagi pula bahwa layar itu merupakan tirai al-kadar (takdir) yang tak dapat disingkirkan oleh siapa pun.12

image5

Al-Ghazali membuat dua pengertian nafs. Pertama, adalah nafs dalam pengertian awam yang dipahami sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu adalah campuran atau aradh pada nafs, namun sebenarnya bukan bagian dari nafs. Dalam diri manusia ada embrio-embrio hawa nafsu yang diturunkan dari kedua orangtua. Embrio-embrio tersebut bisa tumbuh jika dipupuki sehingga mewujud dalam diri secara independen yang akhirnya membentuk nufusul hawwiyyah. Jika sudah terlanjur mewujud, maka nafs harus bisa menjadi gembalanya. Kedua, adalah nafs dalam arti unsur halus (lathifah) yang merupakan hakikat Al-Insân. Penyebutan Al-Insân itu ditujukan kepada nafs ini. Nafs diidentifikasi atau dinamai berdasarkan kadar pengaruh dari embrio-embrio hawa nafsu tersebut. Apabila nafs tersebut terwarnai kuat oleh embrio-embrio hawa nafsu yang ada di antara nafs dan tubuh, maka nafs lathifah tersebut dinamai dengan nafs ‘amara bi su‘ karena menyuruh atau cenderung kepada hal-hal yang buruk. Inilah menghijabi antara manusia (mar‘i) dengan qalbnya. Pada setiap noda yang Allah Ta‘ala buang berarti ada bagian yang dirahmati oleh Allah Ta‘ala. Sementara nafs al-lawwamah adalah nafs yang mencela, yang dalam transisi dan tengah berjihad serta menyesali noda-noda yang menempel pada dirinya. Dominasi hawa nafsu sudah berkurang terhadap fas. Jika nafs terbebas dari berbagai pengaruh hawa nafsu dan embrio-embrionya, disebutlah sebagai nafs itu sebagai nafs muthmainnah. Itulah nafs yang telah tenang dan telah sampai di jenjang ridha, yaitu, ridha kepada Allah Ta‘ala dan diridhai, karena telah ridha terhadap seluruh qadha Allah Ta‘ala dalam dirinya. Inilah nafs yang telah memiliki taswiyah (kesempurnaan penerimaan) untuk kehadiran h Al-Quds.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ar-Rûh. Katakanlah: “Ar-Rûh itu dari ‘amr Rabbku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS Al-Isrâ‘ [17]: 85)

Persoalan h ini merupakan bagian dari ‘amr Rabb atau termasuk alam ‘amr. Karena itu, tidak ada istilah tazkiyatur ruhiyyah atau mi‘raj rûh, tetapi tazkiyatun nafs dan mi‘raj nafs. h itu sesuatu yang suci dari Allah Ta‘ala dan merupakan ‘amr Rubbubiyyah. Adapun kata sedikit dalam ayat tersebut bukanlah ditujukan kepada sedikitnya pengetahuan tentang h yang bisa manusia ketahui, tetapi sedikitlah di antara manusia yang diberi pengetahuan tentang h. Karena, di ayat lain dalam Al-Quran disebutkan adanya orang yang disebut sebagai Ulil ‘Amri. Bagaimana bisa seseorang yang sudah dirahmati dan dipercaya memegang ‘amr oleh Allah Ta‘ala, tetapi tidak mengetahui tentang h yang merupakan bagian dari ‘amr (ingat hadis Rasulullah tentang amanah dan ‘amr).

h itu terletak di inti nafs. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa h itu tidak berada baik di dalam maupun di luar tubuh, tidak melekat dan juga tidak lepas dari tubuh. Lebih jauh lagi, beliau menjelaskan h itu bukan makhluk karena tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk, tetapi h itu juga makhluk karena datang berikutnya (perkara yang huduts bukan qadim). Selain itu, Imam Al-Ghazali pernah menjelaskan dua kategorih, yaitu, pertama, jisim latif (cahaya ruh). Ini seperti membanjirnya cahaya hidup dari lampu yang menyebar pada sekeliling ruangan, atau ibarat menjalar atau mengalirnya darah dalam tubuh yang dipompa oleh qalb jismaniyyah (jantung). Yang kedua adalah latifah ‘alimah, yaitu api atau sumber cahaya. Inilah h Al-Quds atau Ar- Rûh yang merupakan sumber pengetahuan. Tidaklah sama antara h Al-Quds dengan h Al-Amîn, karena h Al-Amîn adalah Jibril. Namun, keduanya mempunyai kesamaan tugas, yaitu sama-sama mengajarkan Al-Kitab.

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada al-mu‘min ketika Allah mengutus di antara mereka rasul dari nafsnafs mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali ‘Imran [3]: 164)

Dan hari Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari nafsnafs mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira (busyran) bagi al-muslimîn. (An-Nahl [16]: 89)

Katakanlah: Diturunkan kepadanya h Al-Quds (inilah rahmat kedua—pen.) dari Rabbmu dengan penyertaan al-haqq, untuk meneguhkan orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi al-muslimîn. (An-Nahl [16]: 102)

h itu dilambangkan dengan api (misbah), ada pun tubuh (jism) dapat hidup walau hanya dengan cahaya api h saja, atau bagian dari h atau aspek-aspek yang terbawa karena tiupan atau nafakh h saja. Dalam Al-Quran disebutkan dengan ungkapan min rûhi atau “dari h-Ku”. Tak ubahnya seperti bunga dengan harumnya. Harum bunga yang terbawa angin (busyran) sudah dapat menghidupkan rasa lapar lebah (lambang al-mu‘min). Atau seperti orang tengah berada di depan api unggun, walaupun apinya tidak menyentuh tubuhnya, tetapi hangatnya api yang terbawa oleh angin sudah bisa terasakan oleh tubuh.

Maka tatkala dia tiba di api itu, diserulah dia: “Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di dalam api itu, dan orang-orang yang berada disekitarnya. Dan Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (An-Naml [27]: 8)

Atau coba rasakan sendiri. Pegang tubuh Anda, bagian leher misalnya. Apabila masih terasa hangat, itu tanda masih ada h yang tiupan atau nafakh h-nya masih memberi kehidupan kepada tubuh Anda. Bahkan seandainya tiupan atau nafakh h ini mengenai dinding, maka dinding tersebut dapat hidup. Sementara apabila Anda menyentuh tubuh orang yang sudah mati, maka terasalah tubuh orang mati itu sudah dingin. Itu mengisyaratkan bahwa dalam tubuh orang mati tersebut sudah tidak ada lagi h yang memberikan tiupan atau nafakh h yang bisa menghidupkan tubuh tersebut. Tiupan atau nafakh rûh itulah yang secara umum disebut sebagai nyawa dalam bahasa Indonesia. Alam semesta ini maujud karena adanya nafakh rûh di dalamnya, misalnya burung itu memiliki h bukan nafs. Karena, apabila burung memiliki nafs, maka akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir nanti, dan bisa mendapatkan siksa kubur dan neraka. Fungsi nafakh rûh bagi tubuh adalah untuk menghidupkan, karena sebelum diberi nafakh rûh, tubuh itu dalam keadaan mati. Sedangkan fungsi nafakh rûh bagi nafs adalah sebagai energi paling dasar. Hakikat atau bahan dasar nafs adalah sesuatu yang hidup, tetapi untuk bergerak (energik) maka nafs memerlukan cahaya h sebagai energi dasar.

 Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan (nafakh) ke dalamnya dari h-Ku (min hi), maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (QS Al-Hijr [5]: 29 dan QS Shâd [38]: 72)

Ayat tersebut sudah menunjukkan bahwa tidak keseluruhan h, tapi bagian atau persoalan yang terkait dengan h. Ini tak ubahnya seperti cahayanya matahari, harumnya bunga, terang dan hangatnya api. Singkatnya, sesuatu yang ditiupkan (nafakh) yang akan menghidupkan atau menyalakan, seperti minyak yang sudah menyala atau hidup walau belum disentuh api. Nafakh rûh ditiupkan apabila Allah Ta‘ala telah menyempurnakan tempat penerima h atau taswiyah (kesempurnaan penerimaan) dari tubuh yang terbentuk dari 4 unsur (api, air, tanah, udara). Taswiyah tersebut lebih menekankan kepada komposisi elemen pembentuk tubuh yang tepat. Jika campurannya terlampau basah, maka “adonan” tubuh tersebut tidak akan mampu menerima nafakh rûh. Sedangkan untuk menerima h Al-Quds, yaitu sang mataharinya, sang apinya, sang bunganya, sehingga seorang hamba bisa menemukan diri sejati dan misi hidupnya, tidak cukup hanya kesiapan 4 unsur tersebut, tetapi juga diperlukan unsur ke 5, yaitu nafs. Harus ada taswiyah baik di nafs maupun di tubuh. Untuk menerima nur ilmu saja, tubuh harus dalam kondisi sehat kokoh dan tidak terlampau basah dengan minuman duniawi (syahwat), terlebih lagi untuk menerima h Al-Quds. Sedangkan untuk nafs, harus dalam kondisi bersih dari hawa nafsu (tazkiyatun nafs), seperti yang disabdakan Rasulullah Saw, “Musuhmu yang terbesar berada di antara kedua sisimu.” Nabi Isa pernah mengatakan bahwa manusia itu harus dilahirkan dua kali, pertama lahir secara jasmani, sedang kedua adalah lahir secara ruhani.

Sebagaimana diungkapkan Syaikh Abdul Karim Al-Jilli, h Al-Quds itu adalah hul Arwâh. h Al-Quds itu bukan makhluk karena ia merupakan wajah khusus dari wajah-wajah Al-Haqq. Adapun h Adam (nafakh ruh) adalah makhluk, akan tetapi h Allah bukanlah makhluk, dialah h Al-Quds yang disucikan dari kekurangan-kekurangan Kauniyyah makhluk. h Al-Quds ini merupakan pengibaratan wujud Ilahi di dalam makhluk, atau ungkapan dari wajah Ilahi. Karena itu, dalam bahasa Jawa disebut juga sebagai ‘gusti’ dengan g kecil atau gusti di dalam diri.

Dalam kosmologi Islam, perempuan dan laki-laki disimbolkan dengan dua hal yang berbeda namun saling melengkapi, berpasang-pasangan, yin dan yang yang membentuk harmoni dan keseimbangan. Segala sesuatu (selain Tuhan) diciptakan secara berpasang-pasangan yang didasarkan bukan pada logika dominatif, tetapi logika komplementer. Pasangan perempuan dan laki-laki yang juga disebut dalam Al-Quran merupakan gambaran dari keseluruhan kosmos, yaitu langit dan bumi. Dalam hubungan antara tubuh dan nafs, maka tubuh adalah perempuan dan nafs adalah laki-laki. Apabila keduanya “menikah” (menyatu), dikatakanlah hal itu sebagai “setengah dari Ad-Dîn.” Untuk menggenapkan Ad-Dîn maka pasangan tubuh dan nafs tersebut harus menyatu dengan h Al-Quds, dan bentuk hubungannya menjadi pasangan tubuh plus nafs adalah perempuan, dan h Al-Quds adalah laki-laki. Namun dalam beberapa ayat nafs pun dilambangkan sebagai perempuan yang melahirkan laki-laki (‘aql), dan begitu pula halnya dengan h Al-Quds yang juga kadang dilambangkan sebagai perempuan, karena merupakan Ummul Kitab (Induk Kitab). Pendek kata, simbolisasi ini bukan merendahkan yang satu terhadap yang lain, tapi merupakan suatu kesatuan yang komplementer sebagaimana diterangkan oleh Zamzam sebagai berikut:

Maka yang disebut insan Ilahi, cahaya Allah, adalah insan yang api jiwanya telah dinyalakan Allah Ta‘ala, telah diperkuat oleh cahaya ilmu dan cahaya ma‘rifat. Insan seperti ini memiliki struktur seperti yang digambarkan dalam surat An-Nuur ayat 35, cahaya di atas cahaya.

Misykat, zujajah dan pohon zaitun adalah persoalan yang datang dari aspek ubudiyyah, merupakan pasangan bagi api ­al-mishbah yaitu urusan yang datang dari aspek Uluhiyyah-Nya; persoalan yang diidentifikasi oleh hakikat pasangan perempuan dan laki-laki.4

Selain itu, dalam Al-Quran, tubuh dilambangkan juga sebagai bumi, nafs sebagai langit, dan h sebagai matahari. Namun, seperti telah diutarakan sebelumnya, untuk bisa mendapatkan predikat Insan Ilahi atau menemukan misi hidup, maka manusia yang akan dirahmati tersebut harus berada dalam posisi percaya dan dipercaya. Sebelumnya, terlebih dahulu dia harus dibakar dalam api pensucian, harus menerima ujian untuk memurnikan niatnya dalam mencari Allah Ta‘ala.

Triadik jasad, nafs dan ruh—terutama dua yang terakhir—seringkali tak dikenali, atau bahkan rancu dalam pembahasannya, sebagaimana telah disinyalir oleh Al-Ghazali. Beliau pun menjelaskan dua pengertian nafs, yaitu, pertama, nafs dalam arti hawa nafsu yang merupakan campuran (aradh) pada nafs lathifah, namun sebenarnya bukan bagian dari nafs lathifah. Hawa nafsu adalah “kecenderungan kepada yang lebih bersifat non-material, yang berkaitan dengan eksistensi dan harga diri, persoalan-persoalan yang wujudnya lebih abstrak…merupakan produk persentuhan antara nafs dan jasad.”13 Hawa nafsu tersebut berbentuk embrio-embrio yang dapat tumbuh jika dipupuk, sehingga maujud dalam diri manusia secara independen dan membentuk nufussul hawiyyah. Jika hawa nafsu sudah maujud, maka sang nafs harus menjadi gembalanya. Kedua, nafs dalam arti unsur halus (lathifah) yang merupakan Hakikat Insan atau diri manusia yang sebenarnya. Nafs al-lathifah ini diidentifikasi (atau dinamai) berdasarkan kadar pengaruh dari embrio-embrio hawa nafsu tersebut. Jika sang nafs terbebas dari berbagai pengaruh hawa nafsu beserta embrio-embrionya, maka disebutlah sebagai an-nafs al-muthmainnah. Nafs ‘amara bi su’ adalah nafs yang menyuruh atau cenderung kepada hal-hal yang buruk, karena ia disifati, bahkan didominasi, oleh hawa nafsu yang merupakan hijab antara manusia dengan qalb-nya. Sedang an-nafs al-lawamah adalah nafs yang tidak sempurna “ketenangannya”, mencela, berperang dan menyesali noda-noda yang menempel dalam dirinya.

Insan cahaya Ilahi dengan struktur utuh (telah hadir di dirinya Ruh Al-Quds) merupakan subjek yang akan mulai berjalan dalam Ad-Dîn Allah. Untuk mencapai struktur yang sempurna (ma’rifatullah), maka manusia harus menumbuhkan bola kaca (zujajah) qalb dengan membuatnya menyala bak kaukab, melalui minyak pohon-zaitun, buah ketaqwaan. Dengan hidupnya qalb, maka nafs yang terkulai lemas akibat dosa-dosa menjadi hidup (dosa bagi jiwa adalah seperti kryptonite bagi Superman) dan mulai berjalan mengenali urusan (amr) dan kadar dirinya yang telah ditetapkan Allah. Jika proses penyucian diri dan pengenalan diri (jasad dan nafs) telah paripurna, maka Allah akan mengirim utusan-Nya, Ruh Al-Quds, sebagai penasihat atau pemberi fatwa dalam hati. Keadaan (state) ma’rifatullah ditandai dengan hadir-Nya kuasa Allah (Ruh Al-Quds) dalam qalb insan. Ma’rifat merupakan rahmat dari Allah terhadap hamba-Nya yang Dia kehendaki. Inilah rahmat kedua. Rahmat yang diperoleh setelah sang hamba kembali menjadi al-muthaharrun (tingkat kesucian bayi) yang merupakan rahmat pertamanya.

Bersambung…

Catatan Kaki:

  1. Jane Idelman Smith & Yvonne Yazbeck Haddad, Maut, Barzakh, Kiamat, Akhirat: Ragam Pandangan Islam dari Klasik hingga Moderen, Serambi: Jakarta, cetakan I, 2004, hlm. 38.
  2. Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali, (1983) Jilid 4, diterjemahkan oleh Prof. Tk. H. Ismai Yakub, SH, MA., C.V. Faizan: Jakarta Selatan, cetakan ketiga, hlm. 7.
  3. Zamzam A. Jamaluddin T. (1997). “Misykat Cahaya-cahaya”, PICTS-YPP, Bandung.
  4. Zoetmulder, P.J., (1995): “Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa”, Gramedia: Jakarta, cet. 3, hlm. 286.

Mata Air Agama-agama: Pluralisme Sufi dan Mencari Titik Temu dalam Perbedaan (Bag-2)

Ma’rifatunnafs-Ma’rifatullah: Tujuan Penciptaan Manusia dan Misi Hidup

Bayangkan seseorang yang memiliki kemuliaan hati, pemurah, penolong, penyabar, pemaaf, pemberani dan banyak sifat mulia lainnya, akan tetapi dia tinggal seorang diri dalam sebuah gua besar. Tak pernah ada yang mengetahui kemuliaan orang tersebut, tak pernah ‘kekayaan’ yang dimilikinya tersebut terungkap kecuali hingga datang seseorang yang lain, dan interaksi di antara keduanya akan dapat membantu mengeluarkan segenap sifat-sifat mulia dari lelaki penghuni gua tersebut. Dan apabila semakin banyak orang yang datang kepada lelaki tersebut maka akan semakin banyak pula ‘kekayaan’-nya yang terungkapkan, yang diuraikan, yang dimanifestasikan karena kehadiran orang-orang tersebut. Begitu pula Allah, ketika pada awalnya belum ada sesuatu apa pun, hanya Dia Ta’ala sendiri yang menyimpan segenap Kekayaan-Nya, maka sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits qudsi: “Aku adalah khazanah tersembunyi (kanzun makhfiy), kemudian Aku cinta untuk dikenal, maka Aku ciptakan makhluk dan Aku membuat diri-Ku dikenal oleh mereka, sehingga mereka datang untuk mengenal-Ku.”

Dalam Al-Quran ditegaskan bahwa tujuan penciptaan manusia itu untuk mengenal dan menjadi saksi Allah yang haqq (benar), dan juga khalifah (wakil) Allah serta pemakmur bumi. Seseorang yang telah ma‘rifatullah berarti telah menjadi saksi Allah yang haqq karena telah menjadi tempat pengurai asma (nama)-Nya atau citra Ilahi. Tak ubahnya seperti lensa segitiga yang mendeviasikan cahaya monokromatik (putih) menjadi cahaya polikromatik. Dalam hadits qudsi pun dinyatakan bahwa Allah menciptakan Adam atas citra Ar-Rahman. Bahwa manusia memiliki mata itu melambangkan Allah Maha Melihat; manusia memiliki telinga itu melambangkan bahwa Allah Maha Mendengar; manusia memiliki lisan itu melambangkan Allah Maha Berkata-kata, dan demikian seterusnya. Namun, mesti diingat dengan baik bahwa Ar-Rahman—yang manusia diciptakan atas citra Ar-Rahman tersebut—adalah asma Allah yang merupakan aspek dzahir-nya Dia Ta’ala, dan sama sekali bukan aspek batin-Nya yang sama sekali tak tersentuh, bahkan oleh angan dan pikiran manusia. Hal tersebut tergambarkan dengan sangat luar biasa dalam dua hadits berikut:

Kami menengok bersama-sama dengan Nabi Saw dan beliau menengok ke bulan—yakni bulan empat belas. Maka beliau Saw bersabda “Sesungguhnya kamu semua akan melihat Rabb-mu sebagaimana kamu melihat bulan ini. Kamu tidak akan berdesak-desak melihat-Nya, jika kamu sanggup tidak pernah kalah mengerjakan shalat Shubuh sebelum matahari terbit, dan shalat ‘Ashar sebelum matahari terbenam. Maka hendaklah kamu laksanakan. Kemudian beliau Saw membaca ayat “…dan bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam-(nya)” (QS Qaaf [50]: 39). (HR Bukhari)

Orang-orang berkata: “Ya Rasulullah, apakah kami dapat melihat Rabb kami di hari qiyamat?” Jawab Nabi Saw: “Apakah kamu membantah akan dapat melihat bulan purnama pada malam empat belas yang tidak berawan?” Jawab mereka: “Tidak, Ya Rasulullah.” Nabi Saw bertanya: “Apakah kamu membantah tentang dapatnya kamu melihat matahari di tengah hari yang tidak berawan?” Jawab mereka: “Tidak ya Rasulullah.” Maka sabda Nabi Saw: “Demikianlah, kalian akan dapat melihat-Nya [fa’innakum taraunahu kadzalik]. Pada hari kiamat itu akan dikumpulkan seluruh manusia. (HR Bukhari)

Bulan memiliki sisi terang yang senantiasa menghadap ke bumi. Selain berputar mengelilingi bumi, bulan juga memiliki sumbu putar pada dirinya sendiri namun perputaran tersebut terjadi sedemikian rupa sehingga yang menghadap ke bumi selalu hanyalah sisi bulan yang sama. Inilah yang mengakibatkan seakan-akan bulan senantiasa memiliki sisi gelap yang tak pernah menghadap ke bumi, dan diistilahkan sebagai synchronous rotation atau tidal locking dalam ilmu Astronomi.

image2

Itulah yang Rasulullah Saw maksudkan dengan “melihat Rabbmu sebagaimana kamu melihat bulan.” Sisi bulan yang terang dan senantiasa menghadap ke bumi itu melambangkan sisi Dzahir Dia Ta’ala, yaitu asma-Nya, af’al-Nya, shifaat-. Itulah jabatan dan peran-Nya di alam semesta ini yang dapat dikenali oleh makhluk-Nya yang Ia kehendaki. Sedangkan sisi bulan yang gelap, yang tak pernah menghadapkan wajahnya ke bumi itu melambangkan sisi bathin Dia Ta’ala. Itulah Dzaat-Nya. Mudahnya, itu adalah sesuatu yang tak mungkin dikenali ataupun dipikirkan oleh makhluk, sesuatu yang gelap tak tersentuh, sebagaimana dinyatakan dalam hadits “Janganlah mentafakuri Dzaat-Nya, tapi tafakurilah Asma-Nya dan nikmat-Nya.”

Perbedaan antara aspek dzahir dan bathin ini dapat pula diamati dalam penggunaan kata ganti orang pertama, kedua dan ketiga yang dinisbatkan kepada Allah di dalam ayat-ayat Al-Quran. Seumpamanya ada dua orang, dan hanya ada dua orang, sedang berbicara sambil berhadap-hadapan, maka dalam percakapannya biasanya digunakan kata ganti diri “Aku” dan “Engkau”. Kata ganti “Aku” dan “Engkau” yang dipergunakan dalam percakapan tersebut bisa merujuk kepada masing-masing dari kedua orang tersebut yang hadir dan tampak, dzahir dan teraba. Itulah yang menunjuk kepada sisi dzahir Allah, wajah bulan yang senantiasa menghadap ke bumi. Di sinilah Dia berperan sebagai Ilah, Malik atau Rabb dan lain sebagainya. Namun ketika muncul kata “Dia”, maka kata ganti tersebut tidaklah merujuk kepada salah satu dari kedua orang tersebut, namun merujuk kepada “Orang Ketiga” yang dibicarakan namun tidak tampak, tidak teraba. Itulah yang menunjuk kepada sisi bathin dari Dia Ta’ala, wajah bulan yang senantiasa membelakangi bumi. Itulah Dzaat Dia Ta’ala yang tidak mungkin manusia kenali dan lihat (‘Uluhiyyah).

Dalam kaitannya dengan proses penciptaan apa pun yang ada di alam semesta ini, kesemuanya menjiplak Asma Allah semampu yang bisa dijiplaknya. Tak ada sesuatu pun di alam semesta ini yang tidak menjiplak dan mencerminkan Asma Allah SWT, sebagaimana tidak ada satu pun karya manusia yang terlahirkan tanpa memiliki atau merujuk kepada sesuatu yang pernah ada di dunia ini. Namun dari semua yang tercipta di alam semesta ini, adalah manusia yang mampu untuk menjiplak kesemua Asma’ul Husna. Namun pada kenyataannya tidak semua manusia dapat menguraikan kembali dan mengejawantahkan Asma’ul Husna, yang diajari dengan Al-Qalaam.

Kaitan antara Asma-Asma Allah dengan alam semesta dapat diumpamakan seperti kaitan antara rumus fisika dan asosiasinya. Melihat rumus itu tak ubahnya melihat hakikat, ketika rumus-rumus lenyap maka yang tampil adalah alam semesta. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa ayat-ayat Allah itu terbagi menjadi dua, yaitu ayat Kauniyyah dan ayat Qur’aniyyah, dan Asma-Asma Allah (rumus-rumus Ilahiyyah) merupakan wasilah untuk menuju dan membuka tabir tentang Wajah-Nya. Yang dimaksud dengan mengenal Asma-Nya di sini bukanlah sekadar mengenal tanda-tandanya, rumusnya, tetapi melihat apa yang ada di balik tanda-tanda itu, yaitu alam semesta. Namun kebanyakan manusia ternyata terjebak atau terhijab pada rumus-rumusnya saja. Pendek kata, Asma-Asma tersebut merupakan kemungkinan-kemungkinan dari sifat Ilahi yang terkandung atau tersimpan di dalam alam semesta, sedangkan alam semesta merupakan tajali Ilahiyyah atau rumus-rumus yang menggambarkan tentang kanzun makhfiy. Itulah titik di bawah huruf Ba, alam semesta, “ayat-ayat di segenap ufuk” yang seharusnya dapat manusia uraikan dan manifestasikan; namun pada kenyataannya sangat sedikit manusia yang bisa mencapai hal tersebut.

Maka kembali lagi kepada permasalahan ma’rifat bahwasanya “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” merupakan hukumnya. Ma’rifatunnafs merupakan aspek tertinggi dan kesempurnaan dari Al-Insan, sedangkan Rubbubiyyah merupakan martabat terendah dari aspek dzahir Dia Ta’ala yang dapat dikenal oleh Al-Insan. Dengan ma’rifatunnafs-lah maka Al-Insan dapat menjadi saksi Allah yang benar (syuhada), mengerti dan menjalankan tujuan penciptaan dirinya; atau secara singkatnya adalah menemukan misi hidupnya.

Dalam QS Al-Baqarah [2]: 30 dinyatakan bahwa Allah hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Istilah ‘khalifah’ dimaknai sebagai ‘wakil’ atau ‘pengganti’ tapi tidak semata-mata pengganti, namun sebagai wakil Allah di muka bumi yang tentu saja harus bisa mewakili Allah. Jadi, secara simbolik, yang disebut sebagai khalifah itu adalah sesuatu yang mewakili; semakin ia mewakili maka semakin ia mirip dengan atribut Ilahiyyah, dan pada prinispnya semakin tinggi derajat khalifah itu. Khalifah seharusnya menjadi citra Ar-Rahman, dan sebaik-baik khalifah itu adalah yang merupakan bayangan Allah. Dan, sebagai khalifah Allah, manusia sebagai individu semuanya diberi-Nya amanah sebagaimana tertuang dalam QS Al-Ahzab [33]: 72 “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada segenap petala langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh Al-Insan. Sesungguhnya mereka itu amat zalim dan amat bodoh.” Setiap manusia itu pada dasarnya memikul amanah dan membawa amr masing-masing di muka bumi ini, namun dikarenakan kebodohannya mengenai dirinya sendiri (nafsnya) yang berarti juga kebodohan mengenai Rabbnya maka sangat sedikit sekali Al-Insaan yang berhasil memikul kembali amanah tersebut. Ihwal amanah tersebut dijelaskan lebih jauh dalam hadits berikut:

Pada suatu ketika Nabi saw sedang berbicara dengan orang banyak, tiba-tiba datang seorang Arab dusun menanyakan kepada beliau: “Bilakah datangnya sa’at?” Rasulullah tidak langsung menjawab, tetapi beliau meneruskan pembicaraannya dengan orang banyak. Karena sikap Rasulullah yang demikian itu, sementara orang mengatakan Rasulullah mendengar pertanyaan itu tetapi beliau tidak menyukainya. Dan setengah lagi mengatakan beliau tidak mendengarnya.

Setelah Rasulullah selesai berbicara beliau bertanya, “Di mana orang yang bertanya perkara sa’at tadi?” Orang itu menyahut, “Saya ya, Rasulullah!” Rasulullah bersabda “Apabila amanah telah disia-siakan orang, maka waspadalah terhadap datangnya sa’at.” Tanya orang itu, “Bagaimanakah cara disia-siakannya amanah?” Jawab Rasulullah, “Apabila suatu amr diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka waspadalah terhadap datangnya sa’at.”(HR Bukhari)

Terlihat bahwa perkara amanah dalam QS Al-Ahzab [33]: 72 dijelaskan dalam hadis memiliki keterkaitan dengan amr, ada pun perkara amr itu sendiri dalam Al-Qur‘an seringkali dikaitkan dengan ruh. Bahkan Al-Ghazali sendiri mengatakan bahwa “Ihwal QS Al-Isra’: 85 bahwa arti amri rabbi itu ialah termasuk rahasia ilmu mukasyafah dan tidaklah mudah melahirkannya. Karena tidak dilahirkan oleh Rasulullah Saw.”1—ini akan dijelaskan berikutnya. Perkara amr dan Ruh Al-Quds inilah yang nanti penting untuk memahami ma‘rifatunnafs dan akhirnya ma‘rifatullah. Ihwal misi hidup yang diamanahkan pada diri setiap individu tersebut dijelaskan juga dalam ayat Al-Quran dan hadits berikut:

“Sesungguhnya usaha kamu berbeda-beda. Ada pun orang yang berderma dan bertaqwa, dan membenarkan kebaikan, maka Kami menyiapkan baginya jalan yang mudah. Ada pun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan kebaikan, maka Kami menyiapkan baginya jalan yang sukar, dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (QS Al-Lail [92]: 4-11)

Seseorang bertanya: “Ya Rasulullah, adakah telah dikenal para penduduk surga dan para penduduk neraka?” Jawab Rasulullah Saw, “Ya!” Kemudian kembali ditanyakan, “Kalau begitu apalah gunanya lagi amal-amal orang yang beramal?” Beliau menjawab: “Masing-masing bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.” (HR Bukhari)

Seseorang bertanya: “Ya Rasulullah, apa dasarnya kerja orang yang bekerja?”. Beliau Saw menjawab, “Setiap orang dimudahkan mengerjakan apa yang Dia telah ciptakan untuk itu.” (HR. Bukhari)

Al-Ghazali menyatakan “Ketahuilah, bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main atau sembarangan. Ia diciptakan dengan sebaik-baiknya dan demi suatu tujuan agung.” Simak ilustrasi berikut. Misalkan ada sebuah benih yang ditanam di tanah subur, disirami, diberi pupuk, dipelihara hingga akhirnya tumbuh menjadi pohon. Setelah akarnya tertanam kuat, batangnya cukup besar, dan daunnya pun lebat, maka pohon tersebut kemudian berbuah ranum dan manis. Manusia pun dapat memetik buahnya dan memakannya, dan dinamailah pohon tersebut dengan nama buahnya. Apabila pohon tersebut berbuah mangga, tentunya tidak akan terpikir bahwa sebenarnya benih yang ditanam dulu adalah benih pohon nangka; demikian pula sebaliknya. Alam memperlihatkan serta mengajari ihwal kepatuhannya terhadap tujuan penciptaan yang telah Allah amrkan. Tidak pernah seekor anak ikan kemudian tumbuh menjadi burung, dan demikian pula sebaliknya. Namun, bagi manusia, hal tersebut sangat mungkin terjadi; tak ubahnya gelas yang tidak digunakan sebagai alat untuk minum melainkan menjadi asbak, suatu malfunction. Dalam kehidupan di dunia ini, manusia tak ubahnya seperti Jason Bourne (diperankan Matt Damon) dalam film Bourne Identity. Film tersebut berkisah tentang agen CIA yang menderita amnesia akut, dan berjuang untuk menemukan kembali ingatannya. Bourne tahu bahwa ia begitu cekatan bermain pisau, memiliki pengetahuan komplit soal senjata, jago berkelahi, tangkas kebut-kebutan, pandai bicara berbagai bahasa—yang bagi Marie (Franka Potente) dianggap sebagai skill-set yang “tidak wajar”—namun Bourne sadar ihwal satu hal penting yang tak ia ketahui, yaitu, siapa dirinya, identitas dirinya. Bourne pun berkata kepada Marie: “Now, Marie, how could I know all that and not know who I am?” Dan ketika akhirnya dia bertemu kembali dengan atasannya, dia pun bertanya “Who am I?” yang dijawab oleh atasannya “You’re U.S. Government property. You’re a malfunctioning-thirty-million-dollar-weapon.”

Gagasan ihwal misi hidup ini memang mudah diterima; bahwa setiap orang punya minat dan bakat spesifik, pijakan paling efektif dan efisien dalam rangka aktualisasi potensi dirinya seutuhnya. Gagasan yang bahkan terlalu sederhana dan biasa, mudah diterima dalam pikiran, namun mudah juga diabaikan dalam tindakan. Mudah diterima, karena gagasan ini indah—manusia terlahir dengan misi hidup tertentu dan dibekali bakat spesifik terkait misinya. Mudah juga diabaikan, karena diam-diam ternyata kita lebih percaya ilusi modernitas tentang kebebasan manusia, sehingga tak rela hidup terbelenggu determinasi innate disposition apa pun, termasuk minat dan bakat. “Aku bisa menjadi apa pun yang aku mau,” itulah konon esensi spirit kemanusiaan: perjuangan menolak pasrah pada kungkungan kadar diri. Salah satu gambaran (imagery) terindah gagasan tentang misi hidup—yakni tentang adanya satu (dan hanya satu) jalan hidup paling optimal—diperoleh dari salah satu prinsip alam semesta yang dikenal dalam bidang fisika teoretik sebagai prinsip aksi terkecil (the principle of least action).2 Dalam penjelasan Richard Feynman:

Ketika SMA, guru fisika saya—Mr. Bader—suatu hari seusai jam pelajaran memanggil saya, “Kamu kelihatan bosan; aku ingin mengajarimu sesuatu yang menarik.” Yang lantas dia ajarkan memang sangat menarik, dan sejak saat itu, selalu saya dapati sebagai hal yang senantiasa menarik […] Yang dia ajarkan adalah prinsip aksi terkecil. Mr. Bader bilang pada saya, “Misalkan kamu punya benda dalam pengaruh gravitasi yang bergerak bebas dari satu titik ke titik lain—kamu lempar, melambung sebentar, lantas jatuh bebas (Gambar 1). Benda itu bergerak dari titik awal (here) ke titik akhir (there) dalam waktu tertentu. Nah, sekarang kamu andaikan benda itu bergerak dalam lintasan gerak yang berbeda, dari titik awal (here) tiba di titik akhir (there) dalam waktu yang sama (Gambar 2).” Kemudian Mr. Bader mengatakan: “Jika kita hitung energi kinetik dikurang energi potensial pada setiap momen dalam lintasan gerak itu kemudian diambil integralnya terhadap waktu di sepanjang lintasan itu, maka akan kita dapati hasil yang selalu lebih besar ketimbang lintasan gerak yang sebenarnya ditempuh. Dengan kata lain, hukum Newton bisa dinyatakan tidak dalam bentuk F = ma, tapi dalam bentuk: integral selisih antara energi kinetik dengan energi potensial terkecil untuk lintasan gerak benda dari satu titik ke titik lain.”3

image3

Kenapa apel jatuh lurus menimpa kepala Isaac Newton—dan bukannya bergerak zig-zag kiri dan kanan lantas menghantam bagian samping wajahnya—dapat dinyatakan bukan saja karena ada gaya gravitasi yang menariknya tegak lurus ke bawah, namun juga karena apel itu memilih untuk menempuh lintasan dengan aksi (integral selisih energi kinetik dengan energi potensial) terkecil—kemungkinan lintasan lainnya selalu memiliki aksi lebih besar (fakta yang rasanya sudah jelas terang-benderang bagi sebagian besar kita, namun untungnya ada sebagian kecil di antara kita—yakni, para ilmuwan—yang dianugerahi kepekaan untuk memandang takjub pada fenomena ajaib ini). Ihwal misi hidup ini akan lebih jelas dipahami apabila dikaitkan juga dengan konsepsi struktur insan.

Bersambung…..

Catatan Kaki:

  1. Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali, Jilid 5, diterjemahkan oleh Prof. Tk. H. Ismai Yakub, SH, MA., C.V. Faizan: Jakarta Selatan, cetakan ketiga, 1983, hlm. 261.
  2. Untuk alasan generalisasi, prinsip ini lebih tepat disebut prinsip aksi stasioner, atau dalam bidang matematika juga biasa disebut prinsip Hamilton (karena ternyata solusi stasioner tidak selalu menghasilkan nilai minimum). Istilah prinsip aksi terkecil muncul pada abad ke-18 di kalangan ilmuwan dan matematikawan yang meyakini adanya semacam prinsip “ekonomis” yang mengatur alam semesta. Istilah ini populer kembali pada abad ke-20, khususnya melalui kuliah-kuliah fisika dasar Richard Feynman yang fenomenal.
  3. Richard P. Feynman, The Feynman Lectures on Physics: Volume 2: Mainly Electromagnetics and Matter, Basic Books: London, 1964, bab 19, hlm. 19-1 s.d. 19-2.