Salah satu dari sekian fitrah manusia adalah penghambaan. Karena manusia mempunyai keterbatasan maka tendensi untuk menyempurnakan itu selalu ada. Kecenderungan penghambaan manusia dapat dilacak pada puluhan juta tahun yang lalu baik melalui buku-buku, maupun informasi turun-temurun.
Manusia menempuh garis linear dalam perkembangan kehidupannya. Satu di antara deretan tokoh di abad 19 yang memahami hal demikian adalah Auguste Comte. Ia berpendapat bahwa pada mulanya manusia berada pada tahap Teologis dan berpindah ke tahap Metafisik kemudian berakhir pada tahap Positivis.
Tahap teologis merupakan tahap pertama yang mengiringi perjalanan hidup manusia. Kala itu, manusia percaya akan adanya kekuatan gaib atau adimanusiawi yang mengendalikan alam dan manusia. Roh-roh nenek moyang, ragam dewa-dewi dan dewa tunggal hidup berdampingan dengan manusia. Manusia pada tahap ini didominasi oleh agama dan kepercayaan.
Selanjutnya yakni tahap metafisik. tahap ini merupakan peralihan menuju tahap Positivis. Manusia mulai mempertanyakan kebenaran dan keberadaan kepercayaan itu (roh-roh, dewa-dewi, dan Tuhan/dewa tunggal). Segala yang tidak nampak diragukan.
Tahap ketiga, Manusia masuk pada era ilmiah yang rasional dan empiris. Maka keberadaan dan kebenaran sesuatu harus dibuktikan melalui riset atau pengujian ilmiah secara sistematis. Konon tahap ini manusia meninggalkan agama dan kepercayaan masuk ke sains.
Benarkah demikian?
Manusia berinteraksi dengan alam untuk kebutuhan kelangsungan hidup. Saat manusia mengalami pengalaman yang tidak dapat ia jelaskan (fenomena alam, seperti hujan, banjir, gempa dll). Maka mereka mengaitkan dengan adanya kekuatan besar/adimanusia di luar dari dirinya yang menjadi penyebab dari akibat tersebut.
Hemat cerita, manusia mendiagnosa penyebab itu. Beberapa kejadian fenomena alam tersebut, bersamaan dengan meninggalnya orang-orang di antara mereka. Iringan kejadian-kejadian yang kontinu, tibalah pada pemahaman bahwa penyebab fenomena itu adalah roh-roh manusia yang bangkit. Roh itu hidup di sekeliling mereka dalam bentuk tidak bermateri atau bertubuh.
Dalam rangka menenangkan roh-roh marah yang menyebabkan masalah alam maka dicoba beberapa usaha pengorbanan dalam rangka menyenangkan roh yang jahat. Salah satu cara yang lazim digunakan untuk berkomunikasi dengan roh-roh itu yakni dengan memberikan reward berupa sesajen. Sesajen itu dapat berupa makanan, benda-benda dll. yang diduga kuat menyenangkannya.
Menurut ilmu pengatahuan ilmiah sekarang, perputaran musim berubah menurut kurun waktu tertentu. Jadi ada musim di mana hujan turun lebat, angin kencang, kekeringan, turun salju dll. Pada saat kehidupan manusia primitif terjadi pula perputaran musim demikian. Namun manusia memahami bahwa kejadian bencana tersebut reda dan hilang oleh karena dampak pemberian sesajen yang menyenangkan hati roh-roh nenek moyang mereka. Padahal hanya perputaran musim. Sehingga roh-roh itu dipahami sedang melakukan balas budi akibat asupan yang diberikan oleh manusia dengan menghindarkan manusia dari bencana alam. Kurang lebih seperti ini awal mula kepercayaan animisme yang di ulas dalam beberapa literatur.
Untuk melacak keberadaan roh-roh nenek moyang, manusia primitif mengaitkan dengan benda yang tidak lazim atau aneh disekeliling mereka. Beberapa di antaramya ialah pohon besar, gua, patung dsb. Bukti ditemukannya keberadaan bekas-bekas sesajen disekelilingnya menguatkan hipotesa diatas.
Manusia kala itu percaya bahwa benda aneh tersebut didiami oleh roh-roh nenek moyang lantaran benda tersebut berbeda secara bentuk namun dengan jenis yang sama. Pohon besar misalnya, dipercaya sebagai tempat bersemayang roh-roh perkasa. lantaran didiami roh, maka pohon ini berukuran besar dan kelihatan aneh pada lazimnya.
Alhasil manusia secara rutin menjumpainya dengan membawakan sesajen kepada pohon sebagai penangkal untuk fenomena alam. Dengan demikian pohon tersebut menjadi pegangan manusia dalam membaca dan berkomunikasi terhadap alam.
Akhirnya pohon tersebut disucikan dan disakralkan. Singkatnya benda (berupa pohon) memiliki kekuatan mempengaruhi aspek kebudayaan primitif di masanya. Inilah yang disebut kepercayaan dinamisme, yakni kepercayaan terhadap benda yang memiliki kekuatan.
Jika dalam tahap teologis didedah secara sederhana maka kita akan dapatkan tiga babakan perkembangan kepercayaan manusia. Pertama, fase fetisisme di mana terdapat kepercayaan animiseme dan dinamisme (roh-roh) seperti yang baru diulas di atas. Kedua, fase politeisme yaitu kepercayaan terhadap adanya dewa-dewi (dewa matahari, dewi padi, dewa petir dll) sebagai pemegang kendali alam semesta. Ketiga, tahap monoteisme adalah kepercayaan pada dewa tunggal atau Esa (Tuhan) yang mengendalikan jagad raya.
Menurut Bapak Sosiologi, Comte dalam teorinya, bahwa masyarakat modern (kemungkinan kita) adalah representase dari masyarakat positivis (sains) yakni masyarakat yang meninggalkan agama dan kepercayaan.
Di era modern ini tahap teologis (animisme dan dinamisme) tidaklah hilang sebagaimana menurut bapak Sosiologi asal Prancirs itu. Sebenarnya manusia tetap berada pada era animisme dan dinamisme. Namun dalam wajah yang agak berbeda.
Kepercayaan animisme masyarakat modern dapat dilihat dengan ditemukannya roh-roh manusia modern yang bergentayangan di fitur-fitur online (WhatsApp, Facebook, Instagram dll). Eksis dalam bentuk non fisik atau tidak bermaterial, ia hidup dan mengintervensi perilaku sosial manusia.
Roh-roh ini, bukanlah roh orang meninggal, melainkan roh manusia hidup itu sendiri yang hidup di alam berbeda (alam maya). Sama halnya roh nenek moyang manusia primitif, roh manusia modern tak berbentuk fisik namun dapat dirasakan.
Saat hendak berkomunikasi dengan roh-roh nenek moyang maka sudah barang tentu manusia primitif menyediakan sesajen. Sama halnya dengan manusia sekarang jika hendak berkomunikasi pada roh-roh manusia modern. Mereka juga wajib mempersiapkan sesajen, sesajen mutakhir berupa pulsa, jaringan dsb.
Untuk menelusuri kepercayaan dinamisme mutakhir, maka pertanyaannya adalah di mana roh manusia modern itu bersemayam. Jika pada masyarakat primitif, roh-roh nenek moyang dipercaya berdiam pada benda yang aneh seperti pohon besar tadi. Maka dalam masyarakat modern, roh manusia modern di klaim berada pada benda cerdas seperti gadgat, komputer, dan barang elektronik lainnya.
Dengan keyakinan demikian sehingga manusia modern menghamba (menyembah) padanya, sebagaimana masyarakat primitif menghamba pada pohon besar tadi sebagai representasi dari roh nenek moyang.
Roh masyarakat modern yang hidup lewat fitur-fitur online (WhatsApp, Facebook, Instagram dll) senantiasa mengintai manusia. Sebagai proposisi penulis, roh modern melebihi pengintaian roh nenek moyang pada masyarakat primitif.
Bagaimana tidak, jika dahulu kala sesembahan fisik/material itu agak berjarak dengan masyarakat seperti pohon besar tadi contohnya. Kini, pada manusia modern sesembahannya tak terlacak tapal batasnya. Artinya, ia tidak lagi berjarak. Menjadi pasangan tidur bagi yang single atau jomblo, dan menjadi roh ketiga bagi orang yang sudah kawin.
Pada dasarnya, manusia memiliki kecendruangan mencari pegangan akibat ketidaksempurnaannya. Jika tahap teologis animisme dan dinamisme manusia mencari pegangan pada kekuatan gaib dalam benda-benda maka sekarang juga sama. Manusia tetap mencari pegangan pada kekuatan yang positivistik (sains) yakni telepon genggam. Semakin banyak genggaman (gadget) berarti semakin berpeluang bertahan hidup. Genggaman itulah selalu digunakan saat ini untuk berkomunikasi dan membaca tanda-tanda alam, persis sama dengan manusia tahap teologis.
Kita tidak benar-benar meninggalkan agama atau kepercayaan sebagaimana Comte pahamkan, melainkan agama dan kepercayaan masih ada dengan wajah yang baru, yakni wajah positivistik.
Teologis mutakhir sama mengujinya dengan Teologis kuno. Ia menyangkut persoalan aqidah. Aqidah ini kemudian mencandu dalam jeruji kenikmatan sekaligus ketakutan. Teologis mutakhir ini pun sama dalam penundukan rasionalitas manusia dengan teologis manusia primitif. Yaitu ketidak berdayaan manusia dihadapannya.
Yang mengklaim dirinya sebagai manusia ilmiah yakni menjunjung rasionalitas namun merendahkan manusia primitif. Hati-hati. Bisajadi manusia modern lebih primitif dari manusia primitif. Kita mencela ketidak berpikiran manusia dalam menyembah pohon, patung/berhala. Namun pada saat yang sama kita tidak sadar menjadi penyembah pohon, patung/berhala dalam bentuk positivistik.
Ilustrasi: https://www.iamklein.com/2017/10/how-gadget-generation-is-killing-other.html?m=1
Mahasiswa sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar