Semua tulisan dari Andi Alfian

Lahir di Bombana, 05 Agustus 1999. Adalah manusia tidak berilmu di UIN Alauddin Makassar. "Aku sangat mencintai perbedaan hingga kuterlihat berbeda"

Setelah Berliterasi Lalu Apa Lagi?

Gerakan literasi berbasis komunitas akhir-akhir ini semakin marak diperbincangkan. Bukan hanya menjadi perbincangan, namun juga telah banyak terbentuk dan mengambil ruang di kalangan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kehadiran pelbagai komunitas literasi dari berbagai penjuru dalam acara Temu Komunitas Literasi “Selagi September: Sastra di Titik Temu” pada Sabtu, 16 September 2017 (malam minggu).

Sebagaimana yang dilansir di Rakyatku.com, Temu Komunitas Literasi  itu merupakan kegiatan temu komunitas literasi yang diprakarsai oleh empat komunitas literasi sastra Makassar, yaitu Pecandu Aksara, Arakata, Pembatas Buku, dan Serat Sastra UNM yang tentu juga bekerja sama dengan La Macca Creative Corner. Kegiatan ini juga merupakan salah satu bentuk gerakan literasi kreatif di sektor selatan Makassar. Sehingga salah satu bentuk kampanye media sosialnya adalah penggunaan hastag #jamaahkreatifsektorselatan.

Kegiatan ini terdiri dari empat jenis acara, yakni acara Talk Show yang bertema “Membangun dan Menjaga Napas Komunitas Literasi”, Creative Sharing, Music Accoustic, dan Pembacaan Puisi. Untuk acara Talk Show dimoderatori oleh Fachri Djaman, ST (Ghost Writer dan Pegiat Literasi di komunitas Pecandu Aksara) dan yang menjadi narasumber yakni Faisal Oddang (Sastrawan Nasional dan Penulis buku Puya ke Puya) dan Sulhan Yusuf (Direktur Paradigma Institute dan Founder Toko Buku Papirus).

Sebelum langsung pada pembahasan tema Talk Show, Fachri selaku moderator mengemukakan sebuah argumen yang kurang lebih memberikan indikasi ketidaksepakatan kepada Pemerintah Sulawesi Selatan khususnya Kota Makassar yang telah memberikan identitas Makassar sebagai “Kota Kreatif atau Kota Kuliner”. Karena bagi analisis Fachri, Makassar tidaklah memiliki warisan kreativitas atau warisan kuliner yang kokoh untuk dijadikan sebagai identitas nasional namun Makassar memiliki warisan literasi yang kokoh. Misalnya karya sastra terpanjang di dunia versi PBB yakni sastra La Galigo, warisan aksara Lontara dan warisan literasi lokal lainnya.

Warisan-warisan inilah yang seharusnya dilirik oleh Pemerintah Kota Makassar sebagai pijakan dasar untuk menjadikan Kota Makassar sebagai kota literasi. Selanjutnya, moderator ini juga mengatakan pernah melakukan riset komunitas di kota Makassar dengan hasil riset bahwa dalam sehari terdapat kurang lebih empat komunitas terbentuk. Dan ini menandakan bahwa gerakan literasi Kota Makassar semakin ramai dan semangat berkomunitas serta berliterasi mulai menjamur.

Fachri selaku moderator ini kemudian mengajukan kedua argumen tersebut—Makassar sebagai kota literasi dan riset tentang maraknya kelahiran komunitas—kepada kedua narasumber talk show untuk ditanggapi.

Sulhan Yusuf sebagai narasumber pertama yang menanggapi kedua hal tersebut dengan menyatakan bahwa ia tidak terlalu menggebu-gebu untuk menjadikan Kota Makassar sebagai kota literasi, sebab menurut Direktur Paradigma Institute ini, bahwa meskipun dalam sehari terdapat empat atau bahkan lebih komunitas terbentuk tetapi dalam sehari itu pula empat atau bahkan lebih komunitas juga mengalami kematian.

Sedangkan Faisal Oddang memberikan tanggapannya lebih pada fungsionalitas komunitas literasi yang marak tumbuh. Sastrawan yang sering disapa Bang Fais ini, kurang lebih menyatakan bahwa komunitas literasi yang terdapat di kalangan mahasiswa harusnya menjadi alternatif bagi mahasiswa untuk memasuki dunia literasi yang sebenarnya juga bisa didapat di organisasi lain maupun dalam kuliah. Sebab menurut Faisal Oddang, gerakan berbasis komunitas di kampus jauh lebih mudah diakses dibandingkan organisasi kampus yang lebih bersifat struktural.

Lebih lanjut, penulis buku Puya ke Puya ini juga menceritakan pengalamannya ketika berkunjung dan ingin menjadi anggota Perpustakaan Daerah di Sulawesi Selatan. Ia merasa mengalami kendala karena untuk menjadi anggota perpustakaan itu, orang harus memiliki surat keterangan dari RT setempat. “Bayangkan! Untuk menjadi pembaca buku, Anda mesti dipersulit oleh perkara-perkara demikian,” ungkap Faisal Oddang. Dan perkara-perkara semacam itu memang sangat marak kita jumpai dalam institusi pemerintahan dan pendidikan.

Selanjutnya berpindah ke wacana buta aksara. Sebagaimana diungkapkan oleh Fachri dari Kemendikbud bahwa Sulawesi Selatan menduduki peringkat ke-6 sebagai provinsi yang masih mengalami buta aksara. Dan ini kemudian dilemparkan kepada para narasumber dengan pertanyaan bagaimana peran komunitas literasi dalam mengatasi masalah buta aksara dan juga tuna menulis?

Menurut narasumber pertama—Sulhan Yusuf, bahwa sebelum menjawab bagaimana mengatasi masalah itu kita mesti menganalisis maqam atau tingkatan-tingkatan literasi seseorang atau suatu masyarakat. Setelah mengetahui tingkatan-tingkatan literasi itu, kita bisa memahami siapa yang seharusnya mengatasi masalah semacam buta aksara. Tingkatan yang dimaksud tersebut ada tiga: Pertama, tingkatan literasi yang sekadar bertaraf pada pembebasan seorang diri atau kelompok dari buta aksara dan tuna tulis. Kedua, tingkatan literasi yang bertaraf pada kebutuhan profesi semata. Dan yang ketiga, sebuah tingkatan literasi yang berdasarkan pada kebutuhan jiwa dan kecintaan pada ilmu pengetahuan.

Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa masalah yang timbul dari tingkat literasi pertama yakni buta huruf dan tuna aksara seharusnya diselesaikan oleh pemerintah. Karena pada dasarnya buta huruf terjadi karena kurangnya peran pemerintah dalam memberikan fasilitas dan dorongan kepada masyarakat bawah. Jadi menurutnya, pemerintahlah yang memiliki peran utama dalam mengatasi masalah itu yang kemudian tentunya juga komunitas literasi. Dalam artian komunitas literasi bertugas sebagai pendobrak pemerintah agar melakukan tindakan, dalam artian komunitas literasilah yang seharusnya selalu siap dan tanggap menyampaikan masalah dan solusi wacana buta aksara ini dan kemudian dieksekusi oleh pemerintah.“Kalau perlu komunitas literasi membawa linggis untuk menggerakkan pemerintah,” ungkap Sulhan Yusuf dengan nada canda.

Sedangkan masalah atau tugas yang mesti diselesaikan di tingkatan literasi kedua adalah bagaimana agar literasi tidak hanya sampai pada tingkatan ini. Bagaimana agar tingkatan kedua ini kemudian bisa sampai pada tingkatan ketiga, tidak hanya bertaraf pada profesi semata semisal mahasiswa membaca dikarenakan tuntutan membaca buku-buku kuliah, mahasiswa menulis yang dikarenakan tuntutan menulis dari tugas kampus serta dosen membaca dan menulis dikarenakan tuntutan untuk meraih prestasi profesi akademik tertentu. Namun harus sampai pada tingkatan ketiga yakni membaca karena merupakan kebutuhan jiwa baik intelektualitas maupun spiritualitas. Nah, tugas dosen dan pengajarlah dalam menyelesaikan masalah dan menanamkan literasi pada pelajarnya untuk masuk dalam literasi tingkatan kedua. Dan letak tugas komunitas literasi adalah berupaya menjadikan para peminat literasi pada tingkatan kedua menjadi peminat literasi yang menduduki maqam atau tingkatan ketiga.

Selain masalah tingkatan keliterasian seseorang atau kelompok, Sulhan Yusuf juga mengungkapkan gelombang gerakan literasi yang juga memiliki tiga tingkatan yakni: Tingkatan pertama, gerakan literasi yang gerakannya hanya sampai pada penyediaan buku-buku bacaan. Dalam artian, komunitas atau gelombang gerakan literasi yang masuk dalam kategori ini meliputi komunitas yang hanya memiliki program penyediaan buku-buku bacaan, hanya seputar melayani proses pinjam dan pengembalian buku. Tingkatan kedua, gerakan literasi yang bukan hanya melayani proses meminjam dan pengembalian buku namun juga melakukan kegiatan pengkajian, penelitian, penerbitan, dan program kegiatan keilmuan lainnya. Tingkatan ketiga, gerakan literasi yang yang berbasis segala bentuk kegiatan populer masa kini. Gelombang kegiatan literasi ini menjadikan literasi sebagai hal yang fleksibel dan harus ada di segala tempat. Jika dalam istilah Sulhan Yusuf, literasi diibaratkan sebagai teknologi flashdisk yang bisa dicolok di teknologi jenis apa saja.

Sehingga menurutnya, gerakan komunitas literasi seharusnya tidak hanya memiliki dampak pribadi  tapi juga berdampak untuk khalayak atau dalam istilah Sulhan Yusuf menyebutnya dua faktor: internal dan eksternal. Faktor internal yakni program literasi yang bertujuan untuk anggota komunitas itu sendiri, dan faktor eksternal yakni program literasi yang bertujuan untuk luar komunitas sebagai bentuk pengenalan dunia literasi untuk khalayak.

Selanjutnya tibalah pada pertanyaan bagaimana cara membangun dan menjaga napas komunitas literasi. Sebelum memberikan kesempatan kepada kedua narasumber, Fachri yang selaku moderator menyampaikan tips membangun dan menjaga napas komunitas literasi sebagaimana yang pernah ia dapatkan dalam suatu forum diskusi literasi yakni pertama, sinergitas antar pegiat komunitas literasi dan yang kedua, mind mapping. Mind mapping yang dimaksud di sini berupa visi, misi, dan kerangka gerakan komunitas literasi.

Untuk tema membangun dan menjaga napas komunitas literasi sebenarnya cukup menarik apa yang dikemukakan oleh Sulhan Yusuf. Menurut Sulhan Yusuf, ada dua hal yang mesti diperhatikan dalam membangun dan menjaga napas gerakan atau komunitas literasi: Pertama, perlu diperhatikan bahwa membangun gerakan/komunitas literasi jauh lebih mudah dibandingkan merawat dan menjaga komunitas literasi. Karena berdasarkan pengalamannya berkali-kali ia membangun komunitas literasi dan berkali-kali juga gerakan-gerakan literasi tersebut mengalami kematian. Sehingga menurut beliau salah satu penyebab kematian sebuah komunitas literasi adalah hilangnya ikon komunitas itu. Ikon yang dimaksud adalah pelopor atau pemantik semangat gerakan. Biasanya, hilangnya ikon ini terjadi ketika sosok ikon mendapatkan profesi atau pekerjaan sehingga meninggalkan komunitasnya, dikarenakan sosok ikon berpindah tempat sehingga meninggalkan komunitasnya atau bahkan hal lain yang menimpa sosok ikon sehingga komunitas literasi itu pun mengalami kematiannya.

Kemudian yang kedua, harus ada nilai atau asas yang ditanamkan dalam sebuah gerakan atau komunitas literasi. Semisal dalam komunitas literasi Paradigma Institute memiliki dua nilai atau asas penting yakni altruisme dan pluralisme. Altruisme merupakan asas Paradigma Institute yang berarti kesukarelaan, kerelawanan. Jadi dalam komunitas Paradigma Institute baik anggota maupun pengurus komunitas harus punya jiwa altruisme. Juga dalam tradisi menulis di media menulisnya (kalaliterasi.com), baik penulis yang mengirim tulisan maupun redaktur yang mengontrol tulisan yang masuk tidak mendapatkan upah. Sehingga inilah yang dimaksud penerapan asas altruisme. Namun sekadar informasi tambahan bahwa jika Anda mengirim tulisan ke medianya (kalaliterasi.com) maka sebagai imbalannya, pengurus akan membagikan tulisan Anda sehingga bisa mendapat pembaca yang memadai dari segala penjuru mata angin.

Sedangkan asas kedua—pluralisme yang dimiliki oleh Paradigma Institute berarti cinta keberagaman dan menerima segala bentuk perbedaan. Sehingga dengan adanya asas kedua ini, Paradigma Institute memiliki keberagaman anggota, mulai dari yang tingkatan religiusnya tinggi sampai yang rendah. Jika dalam ungkapan lisan Sulhan Yusuf “mulai yang rajin salat sampai pada yang malas salat”. Bukan hanya itu, bahkan pada latar belakang agama, profesi, umur, asal daerah yang berbeda-beda. Semuanya jadi satu, satu rasa pada rasa yang sama serta sama rata dalam komunitas literasi Paradigma Institute.

Asas yang dikemukakan oleh Sulhan Yusuf tersebut memberikan indikasi bahwa dalam membangun dan menjaga napas komunitas literasi diperlukan kesadaran dan upaya yang maksimal dari setiap personal dalam komunitas dan sinergitas pada asas-asas komunitas. Dan lebih penting menurut Sulhan Yusuf, gerakan atau komunitas literasi tidak mesti menyamakan asas atau nilai-nilainya dengan gerakan dan komunitas yang lain. Sebab, setiap gerakan dan komunitas literasi selalu memiliki identitas dan rasa tersendiri, sehingga berkomunitaslah, sehingga berliterasilah, sehingga temukanlah nilai dan rasa komunitas Anda pada komunitas Anda sendiri.

Lebih lanjut, pandangan Sulhan Yusuf di atas memiliki keterkaitan dan titik temu dengan pandangan Faisal Oddang yang menyatakan bahwa sebuah komunitas literasi akan berumur pendek jika anggotanya masih memikirkan dirinya sendiri. Dalam artian komunitas literasi akan berumur pendek jika kita memiliki alasan bergabung dalam komunitas hanya untuk mendapatkan bahan bacaan yang banyak, hanya untuk mendapatkan keterampilan menulis yang memadai. Karena setelah keduanya didapatkan maka kelanjutan nilai atau asas gerakan dalam berkomunitas ini pun dilupakan. Maka dari itu, kata Faisal Oddang harusnya lebih dari itu—bukan hanya membaca dan menulis untuk diri sendiri, tetapi juga harus memiliki dampak bagi orang lain di luar komunitas.

Seperti itulah ringkasan diskusi dari kegiatan Temu Komunitas Literasi Makassar yang bertema “Selagi September: Sastra di Titik Temu” yang kemudian dilanjutkan dengan Sharing Creative dari berbagai komunitas literasi, Music Acoustic persembahan dari Walasuji, dan Pembacaan Puisi dari berbagai perwakilan komunitas literasi.

Di akhir ringkasan ini, saya ingin menulis sebuah pertanyaan yang juga merupakan pertanyaan Faisal Oddang bahwa: Dalam periodisasinya, setelah masa perjuangan ada kemerdekaan, setelah Orde Lama ada Orde Baru, setelah Reformasi ada apalagi? Dalam literasinya, setelah kita berkomunitas, setelah kita membaca, setelah kita menulis, lalu apa lagi?

Salam Literasi.

Pendidikan Ketakutan dan Akhir Semester

“Pendidikan adalah senjata ampuh bagi peradaban”.

Persoalan pendidikan kita hari ini adalah persoalan ketakutan. Pendidikan kita hari ini adalah pendidikan ketakutan. Naluri keberanian dan kehausan ilmu pengetahuan generasi penuntut ilmu dikebiri oleh mereka, pengajar-pengajar penakut. Sehingga yang tersisa hanyalah gumpalan ketakutan. Propaganda ketakutan inilah yang membuat kita lupa bahwa kita punya keberanian sehingga kita pun takut berlaku berani. Setidaknya seperti itulah hipotesa awal saya sebagai pelajar di Jurusan Aqidah Filsafat.

Keberanian paling penting yang seharusnya dimiliki oleh seorang pelajar adalah keberanian bertanya. Karena bertanya merupakan sebuah kunci agar kita bisa menemukan hal-hal baru. Tidak sedikit penemuan dan pemikiran yang inovatif lahir dari sebuah pertanyaan, tentunya karena berani bertanya. Masih ingatkah kita pada pertanyaan “Mengapa sebuah apel bisa jatuh dari pohon sedangkan bulan tidak jatuh ke bumi?” Ya, itulah pertanyaan awal seorang filsuf alam yang bernama Sir Isaac Newton sehingga dapat merumuskan Teori Gravitasi. Selain penemuan itu, terdapat berbagai penemuan-penemuan besar lainnya yang lahir karena sebuah pertanyaan.

Namun sayangnya, budaya bertanya dalam pendidikan kita sudah semakin melarat. Dalam suasana pendidikan kita, baik itu di sekolah maupun di kampus, jika terdapat seorang pelajar yang selalu bertanya akan dicap sebagai pelajar yang bodoh dan bahkan kadang ditertawakan. Dan tidak jarang pula kita dapati pengajar yang merasa takut dan terancam dengan pertanyaan-pertanyaan pelajar yang seharusnya ditumbuhkan. Sehingga dengan penuh rasa ketakutan ia pun melarang dan membunuh benih pertanyaan pada pelajarnya dengan memberikan nilai Error atau ancaman tidak lulus dalam mata kuliahnya. Sehingga tugas pengajar yang seharusnya untuk menghidupkan pengetahuan beralih menjadi menghidupkan dogma yang penuh dengan ketakutan. Yah, menjadikan pelajar jadi penakut, takut bertanya, takut tidak mendapatkan nilai baik. Sehingga pada satu titik, pelajar pun berani melakukan kejahatan karena ketakutan. Ia berani melakukan plagiasi sebab ia takut mendapatkan nilai yang tidak memuaskan. Tradisi pembelajaran seperti inilah yang menciptakan pendidikan penakut meskipun tidak semua praktik pendidikan kita demikian.

Sedangkan dalam Jurusan Filsafat, model pembelajaran penakut juga hadir dalam beberapa mata kuliah. Misalnya, pembelajaran pada mata kuliah filsafat yang hanya mengungkap persoalan sejarah dan produk pemikiran. Padahal, filsafat—setidaknya menurut saya—bukanlah persoalan sejarah dan produk pemikirannya, tapi bagaimana filsafat menjadi metodologi pembelajaran dan dijadikan sebagai sandal dalam menapaki jalan kehidupan. Tapi karena model pembelajaran demikian sudah menjadi lazim dalam dunia pendidikan maka kita—pelajar dan pengajar—tidak lagi merasakan itu sebagai hal yang asing dan tidak memberikan manfaat besar.

Jadi, sangat dilematis jika tujuan kita belajar untuk meluaskan pengetahuan namun pada praktiknya kita hanya disuguhkan dengan berbagai tugas makalah yang bahkan tanpa prioritas penguasaannya. Yang ada hanyalah formalitas pembelajaran namun miskin ilmu. Nilai A yang ada pada kartu hasil studi hanyalah formalitas semu yang tidak mewakili capaian intelektual. Kita hanya diajar untuk menyelesaikan mata kuliah namun tidak diajar untuk mengambil manfaat dari pembelajaran, pelajar tidak lagi mengeksplorasi hasil pembelajaran karena pertanyaan dan rasa ingin tahu tidak dapat dimunculkan dalam model pembelajaran demikian dan bahkan pambelajaran menjadi sepi dari nilai-nilai filosofis.

Pembelajaran jenis ini hanya akan melahirkan para praktisi yang bermental hafalan, bukan menghasilkan benih filsuf baru. Karena mental kritis telah dikebiri oleh mereka, para pengajar yang penakut. Mereka menjadi pengajar yang penakut, karena rasa berani yang pernah ia miliki juga telah dikebiri oleh pengajarnya dulu. Yah, tentunya pada sistem pembelajaran yang sama. Sehingga persoalan ini sebenarnya sangatlah akut. Kita hidup dalam tradisi pembelajaran yang butuh revolusi.

Inikah pendidikan yang salah kaprah? Jika ya, maka kita tidak perlu banyak bertanya, jika fenomena seperti ini semakin berkembang: “semakin banyak pelajar dan pecinta filsafat malah semakin sedikit menghasilkan filsuf dan pemikir”. Selain demikian, tentu pendidikan semacam ini juga hanya akan menghasilkan generasi bermental penakut yang memiliki rasa takut yang akut, sehingga perkembangan intelektual bangsa ini pun tersangkut. Oleh karena itu, kita butuh keberanian. Bukan hanya keberanian bertanya namun keberanian untuk mengkritisi.

Bukankah dalam tradisi manusia yang berintelektual selalu ada keberanian mengkritisi, selalu ada keberanian untuk menciptakan hal yang bernilai antitesis? Di bawah ini saya tulis beberapa contoh keberanian kritik intelektual dalam tradisi Filsafat Islam. Misalnya yang dilakukan oleh Ibnu Sina. Ibnu Sina hadir dengan kritikan intelektualnya terhadap para filsuf sebelumnya dengan buku yang berjudul “Tahafut Al-Falasifah”.

Paripatetisme dalam filsafat Islam juga misalnya. Paripatetisme ini diawali oleh banyak filsuf terkemuka di antaranya al-Kindi, al-Farabi, dan filsuf lainnya yang tentunya sangat berjasa dalam mengembangkan intelektualitas dalam Islam. Namun setelah itu, muncul sosok yang bernama Ibn Rusyd. Ia mengkritik paripatetisme Islam yang sebelumnya terdistorsi oleh Neo-Platonisme. Bukan hanya itu, Ibn Rusyd juga mengkritik balik terhadap buku Ibnu Sina tentang “Tahafut Al-Falasifah” dengan menulis buku “Tahafut Al-Tahafut”.

Semua ini—contoh dialektika intelektual di atas—memberikan indikasi bahwa tradisi intelektual tidak pernah lepas dari proses dialektika. Namun bagaimana mungkin dialektika bisa hadir dalam tradisi intelektual kita hari ini, jika dalam dunia pendidikan rasa berani dan kritis telah dikebiri oleh mereka para pengajar? Bagaimana mungkin dialetika intelektual akan hidup dalam tradisi intelektual kita, jika dalam dunia pendidikan rasa terampil dibunuh dengan tugas-tugas mematikan? Bagaimana mungkin dialektika intelektual akan bertumbuh dalam diri generasi jika pendidikan kita masih tentang pendidikan ketakutan? Yah, pendidikan yang menjadikan kami semua sebagai penakut. Dan sekarang, kami mencoba untuk bangkit.

Narasi tentang pendidikan penakut lahir dari pengamatan saya terhadap dunia kampus yang penuh dengan suasana ketakutan. Apalagi fenomena ini semakin diperkuat dan semakin jelas di mata saya dengan hadirnya masa akhir semester. Yah, kita tiba di masa akhir semester. Masa di mana kita bisa melihat para pengajar yang penakut menakut-nakuti mahasiswanya, masa di mana kita bisa melihat para mahasiswa yang penakut menakut-nakuti dirinya. Yah, masa yang selalu tentang ketakutan—takut tidak dapat nilai A.

Namun pengamatan saya secara pelan-pelan menemukan sosok pengajar yang tidak memiliki rasa ketakutan dalam kepribadian dan cara mengajarnya, sosok pengajar yang menumbuhkan semangat intelektual, sosok pengajar yang memupuk kehausan pengetahuan mahasiswanya. Yah itulah dia, pengajar yang dikenal dengan nama Wahyuddin Halim.

Di akhir semester ini, pada beberapa pengajar mata kuliah yang telah menyajikan ujian akhir semester, belum pernah saya dapatkan penyajian ujian dengan soal-soal sebagaimana yang beliau sajikan. Jika pun boleh saya ungkap, tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap pengajar yang lain. Yakni: pada ujian semester hanya beliaulah yang menyajikan soal-soal merdeka buat mahasiswanya, bukan soal-soal penakut yang membutuhkan jawaban buku teks, bukan soal-soal yang memaksa mahasiswanya harus menghafal.

Selain di ujian semester, dalam metode pengajarannya pun beliau sangat menekankan pencapaian dan pemahaman filosofis mahasiswanya. Ia sangat menekankan apa yang harus kita capai dengan penuh kebebasan, bagaimana kita bisa mengambil manfaat tanpa rasa takut bertentang pada beliau. Bukankah tidak sedikit kita dapatkan pengajar yang dalam dirinya beranggapan ilmunya adalah kebenaran absolut? Selain kebebasan-kebebasan seperti itu, juga masih segar dalam ingatan kala saya masih di semester satu bahwa beliau pernah dengan tegas, kurang lebih menyampaikan pesan seperti ini: “Jika kalian tak mampu melihat sisi baik dan manfaat jurusan Filsafat dalam diri kalian maka kalian harus mencari jurusan menurut pribadi kalian tepat, bangkit dan berkaryalah di sana”.

Segala tindakan dan cara pengajaran yang beliau berikan adalah pendidikan berkarakter. Pendidikan seperti inilah yang menurut saya mesti ditiru sebagai pengajar, pendidikan merdeka yang bebas dari ketakutan. Sehingga mahasiswa pun bebas dari kata penakut dan merdeka dalam ranah intelektualitas kita. Kita bebas memilih di mana letak kecerdasan kita. Bukankah indikasi atau jenis kecerdasan manusia bukan hanya satu? Sebagaimana Teori Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) yang saya pahami dari Howard Gardner bahwa jenis kecerdasan tidak hanya satu. Tidak hanya orang yang mampu matematika yang dikatakan cerdas, bukan hanya orang bisa menghafal yang dikatakan cerdas. Tapi sebagaimana pandangan Gardner jenis kecerdasan itu majemuk, sehingga pendidikan kita seharusnya memberikan kemerdekaan, kebebasan bagi generasi pelajar bukan malah mematikan potensi kecerdasan dengan propaganda ketakutan.

Sebagai penutup tulisan ini saya mengutip kalimat bijak dari sosok Najwa Shihab. Dalam acara TV Ia mengatakan bahwa “Tugas guru bukan menjejalkan pelajaran, guru harus menghidupkan pengetahuan. Kebenaran guru bukan hal yang absolut, karena murid bukan kerbau yang serba menurut. Kelas bukan untuk menyucikan diktat penuh angka, pengetahuan bukan ayat-ayat penuh dogma. Ilmu jangan hanya obyek hafalan, ilmu untuk memahami dan menuntaskan persoalan. Sekolah perlu terus membuka diri pada perubahan, guru jangan segan beradaptasi dengan kebaruan. Agar belajar menjadi proses menyenangkan, agar kreatifitas terus ditumbuh kembangkan. Siswa niscaya akan haus pengetahuan, ijazah takkan mengakhiri proses pembelajaran. Inilah pengajaran yang memanusiakan manusia, bukan pendidikan yang mengkerdilkan siswa. Tinggal tunggu waktu lahirnya generasi pencipta, mereka yang akan mengharumkan Indonesia dengan karya. Hanya pendidikan yang bisa menyelamatkan masa depan, tanpa pendidikan Indonesia tak mungkin bertahan.”

Untuk kawan-kawan saya—mahasiswa di Jurusan Filsafat, semoga dengan tulisan ini sedikitnya dapat menyirami rasa ketakutan yang kian semakin gersang dalam diri kita. Mari buktikan bahwa kita bukan lagi penakut dengan semakin giat membaca buku. Dan untuk dosen-dosenku tercinta mari ciptakan pendidikan yang merdeka, pendidikan yang berkarakter. Hingga pada satu titik ketika matahari keilmuan semakin terpancar di pojok semesta, rembulan ketakutan semakin tertutup, embun keharmonisan kembali tampak, dan lahirlah kehidupan semesta yang cerah dan humanis. Selamat menikmati akhir semester, semoga menyenangkan.

Media Sosial dan Alienasi

Hidup tanpa perenungan tak layak dijalani” -Sokrates

Pada suatu hari saya duduk di lobi fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Alauddin Makassar, bersama beberapa orang yang tidak saya kenal. Saya duduk dengan posisi sangat berdekatan disebabkan tempat duduk lobi tersebut terbatas. Dalam waktu sekitar 2 jam duduk bersama, kami tidak pernah saling menyapa. Semua sibuk dengan aktivitasnya, berselancar di media sosial, mengotak-atik gawai, menonton youtube, semuanya menikmati jaringan nirkabel gratis yang disediakan oleh fakultas. Tiba–tiba datang seorang dosen tersenyum dan berkata “siapa nama temanmu ini?” sambil menunjuk orang yang duduk di samping saya.

Saya pun tersenyum. “Kami tidak saling kenal,” ujarku.

“Mengapa tidak berkenalan? Kini media sosial memang telah menjadi bagian penting dari kehidupan bagi setiap orang yang memiliki ponsel cerdas. Kalian telah mengabaikan orang di sekitar kalian hanya untuk menampilkan eksistensi kalian di media sosial bahkan media sosial ini pula membuat kalian selaku mahasiswa tidak lagi tertarik memegang buku ke mana-mana,” ucap dosen saya menasihati.

Fenomena ini kerap kali terjadi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menciptakan ruang kultural tersendiri di zaman kiwari. Kekuatan media sosial membuat media cetak tersaingi. Hampir semua peristiwa dan perubahan sosial di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, muncul dan disebarkan melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, dan ribuan blog pribadi para blogger.

Perkembangan pengguna media sosial di Indonesia sangatlah signifikan. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Kementrian Kominfo (Suara Merdeka, 27 Maret 2015), menunjukkan 5 media sosial terpopuler di Indonesia, yaitu Facebook dengan 65 juta pengguna, Twitter dengan 19,5 juta pengguna, Google+ dengan 3,4 juta pengguna, LinkedIn dengan 1 juta pengguna dan Path 700 ribu pengguna.

Jikalau saja pengguna salah satu media sosial ini beralih menjadi pembaca buku, pengguna Facebook misalnya, dan menamatkan 65 juta buku per tahun maka menurut hemat saya, Indonesia akan menduduki peringkat 1 sebagai negara minat baca tertinggi. Namun jika kita melihat perkembangan minat baca Indonesia, maka bangsa Indonesia butuh 700 tahun lagi untuk mewujudkan harapan tersebut.

Jumlah pengguna media sosial yang berkembang signifikan akan berdampak pada penurunan jumlah pembaca media cetak, tentunya juga pembaca buku. Sebagaimana hasil studi “Most Littered Nation In The World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara mengenai tingkat minat baca. Indonesia berada di bawah Thailand (peringkat 59) dan di atas Bostwana (peringkat 61).

Salah satu hal yang menghambat peningkatan minat baca adalah masuknya pengaruh era teknologi digital. Teknologi yang paling berpengaruh yakni gawai dan media sosial. Orang merasa mengalami kesepian, orang merasa mengalami alienasi (keterasingan) jika tidak memiliki gawai dan media sosial. Media sosial menjadi otoritas eksistensi manusia di era digital sekarang ini.

Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang mahasiswa UIN Alauddin Makassar, dalam diskusi pengaruh modernisasi terhadap pola pikir manusia bahwa, “Melupakan gawai dan media sosial sama halnya melupakan eksistensi kita di era teknologi global saat ini”. Sehingga tak asing lagi jika di dalam kehidupan kita sehari-hari, banyak kita jumpai mayoritas orang sibuk sendiri dengan gawainya. Tentunya hal ini dipengaruh oleh adanya stigma tersebut.

Namun tidak dapat kita mungkiri bahwa dengan keberadaan media sosial kita dengan bebas berbagi informasi tanpa hambatan biaya, jarak, dan waktu. Kita tidak mesti lagi mengeluarkan banyak uang dan melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan informasi. Kita tidak mesti lagi menunggu dengan lama untuk mendapatkan informasi.
Di sisi lain, penggunaan media sosial akan menciptakan ruang tersendiri dalam kehidupan, menarik aktivitas keseharian kita menjadi teralienasi. Alienasi dalam pengertian ini adalah keadaan dimana manusia merasa terasingkan (terisolasi) dari kelompok atau masyarakat.

Adanya teknologi yang menyediakan berbagai fasilitas-fasilitas yang maya memunculkan fenomena baru yakni Zombie of Social Media. Padahal gawai, media sosial, dan teknologi lainnya diciptakan untuk mempermudah aktivitas manusia bukan sebaliknya. Hal ini dikemukan oleh Karl Marx dalam konsep alienasinya, bahwa selaku manusia pembuat teknologi atau produsen, seharusnya menjadi penggerak dan pengatur dari produknya bukan sebaliknya.

Menurut Marx, alienasi ini terjadi ketika produk atau teknologi yang diciptakan oleh manusia menjadi belenggu kebebasan manusia itu sendiri. Fenomena ini juga diungkapkan oleh Neil Postman, bahwa teknologi mendorong budaya technopoly yaitu suatu budaya di mana masyarakat di dalamnya mendewakan teknologi dan teknologi tersebut mengontrol semua aspek kehidupan.

Produk yang namanya gawai dan media sosial ini menyebabkan manusia harus tunduk dan beradaptasi dengannya serta membuat manusia mengabaikan hubungannya dengan manusia lain dalam lingkup dunia nyata. Sebenarnya fenomena ini didukung oleh naluri manusia untuk hidup sebagai eksistensinya. Namun hal ini telah dikritik oleh salah satu filsuf berkebangsaan Jerman bernama Heidegger, mengatakan bahwa fenomena kehidupan manusia yang hidup dalam perhatiannya terhadap benda, kuantitas, dan kekuatan personal yang sangat kuat, merupakan kehidupan yang sangat dangkal.

Bertolak pada pemikiran Heidegger tersebut menurut hemat saya, fenomena kehidupan di era modernitas, acap kali manusia mengkloning dirinya masuk ke dalam media sosial sehingga berimplikasi pada mentalitasnya. Manusia jenis ini akan sangat mudah tersinggung bahkan marah hanya karena colekan akun media sosial yang tak dikenalnya. Ia sangat ramah di media sosial dan menciptakan keterasingan dan kesepian bagi dirinya di dunia nyata.

Ironisnya manusia jenis ini sangat senang ketika mendapatkan likes dan followers dari orang lain yang berada di media sosial. Padahal bagi sebagian orang, memberikan orang lain likes dan mem-follow sangatlah mudah. Meskipun dalam kondisi orang lain tidak menyukai status atau diri kita pribadi dengan mudah memberikan like-nya kepada kita. Fenomena semacam ini merupakan wujud zombie social media.

Maraknya penggunaan media sosial berbanding lurus dengan rasa kesepian dan keterasingannya. Univesity of Pittsburgh pernah melakukan penelitian tentang hal ini dan menemukan bahwa orang yang mengunjungi jejaring sosial lebih dari 58 kali seminggu cenderung tiga kali lebih mungkin merasa kesepian dibandingkan dengan mereka yang menggunakan jejaring sosial di bawah sembilan kali.

Berdasarkan fenomena ini, saya semakin bertanya–tanya: apakah media sosial yang menyebabkan orang kesepian atau orang yang sudah kesepian yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk media sosial? Entahlah. Saya hanya bisa membayangkan di masa-masa silam, ketika teknologi belum secanggih sekarang, ketika semua orang menimba ilmu dengan buku-buku bukan dengan internet, ketika semua orang sibuk menulis di kertas bukan di beranda Facebook, ketika orang berjalan melintasi gurun dan lautan dalam waktu yang lama hanya untuk menuntut ilmu dengan antusiasisme yang besar bukan dengan niat popularitas semata. Ketika pemuda-pemuda belum mengomsumsi virus – virus zombie social media. Di saat itu, mereka belum direngkuh kesepian, keterasingan, bebas dari ideologi hoax, dan hal tak bermakna lainnya.

Riak Kemacetan Berpikir dan Puisi-puisi Lainnya

Riak Kemacetan Berpikir

 

Senja kini

Sebutir embun pun tak terlihat

Sapaan angin melangkah pergi

Mentari tenggelam ditelan kepulan asap

Menyambut bibir malam menyapa

*

Tuhan seakan merasa iba

Menyaksikan unjuk rasa mahasiswa

Seolah kebenaran seharga nasi bungkus

Menjadi sampah kala telah disantap

Ironisnya

mereka membela hak rakyat

mereka membenci penindasan

Seakan-akan haus pada harmonisasi dan keadilan

Namun anehnya

Menutup jalan adalah solusi, kata mereka.

Merampas hak pengguna jalan raya

Tak bisa maju, tak bisa mundur

Kemacetan pun terjadi.

Semua itu

Riak kemacetan berpikir

Oleh para mahasiswa demonstran.

 

Ironi Sebuah Identitas

 

Puing-puing air mata pertiwi merobek tanah

Pemuda kini tinggal tubuh tanpa nyawa

Hidup berkalang dusta tanpa makna

Itulah manusia modernitas

 

Panggung sandiwara telah dimainkan

Pandanglah Bung Karno di dinding sekolah

Bapak tersenyum dengan luka

Menatap Indonesia penuh derita

 

Bangsa Indonesia

Negeri yang kaya akan kemiskinan

Negeri yang miskin akan kekayaan

Negeri tempatku lahir dan dibesarkan

 

Namun ada yang aneh di negeri ini

Ada yang berubah dari bangsaku ini

Hasrat rakyat kian membisu

Terdengar oleh mereka, wakil rakyat yang tuli.

*

Mahasiswa Kesehatan menderita penyakit

Mahasiswa Ekonomi tak tahu bisnis

Mahasiswa Hukum tak kenal hukum

Mahasiswa Sosiologi lupa masyarakat

Mahasiswa Teknik bermental buruh

Bahkan, Mahasiswa Filsafat tak kenal harmonisasi dan keadilan.

 

Kemana Ibnu Sina?

Kemana John Adam Smith?

Kemana Hugo De Groot?

Kemana August Comte?

Kemana Thomas Alva Edison?

Kemana Socrates, Plato, dan Aristoteles?

 

Mungkinkah mereka tertawa?

Ataukah mereka menangis?

Biarlah tawa dalam tangisan menyambut sebuah ironi.

 

Wahai Mahasiswa

Kemana kata MAHA yang penuh makna?

Yang ada hanyalah

Maha apatis terhadap identitasmu sendiri

 

 

Agamawan Salah Kaprah

 

Dan kini

Tuhan kembali eksis di negeriku

Mereka membenci demi rasa cinta pada-Nya

Mereka mencuri demi bersedekah pada-Nya

Mereka membunuh demi membela-Nya

 

Seakan tuhan sangat rindu

Merindukan pujian

Merindukan kebaikan

Merindukan pembelaan

 

Bahkan

Mereka telah menjual nilai ketuhanan

“Sangat laku di pasaran”, kata mereka.

 

Para agamawan

Bertingkah seakan dirinya Tuhan

Berbicara seakan dirinya wakil Tuhan

 

Membela eksistensi ketuhanan

AkankahTuhan itu mati?

Yah, mati

Mati dibunuh oleh manusia hina

Bergelar penyelamat Tuhan.

 

Ilustrasi: http://sebmaestro.deviantart.com/art/Mind-devour-245696686