Hari menjadi kering. Kemarau panjang melunasi banjir sebelumnya. Aku tak menduka mengalami kemarau yang entah ujungnya seperti apa. Entah hujan akan datang di saat seperti apa. Aku mengalami dahaga yang entah seperti apa aku mengakhirinya. Semenjak kepergiannya, segalanya seperti hancur lebur. Tak ada yang tersisa. Hati jadi remuk. Gairah jadi hilang. Aku linglung. Dia tak akan pernah kulihat lagi.
***
“Aku mencintaimu.”
Aku mengucapkan kata itu sebagai ungkapan rasaku kepadanya. Aku merasa ini sudah waktu yang tepat setelah bertahun-tahun aku memendamnya. Aku masih ingat persis situasi apa aku mengatakannya. Di saat hujan sedang turun pelan-pelan. Tak begitu deras, namun awet hingga sudah melahirkan genangan pada lubang jalan yang kami lalui. Motor Jupiter Z yang kupunya menjadi saksi hari itu. Dia tak menjawab. Dia hanya diam sambil memegangi ujung bajuku untuk menahan dirinya agar tidak terguncang dengan jalan berlubang kami lalui.
Setiba di rumahnya, sebelum membalikkan badan menuju pintu rumahnya, dia mengucapkan terima kasih kepadaku karena telah ditemani belanja untuk keperluan rumahnya. Setiap hari minggu dia memang selalu menyempatkan pergi belanja ke swalayan untuk kebutuhan rumahnya. Aku hanya mengangguk kepala sebagai tanda ucapan sama-sama. Walau dalam hati aku masih berharap dia mau membahas pernyataan cintaku padanya.
Aku belum beranjak dari depan rumahnya hingga benar-benar dia hilang di balik pintu yang ia tutup kembali. Setelah itu, barulah aku membunyikan motorku, lalu melaju pelan menelusuri jalan sambil memikirkan apa yang telah aku lakukan. Sedikit sesal hadir dalam pikirku. Mengapa aku harus mengatakan perasanku padanya. Tidakkah itu bisa membuat kedekatanku dengannya berjarak. Kenapa aku tidak menyimpan saja rasa cintaku padanya. Seperti selama ini. Mengalami sendiri tanpa harus membagi kepadanya. Bagaimana jika dia menolakku? Perasaanku kalut.
Hari Minggu datang lagi. Seperti biasa melalui pesan singkat dia meminta tolong ditemani. Mengantarnya pergi belanja. Di perjalanan menuju rumahnya, pikiranku penuh harap namun cemas. Mungkin kali ini dia sudah akan menjawab cintaku. Tapi kira-kira seperti apa jawabannya. Apakah menerima atau menolak. Gejolak jiwaku semakin tidak menentu.
Saat aku tiba di depan rumahnya. Dia sudah menunggu di teras rumah. Rumahnya sangat besar seperti istana. Aku belum pernah masuk ke dalam rumahnya. Dengan melihat dari tampak depan, aku hanya bisa mengira-ngira bahwa di dalamnya pasti mewah. Perabotnya bisa jadi impor dari luar. Dia pasti punya pembantu. Membantu untuk mengurus segala keperluan rumah. Tapi kenapa dia yang harus pergi belanja mingguan? Semua hanya tinggal pertanyaan. Aku tak berani mempertanyakan semunya. Aku hanya sering menunggu dia bercerita di sepanjang jalan menuju swalayan. Lalu tanya lain yang sering pula muncul kenapa dia tidak naik mobil ke swalayan. Secara, beberapa mobil yang bermerek terparkir digarasinya? Aku hanya mencoba membuat hipotesis sendiri, bisa jadi kalau bawa mobil jadi ribet karena jalan padat kendaraan, semuanya bisa lambat, atau barangkali ini cara dia untuk bertemu denganku.
***
Aku pertama kali bertemu Rani, Rani Afriani nama lengkapnya, di sebuah forum di kampus. Kala itu, kami sama-sama nimbrung dalam diskusi tentang feminisme. Aku lihat dia di antara para peserta. Satu hal menarik perhatianku kala itu adalah buku yang dibawanya. Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadawi dipeganginya sambil serius memperhatikan narasumber berbicara. Perempuan di Titik Nol sebuah novel yang ingin membela perempuan dari budaya patriarki. Ini budaya yang cukup lama menekan perempuan. Tak hanya Mesir sebagaimana setting novel itu, Nawal seperti mewakili seluruh perempuan di dunia.
Setelah diskusi selesai, aku menghampirinya. Lalu tegur sapa berjalan. Sekadar basa basi. Tanya nama satu sama lain. Kami akhirnya kenalan. Lalu berlanjut mengenai buku yang dibawanya.
“Sudah selesai membaca buku itu,” tanyaku sambil menunjuk buku yang dibawanya. Buku Nawal yang bersampul merah itu.
“Belum, sedikit lagi,” jawabnya singkat sambil memperlihatkan pembatas bacaannya.
“Kamu sudah membacanya,”
“Sudah, bulan yang lalu,” jawabku.
“Selesai aku baca kita bisa diskusi ya,” pintanya padaku. Mendengar itu, aku menganggukkan kepala tanda setuju.
Aku kira dia tidak seterbuka itu. Dugaanku ternyata kurang tepat. Tapi, dugaanku juga tidak sepenuhnya salah. Dia memang tertutup hal-hal lain. Selain bicara buku semuanya susah untuk diakses. Tak banyak kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya. Banyak rahasia yang ia simpan dalam pikiran dan hatinya. Kita tak bisa menebaknya.
Berselang dua hari dari acara diskusi itu, aku ketemu lagi dengannya di gazebo kampus. Di situlah aku diskusi buku Perempuan di Titik Nol. Aku banyak mendengar, sesekali saja aku menanggapinya. Ia sangat detail mengurai Patriarki. Baginya ini budaya sudah lama membunuh potensi perempuan. Beberapa generasi perempuan tidak bisa mengembangkan diri seutuhnya. Bayangkan jika budaya ini tidak ada dan sepanjang sejarah menjajah perempuan kita akan melihat bagaimana kontribusi besar perempuan dalam membangun dunia.
Semenjak diskusi di gazebo itu, akhirnya kami sering janjian. Ketemu dan mendiskusikan buku-buku yang masing-masing kami baca. Seiring waktu aku dan dia semakin akrab. Perasaanku yang awalnya seperti biji saat pertama kali melihatnya, kini semakin tumbuh dan sehat. Kebahagiaan mengisi ruas-ruas hatiku. Aku tak sabar menunggu waktu dan hari di mana kami janjian. Terus dan terus aku merasakan derita bila tak bertemu dengannya. Walau semua yang kurasai belum kusampaikan padanya. Tetap saja aku bahagia. Cintaku tak mesti aku sampaikan. Biarlah aku menyimpannya hingga ia menemukan waktunya sendiri untuk diungkapkan.
***
Rani seperti misteri yang memiliki lapis-lapis makna. Aku selalu saja terjebak pada dugaan yang tidak tepat. Aku tak bisa mengurainya dengan utuh. Selalu saja ada sisi yang terlewatkan. Berulang kali aku salah. Sudah bertahun-tahun aku mengenalnya. Tapi, tak banyak bisa aku ketahui. Tentang keluarganya ia sangat tertutup. Walaupun aku sudah terbuka bercerita keluargaku padanya. Hampir semua yang rahasia aku ceritakan dengan harapan dia bisa bercerita kembali. Namun, itu perbuatan sia-sia yang kulakukan. Dia datar menanggapi semua ceritaku. Aku pernah sekali memintanya bercerita tentang dirinya atau keluarganya, dia hanya bilang tak ada yang menarik dicerita dari diri dan keluarganya. Mendengar jawabannya itu, aku tak pernah lagi memintanya bercerita.
Entah dengan berjalannya waktu, semakin kesini, aku menjadi yakin bahwa akulah teman satu-satunya sangat akrab yang lain hanya teman begitu saja. Tak ada satu pun teman kelasnya yang karib padanya. Semua berjalan biasa. Apalagi teman kelasnya tidak ada yang suka pada buku. Sedangkan dia hanya ingin bercerita tentang buku. Ada satu seniornya, perempuan yang biasa ia temani, juga suka sekali membaca buku, namun satu tahun terakhir mulai sibuk dengan skripsi. Tidak ada lagi waktu mengajaknya mengobrol. Akhirnya, aku menjadi pilihannya. Mungkin saja aku adalah pilihan terakhir yang memiliki kesenangan yang sama pada buku. Atau bisa jadi, ia juga menaruh hati padaku. Tapi, entah. Aku tak bisa menebaknya.
“Hari ini selesai baca buku apa?” aku mulai mengobrol dengannya. Dan selalu begitu memulainya. Seperti sudah menjadi template.
“Aku baru saja selesai membaca Albert Camus,” jawabnya
“Buku yang mana?” tanyaku lagi
“The Outsider,”
Aku sangat terkesan apa yang dilakukan oleh Mersault. Albert Camus membuat tokoh yang mengusik apa yang hilang dari manusia yakni kejujuran. Mersault sangat jujur dengan kehidupan yang dimilikinya. Tak ada kepura-puraan. Semuanya ditampilkan apa adanya. Aku sangat ingin seperti tokoh di buku ini. Begitu ia melanjutkan setelah menyebutkan judul bukunya. Lagi-lagi aku hanya mendengar. Jika berhadapan dengannya dan mulai bicara buku, aku lebih banyak mendengar. Aku melihat dia sangat antusias jika mulai memaparkan buku yang dibacanya.
Di pertemuan selanjutnya, masih sama. Tak ada yang lain mengisi pembicaraan kami. Cuma yang berbeda dari sebelumnya, jenis buku yang kami bicarakan. Walau kadang jika ada hal yang menurutku berbeda apa yang kumaknai dari buku yang dibicarakan, bisa melahirkan debat yang serius di antara kami. Apalagi jika aku secara sengaja memilih argumentasi lain, diskusinya bisa jadi panjang. Tapi jarang aku melakukan hal seperti itu. Biasanya kulakukan, jika aku ingin melihatnya lama-lama. Menatap wajahnya yang tirus dengan balutan jilbab yang pas. Melihat bola matanya yang agak besar, hidungnya tidak terlalu mancung dan giginya yang rapi. Mengamati dagunya terbelah, bibirnya yang tipis dan lesum pipinya begitu mungil.
Masih sama, dua hari setelah kami berdebat serius, kami ketemu lagi di tempat biasa. Di gazebo kampus. Gazebo selalu saja kosong jika kami janjian di tempat itu. Seolah-seolah tempat itu dibuat untuk kami. Karl Marx jadi topik kami. Aku bilang padanya sesekali ia perlu membacanya. Ternyata dia sudah pernah membacanya. Menurutnya, hal dia sukai dari Marx yakni semangat perlawanannya terhadap ketidakadilan. Teori-teorinya dibuat untuk membela yang termarginalkah. Mengurai realitas yang timpang. Dia berharap ada tokoh Islam yang demikian. Mendengar itu, aku sarankan untuk membaca Ali Asgar, Hasan Hanafi dan Ali Syariati. Tokoh Islam punya semangat membela keadilan. Melawan penindasan. Menafsirkan Islam dengan semangat pembebasan. Mendengar saranku, dia akan membacanya di lain waktu katanya.
***
Kampus jadi rusuh. Ribuan mahasiswa melakukan protes. Gedung perkuliahan ditutup oleh demonstran. Dosen-dosen tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya pasrah melihat massa yang begitu banyak. Setelah pengumuman oleh Lembaga Anti Korupsi (LAK) bahwa salah satu pejabat tinggi korupsi Bantuan Sosial (Bansos) mahasiswa jadi marah. Ini adalah akumulasi kemarahan setelah sebelum-sebelumnya pejabat selalu lolos dari proses hukum. Namun, kali ini sulit rasanya pejabat itu lolos. Tekanan publik sangat kuat. Semua media memberitakan dan menjadi headline.
Aku salah satu dari ribuan massa yang ikut melalukan demonstrasi menuju gedung LAK. Di antara kerumunan itu, aku mencari-cari Rani. Sebenarnya, suatu yang sulit menemukan Rani dari ribuan massa yang ada. Aku hanya sempat melihat seniornya yang sibuk skripsi. Mungkin dia lagi mumet dengan skripsinya hingga mengisi waktu turun demo atau bisa jadi ini bentuk pedulinya terhadap masyarakat yang uangnya telah dikorupsi, begitu gumamku dalam hati setelah dari jauh kami hanya saling melempar senyum.
“Pancung koruptor…!!!
“Habisi kroni-kroninya…!!!
“Hidup rakyat….!!!
“Hidup mahasiswa….!!!
Teriakan-teriakan mahasiswa di depan gedung LAK menggema. Di balik gemuruh suara mahasiswa, aku tetap sibuk menoleh kiri kanan mencari Rani. Aku tetap berharap bisa melihatnya lalu mendekatinya. Bagiku, ini adalah momen paling romantis bisa bersama berjuang untuk rakyat, ditemani atau bersama dengan orang yang dicintai, walaupun belum pasti dia mencintai kita atau tidak. Tapi sampai demonstrasi selesai, aku tak bertemu Rani. Sampai di kampus kembali, Rani benar-benar tidak aku dapati. Jangan-jangan dia tidak ikut demonstrasi, ah tidak mungkin. Begitu aku menyangga pikiranku sendiri. Secara, dia sangat benci yang namanya korupsi. Beberapa kali juga dia ikut demo dengan isu yang sama. Beberapa kali juga dia menyampaikan kepadaku penuh amarah bahwa betapa merugikannya para koruptor itu.
Sehari setelah demo besar-besaran, media sudah memberitakan penangkapan Mulyono pejabat yang korupsi itu. Mulyono diduga korupsi 100 Milyar dana Bansos. Di media wajahnya ditampilkan, tapi raut wajahnya tak menampakkan penyesalan. Ketika dicegat oleh wartawan dan tanyai dia malah senyum-senyum saja. Sungguh menjengkelkan melihatnya. Aku sampai meludahi TV yang menampilkan wajahnya. Koruptor seperti Mulyono wajib dihukum seberat-beratnya, begitu pikirku. Dan, memang seperti itu tuntutan teman-teman mahasiswa. Mereka harus dimiskinkan. Segala kekayaannya baiknya disita.
Dua hari setelah penangkapan Mulyono, kehebohan terjadi lagi. Semua media memberitakan dan headline. Beritanya masih mengenai Mulyono. Kali ini, berita mengenai bunuh diri anaknya. Salah satu anaknya gantung diri di kamarnya. Menurut pemberitaan, anaknya bunuh diri karena merasa malu bapaknya jadi koruptor. Awalnya aku hanya mendengar dari teman-teman mahasiswa. Belum menonton langsung. Karena penasaran, akhirnya menyempatkan mampir di kantin kampus menonton beritanya. Tak lama aku, menonton aku begitu kaget, karena nama yang tertera di keterangannya sangat jelas tertulis Rani Afriani.
Wajah anak yang bunuh diri oleh TV diburamkan sehingga aku tidak bisa memastikan apakah itu benar-benar Rani. Tapi, hatiku mulai deg-degan. Pikiranku bercampur baur. Apakah benar Rani, atau hanya namanya saja yang mirip. Untuk memastikan semuanya, aku mencoba mendatangi teman kelasnya. Mencarinya di ruangan biasa mereka tempati kuliah. Di sana aku dapati teman-temannya berkumpul saling berhadap-hadapan dengan wajah sedih. Melihat itu, detak jantungku semakin tak karuan. Sedikit sesak menyerangku. Napasku terasa tidak teratur. Setelah masuk dalam kelas aku bertanya.
“Benar itu Rani?”
“Benar, itu Rani,” dengan hampir serempak, mereka menjawab sambil menoleh kepadaku. Aku seperti ingin terjatuh. Tubuhku rasanya tak bertulang. Aku berupaya menahan tubuhku agar tetap berdiri kokoh, lama-kelamaan aku jadi lemas dan hampir jatuh. Untung salah satu dari mereka datang memegangiku dan menuntunku untuk duduk di kursi. Mereka memang tahu, bahwa aku memiliki kedekatan dengan Rani. Bahkan kebanyakan dari mereka menganggap bahwa aku adalah kekasih Rani.
“Kapan kalian ke rumah Rani?” aku bertanya ke mereka, setelah sekian menit duduk di kursi dan menenangkan perasaan. Memperkuat kembali otot-ototku.
“Hari ini sepulang kuliah,” salah satu dari mereka menjawab.
“Oo, aku ikut rombongan kalian ya,?”
“Baiknya begitu,” salah satu dari mereka meresponku.
“Ya,” jawabku singkat.
***
Di jalan menuju rumah Rani, sesak di dada sanga terasa. Apalagi kenangan tentangnya terbayang. Air mataku menetes dengan sendirinya bila semuanya teringat kembali. Aku masih belum percaya mengapa dia memilih jalan seperti ini.
Setelah menempuh dua puluh menit naik angkot, kami akhirnya tiba di rumah Rani. Tampak orang sudah ramai. Ada juga beberapa polisi menjaga-jaga. Kami dipersilakan masuk ke dalam rumah. Baru kali ini aku masuk ke dalam rumahnya pas dia telah pergi. Rumahnya benar-benar istana. Tubuh Rani sudah terkujur dan ditutupi sarung. Aku melihat ibunya tak henti-hentinya menangis. Sambil mengucapkan kata “maafkan aku, Nak.”
Kami dipersilakan lebih dekat lagi dengan mayat Rani oleh salah satu keluarganya. Mungkin itu adalah kakaknya. Aku lihat wajah mirip dengan Rani. Ibu Rani, semakin meraung pas melihat kami bergantian mendekati dan melihat mayat Rani. Pas giliranku melihat mayat Rani, menatap wajahnya yang sudah pucat rasanya aku ingin berteriak, aku ingin meraung. Kekasih yang aku cintai benar-benar telah pergi. Tapi semuanya masih tertahan dengan takut melahirkan keheranan bagi keluarganya. Melahirkan pertanyaan siapa aku yang harus menangis seperti itu. Satu hal tak bisa aku tahan, air mata tetap menetes, tapi buru-buru aku mengelapnya dengan tanganku. Agar kelihatan sewajarnya saja bersedih. Sewajar sebagai teman kuliah.
Proses pemakan selesai. Aku dan teman-teman kelasnya, juga sudah ingin kembali ke rumah masing-masing. Di saat kami sementara menunggu angkot, tiba-tiba datang seorang perempuan yang sudah berumur. Rambutnya sebagian sudah memutih, menghampiri kami. Dia asisten rumah tangga di rumah Rani.
“Siapa di antara kalian bernama Ardi,” tanya kepada kami
“Aku Bu,” sambil mengangkat tangan
“Nak, ini ada titipan surat dari Nak Rani sehari sebelum dia meninggal, dia berpesan agar diberikan kepada Nak Ardi jika sudah datang ke rumah,” kata perempuan itu sambil menyerahkan surat itu.
Tanpa aku bertanya panjang, surat itu kuambil dan langsung kumasukkan dalam tas ranselku. Yang keluar dari mulutku hanya ucapan terima kasih kepada ibu itu. Ibu menganggukkan kepala kemudian memintaku bersabar. Katanya, dia mengenalku sebab Rani banyak bercerita tentangku kepadanya.
***
Aku sudah tiba di rumah. Langsung masuk ke kamar. Di dalam kamarku, aku membuka kembali tas ranselku mencari surat Rani. Aku sudah tak sabar membacanya. Suratnya sudah kudapat di antara sela-sela buku yang sedang kubaca. Melihat surat Rani, mulai terbayang wajah, gerak langkah dan tuturnya. Air mataku lagi tak terbendung. Di situ aku betul-betul melampiaskan semuanya. Berteriak sekencang-sekencangnya. Meraung. Menangis sejadi-jadinya. Perlahan aku mengatur napas, walau masih tersedu-sedu. Aku ingin mulai membaca surat Rani. Kubuka pelan-pelan suratnya. Amplopnya sedikit basah dengan air mataku.
Dear, Ardi Ardiles
Terima kasih atas waktu yang engkau berikan kepadaku selama ini. Kehadiranmu menemaniku bercerita dan berdebat banyak hal khususnya perihal buku sejatinya dapat mengurai kesepianku di rumah.
Kebersamaan kita beberapa tahun ini, benar-benar membentuk cara aku berpikir. Buku yang kita pertukarkan benar-benar membentuk kepribadianku. Diskusi kita tentang Albert Camus, Marx dan pemikir-pemikir yang lain membuatku mengerti bahwa hidup yang kita hadapi memang bajingan. Dan aku merasakannya sangat dekat yaitu dalam rumahku sendiri.
Aku minta maaf, jika selama ini aku punya salah kepadamu. Mungkin engkau bertanya mengapa aku memilih jalan ini, sebagaimana yang sering kita diskusikan bahwa korupsi adalah penyakit ekstrem yang mengatasinya dengan menghabisi semua kroni-kroninya. Memiskinkannya. Atau membunuh mereka secara sosial. Tapi ternyata korupsi itu merajalela dalam rumahku sendiri. Oleh ayahku. Aku memilih tak hanya bunuh sosialku, aku memilih yang lebih ekstrem yakni menghilangkan nyawaku. Sepertinya cara ini, mungkin bisa menyadarkan kita bahwa korupsi memang sesuatu yang kejam.
Satu minggu sebelum pengumuman LAK, aku sudah tahu bahwa ayahku korupsi Dana Bansos, ayahku jujur pada ibuku dan aku sempat mengupingnya. Tapi, Ardi tahu kamu, selama ini sebenarnya aku sudah risi dengan segala kemewahan yang dimiliki oleh orang tuaku. Fasilitas mereka punya sudah menimbulkan banyak kegelisahan dalam hatiku. Itulah membuat batinku bergejolak. Pernah sekali aku bertanya pada ayahku dari mana semua ini, katanya tidak usah bertanya cukup kamu nikmati saja. Namun jawaban seperti itu justru semakin melahirkan kecurigaan, bahwa ada yang tidak beres pada semua ini. Itu juga alasannya mengapa aku tertutup mengenai diri dan keluargaku pada siapa pun khususnya kepadamu.
Ardi, mungkin aku tak menyesal walau bagimu itu sudah terlambat untuk mengatakannya. Tapi biarkan aku mengatakannya. Aku juga mencintaimu. Maafkan aku terlambat mengatakannya. Dan maafkan aku memilih jalan lain untuk melawan korupsi. Bagiku perlawanan seperti ini paling romantis yang bisa kulakukan. Sekali lagi aku menyayangimu.
Sekian.
Setelah membaca suratnya, aku kembali menangis sejadi-jadinya.
Founder Rumah Baca Akkitanawa, Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Luwu.
Rekaktur Kalaliterasi.com.