Semua tulisan dari Alwy Rachman

Budayawan Sulsel

Anak-Anak di Ragam Panggung

-Catatan Ringkas Pengantar Diskusi Buku “Memetik Keberanian”

Tak gampang menemukan glorifikasi terhadap anak-anak, kecuali di tinggalan Khalil Gibran “Anakmu Bukan Milikmu”, ajakan sufistik bagi orang dewasa untuk mendaki ke dunia abstrak tentang anak. Di kedalaman filsafat serius, tema anak-anak dianggap sebagai “lelucon besar”. Anak-anak mengejutkan, hanya jika muncul di panggung dramatik. Perang Iran-Irak tahun 2008, kelaparan di Afrika tahun 2011, adalah dua panggung drama besar yang mengusik humanitas. Di kedua panggung ini, anak-anak diikutkan dalam perang mematikan, menjadi belulang tak berdaging, mati satu per satu.

Di negeri sendiri, drama anak-anak bukan di panggung perang, bukan pula di panggung kelaparan. Anak-anak negeri sendiri muncul di panggung bencana. Perang, kelaparan dan bencana, dengan demikian, menjadi hilir bagi masalah anak-anak. Di hulu, hak anak tak dipercakapkan dengan dalam, tak diperhitungkan secara rinci dalam kebijakan publik.

Dalam satu pengantar pracitra Children’s Rights, dipublikasi pada tahun 2016, Mhairi Cowden menulis tentang “apa sesungguhnya yang dimaksud dengan hak, dan dengan alasan apa anak-anak dianggap layak memilikinya”. Pada mulanya, Mhairi Cowden menganggap pertanyaan seperti ini tak lebih dari soal moral dan filsafat. Tak sukar menjawabnya. Tapi, dalam proses menuliskan “kertas posisi” untuk UNICEF, Mhairi Cowden segera menyadari ketiadaan konsensus terhadap hak anak. Retorika untuk mengadvokasi hak anak pun menjadi hampa akibat ketiadaan dasar-dasar teoretik tentang hak anak.

Lalu, kedudukan anak-anak sebagai “warga negara kelas dua” (secondary citizens) mulai dipercakapkan, terutama teori tentang “hubungan anak-anak dengan kebijakan publik”, atau kebijakan publik yang dapat mewadahi hak anak. Tahun 1973, ketika masih menjadi pengacara tak bernama, Hillary Clinton mengolok-olok usulan tentang hak anak. Ia bilang, hak anak tak lebih dari “slogan yang sedang mencari definisinya sendiri”.

Kini, sebagai negarawan, Hillary berada di garis depan dalam Konvensi tentang Hak Anak (United Nation Convention on the Rights of Child) yang telah diratifikasi di berbagai negara. Kini, bukan lagi “slogan”, hak anak telah didefinisikan ke ragam bentuknya: hak untuk tumbuh kembang, hak untuk tahu, hak atas pengambilan keputusan medis, dan hak untuk dicintai.

***

Apa yang khas dari anak-anak? Tak sukar menjawabnya, begitu pendakuan Mhairi Cowden. Anak-anak adalah periode kehidupan yang ditandai oleh penjelajahan, petualangan, pertumbuhan, kebaruan, tantangan, dan kadang-kadang ketakutan. Dalam uraian deduktif, anak-anak di sorot dalam dua belahan cakrawala kategorial: umur dan signifikansi normatif.

Di banyak negara, 18 tahun adalah ambang batas anak-anak. Ambang batas ini menjadi acuan dalam menilai kemunculan anak-anak di ruang publik. Di ranah normatif, anak-anak didudukkan sebagai “manusia” yang sedang berkembang menurut ukuran tubuh, ciri fisik, dan kemampuan kognitif.

Di literasi politik, anak-anak adalah “bunyi”, bukan “suara”. Meski bisa berbahasa (wording), kematangan dan keutuhan kognitif anak-anak dianggap belum memadai untuk tiba di wacana politik rumit. Itu sebabnya, anak-anak tak diberi “hak suara”: hak untuk memilih dan hak untuk dipilih secara politik.

Para psikolog mendudukkan anak-anak sebagai seri tahap perkembangan, dari keadaan yang belum matang menuju tahap dewasa yang rasional dan otonom. Para sosiolog kebudayaan lain lagi. Mereka menempatkan anak-anak dan masa anak-anak sebagai “dunia yang dikonstruksi”.

Tuntutan atas “signifikansi normatif” sebagaimana orang dewasa diproduksi oleh kebijakan publik dan dibentuk melalui representasi media. Anak-anak dan masa anak-anak juga diproduksi melalui keluarga.

Psikoanalis, seperti Sigmund Freud, menempatkan anak-anak dan masa anak-anak sebagai perjalanan seksualitas: dari oral ke genital. Anak-anak adalah “Oedipus”, kisah Yunani yang dipinjam oleh Sigmund Freud untuk mengatribusi analisisnya terhadap anak, atau “Electra”, juga kisah Yunani yang diambil oleh Carl Jung untuk menyanding “Oedipus”. “Oedipus” adalah anak lelaki pencinta sosok ibu, “Electra” adalah anak perempuan pencinta sosok ayah.

***

“Memetik Keberanian”, kumpulan cerita yang didedikasikan untuk anak-anak terdampak Bencana Palu, ditulis dengan jenjang keterbacaan (readability) tinggi. Kalimat-kalimat sederhana, diksi keseharian, dan alur imajinatif yang berkesesuaian dengan kapasitas kognitif anak-anak. Satu-satunya yang agak hilang dalam ragam kisah ini adalah karakter “onomatopoeia”, yaitu karakter diksi yang terbentuk oleh bunyi-bunyi yang diasosiasikan dengan aktor yang dimaksud, terutama kisah yang aktornya menumpang pada animasi. Bunyi “desis” untuk ular, bunyi “cicit” untuk tikus, misalnya.

Cerita memang berfungsi untuk mengalur-alirkan gagasan moral, mengembangkan imajinasi, dan menutup celah antara apa yang terbaik di dunia imajinasi dan apa yang salah di dunia nyata. Oleh karenanya, fungsi phonetic, fungsi phatic dan fungsi rhetic bahasa menjadi andalan representatif untuk membawa anak-anak ke dunia ideal.

Phonetic, phatic dan rhetic adalah tiga fungsi bahasa yang menjadi ciri pembeda bahasa literer, terutama karya literer untuk anak-anak. Phonetic setara dengan “bunyi”, phatic sejajar dengan “kata”, dan rhetic sebangun dengan “wacana”. Maka, kalimat “Cit. Tikus. Tikus itu lari.” adalah kalimat yang memenuhi tiga fungsi bahasa. Lewat fungsi phonetic, anak-anak belajar meniru suara alam. Melalui fungsi phatic, anak-anak belajar penyebutan identitas. Lewat fungsi rhetic, anak-anak mengenali wacana tindakan.

Pada akhirnya, kita semestinya percaya pendakuan Clarissa Pinkola, seorang psikoterapis Amerika, penulis pengantar “The Hero With A Thousand Faces” karya Joseph Campbell, dipublikasi tahun 2004. Ia bilang, “jika hati dan keberanian adalah otot penggerak spiritual yang menolong seseorang menjadi manusia utuh, maka kisah adalah tulang kerangkanya.” Cerita adalah kisah. Mari kita menerima kumpulan cerita “Memetik Keberanian” sebagai upaya literer “membangun tulang kerangka” spiritualitas anak-anak korban bencana.

Literasi Tiga Jendela

Literasi, kini, menjadi terma bersaing, terma yang telah meninggalkan makna muasalnya sejak dekade ke-15. Ia tak lagi sekadar “pengetahuan tentang aksara”, tak cuma merujuk ragam kualitas: “terdidik” atau “tak terdidik”, “adab aksara” atau “sakit aksara”, “literacy” atau “illiteracy”. Literasi, kini, menjadi terma payung, jangkar bagi segenap kualitas transdisiplin. Ia bisa bermatra kultural, bergatra politikal, berdimensi ekonomikal, berperspektif sosial. Literasi, sekarang, menjadi aksi untuk membaca sekalian menakar gerak-gerik peradaban dan keadaban.

Di hamparan percakapan ilmuan, di cakrawala diskursus pemuka-pemikir, literasi dipakai untuk menerka “paras masa depan”. Ada citra proyeksi terhadapnya. Ada penantian cemas darinya. Ada interogasi kepadanya sedemikian rupa. Ada yang menariknya ke masa kini. Ada yang ingin mengenali dinamika dan segenap iringan konsekuensinya. Tiga jendela (windows) di bawah ini adalah upaya mengintip hubungan berjarak antara manusia dengan masa depan.

***

Jendela pertama adalah cakrawala “Era Amarah”. Amarah, dalam pandangan Pankaj Mishra, telah datang dan akan tetap datang, menyebar ke mana-mana. Mishra menukil Karl Mannheim, penulis Ideologi dan Utopia: “We have all ripened something, and there is none to harvest the fruit”, “kita semua sudah mematangkan sesuatu, tapi tak seorang pun yang memanen buahnya”. Kita tak memetik buah peradaban. Lewat Age of Anger: A History of The Present, Era Kemarahan: Sejarah Masa Kini, ditulis pada tahun 2017, Mishra mendeskripsikan kekerasan demi kekerasan akibat dari amarah melompat-lompat, dari zaman ke zaman, dari lokus ke lokus, dari tradisi ke tradisi. Amarah adalah wujud kekecewaan yang ikut memotivasi model ideologi politik: dari nasionalisme ke terorisme. Begitu pendakuan Mishra.

Sebelumnya, Peter Sloterdijk mengkonfirmasi cakrawala Mishra atas amarah. Melalui Rage and Time, Kemarahan dan Waktu, ditulis pada tahun1947 tapi diterjemahkan ulang pada tahun 2010, Sloterdijk menelusuri kualitas amarah jauh, ke masa lampau, di seputar kisah mitologi Yunani Antik. Amarah, dengan demikian, ditemukan sebagai proyeksi mitos. Mitos segenap hero di masa purba telah mengekspresikan amarah secara tekstual. Di masa kontemporer, amarah menjadi faktual. Mitos dan fakta menjadi tak berjarak. Jurang di antara keduanya menjadi rampat.

Menyusul, Francis Fukuyama, pada tahun 2018, menulis Identity: The Demand for Dignity and The Politics of Resentment, Identitas: Pencarian Kehormatan dan Politik Kebencian. Di karya yang tak akan ditulis seandainya Presiden Trump tak menang, begitu pendakuan pada pracitra buku ini, Fukuyama menyusun tesis: institusi Amerika kini berkarat, tak mampu mereformasi dirinya. Fukuyama bilang: “selain materi, manusia butuh hal lain.” Tak sedikit pemimpin politik ikut memobilisasi pengikutnya di sekitar persepsi bahwa kehormatan kelompok telah dilanggar, diremehkan, dan diabaikan. Politik kebencian dimulai dari sini. Restitusi atas harga diri lebih diutamakan ketimbang keuntungan ekonomi.

Jendela kedua membuka tabir lanjutan revolusi industri. Lebih spesifik, di masa depan dibilangkan sebagai rentang akan berlangsungnya Revolusi Industri 4.0. Revolusi Industri 1.0 dengan penanda penemuan kereta api dan mesin uap, Revolusi Industri 2.0 dengan produksi mesin elektrik secara massal, Revolusi Industri 3.0 dengan penemuan semikonduktor, komputer personal-jaringan, internet, akan disusul dengan inovasi aplikasi digital, kecerdasan buatan, mesin belajar otomatis, dan teknologi nano sebagai bagian dari Revolusi Industri 4.0.

Revolusi Industri disetarakan dengan eradisrupsi, dimulai dari ide, riset pengembangan, model organisasi. Disrupsi dimulai dari bawah, bergerak ke atas, mencapai segmen incumbent. Disrupsi menimbulkan kepanikan akibat tak dikenali. Banyak orang, banyak pengusaha, banyak regulator, dan tak sedikit perguruan tinggi, tak menyadari bahwa ciri utama disrupsi adalah kecepatan, kejutan, dan perjumpaan.

Klaus Schwab, penulis The Fourth Industrial Revolution, tahun 2016, meramal bahwa manusia akan dikendalikan oleh ragam piranti digital berteknologi tinggi, membentuk hubungan manusia-mesin dengan cara amat dalam: manusia tenggelam, basah kuyup. Konsekuensi benderang di era disrupsi tak lain: hilangnya keterampilan sosial, matinya empati, ketaksediaan mendengar, dan tumbuhnya perilaku reaktif.

Revolusi Industri 4.0 akan menandai “cyber society”, berciri “The Death of Distance”, yaitu “punahnya pola hubungan jarak sosial”. Nilai-nilai yang memandu hubungan jarak sosial ayah- anak, ibu-anak, ayah-ibu, kakak-adik, senior-yunior, guru-murid, pemimpin-pengikut, punah tak berbekas. Jarak sosial telah mati.

Dengan mengenali dampak disrupsi, forum ekonomi dunia, pada tahun 2016, ikut merumuskan visi baru pendidikan. Visi baru berfokus pada 6 literasi, 4 kompetensi, dan 6 karakter. Literasi masa depan adalah literasi aksara, literasi numerasi, literasi saintifik, literasi finansial, literasi teknologi digital, literasi budaya-kewargaan. Kebutuhan kompetensi di era disrupsi tak lain: berpikir kritikal, berpikir kreatif, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan berkolaborasi. Karakter di depan: rasa ingin tahu, inisiatif, persisten, kemampuan beradaptasi, kepemimpinan, kemawasan sosial-budaya.

Jendela ketiga adalah literasi tentang otak: Otak Kanan. Daniel H. Pink, melalui kumpulan esai A Whole New Mind: Why Right – Brainers Will Rule The Future, dipublikasi pada tahun 2005, secara imajinatif mencari pembeda antara “pengguna otak kiri” dengan “pengguna otak kanan”, dalam merespons masa depan. Mantan penulis pidato presidensial Gedung Putih Amerika ini, merefleksi kehidupan masyarakat Amerika selama lebih dari satu dekade silam. Ia bilang: Amerika dan Barat adalah “Masyarakat Otak Kiri”.

“Masyarakat Otak Kiri” didominasi oleh  gaya pikir analitik, deduktif, sekalian reduktif. Nyaris setiap orang menghabiskan usianya sebagai pekerja pengetahuan, manipulator informasi dalam berbagai keahlian. Melalui riset eksperimental, kalangan neurolinguist mengenali pembeda pola aktivasi otak saat membunyikan lambang bahasa, antara perempuan dengan lelaki. Selama proses pengucapan fonologis, otak lelaki menunjukkan aktivasi unilateral, terutama di gyrus  inferior kiri. Pada otak perempuan, aktivasi akan berlangsung pada gyrus frontal kiri dan kanan.

Kekuatan globalisasi telah mendudukkan “pekerja otak kiri”, dibilangkan juga sebagai “pekerja kerah putih”, sebagai paket komodifikasi, bisa dikirim ke sana-sini, ke berbagai belahan dunia. Tersisa adalah masyarakat Amerika yang kehilangan pengalaman non-material.

Dekade disrupsi akan membingungkan otak kiri — berpikir linier, logis, dan analitis. Itu sebabnya, meski telah lama disepelekan, kapasitas otak kanan — nonlinier, intuitif, dan holistik — dipercaya akan menemukan momentumnya. Dari sana daya cipta berasal, empati dibangun, kegembiraan diekspresikan, dan pemaknaan dibentuk. Era di depan adalah “era otak kanan”, begitu pendirian Daniel.

***

Tak berkelebihan jika giat literasi di Makassar, juga di wilayah lain di Sulsel, sebagai “gerakan kultural”. Pada awalnya, terma literasi tak dipakai untuk menandai segenap aktivitas keaksaraan lintas disiplin. Pada mulanya, aksi literasi diinisiasi, dikelola, digerakkan oleh kalangan muda terdidik. Sebelumnya, aksi literasi dimotivasi oleh semangat altruis.

Keunikan dari giat literasi Makassar terletak pada pengelolaan aksi dan organisasi secara tak terpusat. Giat literasi tumbuh dan berkembang lewat pengorganisasian di luar halaman pusat- pusat pendidikan. Belakangan, jejaring kelompok giat literasi terbentuk secara alamiah. Pengalaman seperti ini amat berbeda dengan 5 generasi NGO lain di Sulawesi Selatan.

*Ditulis di Makassar, 5 Desember 2018, dalam kerangka Memperingati 10 Tahun Gerakan Literasi di Sulsel.

*Tulisan ini diterbitkan ulang atas izin penulis

Lian dan Lain, Literasi tentang Parenting

Refleksi atas buku Metamorfosis Ibu

Dua pesona tersemat pada Metamorfosis Ibu, ditulis oleh Mauliah Mulkin, di publikasi pada 2018. Pertama, karya ini berdiri di atas jangkar konsep “parenting”. Muasal “parenting” datang dari khazanah bahasa Latin. Maknanya: “bringing forth”, “memindahkan ke (masa) depan”. Itu sebabnya, “parenting” bermatra transformatif, bergatra perubahan abadi,
berdimensi peristiwa eventual, terjadi hanya sekali dan tak akan berulang. Transformasi memang bukan reformasi.

Hukum-hukum alam mengajarkan pembeda utama antara transformasi dan reformasi; Ulat bertransformasi menjadi kupu-kupu, setelah sekian lama kesepian di kepompong; Kupu-kupu tak akan pernah kembali menjadi ulat. Ular tetap ular, sekali pun berganti kulit berkali-kali; Ular tak akan pernah berubah menjadi satu bentuk “lain”. Ulat setara dengan transformasi; Ular sebangun dengan reformasi.

Pesona kedua buku ini bersandar pada konsep “keluarga”. Dalam khazanah ekspresi bahasa Inggris, “keluarga” dibilangkan sebagai “family”. Semantik “family” berakar bahasa Latin: “famulus”, “familia”, bermakna “household servants”, yaitu “pembantu rumah tangga”. Tak berkelebihan, jika “keluarga” adalah institusi pembantu rumah tangga. Siapa pun — ayah, ibu, anak — tak lebih dari pembantu keluarga. Pembantu bukan “lian”, pun bukan orang “lain”. “Lian” dan “lain” adalah dua hal berbeda. “Lian” dibilangkan sebagai imajinasi tentang makhluk mirip manusia tetapi bukan manusia; “Lain” dimengerti sebagai manusia yang bukan anggota keluarga.

Metamorfosis Ibu diapit oleh Prolog dan Epilog, dua posisi ulasan berbeda tetapi kaya akan gagasan. Prolog, ditulis oleh Syafinuddin Al-Mandari, berisi deskripsi dan argumentasi perubahan sosial lewat metafor darah biru, darah merah dan darah hitam. Biru, merah, dan hitam adalah citra perubahan dinamik antara bangsawan, pahlawan, dan ilmuan. Inti dari deskripsi dan argumentasi di prolog ini tak lain adalah dinamika keluarga. Orang-orang kebanyakan tetapi tumbuh di keluarga transformatif bisa menggeser pesona darah bangsawan dan darah pahlawan.

Di Epilog, ditulis oleh Andi Olle Mashurah, gagasan tentang “ruang hidup” di institusi pembantu rumah tangga dapat dicerna. Baginya, sosok ibu tak hanya bagian dari hukum kausalitas, hukum sebab-akibat, tetapi di sana ada kesadaran. Kalau saja kata “kesadaran” disepadankan dengan
“consciousness” dalam ekspresi bahasa Inggris, maka “kesadaran” bisa dibilangkan sebagai “cahaya yang berkelebat dalam pikiran” lalu membangkitkan kewaspadaan dan kemawasan. Posisi memikat dari Andi Olle Mashrurah adalah soal toleransi. Ia bilang secara retorik, sosok ibu adalah pribadi toleran atas kesalahan anak orang “lain” ketimbang anak kandung. Penegasan seperti ini ibarat refleksi: Jangan-jangan kebenaran ada pada orang “lain”.

***

Tubuh Metamorfosis Ibu dibangun di atas 56 kisah dan disebar ke dalam empat bagian. Bagian pertama berfokus pada anak. Di bagian ini, anak-anak didudukkan di dunia pendakian tinggi, dibilangkan sebagai dunia “transendensi”. Anak-anak di dunia transendensi bisa ditemukan di lipatan berpikir filsuf dan sufi. Mahatma Gandhi dan Khalil Gibran adalah contoh sederhana.
Gandhi dengan legasi anti-kekerasan, belajar dari cara menerima hukuman karena berbohong ketika masih kanak-kanak; Gibran dengan imajinasi transformatif tentang dunia anak-anak, mengajarkan pada banyak orang bahwa anak-anak bukan keserupaan ayah-ibu, apalagi orang “lain”.

Dengan penghayatan atas dunia “transendensi”, Mauliah Mulkin mengekspresikan ragam keprihatinan terhadap “dunia faktual” anak-anak. Revolusi Industri 4.0 memungkinkan anak-anak kehilangan keterampilan sosial, memunculkan ketakmampuan mendengar, dan kehilangan empati. Sekolah dan rumah tangga pun diperbincangkan; Sekolah tak lagi sepenuhnya menjadi pusat toleransi; Rumah tangga tak lagi seutuhnya sebagai pusat spiritualitas.

Bagian kedua berisi kisah-kisah reflektif tentang pemerdekaan anak-anak. Pemerdekaan setara dengan kecintaan, sebangun dengan pembebasan dari amarah. Benar, anak-anak kini hidup di tengah orang dewasa penuh amarah. Dalam cakrawala Pankaj Mishra, amarah telah datang, membuat kita tak dapat memetik buah peradaban.

Bagian ketiga Metamorfosis Ibu, kesepadanan peran institusional ayah-ibu dipercakapkan melalui gaya tulis reflektif. Sosok ayah didudukkan sebagai tugu ingatan, ibarat monumen kokoh tempat menjangkarkan ingatan masa kanak-kanak; Sosok ibu yang tetap setia pada tanahnya sendiri tetapi tak pernah lari dari peran tangguh “penyelesai masalah”.

Bagian keempat berfokus pada soal literasi parenting. Melalui ragam peristiwa, ragam konteks, ragam peran, parenting dideskripsikan sebagai rentetan tindakan untuk menggerakkan. Bukan soal peradaban besar atau peradaban mungil. Paling penting adalah tindakan sadar transformatif. Tak ada kupu-kupu tanpa kepompong, wadah bagi ulat untuk bertranformasi; Tak ada sosok berkarakter tanpa keluarga sebagai wadah kepompong.

Dengan menghayati Metamorfosis Ibu, ingatan saya tertuju pada seorang pemikir, Julian Janes. Melalui The Origin of Consciousness in The Break-Down of The Bicameral Mind, dipublikasi pada tahun 2000, Janes bilang: “Kesadaran bukanlah sesuatu yang disadari. Kesadaran dibentuk oleh kejelasan imaji, dimulai dari pemahaman atas kondisi mawas, suasana hati dan kasih sayang, penghargaan atas ingatan, pikiran, perhatian dan kehendak.

Akhirnya, saya sejatinya menambahkan pendakuan Janes: “Otak manusia manusia bekerja di dua kamar (bicameral mind ): Kamar satu adalah kamar berbicara; Kamar dua adalah kamar mendengar.” Mauliah Mulkin telah berbicara melalui Metamorfosis Ibu, saya pun usai mendengarkan sepenuhnya. Mauliah Mulkin telah menyatakan suasana hati dan kasih sayangnya, saya pun berempati mengapa sosok Mauliah berdedikasi pada literasi parenting. Pesan penting di karya Mauliah: “Kita sejatinya belajar bertransformasi untuk tak semena-mena memandang manusia sebagai orang “lain”, apalagi sebagai “lian”.

Ditulis di Makassar, 18 Desember 2018