Semua tulisan dari Alto Makmuralto

Bergiat sebagai penulis, aktivis, dan entrepreneur. Ketua Umum PB HMI (MPO) tahun 2011-2013

Lompatan Besar Gerakan Literasi Bantaeng

Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah kecil itu menjadi kian besar sehingga di sejumlah desa muncul perpustakaan-perpustakaan, baik yang dikelola pemerintah maupun oleh komunitas-komunitas literasi.

Gerakan literasi di Bantaeng tidak sekadar aktivitas baca buku. Ketika di daerah lain gerakan literasi baru pada fase membaca buku, maka di Bantaeng sudah masuk pada fase menulis dan menerbitkan buku secara rutin. Ini tentu saja sangat istimewa, mengingat Bantaeng merupakan kabupaten kecil yang jaraknya cukup jauh dari ibu kota provinsi, serta boleh dikata tidak punya perguruan tinggi. Istimewanya lagi, para penulis yang terlibat di situ sebagiannya adalah orang desa dan berpendidikan menengah.

Sulhan Yusuf si Laba-laba Literasi Bantaeng

Membicarakan gerakan literasi di Bantaeng tentu saja tidak lepas dari sosok Sulhan Yusuf. Kendati Sulhan bukan pelaku tunggal, namun dialah tokoh penting di balik gerakan literasi Bantaeng yang dahsyat itu. Sulhan tidak sekadar pemain di lapangan, tetapi dia juga berperan sebagai dirigen yang mengorkestrasi gerakan ini. Dia laba-laba literasi Bantaeng yang menjalin ikatan di antara para pihak, baik kalangan pegiat literasi itu sendiri, kelompok pemuda, ormas keagamaan, NGO, dan juga pemerintah daerah, sehingga gerakan ini membentuk jaringan kerja yang kuat dan harmonis. Sulhan sendiri tak mau mengklaim kemajuan gerakan literasi Bantaeng sebagai hasil keringatnya seorang diri. Ia selalu menyebut bahwa semua itu merupakan kerja-kerja kolektif banyak pihak.

Sulhan bisa bekerja efektif dan bisa diterima semua pihak, lantaran ia menjaga diri untuk tetap menjadi orang biasa dan sudah jauh-jauh hari menggunting urat syahwatnya untuk menjadikan gerakan literasi ini sebagai batu loncatan, misalnya menjadi pejabat pemerintah. Ia sama sekali tak punya agenda untuk katakanlah jadi kades, anggota dewan, komisioner lembaga negara, apalagi jadi bupati, kendati godaan dan ajakan untuk itu selalu datang. Ia tetap berdiri tegar di luar pagar, walaupun potensi dan bakatnya untuk masuk ke dalam sana sangatlah besar, terutama mengingat bahwa Sulhan merupakan mantan aktivis mahasiswa garda depan, bukan aktivis kaleng-kaleng, baik di intra-kampus maupun di HMI.

Boetta Ilmoe sebagai Pusat Gravitasi

Untuk mengonsolidasikan gerakan literasinya, Sulhan dan kawan-kawan mendirikan komunitas bernama “Boetta Ilmoe”, pada 01 Maret 2010. Boetta Ilmoe dikelola secara cair, struktur kelembagaannya juga cair, tanpa akta notaris lembaga maupun kongres segala macam. Boetta Ilmoe boleh dikata OTB alias organisasi tanpa bentuk. Boetta Ilmoe inilah yang menjadi pusat gravitasi gerakan literasi di Bantaeng. Boetta Ilmoe berjejaring dengan komunitas-komunitas literasi di seantero Bantaeng, hingga ke desa-desa nun jauh. Boetta Ilmoe menempatkan komunitas-komunitas literasi bukan sebagai binaan apalagi bawahan, melainkan sebagai mitra sejajar dan kawan pergerakan.

Perpustakaan yang dikelola Boetta Ilmoe, kini tidak lagi berfungsi sebagai perpustakaan sebagaimana pada umumnya, melainkan sudah menjelma menjadi “bank buku”. Buku-buku koleksi Boetta Ilmoe bebas dipinjam oleh komunitas-komunitas literasi Bantaeng selama masa tertentu, dan dilakukan secara bergilir; yakni buku-buku itu dipergilirkan dari satu komunitas ke komunitas lain secara periodik. Layaknya bank, Boetta Ilmoe menghimpun buku-buku, baik yang dibeli sendiri maupun buku hibah dari masyarakat, lalu buku-buku itu dipinjamkan ke rumah-rumah baca atau lapak-lapak baca di Bantaeng.

Perda Literasi dan Masyarakat Literasi Bantaeng

Kemajuan yang tak kalah penting dari gerakan literasi di Bantaeng adalah terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Bantaeng Nomor 5 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Gerakan Literasi di Daerah. Perda literasi ini lahir berkat gotong royong dan kesepahaman bersama semua pihak, terutama antara pegiat literasi, Pemda Bantaeng, dan DPRD Bantaeng. Kendati gerakan literasi di Bantaeng merupakan gerakan yang bersifat kultural, juga mandiri dan independen, namun peran Pemda khususnya Bupati Bantaeng Ilham Azikin tidak bisa dianggap kecil. Ilham Azikin sangat giat mendatangi forum-forum atau kegiatan literasi. Ia juga selalu mudah dimintai menuliskan kata pengantar untuk buku-buku yang diterbitkan pegiat literasi Bantaeng. Dan istimewanya karena kata-kata pengantar itu ia tulis sendiri, bukan ditulis oleh stafnya.

Perda Literasi Bantaeng adalah suatu lompatan besar yang merupakan kelanjutan dari langkah-langkah gerakan literasi sebelumnya. Namun yang terpenting dari Perda Literasi ini tentu saja bukan sekadar apa yang tertulis di dalam tiap bab, pasal, dan ayat-ayatnya, melainkan apakah perda tersebut benar-benar fungsional alias menjadi langkah nyata di lapangan. Apapun itu, Perda Literasi ini telah membuka pintu gerbang yang selebar-lebarnya bagi cita-cita besar para pegiat literasi di Bantaeng, yaitu terwujudnya apa yang mereka namakan sebagai “masyarakat literasi Bantaeng”, saat ketika literasi sudah menjadi—meminjam Ilham Azikin—gaya hidup masyarakat Bantaeng. []

Di Balik Bubarnya FPI

Front Pembela Islam (FPI) dideklarasikan pada 17 Agustus 1998, beberapa bulan setelah Orde Baru tumbang. Puncak kejayaan FPI ialah ketika berhasil memobilisasi lautan massa dalam aksi 212 pada 2 Desember 2016, menuntut dijatuhkannya hukuman kepada Gubernur Ahok atas sangkaan penistaan agama. Berkat aksi 212 itu pimpinan FPI, Muhammad Rizieq Shihab, diglorifikasi sedemikian rupa sebagai imam besar umat Islam Indonesia, bukan lagi sekadar imam besar FPI. Kendati tampak berpengaruh, namun entah kenapa Rizieq Shihab tak kunjung bertengger dalam daftar tokoh muslim berpengaruh di dunia yang saban tahun diumumkan The Royal Islamic Strategic Studies Centre yang berbasis di Yordania.

FPI dikenal sering bertindak selaku polisi moral jalanan: kerap mendatangi tempat maksiat lalu mengobrak-abriknya;juga menandangi warung yang buka siang hari bulan Ramadan lantas mengacak-acaknya. Tidak sedikit orang yang senang dengan aksi jalanan FPI itu dan menyebut FPI pahlawan pemberantas kemaksiatan. FPI dijuluki pula pahlawan pembasmi kesesatan setelah organisasi ini melancarkan aksi jalanan terhadap aliran non-mainstream semacam Ahmadiyah. Kendati dipahlawankan pengikut dan simpatisannya, perilaku brutal FPI dalam aksi-aksi jalanannya itu juga mengundang antipati yang tak kalah kerasnya seiring mulai speak up-nya kalangan Islam moderat yang sesungguhnya mayoritas namun selama ini diam (silent majority).

FPI bubar terutama bukan karena pemerintah punya nyali luar biasa menerbitkan SKB pelarangan kegiatan FPI, melainkan karena pada saat ini FPI tengah berada pada posisi paling lemah semenjak pertama kali ia didirikan 22 tahun silam. Secara teknis FPI lemah karena:(1) TNI-Polri solid satu sikap, (2) backing politik dan finansial FPI sukses dijinakkan, (3) FPI cukup terpojok oleh sentimen negatif publik atas pelanggaran protokol Covid-19, (4) FPI cenderung tiarap setelah enam pasukannya tewas ditembak, dan (5) pimpinan tertinggi FPI berada dalam tahanan setelah sebelumnya bertahun-tahun hidup dalam pengasingan.

Pasca-sukses aksi 212, FPI bak menjelma menjadi kekuatan raksasa dalam perpolitikan nasional. Hal demikian mendorong FPI kian percaya diri. Karenanya, mereka cenderung tak ambil pusing ketika bekas rekan koalisinya satu per satu menempuh jalan berbeda (karena banyak faktor). FPI juga tak punya lagi simpatisan rahasia ataukah aktor bermuka ganda di lingkungan istana. Menkopolhukam Mahfud MD—juga Wapres Ma’ruf Amin—sebenarnya bisa menjadi jembatan komunikasi FPI dengan pemerintah, namun tawaran dialog di tempat netral yang diajukan Mahfud MD malah dijawab FPI dengan permintaan syarat yang nyaris mustahil dipenuhi istana, misalnya pembebasan narapidana teroris tertentu.

FPI pada dasarnya bisa tetap aman andai kata mereka tetap menjaga kedekatan dengan Menhan Prabowo Subianto. Namun watak FPI yang revolusioner dan meledak-ledak tentu sulit berdamai dengan itu. Kekuatan politik Prabowo beserta Partai Gerindra sebagai penyokong strategis bagi FPI dalam beberapa tahun terakhir sudah barang tentu tak bakal tergantikan (dengan kemampuan setara) oleh kekuatan lain seperti katakanlah Keluarga Cendana ditambah PKS dan KAMI. Kontak belakang layar FPI dengan aktor strategis di tubuh TNI-Polri juga boleh dikata tak bertenaga lagi. Pos-pos penting di Kepolisian banyak diisi personel Polri yang pernah bertugas menangani terorisme. Artinya, secara ideologis mereka punya sentimen negatif yang keras terhadap kelompok Islam radikal. Adapun jabatan Panglima TNI diduduki jenderal Angkatan Udara. Kita tahu kalangan Angkatan Udara relatif bersih atau sangat minim persentuhannya dengan FPI.

Secara prinsipil FPI merupakan kelompok politik, yang dalam hal ini mengusung islamisme sebagai ideologi politiknya. FPI punya kemiripan dengan HTI yang juga merupakan kelompok politik, kendati keduanya berbeda gaya. Video ceramah, liputan aksi, dan pemberitaan mengenai FPI yang berseliweran di jagat maya lebih didominasi oleh isu-isu murni politik atau yang beraroma politik. FPI sendiri lahir dari dinamika kepentingan politik pasca-Orde Baru, besar melambung oleh aksi politik 212, dan akhirnya tamat dalam pertarungan politik yang gagal dimenangkannya. Terbitnya SKB larangan kegiatan FPI yang kelihatannya tiba-tiba, sepertinya digesa pula oleh pertimbangan momentum politik, yaitu adanya interval waktu yang cukup berjarak dengan momentum politik elektoral di tahun 2022 (kemungkinan Pilkada DKI Jakarta) dan tahun 2024 (Pemilu/Pilpres). Itu berarti di tahun 2020 ini FPI relatif sendirian, sedang tidak berada di tengah-tengah kawanan, sebab kekuatan politik biasanya baru merapat kepada FPI menjelang dan saat tahun politik.

Walau sarat terlibat dengan gerakan politik, juga dikenal gemar memersekusi, FPI punya wajah lain yang manusiawi sebagai pahlawan bencana. Di hampir setiap bencana alam di Tanah Air, pasukan FPI selalu hadir melakukan evakuasi dan membantu korban. Kisah kepahlawanan FPI yang paling dikenang ialah keterlibatan mereka dalam mengevakuasi korban Tsunami Aceh tahun 2004, dan semua pihak mengakui dan mengapresiasi hal itu. Oleh karenanya patut disyukuri bahwa sepanjang hayatnya setidak-tidaknya FPI pernah berbuat baik bagi bangsa, negara, dan kemanusiaan. Adapun limbah pekat yang ditinggalkannya semoga tak mencemari masa depan negeri ini.

 

Foto: https://jogja.tribunnews.com/2020/12/10/rizieq-shihab-tersangka-kerumunan-massa-di-petamburan-ini-daftar-tersangka-lain-dan-tanggapan-fpi

Menyelamatkan HMI Penyelamat

 

Sungguh sedih dan malu rasanya mendapati kenyataan bahwa kini telah lahir kubu sempalan HMI-MPO yang dipelopori oleh setidaknya tiga cabang utama, yaitu Cabang Jakarta, Cabang Jakarta Selatan, dan Cabang Kendari. Kubu sempalan ini lahir dari kekecewaan karena kandidat yang mereka jagokan tidak berhasil memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan formatur/ketua umum PB HMI-MPO pada Kongres ke-32 di Kendari pada bulan Maret 2020 yang lalu—terlebih sang kandidat juga gagal membujuk formatur untuk menunjuknya sebagai Sekretaris Jenderal. Lebih sedih dan malu lagi rasanya lantaran kubu sempalan ini langsung merapat kepada rezim yang berkuasa, sebagaimana bisa kita cermati pada pernyataan kubu ini yang mengecam deklarasi KAMI yang digawangi Din Syamsuddin cs. Saya sendiri tak tertarik dengan gerakan KAMI, tapi menurut saya di negara demokrasi kelompok oposisi semacam KAMI perlu diberi ruang sepanjang mereka tidak melakukan tindak kekerasan dan upaya makar. Tapi kubu sempalan HMI-MPO ini tampak pasang badan membela rezim yang berkuasa dari kelompok oposan; persis seperti yang dilakukan parpol atau ormas yang pecah di mana salah satu pecahannya akan segera merapat dan cari muka kepada kekuasaan untuk mendapat perlindungan, juga fasilitas.

Setelah mengorek keterangan dari sejumlah peserta Kongres ke-32, dari kedua kubu, juga setelah membaca kembali Konstitusi HMI-MPO, maka saya berkesimpulan bahwa terpilihnya Sdr. Affandi Ismail sebagai formatur/ketua umum PB HMI-MPO adalah sah alias konstitusional. Kesimpulan yang sama juga diyakini oleh mayoritas cabang-cabang HMI-MPO se-Indonesia, sepanjang yang saya ketahui. Klaim kubu sempalan yang digawangi Sdr. Ahmad Latupono yang menyebut memperoleh 50%+1 dukungan cabang-cabang se-Indonesia, sejauh ini tidak bisa dibuktikan secara formal administratif. Jika klaim itu benar, mestinya kubu Latupono menunjukkan surat resmi dari cabang-cabang sejumlah 50%+1 tersebut untuk meyakinkan publik HMI-MPO; dan untuk selanjutnya dapat menggelar Kongres Luar Biasa guna mengoreksi keputusan Kongres ke-32.

Saya termasuk warga HMI-MPO yang cukup kecewa dengan terpilihnya Affandi Ismail, sebab menurut saya yang bersangkutan tidak memiliki kualifikasi atau portofolio yang memadai untuk memimpin PB HMI-MPO. Sikap itu telah saya utarakan dalam artikel yang berjudul “HMI-MPO yang Mulai Tercemar dan Tersusupi” terbitan Kalaliterasi.com yang sudah dibaca luas oleh publik HMI-MPO. Hingga kini, sikap saya tersebut belum berubah—dan karenanya tak perlu saya bahas lagi. Kendati saya kecewa dan menyesalkan terpilihnya Affandi Ismail, saya tetap berpandangan bahwa Sdr. Affandi sah sebagai Ketum. Bahwa Affandi Ismail disebut tidak memenuhi salah satu persyaratan, maka tetap saja ia sah sebagai formatur/ketua umum, sebab sudah ditetapkan di dalam forum Kongres dengan ketukan palu pimpinan sidang atas persetujuan mayoritas peserta Kongres (kuorum). Kubu sempalan berpendapat bahwa Latupono ditetapkan dan dilantik oleh forum Kongres yang sama sesaat setelah penetapan Affandi Ismail. Yang masalah, kubu Latupono tidak bisa menunjukkan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara konstitusional bahwa penetapan Latupono sebagai formatur tersebut dilakukan setelah digelar sidang yang mengoreksi ketetapan sebelumnya (yaitu penetapan Affandi Ismail sebagai formatur) yang disetujui oleh 50%+1 peserta Kongres. Jika kubu Latupono bisa menunjukkan bukti baik berupa dokumen konsiderans persidangan, daftar hadir peserta yang memenuhi kuorum, dlsb, mengenai persidangan yang menetapkan Sdr. Latupono sebagai formatur, maka tentu kubu Latupono-lah yang sah dan benar.

Publik HMI-MPO, juga pihak eksternal, sesungguhnya tidak sedikit yang bingung dengan duduk perkara polarisasi PB HMI-MPO itu. Kebingungan tersebut menjadi berlarut-larut karena tidak ada penjelasan yang memadai dan jernih tentang perkara ini, terutama dari PB HMI-MPO dan para peserta Kongres ke-32. Kedua kubu, baik yang pro Kongres maupun pro Latupono, hanya berdebat kusir di media sosial, saling mengumpat dan mencaci maki, baik dengan menggunakan akun asli maupun akun palsu. Dan apa yang mereka lakukan itu setidaknya menunjukkan tiga hal: (1) keterbelakangan intelektual, (2) kebobrokan etika, dan (3) sikap kekanak-kanakan.

Tiga Krisis

Dalam amatan saya, di usianya yang sudah lebih dari tiga dekade, HMI-MPO secara nasional justru dihadapkan pada persoalan elementer tapi signifikan: degradasi akhlak (etika). Sebenarnya saya agak sungkan bicara apalagi menilai soal akhlak, utamanya akhlak orang lain, lantaran akhlak saya sendiri tidaklah bagus benar. Perilaku buruk yang saya lakukan sudah banyak diketahui orang, namun tentunya lebih banyak lagi yang orang lain tak ketahui. Tapi saya harus jujur mengatakan soal ini (agar kita bisa memikirkan dan menyelesaikannya bersama). Indikasi kuat adanya politik uang oleh kandidat ketua umum PB (utamanya di Kongres ke-32), tergodanya sejumlah peserta Kongres oleh gratifikasi, umpatan dan caci maki di media sosial, pelibatan preman dalam forum Konfercab/Musbadko di cabang-cabang tertentu, serta sikap oportunistis elite pengurus HMI-MPO adalah sedikit dari banyaknya masalah yang terkait dengan aspek etika ini.

Dewasa ini HMI-MPO setidaknya mengalami tiga krisis: (1) krisis intelektual, (2) krisis spiritual, dan (3) krisis etika. Krisis intelektual ditandai dengan fakirnya tradisi literasi serta sunyinya HMI-MPO dari diskursus wacana pemikiran yang berat. Tradisi penerbitan jurnal/buku yang bermutu, penulisan artikel di koran/media, diskusi dan silang pendapat terkait pemikiran tertentu, sudah cukup lama hilang dari HMI-MPO. Krisis spiritual ditandai dengan penghayatan atas ajaran Islam yang begitu lemah, termasuk dalam aspek ritual. Sekitar tahun 2013, dalam forum Pleno III PB HMI-MPO yang dihadiri oleh hampir semua pimpinan cabang se-Indonesia, saya sempat mencak-mencak di dalam forum gara-gara hanya sekitar 10% peserta forum yang bangun salat Subuh, dan selebihnya rata-rata baru bangun sekitar pukul delapan pagi (dan tidak salat), yang membuat agenda persidangan menjadi molor. Waktu saya mencak-mencak itu, hanya 2 orang yang tunjuk tangan mengaku bahwa ia salat Subuh walau terlambat, dan selebihnya diam seribu bahasa. Kalau elite-elite cabang yang hadir ketika itu saja (ketum, sekum, kabid), tidak patuh melaksanakan salat ya gimana dengan angota-anggotanya di cabang dan komisariat? Ketika saya berkunjung ke cabang-cabang atau menghadiri forum-forum nasional HMI-MPO (saat menjabat Ketum PB) perkara salat ini selalu saya perhatikan diam-diam, tapi malu sekali rasanya saya untuk menuliskannya lebih detail di sini. Kalau untuk perkara salat fardu saja sudah bermasalah, tentu kita tidak perlu lagi bertanya soal ritual-ritual sunah seperti tahajud, puasa Daud, mengaji, dlsb, baik itu di forum-forum, sekretariat, maupun di training-training HMI-MPO—sesuatu yang dulu begitu mentradisi di HMI-MPO.

Sementara itu, krisis etika ditandai dengan terdegradasinya aspek adab, sopan santun, integritas, dan yang terkait dengan relasi ikhwan-akhwat dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan HMI-MPO. Fenomena gratifikasi di Kongres ke-32 yang lalu menunjukkan bahwa etika politik sudah diabaikan, dianggap tidak penting. Sejumlah peserta Kongres yang mudah dibeli menggambarkan integritas mereka yang sudah bangkrut. Contoh lain terkait etika ialah aksi saling serang di media sosial antara dua kubu terkait hasil Kongres. Bila saja saling serang itu melibatkan argumentasi yang cerdas dan berbobot (intelektuil), tentu akan sangat membanggakan. Tapi yang terjadi justru pelibatan kata-kata dan informasi sampah dalam silang sengketa itu. Celakanya lagi, tidak sedikit kader-kader baru (yang usia keanggotaannya masih seumur jagung—itupun kalau dia aktif), tapi berlaku sangat agresif menggunakan diksi tak terpelajar, menyerang seniornya atau alumni yang coba memberinya nasihat. Pertimbangan dan nasihat dari para senior dianggapnya sebagai intervensi, bahkan dicemooh sebagai “pengajian”. Sungguh kader celaka!

Kelembagaan yang Keropos

Dari segi fasilitas dan jumlah cabang, HMI-MPO saat ini sudah terbilang luar biasa jika dibanding era-era sebelumnya. Tahun 2011 PB HMI-MPO memiliki sekretariat permanen di Jakarta setelah 25 tahun menjadi “kontraktor”. Cabang-cabang baru tumbuh di Sumatera dan Indonesia Timur. Setidaknya dua aspek itulah yang cukup menonjol dari perkembangan HMI-MPO dewasa ini. Namun sekretariat permanen PB itu diawali dengan sengketa dan kegaduhan, di mana saya juga terlibat di dalamnya. Cabang-cabang baru memang bermunculan, tetapi cabang-cabang tua yang memiliki sejarah panjang justru mengalami kemunduran signifikan seperti yang dialami saat ini oleh Cabang Jakarta, Cabang Semarang, Cabang Purwokerto, Cabang Yogyakarta, Cabang Makassar, dan Cabang Palu. Di cabang-cabang tua itu jumlah kader merosot tajam dari waktu ke waktu berbarengan dengan merosotnya tradisi intelektual dan spiritual di cabang-cabang tersebut.

Pelaksanaan Basic Training (LK I) di sejumlah cabang terpaksa dilakukan dengan prosedur darurat, sebab mereka tak punya SDM yang memadai untuk mengelola training paling dasar sekalipun. Pemandu kurang, pemateri langka. Yang terpaksa diturunkan adalah pemandu dan pemateri yang miskin jam terbang dan bermutu pas-pasan bahkan kurang. LK I dicukur habis-habisan muatan kegiatannya, sementara follow-up lepasan LK I tak pernah dijalankan dengan konsisten. Di banyak pelaksanaan LK I, kegiatan ekstra seperti puasa sunah, salat tahajud, kultum, mengaji Al-Quran, dlsb, dihilangkan dengan berbagai macam alasan, tapi utamanya lantaran para pemandu tidak mampu menanganinya karena faktor kapasitas, juga kemalasan. Apa yang tercantum dengan sangat bagus di Pedoman Perkaderan HMI tak lagi benar-benar dijalankan.

PB HMI punya data tahun 2013 tentang peta kekuatan kelembagaan HMI-MPO se-Indonesia. Data itu kami kumpulkan selama kepengurusan periode 2011-2013, yang di dalamnya tercantum dengan rinci: jumlah cabang, jumlah anggota tiap-tiap cabang, serta data kelembagaan cabang seperti Korkom, KPC, Kohati, dan lembaga kekaryaan. Data itu tercantum dalam LPJ PB HMI-MPO periode kami. Saya tidak tahu apakah PB HMI berikutnya memperbarui data tersebut atau tidak. Namun demikian, besar dugaan saya kekuatan riil HMI-MPO dewasa ini mengalami kemerosotan dibanding periode sebelumnya. Dari data 2013 itu, cabang yang memiliki Korkom, KPC, Kohati, dan lembaga kekaryaan jumlahnya sangat kecil, bisa dihitung jari. Kalau KPC saja tidak dimiliki oleh sebuah cabang, maka bagaimana bisa kita mengharapkan LK-LK dilakukan secara memadai? Dalam sejumlah kasus, beberapa cabang malah menurunkan kader non-SC sebagai pemandu dan pemateri LK I. Kohati juga sama: beberapa cabang membentuk lembaga Kohati padahal anggota-anggotanya tidak pernah mengikuti Penataran Kohati atau Latihan Khusus Kohati. Mereka merasa bahwa setiap anggota putri HMI otomatis menjadi anggota Kohati, padahal sejatinya tidak demikian. Lemahnya kapasitas personel, peran, dan kelembagaan Kohati di cabang-cabang menyebabkan institusi Cabang melemah pula. Kenapa? Selain berfungsi sebagai pemasok SDM, Kohati juga sangat bisa diandalkan menjaga integritas dan independensi Cabang.

Badko sebagai ujung tombak pembinaan teritorial cabang-cabang HMI kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Badko malah acap kali ikut-ikutan menangani masalah politik-lokal di wilayahnya, padahal sejatinya Badko hanya mengurusi aspek internal organisasi. Tugas pokok Badko ialah melakukan pembentukan dan pembinaan cabang-cabang di wilayah kerjanya. Badkolah yang bertanggung jawab atas kondisi kesehatan cabang-cabang. Itulah kenapa kader yang ditunjuk sebagai pimpinan dan pengurus Badko mestilah pengader senior cabang yang memiliki jiwa dan dedikasi yang tinggi pada perkaderan, bukan mereka yang punya jiwa politik yang bergelora. Sementara itu, PB HMI kurang bisa kita andalkan berjibaku mengatasi kesehatan cabang-cabang yang kian merosot, sebab dalam logika Konstitusi saat ini: (1) PB sebatas pengambil kebijakan (regulator), bukan eksekutor lapangan secara teknis, (2) peran pembinaan cabang sudah didelegasikan kepada Badko, dan (3) PB didorong untuk lebih banyak berperan secara eksternal.

Masalah di Seputar Kongres

Benih polarisasi PB HMI-MPO muncul dari forum Kongres ke-32 yang sesungguhnya terbilang sukses dalam hal seremoni dan teknis penyelenggaraan. Kongres ke-32 boleh dikata sangat monumental, sebab di Kongres ini hadir Pj. Ketua Umum PB HMI (Dipo) dan mantan Ketum PB HMI (Dipo) lainnya, termasuk hadir pula Harry Azhar Azis (mantan Ketum PB HMI yang terkait dengan peristiwa di sekitar gejolak asas tunggal). Lebih dari separuh mantan Ketum PB HMI-MPO hadir—kehadiran mantan Ketum terbanyak dibanding Kongres-Kongres sebelumnya. Namun demikian, patut disayangkan bahwa Kongres ke-32 memiliki catatan buruk dalam aspek integritas, yang di kemudian hari memicu lahirnya polarisasi. Problematika seputar bobot dan tertib-konstitusi pada Kongres HMI-MPO belakangan ini sesungguhnya disebabkan oleh perangkat (keras dan lunak) Kongres yang bermasalah hampir secara keseluruhan, sebagai berikut:

Pertama, tidak ada lagi tradisi di mana SC Kongres mengirim draf materi pembahasan dalam Kongres sebulan/dua bulan sebelum hari-H Kongres kepada cabang-cabang. Di era sebelumnya, cabang-cabang HMI-MPO mendiskusikan dan memperdebatkan isi draf dari SC Kongres tersebut sebelum mereka berangkat ke Kongres; dengan demikian, mereka mengikuti Kongres tidak dengan kepala kosong. Diskusi mengenai draf Kongres tersebut biasanya mengundang para pengader senior atau alumni cabang yang dianggap paham Konstitusi dan punya gagasan yang bernas. Belakangan, draf Kongres baru didapatkan oleh cabang-cabang ketika sidang pleno di dalam Kongres, sehingga mereka tidak punya waktu yang cukup memikirkannya secara lebih jernih.

Kedua, di era yang lalu, cabang-cabang sangat selektif memberikan mandat kepesertaan Kongres, baik untuk peserta penuh/utusan maupun peserta peninjau. Peserta penuh yang diberi mandat oleh masing-masing cabang adalah presidium cabang dan pemandu senior di cabangnya. Peserta penuh yang berkualifikasi namun tidak memiliki dana pribadi untuk perjalanan, akan disubsidi oleh cabang supaya mereka tidak punya alasan untuk tidak menghadiri Kongres. Belakangan, mandat kepesertaan Kongres diberikan secara serampangan; yang hanya lepasan LK I (tapi punya dana pribadi untuk perjalanan) pun diberikan mandat demi memenuhi kuota kepesertaan. Keserampangan mandat utusan ini juga disebabkan oleh kurangnya anggota cabang yang memenuhi kualifikasi ideal (pemandu senior sekaligus presidium cabang) sebagai peserta penuh.

Ketiga, di masa lalu, PB HMI-MPO sangat tertib memberlakukan penstatusan cabang, yakni cabang penuh dan cabang persiapan. Di dalam Kongres, hanya cabang penuh yang diberi hak mengutus peserta penuh dan peserta peninjau; sementara cabang persiapan cukup mengutus peserta peninjau. Cabang persiapan tidak memiliki hak suara di dalam Kongres, baik untuk menilai LPJ PB HMI, mengusulkan/memilih formatur, dlsb. Belakangan, tak ada lagi klasifikasi yang ketat dari PB HMI mengenai cabang penuh dan cabang persiapan. Terkadang sebuah cabang-baru agak terburu-buru dinaikkan statusnya dari cabang persiapan menjadi cabang penuh, sementara kapasitas perkaderan dan kelembagaan cabang tersebut belum siap. Tiadanya disiplin penstatusan cabang membuat cabang yang baru dibentuk beberapa bulan saja sudah ikut memiliki hak suara di dalam Kongres. Ada sementara kandidat Ketum PB bahkan yang mendorong pembentukan cabang-cabang baru karbitan ini semata-mata untuk ia manfaatkan hak suara cabang tersebut guna memperoleh suara pada sidang pleno pemilihan formatur.

Keempat, penunjukan tuan rumah Kongres mulai didasari pada pertimbangan teknis dan politis an sich, bukan pertimbangan kelembagaan. Elite pengurus PB/Badko/Cabang yang mengincar posisi strategis seperti Ketum atau Sekjen, mendorong agar tuan rumah Kongres adalah cabang/wilayah yang memudahkan langkahnya untuk mencapai tujuan politisnya. Dalam hal pertimbangan teknis, tuan rumah ditunjuk hanya sekadar karena alasan kesiapan/kesanggupan pendanaan dan kepanitiaan, tanpa melihat kapasitas kelembagaan sang tuan rumah. Kesiapan/kesanggupan pendanaan dan kepanitiaan memang urgen, tapi kapasitas kelembagaan cabang tuan rumah jauh lebih urgen. Contoh yang paling mutakhir adalah penunjukan HMI Cabang Kendari sebagai tuan rumah Kongres ke-32. Secara teknis (pendanaan dan kepanitiaan), Cabang Kendari memenuhi kualifikasi tersebut; tapi apakah secara kelembagaan Cabang Kendari juga berkualifikasi? Faktanya HMI Cabang Kendari sukses menyelenggarakan Kongres ke-32 secara teknis, tapi belakangan elite HMI Cabang Kendari (Ketum Cabang dan Ketua Badko) justru berada di garis depan menolak hasil Kongres khususnya hasil pemilihan formatur. HMI Cabang Kendari menampar dan mempermalukan dirinya sendiri; padahal mestinya dialah (selaku tuan rumah) yang pasang badan membela mati-matian hasil Kongres yang sah, bukannya malah turut memelopori pengingkaran atas hasil Kongres, hanya gegara kandidat yang dibelanya gagal terpilih. Sungguh ironis!

Dalam Pedoman Struktur HMI-MPO, terdapat identifikasi kesehatan Cabang yang dibagi atas lima tingkatan, yaitu: (1) Awas, (2) Bina, (3) Sehat, (4) Kuat, dan (5) Mapan. Data mengenai identifikasi tersebut harus dimiliki oleh Badko dan PB HMI. Idealnya, cabang yang ditunjuk sebagai tuan rumah Kongres adalah Cabang kategori mapan, atau minimal kategori kuat; di bawah itu tidak layak ditunjuk sebagai tuan rumah Kongres. Cabang kategori mapan akan sangat mandiri, dan karena itu PB HMI tidak perlu banyak melakukan bimbingan dalam hal teknis penyelenggaraan Kongres. Pengalaman selama ini, Cabang kategori mapan jika ditunjuk sebagai tuan rumah Kongres akan menunjukkan sikap yang dewasa dalam menilai hasil Kongres, sekalipun hasil Kongres tidak selalu menguntungkan mereka secara politis. Tapi hal itu akan berbeda dengan penunjukan tuan rumah Kongres kepada Cabang tidak mapan.

Kelima, fenomena “mencalonkan diri” untuk menjadi Ketum baru tren dalam 15 tahunan terakhir di HMI-MPO, baik di Kongres apalagi di Musbadko, Konfercab, dan RAK. Di masa lalu, Ketum di struktur pimpinan HMI-MPO selalu “dicalonkan”—mereka menjadi Ketum karena terpaksa ataukah dipaksa, bukan karena menawarkan diri. Mencalonkan diri dan dicalonkan adalah dua hal yang beda: yang pertama si calon aktif, yang kedua si calon pasif. Makin ke sini jabatan Ketum rupanya makin berharga; sekaligus menandakan bahwa HMI-MPO sudah cukup besar dan menjanjikan. Di era sebelumnya, sang calon yang aktif berkampanye akan menjadi musuh bersama cabang-cabang, dan dijamin tak bakal terpilih. Di bab Kepemimpinan dalam Khittah Perjuangan HMI-MPO sebenarnya telah dijelaskan bahwa kepemimpinan merupakan amanah. Di dalam amanah tentu ada tanggung jawab besar baik morel, materiel, maupun spiritual. Karena kepemimpinan merupakan amanah, maka sejatinya ia tidak diperebutkan, bahkan kalau perlu dihindari atau dijauhi dalam konteks ini. Demikianlah doktrin adiluhung yang termaktub dalam Khittah Perjuangan. Tapi faktanya, dewasa ini jabatan di struktur kepengurusan HMI-MPO sudah diperebutkan bak piala. Tak jarang para pemburu jabatan itu melakukannya dengan menghalalkan segala cara. Penentuan posisi strategis di kepengurusan, misalnya Sekjen PB HMI, dilakukan secara transaksional, bukan atas pertimbangan kapasitas. Koalisi politik di dalam Kongres pada umumnya terjalin berdasarkan transaksi komposisi kepengurusan. Di organisasi lain yang demikian itu lumrah belaka, namun di HMI-MPO sejatinya tidak demikian sebab Khittah Perjuangan tak mengajarkan yang seperti itu.

Pencalonan diri para kandidat Ketum PB HMI-MPO makin ke sini makin canggih dan sistematik. Di lokasi Kongres, para kandidat gencar melakukan kampanye bahkan sebelum Kongres dibuka secara resmi. Kongres diwarnai gerilya dan lobi sana sini tim sukses kandidat Ketum kepada pemilik suara. Hotel di sekitar arena Kongres dibooking oleh kandidat tertentu guna mengarantina pemilik suara sekaligus sebagai basecamp tim sukses. Kandidat tertentu dan tim suksesnya gencar menjanjikan tiket perjalanan untuk Cabang-Cabang yang bersedia memilih mereka, dan peserta kongres yang mata duitan dan tak punya prinsip itu bersuka ria dengan gratifikasi demikian. Fenomena ini baru muncul secara sangat terbatas sejak Kongres ke-30 di Tangerang (2015), mulai menguat di Kongres ke-31 di Sorong (2018), menjadi tren di Kongres ke-32 di Kendari (2020), dan akan dianggap normal dan wajar di Kongres-Kongres berikutnya.

Pandemi Hedonisme

Seiring waktu, kini alumni-alumni HMI-MPO cukup banyak yang ekonominya boleh dikatakan mapan, terutama alumni yang berlatar belakang politisi, birokrat tinggi, dan pengusaha. Tak ayal, kemapanan ekonomi itu membuat institusi HMI-MPO kecipratan rezeki pula. Di lain sisi, anggota-anggota baru HMI-MPO juga cukup banyak yang datang dari kelas menengah bahkan menengah atas. Sejurus dengan itu, kesan “kere” yang berpuluh-puluh tahun akrab tergurat di wajah HMI-MPO perlahan-lahan pupus. Hal ini sebenarnya suatu berkah tersendiri dan tentunya patut disyukuri. Tapi situasi ini rupanya menimbulkan efek samping yang tak terbayangkan sebelumnya: pandemi gaya hidup hedonis di kalangan elite pengurus HMI-MPO.

Saya tak mengkhawatirkan apalagi keberatan dengan gaya hidup para alumni HMI-MPO, sebab hal itu adalah aspek privasi atau pilihan bebas masing-masing orang. Yang saya cemaskan adalah gaya hidup elite-elite pengurus HMI-MPO. Saya sendiri masih mengidealisasikan gaya hidup lama para aktivis HMI-MPO yang bersahaja dan asketis. Gaya hidup demikian telah terbukti dalam sejarah sukses menempa aktivis HMI-MPO untuk: (1) konsisten dan bernyali menghadapi rezim Orde Baru, (2) tetap idealis dan independen di masa-masa awal Reformasi, dan (3) terlatih dengan diskursus pemikiran intelektual yang berat. Menurut hemat saya hanya gaya hidup bersahaja dan asketislah yang paling cocok (kompatibel) dengan identitas HMI-MPO sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan. Sulit rasanya bicara soal perkaderan dan perjuangan kepada aktivis HMI-MPO yang hedonistis.

Pilihan untuk tetap bersahaja dan asketis membuat HMI-MPO tidak membutuhkan dana besar (yang berada di luar kemampuannya) untuk mengelola organisasi. Latihan-latihan kader, Konfercab, atau Kongres cukup dilangsungkan di tempat-tempat sederhana sehingga panitia dan pengurus HMI-MPO tidak perlu menggadaikan harga diri dan idealismenya guna memperoleh dana besar. Aktivis-aktivis HMI-MPO mesti menghindari gaya hidup ala kelas atas, sehingga ia tak perlu menjual integritas, martabat, dan kehormatannya guna mengongkosi gaya hidup mahal semacam itu. Di tengah kehidupan serba-materi (materialisme) seperti saat ini, gaya hidup sederhana dan asketis bagi seorang aktivis mahasiswa adalah sesuatu yang patut dibanggakan, bukannya malah diratapi dan membuat minder.

Seleksi Alam

Polarisasi di tubuh HMI-MPO yang melahirkan kubu sempalan Latupono cs, perlu dilihat dari sisi lain; bahwa polarisasi ini merupakan suatu ujian bagi HMI-MPO untuk segera memperbaiki dirinya sehingga ia bisa naik ke kelas yang lebih tinggi. Terjadinya polarisasi tersebut merupakan buah dari buruknya perkaderan dan kelembagaan HMI-MPO selama bertahun-tahun yang dikelola tanpa mengacu pada cita ideal Khittah Perjuangan, Konstitusi, atau pedoman yang ada. Ahmad Latupono sendiri bukan orang baru dalam konflik dan kegaduhan politis di tubuh PB HMI-MPO; yang bersangkutan dan kelompoknya dari Cabang Jakarta sudah saya hadapi sekitar sembilan tahun silam ketika saya memimpin PB HMI (2011-2013). Karena cukup mengenal Sdr. Latupono dan lingkarannya sedari dulu, maka saya tidak terkejut ketika kelompok ini melakukan aksi polarisasi. Lingkaran inilah yang dulu memantik bentrokan fisik di Kongres ke-28 di Pekanbaru (2011) dan Kongres ke-29 di Bogor (2013); di mana di kedua Kongres tersebut saya dan teman-teman berhadap-hadapan dengan mereka. Lingkaran ini jugalah yang ketika itu getol mempersoalkan pengadaan dan pembangunan sekretariat permanen PB HMI dan Gedung Training HMI—dengan menggunakan sejumlah tudingan. Maka ketika saya dapat kabar Sdr. Latupono sempat berupaya menduduki sekretariat PB HMI (yang dulu ditentangnya habis-habisan itu), saya hanya bisa senyum-senyum dari jauh.

Saya sendiri tak terlalu cemas dengan lahirnya kubu sempalan Latupono cs itu, sebab kubu ini dibangun di atas pijakan politik-pragmatis, bukan pijakan ideologi. HMI-MPO yang menyempal dari HMI (Dipo) tahun 1986 bisa bertahan lebih dari tiga dekade karena memang kelahiran HMI-MPO saat itu dilandasi oleh pijakan ideologi: dijiwai oleh spirit ajaran Islam dan idealisme gerakan mahasiswa. Saya tidak melihat paradigma ideologis itu hadir dalam manuver gerakan Latupono cs, sehingga saya yakin betul bahwa kelompok ini tak akan memiliki napas panjang. Bahkan besar dugaan saya bahwa kubu ini memang tidak dimaksudkan untuk bertahan dalam jangka waktu lama; artinya, jika kepentingan politik dan materielnya sudah tercapai, maka mereka akan bubar sendiri atau setidak-tidaknya memvakumkan diri sampai munculnya lagi momentum untuk dihidupkan guna dikendarai kembali. Hal lain yang meyakinkan saya tentang itu adalah bahwa di kubu Latupono cs tak ada satu pun pentolannya yang punya pengalaman panjang dan berdarah-darah dalam merawat perkaderan dan kelembagaan di HMI yang sangat kompleks. Satu dua orang memang ada yang pernah terlibat dalam mengelola pelatihan-pelatihan HMI dan menjadi elite pengurus Cabang, tapi lagi-lagi rekam jejak dan integritasnya tidak meyakinkan. Cabang Jakarta tempat asal Sdr. Latupono sendiri merupakan cabang yang berstatus tidak sehat alias sakit-sakitan lebih dari satu dekade terakhir. Kalau di cabangnya sendiri Sdr. Latupono terbukti gagal memperbaiki indeks kesehatan cabang, maka bagaimana mungkin kita yakin dengan gerakan Latupono cs ini? Belum lagi, lebih dari separuh Cabang yang mendukung Sdr. Latupono merupakan cabang-cabang baru yang tidak punya jejak historikal yang kuat di HMI-MPO. Dua cabang tradisional tua HMI-MPO di wilayah tengah dan timur, yaitu Yogyakarta dan Makassar, tak mendukung kubu Latupono.

HMI-MPO adalah organisasi yang sangat independen dari otoritas struktur negara/pemerintah. Salah satu bentuk independensi HMI-MPO adalah dalam aspek administratif. HMI-MPO sama sekali tidak terdaftar dalam sistem administrasi pemerintah. Kepengurusan HMI-MPO tidak memerlukan legitimasi atau pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM atau lembaga negara lainnya. Dengan demikian, ketika terjadi polarisasi kepengurusan seperti saat ini, maka kubu mana yang akan bertahan atau bernapas panjang akan sangat ditentukan oleh “seleksi alam”. Masa depan PB HMI-MPO versi Kongres ke-32 dan versi Latupono bergantung pada seberapa besar penerimaan komunitas HMI-MPO di cabang-cabang terhadap kedua kubu tersebut. “Komunitas” yang saya maksud di sini adalah warga Komisariat dan Cabang, serta alumni HMI-MPO. Komunitas HMI-MPO juga dikenal sangat sensitif terhadap aspek integritas. Mereka yang punya catatan integritas yang buruk akan segera terpelanting dari komunitas. Hadirnya pejabat teras Badan Intelijen Negara (BIN) dalam pelantikan kubu Latupono merupakan blunder serius yang dilakukan Latupono cs, khususnya terkait aspek integritas, yang justru menimbulkan antipati yang kian luas dan kuat dari komunitas HMI-MPO terhadap kubu ini. Tudingan bahwa kubu Latupono turut disokong pihak luar melalui suatu operasi khusus, lantas mendapat pembenaran yang meyakinkan. Di sepanjang Orde Baru aktivis HMI-MPO kenyang betul berurusan dengan aparat intelijen, dan gelagat Sdr. Latupono yang menunjukkan kedekatannya dengan pejabat BIN, apa pun penjelasannya, justru membuatnya terpojok sendiri.

Sumber gambar: Qureta.com

HMI-MPO yang Mulai Tercemar dan Tersusupi

Gerakan sejumlah kader HMI-MPO di Universitas Negeri Makassar (UNM) untuk melakukan pembaharuan dan penyegaran di tubuh HMI-MPO dalam lingkup UNM, harus dilihat sebagai sikap kritis atau koreksi atas fenomena yang terjadi di HMI-MPO dewasa ini, baik di level Cabang Makassar maupun di tingkat nasional. Gerakan itu berangkat dari kenyataan memilukan bahwa eksistensi HMI-MPO di UNM benar-benar telah sampai di titik nadir. Gerakan ini juga dilandasi oleh perlunya HMI-MPO di UNM diproteksi dari paparan konservatisme agama dan pragmatisme-politis yang belakangan begitu kuat melanda HMI-MPO. Bagi gerakan HMI-MPO di Cabang Makassar, UNM sendiri merupakan kampus yang memiliki persentuhan historis dan ideologis yang demikian kuat dengan HMI-MPO sejak dari dulu. Setidaknya ada tiga alasan kenapa HMI-MPO di UNM perlu dirawat dengan baik.

Pertama, UNM (dulu bernama IKIP Ujung Pandang) merupakan kampus legendaris bagi eksistensi dan perjuangan HMI-MPO di Makassar di era Orde Baru dan awal Reformasi. Pasca HMI-MPO mendeklarasikan diri di Makassar sekitar tahun 1990, seluruh komisariat di lingkungan UNM langsung bergabung dengan HMI-MPO. Adalah Sulhan Yusuf yang menjabat Ketua Umum HMI Korkom IKIP Ujung Pandang ketika itu, yang juga merupakan deklarator HMI-MPO di Makassar. HMI Korkom IKIP UP dan komisariat-komisariatnya yang semula netral atas dualisme HMI di tingkat pusat, langsung beralih menjadi HMI-MPO usai deklarasi HMI-MPO Makassar. Tak ada satu pun kampus di Makassar yang melakukan hal yang sama. Sebagian besar komisariat dan Korkom yang terbentuk kemudian, dibangun nyaris dari nol (bahkan dari nol sama sekali). Perpindahan revolusioner yang dilakukan HMI Korkom IKIP UP beserta komisariat-komisariatnya itu merupakan sumbangan terbesar HMI IKIP/UNM terhadap eksistensi HMI-MPO Cabang Makassar hingga hari ini.

Kedua, UNM menjadi satu-satunya kampus besar di Makassar di mana kader-kader HMI-MPO berpengaruh sangat kuat (baik secara kultural maupun struktural) di lembaga-lembaga intra-kampus UNM, dari level jurusan, fakultas, hingga universitas—kendati dalam 10 tahun terakhir hal itu kian melemah. Jabatan-jabatan struktural kemahasiswaan di IKIP/UNM seperti Senat Mahasiswa, BPM, maupun BEM/MAPERWA di semua level, banyak diduduki oleh kader-kader HMI-MPO, utamanya di penghujung Orde Baru dan awal Reformasi. Tradisi yang kuat dan panjang akan pengaruh atas lembaga-lembaga intra-kampus itu oleh anak-anak HMI-MPO hanya berlangsung di IKIP/UNM, dan nyaris tak ditemukan di kampus-kampus besar lainnya di Makassar. Sikap kritis yang tumbuh di lingkungan HMI-MPO terhadap Orde Baru lantas ditularkan oleh anak-anak HMI-MPO itu ke lembaga-lembaga intra-kampus IKIP/UNM, yang menyebabkan kampus IKIP UP menjadi salah satu pelopor utama di awal-awal gerakan Reformasi 1998 di Makassar.

Ketiga, UNM dapat disebut sebagai benteng terakhir bagi Islam yang berwatak pluralis dan inklusif di tubuh HMI-MPO Cabang Makassar. Di UNM, anak-anak HMI-MPO berhasil mendirikan (tahun 1994) dan mengawal sebuah lembaga dakwah kampus (LDK) tingkat universitas, bernama UKM LKIMB UNM, yang merupakan satu-satunya LDK (di Makassar, bahkan mungkin di Indonesia) yang mengusung Islam pluralis dan inklusif. Di tengah eksisnya LDK-LDK di PTN-PTN se-Indonesia yang beraliran salafi, Ikhwanul Muslimin, maupun Hizbut Tahrir, UKM LKIMB adalah LDK yang berdiri tegak sendirian mengusung “Islam Keindonesiaan” yang dasar pemikirannya salah satunya berpijak pada pemikiran Nurcholish Madjid (seorang raksasa pemikiran Islam di Indonesia yang merupakan mantan Ketua Umum PB HMI). UKM LKIMB pula tampaknya satu-satunya LDK dari PTN besar se-Indonesia yang berada di bawah pengaruh HMI-MPO hingga hari ini.

Wabah di Tubuh HMI-MPO

Anak-anak HMI-MPO di UNM (utamanya beberapa alumninya), tentu tidak memiliki cara pandang yang tunggal dalam melihat fenomena yang berkembang di HMI-MPO Cabang Makassar maupun PB HMI. Sebagian dari mereka tak mempersoalkan fenomena yang ada, bahkan memberikan dukungan atas itu. Namun demikian, saya dan beberapa kawan yang masih terus tersambung hingga saat ini dengan anak-anak HMI-MPO yang aktif di lembaga-lembaga intra-kampus UNM, memandang bahwa apa yang terjadi di tubuh HMI-MPO dewasa ini perlu dikoreksi. Bagi kami, setidaknya ada empat penyakit yang demikian mewabah di tubuh HMI-MPO, baik di Cabang Makassar maupun di PB, yaitu:

Pertama, konservatisme agama. Di HMI-MPO Cabang Makassar khususnya, pengaruh konservatisme agama mulai menguat kembali dalam tahun-tahun terakhir, dibawa oleh sejumlah alumni HMI-MPO yang berideologi “islamis”—yaitu mereka yang memperjuangkan formalisasi syariat Islam di Indonesia (baca: Negara Islam atau Negara Syariat) dan di dunia (baca: khilafah islamiyah). Kelompok ini mengusung Islam yang eksklusif, intoleran, sektarian, serta memusuhi kemajuan dan kebebasan berpikir. Selain bermaksud menanamkan watak pemikiran keislamannya di HMI-MPO, tujuan mereka yang lain adalah menyingkirkan anggota dan alumni HMI-MPO yang tidak sejalan dengan mereka yang mereka labeli secara sewenang-wenang sebagai “syiah”, “liberal”, dan “komunis”. Belakangan, mereka berupaya (dan berhasil) mengangkangi latihan-latihan kader, utamanya Basic Training HMI-MPO, dengan turun tangan mengatur siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh membawakan materi di Basic Training. Akhirnya merekalah yang banyak mengisi materi-materi latihan-latihan kader itu. Celakanya, mereka membawakan materi dengan tidak berpedoman pada Khittah Perjuangan HMI, melainkan semata-mata menyampaikan sikap-sikap atau pemikiran keagamaannya sendiri yang konservatif tadi. Materi yang mereka sampaikan pun bersifat indoktrinatif, narasinya sempit dan kerdil, serta miskin diskursus intelektual (lantaran mereka memang rata-rata bukan pembaca buku yang rakus).

Kedua, infiltrasi ormas kepemudaan tertentu. Di HMI-MPO Cabang Makassar, tahun-tahun terakhir ini, sejumlah pegiat ormas kepemudaan tertentu berupaya mencengkramkan pengaruhnya. Mereka secara pelan membajak satu per satu anggota HMI-MPO untuk dijadikan anggota ormasnya. Mereka menjadikan HMI-MPO sebagai ladang untuk merekrut anggota ormasnya. Yang mereka rekrut adalah anggota aktif HMI yang menjadi tulang punggung perkaderan dan kelembagaan HMI Cabang Makassar. Akibatnya apa? Anggota HMI-MPO yang direkrut itu akhirnya tersita pula waktunya untuk mengurus ormas tersebut, di samping bahwa watak pemikiran dari ormas ini juga menguasai alam pikiran pengurus HMI-MPO. Sungguh celaka dua belas lantaran ormas kepemudaan ini sangat berbeda ideologinya dengan corak pemikiran Khittah Perjuangan serta identitas dan independensi HMI-MPO, sebab mereka cenderung pragmatis-politis, sektarian, dan mengusung politik identitas dalam gerakannya.

Ketiga, politik partisan dan infiltrasi ormas alumni HMI-MPO. Politik partisan di lingkungan HMI-MPO (kultural maupun “stuktural”) terlihat dengan jelas pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Memang tak ada sikap resmi organisasi HMI-MPO (PB hingga Komisariat) untuk mendukung Anies Baswedan di Pilgub itu, namun jamaah HMI-MPO bisa dikatakan secara mayoritas merupakan pendukung fanatik Anies. Sebagian mendukung Anies karena Anies merupakan alumni “asli” HMI-MPO, sebagian yang lain karena faktor politik identitas (atau karena faktor kedua-duanya). Alumni HMI-MPO (utamanya yang berdomisili di Jakarta) dan juga anggota aktif HMI-MPO terjun langsung di lapangan (melalui apa yang diistilahkan sebagai “Gerakan Turun Tangan”) untuk memenangkan Anies, dan berhasil. Di masa Pilgub itu pulalah konservatisme agama dan narasi politik identitas disuarakan secara lantang dan serius oleh sejumlah anggota aktif dan alumni HMI-MPO seperti yang banyak jejaknya di media sosial.

Sikap partisan di lingkungan HMI-MPO secara luas, yang tidak lain adalah mengusung dan mendorong Anies Baswedan menempati posisi-posisi penting pemerintahan (baca: menteri, gubernur, presiden), mulai menguat sejak sekumpulan alumni mendirikan ormas Barisan Nusantara (BN). Ormas ini boleh dikata “Anies-minded” atau “Anies-sentris”, padahal Anies sendiri bukanlah orang yang berkeringat apalagi berdarah-darah di HMI-MPO dari level paling bawah hingga pusat. Tak ada rekam jejak Anies yang meyakinkan di HMI-MPO secara kultural maupun struktural utamanya sejak ia masih berstatus anggota aktif HMI-MPO. Ormas BN sendiri mendefinisikan dirinya sebagai “perkumpulan orang yang berupaya memelihara kewarasan kelas menengah dan asa atas masa depan negeri”. Dari definisi itu saja tampak bahwa ormas ini merupakan gerakan elitis. Soal kata “kewarasan kelas menengah” ini akan saya bahas di artikel tersendiri (kalau ada waktu) karena agak mengusik nalar-diskursif saya. Dan upaya ormas ini mengusung Anies lebih cenderung dilatari oleh faktor pertemanan (konco, kroni), bukan karena Anies punya gagasan besar yang benar-benar cemerlang. Karena Anies cukup menjual untuk didorong, maka didoronglah. Jadi, benar-benar pragmatis! Ibaratnya, Anies itu jarumnya dan BN itu adalah benangnya; ke mana Anies pergi, ke situ pula BN mengikutinya. Anies ikut Konvensi Partai Demokrat, ya BN ikut ke situ pula; Anies dukung Jokowi-JK, ya BN pro-Jokowi-JK; Anies direshuffle Jokowi, ya BN “bersikap kritis terhadap Jokowi” (kata tokoh BN); Anies memanfaatkan politik identitas, ya BN menutup mata saja; dan seterusnya. Sikap-sikap politik BN itu cukup mengontaminasi HMI-MPO, terutama karena tokoh-tokoh BN adalah patron di lingkungan Cabang dan PB; mereka aktor-aktor heroik yang cukup diidolakan oleh anak-anak HMI-MPO utamanya di masa silam (termasuk oleh saya juga). Hal ini diperparah oleh sikap pengurus HMI-MPO yang sulit menjaga jarak dengan tokoh-tokoh BN itu (disebabkan oleh faktor kedekatan personal, hubungan senior-junior, pembangunan networking, dan sumber finansial bagi HMI).

Keempat, politik praktis. Pada Kongres HMI-MPO periode-periode belakangan ini, aroma politik transaksional kian menyengat hidung. Isu-isu mengenai politik uang (money politics) sangat marak diungkap oleh sejumlah peserta Kongres, kendati sangat sulit dibuktikan sebab tak ada dari peserta Kongres itu yang berani bersaksi secara jujur dan terbuka. Bentuk politik uang itu utamanya berupa janji pemberian tiket pulang ke daerah masing-masing bagi delegasi Kongres. Para kandidat yang suaranya kuat di Kongres itu, umumnya bekerja jauh-jauh hari sebelum Kongres dimulai. Pencalonan mereka dilakukan secara sistematis bak politisi profesional, mulai dari menggalang dana kampanye, mendekati dan melobi alumni-alumni berpengaruh di cabang-cabang, minta restu ke alumni-alumni yang cukup populer, hingga membentuk tim sukses yang beroperasi secara teknis di lapangan. Di antara kandidat yang bertarung di Kongres itu memang punya pengalaman bekerja sebagai tim sukses di pilkada ataupun pemilu, bahkan ada di antaranya yang jelas-jelas merupakan anggota partai politik. Saya sendiri memperoleh informasi yang tampaknya cukup meyakinkan tentang salah seorang kandidat Ketum PB yang menemui seorang tokoh daerah untuk menggalang dana pencalonannya sebagai Ketum PB, dan oleh tokoh daerah tersebut ia diberi sejumlah uang yang nominalnya cukup besar. Dan patut diduga kuat bahwa sang kandidat Ketum PB tersebut menemui lebih dari satu tokoh yang bisa memberinya donasi untuk biaya kampanyenya di Kongres. Itulah yang membuat saya cukup mempercayai isu seputar politik uang di Kongres HMI-MPO meskipun tak bisa saya buktikan.

Di masa lalu, sesungguhnya para politisi semacam ini memang ada di HMI-MPO, tapi jumlahnya kecil dan pengaruhnya juga kurang signifikan, utamanya karena model kayak begini dimusuhi oleh anak-anak HMI-MPO. Kenapa? Karena standar moralitas anak-anak HMI-MPO di zaman lalu memang sangat tinggi. Tapi entah kenapa belakangan justru mereka mendapat panggung, diusung, bahkan dipilih di dalam Kongres. Cabang-cabang HMI-MPO pun kelihatannya tak mempersoalkan lahirnya fenomena baru semacam ini, entah karena mereka lugu, pandir, ataukah karena memang ikut menikmatinya.

Suksesi di Kongres ke-32

Kongres HMI-MPO ke-32 di Kendari beberapa waktu lalu memberikan gambaran betapa HMI-MPO kian meninggalkan watak aslinya yang ideologis-intelektualis (sebagaimana tertuang dalam dokumen Khittah Perjuangan serta tafsir asas, tujuan, usaha, dan independensi HMI), menjadi berhaluan pragmatis-politis. Dua orang kandidat yang bertarung tercatat pernah terlibat politik praktis, baik sebagai anggota parpol maupun sebagai ketua tim sukses sayap pemuda untuk kandidat gubernur di pilkada, yang dikuatkan oleh bukti-bukti berupa foto dan jejak digital di dunia maya. Anehnya, hal itu dimaklumi dan diterima belaka oleh cabang-cabang HMI-MPO tanpa sikap kritis yang memadai. Siapa pun dari tiga kandidat yang maju itu, kemudian terpilih, ya sebenarnya sama saja, tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Dan benar saja, Ketua Umum PB yang terpilih adalah sosok yang secara integritas sangat dipertanyakan, dan secara perkaderan dan perjuangan di HMI-MPO boleh disebut nol besar.

Affandi Ismail, Ketum PB yang terpilih itu, merupakan junior saya di UNM—juga di IPMIL (sebuah organ mahasiswa daerah)—tapi dia masuk UNM di tahun ketika saya sudah tamat. Saya kenal dengan dia, tapi kenal begitu saja, bukan kenal secara akrab. Saya justru tidak tahu kalau dia anak HMI-MPO, setahu saya malah dia anak HMI-Dipo dan banyak bergaul dengan anak-anak HMI-Dipo. Saya baru tahu dia anak HMI-MPO ketika secara tiba-tiba ia dimasukkan dalam kepengurusan PB HMI-MPO. Di panflet kampanyenya yang tersebar di medsos, tertulis bahwa ia LK I di Cabang Makassar (2011), LK II di Cabang Palu (2013), LK III di Cabang Yogyakarta (2016), dan SC di Cabang Jakarta (2017). Di UNM dia kuliah di jurusan Teknologi Pendidikan angkatan 2005. Dalam 2-3 hari ini saya menggali informasi dengan menghubungi beberapa orang yang cukup mengenal dia selama dia kuliah di UNM. Dari informasi-informasi itu saya secara subjektif menyimpulkan bahwa dia merupakan sosok yang cukup kontroversial dalam aspek integritas sejak dia masih kuliah. Boleh dikata, dia adalah seorang “pemain”. Dia juga rupanya petualang organisasi kemahasiswaan. Cukup banyak organisasi kemahasiswaan (ekstra-kampus) yang dia masuki, HMI-MPO hanya salah satunya. Sebelum masuk HMI-MPO, ia terlibat lama di sebuah organisasi berhaluan Marxis yaitu Pembebasan—meski namanya mirip, organ ini beda dengan Gema Pembebasan yang berhaluan Hizbut Tahrir.

Kalau dia masuk HMI-MPO tahun 2011, maka secara hitung-hitungan sederhana ia baru menjadi anggota formal HMI-MPO di tahun keenam ia kuliah, ya sekitar semester 12, dan setahun kemudian ia tamat dari kampus. Dengan demikian, praktis ia tidak berkarier secara berkeringat di komisariatnya. Apalagi Komisariat FIP UNM di tahun-tahun itu memang kurang bergairah. Sepanjang pengetahuan saya, dia juga tidak pernah aktif di kepengurusan cabang apalagi Badko. Ketika ia terpilih di Kongres, tidak sedikit warga HMI-MPO Cabang Makassar yang bertanya-tanya tentang dia. Hal itu wajar belaka lantaran ia memang tidak dikenal, asing sama sekali di lingkaran inti warga HMI-MPO Makassar. Oleh karena rekam jejaknya di kepengurusan HMI-MPO yang bisa disebut nihil itulah sehingga di panflet kampanyenya untuk pencalonan Ketum PB ia hanya menampilkan riwayat pendidikan di HMI (beserta gelar akademiknya yang cukup panjang—seolah-olah deretan gelar akademiknya itu menduduki tempat istimewa dalam tradisi HMI-MPO) tanpa mencantumkan riwayat organisasinya di HMI. Affandi pertama kali masuk struktur PB HMI-MPO di era PB HMI dipimpin oleh Fauzi. Kehadiran Affandi di kepengurusan PB itu cukup membantu Fauzi dalam menjalankan PB HMI, utamanya karena Affandi konon cukup berjasa dalam mendatangkan donasi untuk kepengurusan. “Keringat” Affandi untuk HMI-MPO secara struktural tampaknya dalam hal membantu Fauzi untuk urusan donasi tersebut. Fauzi sendiri sepertinya punya semacam “utang budi” kepada Affandi karena hal demikian.

“Keringat” dan “darah” Affandi untuk perkaderan dan kelembagaan HMI-MPO kalau mau dihitung-hitung ya tidak signifikan. Dia tidak pernah memimpin komisariat, korkom, cabang, badko, dan lembaga kekaryaan HMI, setidaknya sebagai presidium di struktur itu. Jadi staf bidang pun kayaknya tidak pernah. Dia sama sekali tidak pernah banting tulang untuk mendampingi kader-kader baru, membina komisariat dan korkom, mengurus cabang, membina atau membuka cabang-cabang baru, dan seterusnya. Karier kepemanduannya pun di latihan-latihan kader HMI-MPO bisa dikatakan nol besar. Dia baru ikut Senior Course tahun 2017, di mana setahun kemudian ia sudah ikut bertarung sebagai caketum PB HMI-MPO di Kongres ke-31 di Sorong. Lantas, hanya berselang tiga tahun saja ia menyandang predikat sebagai lepasan SC, ia sudah terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI. Wah, luar biasa! Pertanyaannya: sudah berapa LK-LK yang dia pandu, baik sebagai pemandu magang, pemandu biasa, maupun koordinator pemandu?; sudah berapa LK I dan LK II di mana ia bertindak sebagai pemateri, utamanya materi Khittah Perjuangan? Parahnya lagi, kelulusan SC-nya pun belakangan dipersoalkan oleh HMI Cabang Jakarta, tempatnya mengikuti SC, lantaran konon ia tidak memenuhi syarat jumlah training HMI yang mestinya dipandu. Dari situ kita bisa lihat bahwa Affandi tidak memiliki pengalaman apa-apa soal kepemanduan di HMI-MPO. Padahal, rekam jejak kepemanduan dalam diri seorang kaderlah yang akan menunjukkan sejauhmana tingkat kematangannya dalam ber-HMI-MPO. Salah satu identitas HMI adalah sebagai “organisasi perkaderan”. Dan salah satu bentuk perkaderan di HMI-MPO adalah latihan-latihan kader.

Karier kepengaderan Affandi yang sangat prematur itu membuat saya berkesimpulan bahwa ia mungkin saja sudah membaca Khittah Perjuangan serta dokumen tafsir asas, tujuan, usaha, dan independensi HMI-MPO, tapi saya yakin ia tak menjiwainya sama sekali. Kenapa? Jika saja ia menjiwainya secara penuh maka, menyadari rekam jejak kekaderan dan kejuangannya di HMI-MPO yang seperti itu, semestinya ia akan tahu diri untuk tidak mencalonkan diri baik di Kongres ke-31 maupun Kongres ke-32. Sayangnya, ia kurang peka (barangkali juga bebal?) terhadap rasa tahu diri itu. Lolosnya tiga kandidat bermasalah Ketum PB di Kongres ke-32 adalah sebuah kecolongan bagi HMI-MPO, dan terpilihnya Affandi sebagai Ketum PB HMI-MPO adalah sebuah kekonyolan. Karena faktor keluguan (atau mungkin juga kepandiran?) dari delegasi-delegasi cabang yang hadir di Kongreslah yang menyebabkan hal itu terjadi. Cabang-cabang kita kurang/tidak memiliki kepekaan keintelijenan yang memadai untuk mengendus keberadaan para penyusup alias “orang asing” yang bergerak menumpang dan memengaruhi jalannya Kongres. Di lain sisi, standar moral yang digunakan oleh cabang-cabang untuk menilai tiap-tiap kandidat begitu rendah, untuk tidak menyebutnya diobral murah, sehingga kandidat-kandidat yang sesungguhnya moralitasnya berada di bawah standar (menurut ukuran standar lama HMI-MPO yang sakral itu), akhirnya bisa lolos seleksi.

***

Ada yang bertanya pada saya: “Karena tampaknya HMI-MPO mulai tercemar dan tersusupi, lantas apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan HMI-MPO (yang dulunya merupakan majelis penyelamat) dan bagaimana memulainya?” Ah, saya bingung dan gamang menjawab soal itu. Perasaan saya sendiri campur aduk antara marah, muak, kecewa, prihatin, dan malu. Duh!

Kawan, angkat gelasmu dan bersedihlah bersama-sama!

Demonstrasi tanpa Dangdut

—Cerita buat Sulhan Yusuf

Amma’ akan selalu cemas setiap kali ia mendengar mahasiswa di Ujung Pandang menggelar demonstrasi. Adalah Dion, sopir angkutan langganan Amma’, yang tiap hari bolak balik Bantaeng-Ujung Pandang membawa penumpang, yang tiada pernah lupa memberitahu Amma’ setiap kali mahasiswa turun ke jalan. Sulhan pernah meminta Dion untuk tak perlu mengabari Amma’ soal semacam itu, demi menjaga perasaan Amma’. Tapi Dion tak mau menyanggupi permintaan Sulhan lantaran ia sudah terlanjur berjanji kepada Amma’.

Amma’ kerapkali mendadak ke Ujung Pandang, mendatangi kos Sulhan, jika ia telah begitu cemas dengan kabar demonstrasi mahasiswa, sementara Dion tak mendapat kabar apa-apa dari Sulhan. Waktu tempuh antara Bantaeng dengan Ujung Pandang sekitar dua jam. Amma’ akan langsung balik ke Bantaeng sore harinya setelah memastikan Sulhan baik-baik saja. Kalau ia tak yakin dengan keselamatan Sulhan, maka ia akan memaksa putranya itu pulang bersamanya, dan baru mengizinkannya balik ke Ujung Pandang jika Dion sudah melaporkan bahwa situasi aman terkendali. Amma’ trauma dengan aksi demonstrasi mahasiswa, lantaran enam tahun silam, kakak Sulhan, Safwan, tewas ditembak polisi dalam sebuah demonstrasi di depan kampusnya di Yogyakarta.

Sulhan kuliah di IKIP, dan bergiat di Senat Mahasiswa. Ia termasuk penggerak aksi-aksi mahasiswa di kampusnya. Amma’ tak pernah setuju Sulhan mengikuti jejak Safwan menjadi aktivis. Amma’ tentu tak ingin Sulhan bernasib serupa dengan Safwan.

Di tempat kos Sulhan, ada seorang penghuni kos lainnya bernama Javid. Ia seorang mahasiswa jurusan Teknik Mesin, tapi belakangan mulai berpikir untuk pindah ke jurusan Seni Musik, lantaran kian lama ia merasa kian terganggu oleh suara mesin apa saja (dan sejurus dengan itu jiwanya makin tertarik pada suara musik, khususnya lagi musik dangdut). Amma’ menyebut Javid sebagai mahasiswa yang baik karena tak suka ikut demonstrasi. Javid sudah lima tahun kuliah dan selama itu pula ia tak satu kali pun ikut demonstrasi. Setiap kali Amma’ berkunjung ke kos Sulhan, ia selalu melihat Javid di kamarnya, asyik dengan lagu dangdut kesayangannya. Anak muda ini penggemar berat biduan dangdut Elvy Sukaesih. Amma’ ingin Sulhan seperti Javid saja, menjadi anak baik-baik. Tapi Amma’ sungguh tidak tahu kalau Javid bukan hanya malas ikut demonstrasi, tapi juga malas ikut kuliah.

Berbeda dengan Amma’, Abba tak pernah mempersoalkan jika anak-anaknya menjadi aktivis. Abba jelas sedih dengan kematian Safwan, tetapi Abba tak pernah menyesalkan jalan yang dipilih almarhum sewaktu di kampus. Abba dulu aktivis pemuda zaman revolusi. Ia juga memimpin sekelompok pemuda di kampungnya dalam perang kemerdekaan. Ketika sudah merdeka, Abba selalu bersikap oposan terhadap rezim yang berkuasa. Setiap Pemilu digelar, Abba selalu memilih partai yang kritis kepada rezim. Di era Orde Baru ini, ketika seluruh rumah di sekitar situ memasang atribut Golkar, hanya rumah Abba sebatang kara yang memasang atribut PPP. Seorang tetangga berjarak tujuh rumah dari rumah Abba sekali tempo mengikuti kebiasaan Abba memasang atribut PPP. Tapi tak sampai sejam setelah atribut itu terpasang, si tetangga itu didatangi camat dan sejumlah tentara. Ia dipaksa mencopot atribut PPP dan menggantikannya dengan atribut Golkar.

Abba dikenal sebagai lelaki yang kebal senjata. Orang-orang bersaksi pernah melihat Abba ditembak berkali-kali di masa perang kemerdekaan, tapi peluru tak juga menembus kulitnya. Abba kerap terlihat mengiris-iris dan menusuk-nusuk lengannya dengan badik, tapi Abba tak luka atau tergores sedikit pun. Abba melakukan itu kalau seseorang memberi badik padanya untuk diuji apakah badik itu bisa diandalkan atau tidak. Abba akan melemparkan badik itu kepada pemiliknya jika setelah diuji ternyata badik tersebut tidak ada apa-apanya. Kepada pemiliknya ia akan berkata: “Buang saja badikmu itu. Ia hanya berguna untuk mengupas mangga!”

Anak-anak muda yang diterima masuk tentara, selalu datang menemui Abba, dan Abba pun akan memantra-mantrai mereka. Atlet tinju atau pesepak bola, juga kerap mendatangi Abba, minta dimantra-mantrai supaya kuat bertanding. Pernah seorang atlet tinju tak sadarkan diri selama berhari-hari lantaran dihajar atlet tinju lain yang sebelum bertanding dimantra-mantari oleh Abba. Si petinju malang itu baru siuman setelah Abba datang mengobatinya.

Dengan reputasi yang demikian itu, tentu saja tak seorang pun yang berani mendatangi Abba untuk memaksanya mencopoti atribut PPP yang terpasang di rumahnya dan menggantikannya dengan atribut Golkar.

 

***

 

Pemerintah baru saja mengeluarkan peraturan yang mewajibkan pengendara sepeda motor menggunakan helm. Beberapa tempo sebelum peraturan itu terbit, Presiden meresmikan sebuah perusahaan yang salah satu produksinya adalah helm. Pabrik itu tiada lain merupakan milik putra Presiden. Mahasiswa lantas curiga kalau terbitnya peraturan wajib helm itu ada kaitannya dengan bisnis keluarga Presiden. Kecurigaan mahasiswa makin kuat ketika mendapati bahwa semua helm yang beredar di pasaran merupakan buatan perusahaan milik putra Presiden.

Sabtu, 31 Oktober 1987, Senat Mahasiswa IKIP menggelar aksi protes. Jalan Pettarani di depan kampus ditutup oleh mahasiswa. Tak satu pun kendaraan dibiarkan lewat. Seribuan mahasiswa tumpah ruah di sana. Asap hitam dari ban bekas yang terbakar, membumbung tinggi. Sulhan tampak di antara kerumunan peserta aksi. Ketika gilirannya tiba, ia orasi dengan lantang di atas panggung kayu darurat, di tengah jalan. Para hadirin mendengarnya dengan hikmat sambil sesekali bersorak.

Sekitar pukul 11.00, tiga truk penuh polisi dan lima truk penuh tentara, tiba di jalan Pettarani. Komandan pasukan berbicara melalui pelantang suara agar mahasiswa segera membubarkan diri. Ketua Senat Mahasiswa mendatangi komandan pasukan dan mulai bernegosiasi. Komandan pasukan berkata akan memberi kesempatan mahasiswa menggelar aksi hingga pukul 12.00, tapi Ketua Senat Mahasiswa minta diberi waktu hingga pukul 14.00. Negosiasi berlangsung alot namun akhirnya terjadi kesepakatan antar kedua belah pihak bahwa aksi hanya akan berlangsung hingga pukul 13.00, dan setelah itu aparat berhak melakukan pembubaran paksa jika mahasiswa masih bertahan.

Menjelang pukul 13.00, tak ada tanda-tanda mahasiswa akan membubarkan diri. Massa mahasiswa bahkan kian bertambah. Jumlahnya kini tak kurang dari dua ribu orang. Jalan Pettarani dan lapangan gerbang kampus disesaki mahasiswa. Dua orang dosen yang tidak muda lagi juga tampak bergabung dan mendapat kesempatan orasi di atas panggung. Keduanya memang dikenal sebagai dosen pembangkang, dan karena itu golongannya tidak pernah melewati jenjang III/b sekalipun telah puluhan tahun mengabdi. Komandan pasukan mulai memerintahkan anak buahnya bergerak maju ketika waktu menunjukkan pukul 12.50. Gerak maju pasukan itu membuat mahasiswa yang bertahan di jalan Pettarani mulai memunguti batu, balok, atau apa saja yang bisa dijadikan senjata.

Tepat pukul 13.00, sirine dari mobil patroli polisi berbunyi melengking. Itu menjadi isyarat bagi pasukan untuk segera memaksa mahasiswa membubarkan diri. Bukannya bubar, mahasiswa malah melempari aparat dengan apa saja. Bentrokan pun tak bisa dihindarkan. Aparat merangsek maju, satu tangan mereka memegang tameng menangkis lemparan mahasiswa, sementara tangan yang lain menggebuki mahasiswa dengan sebatang rotan. Mereka juga menembakkan gas air mata ke arah mahasiswa. Mahasiswa tak tinggal diam, mereka berupaya menahan gerak maju aparat, meski lama-kelamaan mereka kewalahan dan terpaksa beramai-ramai kabur ke dalam kampus. Pagar gerbang kampus segera ditutup oleh para mahasiswa. Komandan pasukan memerintahkan anak buahnya berhenti di depan gerbang dan membentuk formasi bertahan. Dari dalam kampus mahasiswa memaki-maki aparat yang telah membuat benteng hidup di sepanjang pagar kampus.

“Pulang sana! Tamatan SD dilarang masuk kampus!” kata seorang mahasiswa, disambut sorakan geli mahasiswa yang lain.

Seorang mahasiswa menunggingkan bokongnya ke arah aparat sambil membuka celana jeansnya hingga terlihat celana dalamnya belaka yang berwarna biru. Sembari menggoyang-goyangkan bokongnya, mahasiswa itu berteriak: “Tembak yang ini saja, Komandan!”

Dan benar saja, tembakan tiba-tiba menyalak. Mahasiswa panik berhamburan. Sebagian yang lain kembali melemparkan batu ke arah aparat. Pasukan yang sedari tadi kesal dihina itu, membuka paksa pagar gerbang, lalu merangsek masuk ke dalam kampus. Suara tembakan begitu bising. Sejumlah mahasiswa terkena peluru, karet maupun tajam. Mahasiswa yang lain kocar-kacir, tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa di antaranya, termasuk Sulhan, masuk ke dalam mesjid kampus, pura-pura salat. Tetapi kali ini aparat tak memberi ampun. Mereka mengejar hingga ke dalam mesjid, menangkapi siapapun yang ada di situ kecuali jemaah perempuan. Sulhan tidak termasuk yang ditangkapi lantaran ia sempat-sempatnya memakai mukenah dan berlindung di antara jemaah perempuan yang baik hati padanya.

 

***

 

Meski situasi di kampus sudah demikian panas, dan kemarahan mahasiswa kepada aparat menggema di mana-mana, Javid tetap saja bersantai ria di kamar kosnya. Ia seperti tak terpengaruh oleh hal-hal yang demikian itu. Ketika rekan-rekannya bentrok dengan aparat, ia asyik-asyik belaka di atas tempat tidurnya, ditemani suara merdu Elvy Sukaesih. Ketika Sulhan pulang ke kos dan menceritakan peristiwa bentrokan di depan kampus (dengan maksud agar Javid terpanggil ikut demonstrasi pada hari-hari berikutnya), Javid justru hanya berkata:

“Kalau saja demonstrasi mahasiswa dimeriahkan oleh suara merdu biduan-biduan dangdut, tentu saja bentrokan aparat dengan mahasiswa bisa dihindarkan.”

“Tapi apa kau lupa bahwa konser-konser dangdut juga kerap diwarnai kericuhan?” kata Sulhan.

“Sudahlah! Memang susah bicara dengan orang yang tak mengenal hakikat dangdut!” jawab Javid yang segera pergi menuju warung makan tak jauh dari situ.

Sepulang dari warung makan, Javid terperanjat ketika ia mendapati sebuah kutang berwarna merah jambu tergantung di gagang pintu kamarnya. Mendadak darahnya panas. Ia merasa telah dihina. Kehormatannya dilecehkan. Ia lantas bergegas mendatangi kamar Sulhan dan menggebrak-gebrak pintu kamar Sulhan.

“Keluar kau, Sulhan! Apa kau kira hanya kau yang laki-laki!? Bangsat, kau! Cccuihhh!”

 

***

 

Bentrokan kemarin mengakibatkan puluhan mahasiswa terluka. Seorang mahasiswa bahkan tewas setelah peluru tajam menerjang jantungnya. Minggu pagi, 1 November 1987, almarhum disalatkan di mesjid kampus. Selepas itu, almarhum dibawa ke kampung halamannya, satu jam perjalanan dari Ujung Pandang, diantar oleh ribuan mahasiswa dari berbagai kampus. Ketika ribuan pelayat itu kembali ke Ujung Pandang, di sepanjang jalan yang mereka lalui, mereka melempari setiap kantor polisi dan markas tentara dari atas truk yang mereka tumpangi.

Amma’ segera diberitahu Dion soal situasi di Ujung Pandang. Amma’ cemas dan bermaksud mendatangi kos Sulhan. Tapi Abba melarang Amma’ berangkat lantaran Amma’ sedang tak enak badan. Abba sendiri yang akan berangkat. Abba tiba di kos Sulhan menjelang asar, dan ia balik ke Bantaeng menjelang magrib. Sebelum balik, Abba meminta Sulhan berdiri tegap di hadapannya. Abba lantas mengusap sekujur tubuh Sulhan sambil mengucapkan mantra-mantra.

“Kau jangan surut. Perjuangkan apa yang kau anggap benar!” Begitu pesan Abba sebelum meninggalkan kos Sulhan.

Setibanya di Bantaeng, Abba diomeli habis-habisan oleh Amma’ lantaran tidak membawa Sulhan pulang. Tapi kata Abba, “Kamu tenang saja. Tak akan terjadi apa-apa pada anakmu itu. Percayalah padaku!”

Senin, 2 November 1987, mahasiswa dari seluruh kampus tumpah ruah ke jalan. Lalu lintas lumpuh total. Hanya para mahasiswa yang bebas berpawai keliling kota mengajak masyarakat agar membangkang aturan wajib helm. Di atas sepeda motor yang mereka kendarai, para mahasiswa itu mengenakan panci (yang pantatnya rata-rata sudah hitam pekat) di kepala mereka sebagai pengganti helm. Di setiap panci itu mereka tempeli tulisan: INI HELM.

Usai berpawai, lebih dari lima ribu mahasiswa dari berbagai kampus se-Ujung Pandang itu berkumpul di jalan Pettarani, depan kampus IKIP. Di situ, mereka menggelar mimbar bebas. Terlihat kepulan asap hitam membumbung dari tumpukan ban bekas yang terbakar. Mereka menggelar salat jemaah di jalanan ketika masuk waktu salat. Pukul 17.00 aparat yang sedari tadi berjaga di ujung jalan, memberi ultimatum bahwa aksi harus berakhir pukul 18.00. Tapi para mahasiswa tak mempedulikan ultimatum itu, dan balik menantang aparat berkelahi. “Nyawa dibalas nyawa!” teriak para mahasiswa. Mereka terus menggelar aksi hingga pukul 20.30 ketika aparat mulai bergerak maju dan berupaya memukul mundur mahasiswa.

 

***

 

Berminggu-minggu setelah demonstrasi pada senin malam yang berujung bentrok itu, aparat terus melakukan penangkapan terhadap para mahasiswa yang disebut-sebut sebagai provokator dan pelaku perusakan. Dalam bentrokan malam itu, ratusan mahasiswa terluka dan ratusan yang lain ditangkap, puluhan aparat juga luka terkena lemparan batu mahasiswa, tiga truk tentara terbakar, sebuah pos polisi juga dibakar, dan sebuah mobil berplat merah dirusak hingga remuk.

Meski sudah mentersangkakan delapan orang mahasiswa, polisi belum juga puas. Mereka masih mencari seorang lagi mahasiswa yang disebut-sebut sebagai pelaku tunggal pembakaran tiga truk tentara. Menurut cerita yang beredar, mahasiswa itulah yang melemparkan tiga bom molotov kepada truk-truk tentara yang terparkir berdekatan. Ketiga truk itu sebenarnya diparkir di ujung jalan Pettarani yang cukup jauh dari kerumunan mahasiswa. Truk-truk itu memang tak dijaga ketat, sebab tiada yang mengira akan menjadi target serangan. Ketika itu, aparat berkonsentrasi penuh di front terdepan di gerbang kampus.

Nyaris tiap hari aparat menggrebek kos-kosan mahasiswa mencari si pelempar bom molotov tersebut. Dalam setiap penggrebekan itu, aparat tak lupa menghajar mahasiswa di kamar kosnya lantaran kesal tak mendapatkan buruannya. Rumah kos tempat Sulhan tinggal, tentu tak lepas dari penggrebekan. Rumah kos itu bahkan telah dua kali digrebek lantaran terdapat informasi bahwa sang buron kos di situ. Semua kamar yang ada di kos tersebut diobrak-abrik aparat, kecuali kamar Sulhan. Setiap kali datang menggrebek, aparat-aparat itu selalu saja melewati kamar Sulhan, padahal Sulhan sendiri tengah tidur-tiduran di kamarnya. Selain menghajar mahasiswa yang berada di kamar-kamar kos itu (lantaran gagal menemukan sang buron), aparat juga menghajar si pemilik rumah kos tersebut sebab ia melaporkan memiliki 12 kamar, sementara aparat selalunya hanya menemukan 11 kamar. Hal itu tentu saja karena aparat-aparat itu selalu saja melewatkan kamar Sulhan.

Aksi-aksi penggerebekan oleh aparat itu segera dikabarkan Dion kepada Amma’ dan Abba. Abba tenang-tenang saja, tapi Amma’ langsung lemas. Amma’ lantas memerintahkan Dion pergi menjemput Sulhan saat itu juga. Tak lupa Amma’ membekali Dion dengan sepucuk surat yang isinya: “Ya Allah, cabutlah saja nyawa hamba sesegera mungkin apabila anakku Sulhan tak segera pulang ke Bantaeng seusai membaca surat ini!”

Aksi penggrebekan oleh aparat yang telah berlangsung berminggu-minggu itu baru berakhir ketika seorang mahasiswa mendatangi kantor polisi untuk menyerahkan diri. Dialah pelaku tunggal pelempar tiga bom molotov yang menyebabkan tiga truk tentara hangus terbakar. Dialah sang buron yang dicari-cari selama ini. Keesokan harinya, halaman utama koran-koran memberitakan peristiwa penyerahan diri itu. Koran-koran itu menulis bahwa pelaku pelempar bom molotov yang menyerahkan diri tersebut adalah seorang mahasiswa jurusan Teknik Mesin bernama Javid. []

Makassar, 24 September 2016

Ilustrasi: https://www.visimuslim.net/