Semua tulisan dari Astiwi Ahmad

Astiwi Ahmad, lahir di Bantaeng, 17 Oktober 1996. Aktif di lembaga Masyarakat, Karangtaruna Pangngadakkang Desa Biangloe, Kecamatan Pajukukang, Kabupaten Bantaeng. Guru Pendidikan Sosiologi/Pendidikan Sejarah di SMAN 4 Bantaeng. Peserta kelas menulis Rumah Baca Panrita Nurung.

Self Love: Upaya Mencintai Diri Sendiri

Peluk hangat untuk diri sendiri, yang masih kuat hingga hari ini.

Pernah tidak, kamu merasa tidak memiliki hal istimewa dalam diri? Ketika dipuji orang lain, kita tidak pernah menjadi cukup untuk menciptakan rasa nyaman, dengan segala penerimaan diri. “Kamu cantik deh!” Lalu dijawab dengan, “Ah tidak. Akutuh gendutan sekarang.” Perasaan kurang kerap kali lebih dominan, kita tidak pernah merasa dicintai dan mencintai diri sendiri.  

Self love, sepertinya kita memang harus sering-sering bertanya kepada diri, tentang makna dan kenapa kita harus menyayangi diri sendiri. Pada dasarnya setiap orang memiliki cerita dan kisahnya masing-masing, banyak pula yang pada akhirnya terpuruk, sebab tidak mampu menjadi jawaban atas masalah, keluh, dan kesahnya. Terkadang, solusi terbaik dari setiap persoalan bukan tentang kita dengan orang lain, namun bagaimana kita mampu berdamai dengan diri sendiri. Nah, salah satu yang mampu membuat kita bangkit adalah dengan belajar menerima dan mencintai diri sendiri. Pun mencintai Tuhan.

Mengapa self love itu penting?  Adakalanya, bahu lebih berat dari biasanya, isi kepala bertengkar, dada terasa sesak, atau air mata larut di antara deruan ombak di laut. Entah karena amarah ataukah kesedihan yang tak pernah lelah mendekap jiwa. Untuk mampu sembuh, yang utama mengambil peran adalah diri kita sendiri, sebagai bentuk penerimaan terhadapnya secara utuh. Bukan hal yang tidak wajar, jika kita kerap kecewa kepada diri sendiri, barangkali harapan terhadap tunas sayap, yang telah dirawat saban waktu tak kunjung tumbuh. Bisa jadi ekspektasi kita dalam hidup terlampau tinggi, menggantungkan bahagia pada bahu orang lain, sehingga mudah sekali rapuh jika dikecewakan.

Seorang bijak pernah berkata, jika kita memiliki sejuta cara untuk mencintai orang lain, lalu mengapa kita teramat kikir kepada diri sendiri, bahkan untuk memeluk luka dengan asa, kita masih enggan. Memang betul, buku-buku itu tidak mampu membaca raganya, tapi paling tidak ia tetap paham isi kepalanya.

Betapa banyak orang yang berakhir luka, sebab tidak mampu menjadi nahkoda duka di dalam dirinya. Diri semestinya menjadi rumah, tempat pulang dari hiruk pikuk kerasnya semesta. Menjadi jendela luas, tempat ternyaman berbicara pada langit. Menjadi tiang, bak sepasang kaki yang kokoh berdiri pada pijakannya.

Mewujudkan self love, bukan berarti kita menjadi egois kepada orang lain, dengan mementingkan diri sendiri. Justru, semakin kita tidak egois adalah bentuk self love yang paling nyata. Sebab, semakin cinta itu tumbuh di dalam diri, kita tidak lagi butuh pengakuan dari orang lain. Namun, kita akan merasa leluasa memuji orang lain, tanpa berharap hal tersebut kembali kepada diri kita. Semakin mampu berkata baik, dan tulus kepada orang lain sebagai upaya untuk terus belajar dan bersyukur bahkan pada hal-hal sederhana sekalipun.

Bentuk lain dari self love adalah dengan tidak memberikan jeda yang panjang kepada diri sendiri, jika sewaktu-waktu rasa lelah kembali menyapa. Jika ingin beristirahat, rehatlah sejenak untuk memulihkan diri. Biasanya seseorang akan melakukan kegiatan berupa berdiam di kamar, menjelajah sendiri, menulis, membaca ataupun hal lain, yang mampu mencipta rasa nyaman untuk tubuh dan pikiran. Upaya seperti ini disebut self healing, Menurut ilmu psikologi, self healing adalah proses penyembuhan yang hanya melibatkan diri sendiri, untuk bangkit dari penderitaan yang pernah dialami, guna memulihkan diri dari luka yang membatin.

Dalam buku Happiness Inside, garapan Gobind Vashdey mengabadikan petuah seorang pujangga besar India, Rabindranath Tagore. Ia mengatakan, “Pergi dan carilah hidup, di tempat hidup itu terasa indah.” Jika direnungi lebih dalam, tempat yang dimaksud bukanlah lokasi di luar, tempat kita ingin tinggal. Namun, pemaknaannya amat luas, bahwa pencipta sangatlah adil, Dia telah menyediakan ruang terindah itu di dalam diri kita, di dalam hati kita.  

Seperti halnya ketika kita menaruh kebahagiaan, pada barang atau sesuatu yang berada di luar diri, cinta itu belum nyata adanya. Ia hanya menjadi jembatan menuju kesana, namun tidak menjelma mutlak kebahagiaan. Semuanya hadir, dari sebuah penerimaan yang utuh atas lebih dan kurangnya diri, serta kesyukuran atas segala campur tangan Sang Pencipta.

Situasi yang biasanya membuat kita membenci diri bukan hanya tentang kita dengan diri sendiri, bisa juga karena lingkungan sekitar. Barangkali, ada beberapa orang yang kita temui cenderung toxic, sering melukai lawan bicaranya, kasar dan arogan. Menurut Analisa Widyanigrum, seorang psikolog lulusan Universitas Gadjah Mada, juga seorang penulis buku The Power of Personality beranggapan bahwa, “Orang-orang seperti ini, adalah orang yang dalam hidupnya belum penuh dan belum menghargai diri sendiri, sehingga ia berpikir bahwa, cara untuk berinteraksi adalah dengan bersikap leluasa tanpa memikirkan perasaan orang lain. Namun, mereka biasanya tidak mampu menerima perlakuan yang sama, dari orang lain terhadap dirinya.” Artinya penerimaan itu belum ada, maka penting rasanya memperlakukan orang lain, seperti bagaimana kita ingin diperlakukan.  

Beberapa upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan self love, yang pertama, dengan berusaha mengenali diri sendiri. Mencari jawaban atas pertanyaan mengenai mimpi dan harapan yang ingin dicapai, serta mampu mengenali ketakutan dan kekuatan yang dimiliki. Kedua, tidak membandingkan diri dengan orang lain, bahwa setiap manusia berbeda isi kepalanya, berbeda jalan dan upayanya, jangan menjadi kejam terhadap diri, dengan berusaha menjadi orang lain. Ketiga, menentukan pilihan dengan percaya diri. Kadang kita harus diperhadapkan dengan orang-orang yang kurang suportif, merasa memiliki kendali terhadap diri orang lain. Tak apa untuk menyampaikan keinginan, bukan berarti kita kita egois. Membela diri tidak berarti argumentatif, untuk berkata “tidak” bukan berarti kita tidak menghargai perasaan orang lain. Kita tetap punya kendali atas keputusan sendiri. Terakhir, bergaul dengan orang-orang yang berpengaruh baik. Kita akan sulit mencintai diri sendiri bila berada dalam lingkungan toxic, kita selalu butuh orang yang memahami segala rasa sakit, takut, senang, dan bahagia kita. Jangan pernah menjadikan kesepian sebagai alasan untuk kembali dalam lingkungan atau hubungan toxic.

Meski self love penting untuk diterapkan, bukan berarti kita bebas melakukan apa saja, guna mementingkan diri sendiri tapi lupa memedulikan keadaan sekitar. Jangan sampai self love berlebihan menjelma narsis semata.

Mencintai diri sendiri adalah representasi dari cinta kita terhadap orang lain, jika kita mampu mencintai dan menghargai orang lain, mestilah diri kita memiliki hak yang sama. Terlebih dahululah menjadi rumah untuk diri sendiri, nyamanlah di dalamnya, sebelum dijadikan tempat pulang oleh seseorang.

Ilustrasi: mythetachange.com

Meita Merindukan Senyum Semesta

Desember kelabu, begitu kira-kira Meita menamai bulan di akhir tahun yang identik dengan hujan. Mengisahkan langit yang semula biru menjelma samar, abu, nan pilu. Duka di sepanjang waktu tak kunjung sembuh, bahkan ketika kalender di rumah-rumah telah beranjak ke tong sampah. Semua berawal sejak makhluk mengerikan itu, bersarang di penjuru negeri. Tak terlihat namun mematikan.

Sangkala orang-orang tengah riuh menyambut hari-hari baru, ia lebih memilih diam di balik jendela kamar, bersama buku catatan miliknya. Bagi Meita, segala yang baru dalam hidupnya kali ini, adalah sesuatu yang tidak pernah ada dalam setiap pengharapannya. Hari-harinya menjelma hitam dan menyesakkan. Bagaimana tidak, apa yang bisa diharapkan dari bebas yang telah direnggut? Haruskah keterkungkungan yang menyedihkan ini disemarakkan?

Angin sepoi, aroma hujan, dan suara siulan burung, berhasil membuat Meita enggan beranjak dari tempat tidur. Ilusi membawanya pada kenangan, setahun dua tahun silam. Saat semua masih seperti selaknya, memulai pagi, dengan sarapan telur dadar tanpa garam kesukaannya, sebelum bekerja sepanjang hari. Bebas melanglang buana, mengunjungi taman wisata dan bertemu orang baru. Atau menikmati senyum dan peluk hangat sanak saudara pada hari-hari perayaan, pun libur nasional.

Bagi Meita, tahun ini adalah hari-hari yang teramat berat. Kala semesta tak henti didera luka dan terus-menerus diterpa bencana. Ia adalah bagian-bagian yang terkena dampaknya. Beberapa kali jatuh dan tak berdaya, ia harus merelakan pekerjaan, saat keadaan sedang pelik. Lalu semua terasa mencekik, ketika Meita harus kehilangan orang terkasih, tanpa permisi. Beban kepala dan pundaknnya semakin menjadi,  kala mendengar keluhan sang Ibu yang kian hari makin was-was, sebab kebutuhan hidup semakin menipis. Entah bagaimana keduanya akan pulih, Meita dan semesta.

Januari menjadi harapan satu-satunya, barangkali ia membawa kabar bahagia, diiringi bunyi terompet, menyaksikan kembang api menari di ujung pandangan mata, tepat di antara awan-awan lembut dan gemerlap bintang malam. Namun hari-hari baik tak kunjung menemuinya, tahun dengan angka yang baru, amat sungkan mengubah duka menjadi suka. Meita adalah kita dan orang-orang sekitar, yang mengasihani semesta dan merindu senyumnya kembali.

Beberapa waktu belakangan hidup telah mendedahkan banyak sekali kepelikan, dan di antara setiap kejadian, semesta seperti mengisahkan sisi lain manusia di buminya. Tak baik menjadi Meita yang menghabiskan waktu menghardik diri sendiri, sampai lupa menengadah ke atas langit, dan meminta jiwa yang lapang kepada Sang maha pemberi hidup. Adapula jenis manusia amat angkuh, tak mengindahkan aturan dan kemaslahatan orang sekitar.  Atau bahkan yang lebih tragis, para tuan-tuan pemakan hak rakyat, di tengah negeri kita yang sedang tidak baik-baik saja. Adakah kita di antaranya? Semoga tidak.

Tampaknya kita bisa sedikit bernafas, pasalnya media informasi seperti memberi sinyal-sinyal kebaikan. Menjawab segala ketakutan, guna memperbaiki lumpuhnya situasi. Masyarakat ramai membahasnya, sebuah zat yang dipercaya mampu merangsang pembentukan kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh sendiri menjadi bagian yang wajib untuk terus dijaga, agar tubuh tidak mudah terpapar virus, yang mengganggu sistem hidup manusia belakangan ini. Tidak tanggung-tanggung Negara menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk mendatangkan vaksin ini. Meskipun pada akhirnya masyarakat kudu bayar juga.  Paling tidak, harapan itu masih ada.

Semoga dengan ini, satu persatu persoalan mampu terselesaikan dengan baik. Kita tidak bisa menutup mata, benturan demi benturan seperti mengantri setiap harinya. Peristiwa yang terjadi terlalu menguras keringat dan air mata. Bagaimana tidak, di langit terdengar ledakan, laut menjadi saksi nyawa yang berguguran itu, daratan bersarang virus mematikan, bererapa bagian diserbu air ganas yang menghanyutkan segalanya, adapula yang terguncang hingga goyah dan rapuh, sementara gunung kian memanas. Tidak ada akibat tanpa sebab, boleh jadi segala peristiwa duka yang terjadi karena kita tidak piawai menjaga alam sekitar, kurang bersyukur, dan lupa berzikir. Semoga saja, vaksin berupa ikhtiar manusia menjaga imun sementara bencana adalah cara Tuhan menguatkan iman.

Harapan kita masih tetap sama. seperti Meita, baginya senyum semesta adalah mimpi yang terus ia tata. Teruslah kuat, kita telah banyak melalui hari dan menjalankan takdir dengan baik meski berat. Sudah semestinya kita diberi jeda untuk beristirahat, sebelum melanjutkan kembali perjalan sampai nanti dengan sebaik-baiknya. Terlepas dari ujian yang terus menghampiri, Meita mencoba bangkit sedikit demi sedikit. Seperti kala itu, saat langit tengah mendung. Meita melangkahkan kaki perlahan, bergegas ke teras rumah, tatapannya kosong sembari memerhatikan orang-orang di seberang jalan, semua tetap sibuk dengan urusan perut masing-masing. Mobil-mobil tetap lalu lalang seperti biasanya, warung kopi masih beroperasi selayaknya. Ia termangu, sadar bahwa hidup tidak akan terhenti meski dunianya runtuh sekalipun. Langkahnya tak lagi ragu-ragu, dengan penuh asa, ia menghapus air mata semesta.


Sumber gambar: https://www.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-011132431/update-virus-corona-dunia-19-desember-2020-kasus-positif-indonesia-masuk-20-besar-tertinggi

Juru Tanam Peradaban

Menjadi manusia seutuhnya tidak terbentuk begitu saja. Laiknya kehidupan, kita tidak bisa memilih tumbuh dan berkembang dalam lingkungan seperti apa. Tetapi untuk belajar menjadi baik, dari waktu ke waktu adalah sebuah keharusan. Sebagai agen sosialisasi pertama serta utama, peran orangtua amatlah penting. Mereka menjadi nahkoda, akan kemana dan bagaimana seorang anak nantinya.

Bagi saya, ayah ataupun ibu sama berharganya. Seperti apa saya dulu, hari ini, hingga kelak adalah hasil dari usaha dan upaya mereka. Masing-masing orangtua memiliki peran yang berbeda. Kendatipun, tujuannya sama. Berhubung bulan Desember bertepatan dengan perayaan Hari Ibu. Saya yang sedari sore menghabiskan waktu bersama dia buku catatan, bersampul hitam polos semakin yakin,  bahwa kisah dan kasih ibu tiada jeda.

Pembahasan tentang perempuan dan ibu, memang tidak ada habisnya. Sejarah pun tidak  pernah melewatkan, bagaimana perempuan memiliki peran dalam peradaban. Semua tercatat dengan amat apik. Seperti Khadijah bin Khualid, istri Rasulullah saw. Seorang perempuan bergelar Ummahatul Mu’minin. Selain beliau menjadi perempuan yang tidak pernah meninggalkan Rasulullah, dalam perjalanan dakwah beliau pun berperan dalam mendidik anak-anaknya. Hingga si bungsu Fatimah, menjadi perempuan sholehah yang dijanjikan surga. Menjalani dua tugas sekaligus, bukan pekerjaan yang mudah. Apatah lagi, mereka harus diuji dengan fitnah orang-orang kafir, kekeringan yang panjang dan pemboikotan jalur perdangangan oleh kaum Quraisy.

Kemarau panjang, kekeringan, dan kelaparan semakin bersahabat dengan kehidupan mereka saat itu. Namun Khadijah, si penyejuk hati Rasulullah, tidak pernah sekalipun mengeluh. Sedang usianya yang tidak lagi muda, ia masih harus  menyusui si bungsu Fatimah. Lantaran nutrisi  ibu saat itu tidak terpenuhi, hingga ASI yang keluar, berupa darah. Baginya, nyawa sekalipun tidak berarti apa-apa, jika untuk kepentingan umat Nabi dan anak-anaknya

Apa yang dialami oleh Khadijah, bagaimana beliau berjuang dengan segala upaya melindungi anak-anaknya, adalah representasi dari kehidupan masa kini. Bukan hanya Khadijah, siapapun itu ketika menyangkut keluarga, terlebih ibu dan anak, pastilah akan melakukan hal serupa. Tak heran jika dalam kalender tahunan, terdapat hari yang diistimewakan. Hari Ibu, setiap tanggal 22 Desember.

Peringatan Hari Ibu, adalah sebuah penghargaan terhadap sosoknya dalam keluarga, baik ayah ataupun anak. Meski hanya bersifat momentum, memuliakannya mestilah setiap saat dan tak berkesudahan. Setiap anak memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikan cinta kepadanya. Barangkali dengan memeluknya setiap pagi, atau mendekapnya penuh harap, dalam doa di sepertiga  malam.

Selain dianugerahi cinta yang maha luas. Ibu juga memegang andil besar dalam proses tumbuh dan berkembang anak, mengenal dunia. Seperti kata dr. Aisyah Dahlan, “Ketika anak dibesarkan oleh seorang ibu yang bijak, maka bijaklah anaknya. Tetapi seorang ayah yang bijak belum tentu mampu melakukan hal serupa.”  Barangkali ini terjadi,  sebab naluri seorang ibu jauh lebih besar. Bagaimana tidak, ia telah mendidik anaknya setiap saat, sedari dalam kandungan. Pembagian kerja rumah tangga yang telah membudaya sejak dahulu, di mana ayah mencari nafkah hidup dan ibu lebih banyak di rumah, menjadi alasan kuat mengapa ia selalu disebut sekolah dan tempat untuk “pulang”.

Perempuan dikenal dengan kemampuan multitasking, memiliki keterampilan dalam melakukan beberapa aktivitas berbeda dalam waktu yang sama. Sekarang ini semakin banyak perempuan yang terus membangun karir, tengah ia pun menjadi seorang ibu. Barangkali sering kita temui, ketika waktu pulang sekolah tiba, ada banyak ibu-ibu mengantri di depan gerbang sekolah, dengan kening mengerut di bawah paparan sinar matahari. Ada yang berseragam, ada yang datang sembari membawa dagangan, bahkan ada yang betisnya sedikit dilumuri lumpur. Meninggalkan pekerjaan, pun mengabaikan istirahat demi sang buah hati, kembali ke rumah dengan aman.

Sebagai seorang anak, saya banyak belajar dari seorang perempuan yang akrab saya panggil dengan sebutan, “mama”. Beliau sedari kecil melewati lika-liku hidup yang tidak mudah, di usia yang seharusnya dihabiskan untuk bermain dan belajar, harus ia habiskan dengan membantu saudara dalam bisnis. Katanya kalau mau sekolah, syaratnya kudu kerja. Namun positifnya adalah, ilmu yang ia dapatkan sedari kecil membuatnya mampu struggling hingga hari ini.

Selain itu, beliau juga menikah di usia yang masih terbilang muda. Laiknya Siti Nurbaya, yang menikah atas dasar perjodohan. Menikah muda tidak membuatnya minim cara mendidik anak. Beliau bukan tipe perempuan romantis, walakin selalu bijak dalam memberi nasihat. “Jangan pernah menyakiti hati sesama manusia, tetap sederhana, dan selalu bersyukur,” pesannya setiap kali kami berbincang di penghujung waktu, menunggu senja.

Saya paham betul, mengapa beliau tidak pernah bosan dengan mantra jitunya itu. Sebagai anak pertama, masa-masa tersulit dalam hidup masih terekam jelas dalam benak saya, hingga hari ini. Pernah sekali waktu, karena kehabisan beras, makanan pokok kami ganti dengan jagung muda rebus. Jangan tanyakan lauknya, jelas tidak ada. Namun, beliau tidak pernah menuntut banyak, selain berserah dan terus berusaha. Ah, perempuan yang memiliki prinsip hidup sederhana ini, selalu mampu membuat saya jatuh cinta setiap hari, pada orang yang sama, namun dengan cara yang berbeda.

Seorang ibu memang selalu istimewa, sebuah pekerjaan yang mesti dipelajari setiap hari. Menjadi seorang ibu, laksana juru tanam peradaban. Dari rahimnyalah, lahir generasi penerus bangsa. Bahunya harus kuat memikul beban, hatinya mesti tangguh menahan amarah, serta selalu memiliki jiwa  yang lapang, kalau-kalau ekspektasi terhadap anak tidak sesuai harapan. Tak heran jika dalam agama pun, kedudukan seorang ibu berkali-kali lipat lebih mulia dibandingkan ayah. Sebab mengandung dan merawat anak manusia, bukan perkara mudah, bahkan ketika seorang anak lahir ke dunia, hidup tidak pernah memberinya jeda untuk beristirahat.

Menulis perihal ibu, tidak akan pernah berujung. Laiknya kisah Khadijah dengan segala pengorbananya, ibu kita pun akan berlaku sama. Selayaknya, atas segala ikhlas dan sabar yang luas, jangan lupa untuk selalu berterimakasih. Selamat Hari Ibu, untuk seluruh perempuan hebat. Ada ataupun telah tiada, ia abadi di dalam jiwa.

Hidup Penuh Insecure, Hidup Bukan untuk Memenuhi Ekspektasi Orang Lain, Bukan?  

Pernah dengar kalimat toxic?  “Sekarang gendutan yah?” Dan, “Muka sama tangan kamu warnanya beda deh.” “Makanya perbaiki diri supaya cepat nikah,” atau “Kapan sarjana, yang lain sudah kerja.”

Logikanya, rentetan kata tersebut hanyalah penggalan kalimat biasa. Bagi sekelompok orang ada yang menjadikannya jokes dalam circle pertemanan mereka. Namun, tak jarang terdengar memuakkan, jika diucap berulang-ulang dengan nada ejekan.

Kiwari ini, kian banyak manusia ringan bicara tanpa menyaring, menanam luka tapi suka pura-pura lupa. Sering juga bersembunyi di balik kata-kata, “Gitu aja baper.” Nahasnya bukan hanya orang-orang luar, bahkan yang terdekat pun tak piawai untuk saling menjaga, diam-diam mematikan karakter.

Hingga akhirnya, seseorang mulai tidak nyaman dengan diri sendiri dan lingkungan. Muncul perasaan tidak aman, cemas, takut, body image negative, bahkan tidak percaya dengan segala potensi diri. Kaum milenial menyebutnya insecure. Narasi yang cukup menarik untuk ditelisik lebih jauh, mengingat beberapa dari kita, belum mampu speak up paling tidak, untuk menjaga perasaan diri sendiri.

Perasaan seperti ini bukan tanpa alasan, agaknya perlu untuk mendedah beberapa perspektif umum, sebab munculnya perasaan insecure. Yang pertama perlakuan overprotective. Biasanya dilakukan orang terdekat, pasangan dan orangtua. Adanya perasaan cemas berlebihan, hingga insting untuk melindungi terlalu besar. Kita sama-sama sepakat bahwa, sesuatu yang berlebihan juga tidaklah baik. Sebab, setiap manusia berhak maju dengan caranya sendiri.

Kedua, perlakuan membanding-bandingkan. Statement ini sepertinya didukung penuh oleh standar menarik dan kecantikan, yang dibuat-buat masyarakat secara umum. Semakin putih semakin cantik, six-pack lebih menawan katanya, yang kurus dituntut berisi, yang gemuk kudu diet ketat. Masyarakat seperti lupa bahwa Nusantara terdiri dari berbagai etnis, warna kulit dan struktur wajah yang beragam. Selain itu, media pun menaruh pengaruh besar, terhadap standar kecantikan dengan memperadakan kontes dan kampanye kecantikan. Secara tidak langsung mendoktrin persepsi orang-orang untuk menjadi sama sesuai standar mereka.

Ketiga, trauma masa lalu. Barangkali ini bisa dijadikan jawaban, untuk keluarga dari antah-berantah yang kerap bertanya seputar pernikahan dan asmara, sebab ada yang lebih berat dari persiapan menuju akad. Ada orang yang terkurung jiwanya bersama masa lalu, ragu-ragu menapaki hidup. Ada pula yang enggan menaruh hati, karena takut dikhianati (lagi). Ada yang ragu berkomitmen karena trauma kekerasan dalam rumah, ada pula yang berakhir putus asa meraih harap. Sebagian dari kita menganggap bahwa pengalaman adalah guru, sisanya adalah mereka yang terus melatih diri, lepas dari bayangan masa lalu.

Keempat, kegagalan. Gagal adalah momok yang menakutkan bagi sebagian orang, ditengah usaha dan kerja keras, kadang kita harus diperhadapkan dengan ketidak berhasilan. Seperti penolakan lamaran pekerjaan dan penolakan-penolakan yang lain, berbuntut pada tingginya kecemasan. Cemas tidak mampu memperbaiki ekonomi keluarga, takut mencoba kembali, takut dianggap tidak berguna.

Kelima, overthinking, berpikir berlebihan. Pada dasarnya manusia memang tidak pernah puas. Tak salah, yang keliru ketika kita memaksakan keterbatasan, untuk memenuhi standar  kepuasan orang lain.

Keenam, perfeksionis. Menuntut kesempurnaan terhadap diri, untuk mencapai titik terbaik dalam hidup akan menjadi boomerang bagi diri sendiri. Seseorang dengan sifat perfeksionis, adalah mereka yang enggan menerima kegagalan dan seringkali bertengkar dengan diri sendiri, jika hasil yang didapatkan tidak berbanding sesuai harapan.

Terakhir, rasa takut untuk bersosialisasi, sebab terlalu cemas dianggap berbeda dengan orang sekitar. Perasaan tidak aman sebetulnya adalah hal yang wajar, namun berada pada posisi yang sama dalam waktu yang lama, tidak akan membawa kita kemana-mana.

Nihil manusia yang hidup bersahabat dengan keadaan baik-baik saja sepanjang waktu. Saya pun tak lepas dari insecurities, bahkan untuk bisa speak up lewat tulisan ini, cukup berat. Sangkala, sehabis beres tanggung jawab saya, mengabdi diri pada masyarakat. Saya kembali ke kampus, dengan keadaan kulit lebih gelap dan kusam dari biasanya. Segala gurau perihal warna kulit tidak pernah saya ambil pusing, sebab begitulah nyatanya. Hitung-hitung menyenangkan orang lain sembari bercanda, dengan membalas ucapan “Iya dong, eksotis.” Namun kali ini berbeda, terlalu naïf untuk mengatakan ini menyenangkan. Teguran demi teguran berkawan gelak tawa, ingin rasanya berlalu dari hadapan mereka, sesegera mungkin. Tetapi, menjaga perasaan mereka agaknya lebih penting, tinimbang menunjukkan ketidakpuasan hati, atas perlakuan kurang mengenakkan saat itu.

Sedikit menghela nafas dan menguatkan diri, kulit yang semakin menggelap selepas KKN itu wajar, namanya saja “Kuliah Kerja Nyata” bukan “Kuliah Kerja Nyantai.” Barangkali mereka peduli, caranya saja yang sedikit keliru. Saya yakin, ketika kita tidak bisa mengubah orang lain dalam melihat kita, maka kitalah yang harus mengubah cara kita memandang orang lain. Perasaan insecure memang tidak bisa hilang sewaktu-waktu, kuncinya adalah tetap berpikir positif dan selalu mencintai diri sendiri.

Terakhir, senyatanya tidak ada yang salah dari sebuah kritikan, asal paham situasi dan kondisi mental seseorang. Bukan hal yang sulit ketika kalimat tanya “Kapan sarjana, yang lain sudah kerja?” Diganti dengan “Semangat yah, proses setiap orang berbeda. Sarjana bukan tentang siapa yang paling cepat, tetapi siapa yang mampu menjadi manusia setelahnya.” Berhenti menegur fisik dengan nada mengejek, jangan sampai buah dari ucapan kita, menjadi alasan, seseorang menghalalkan segala upaya di luar keterbatasan. Berhenti menjadi kendali pada setiap pilihan hidup seseorang, jika biayanya tidak Anda tanggung. Lagi pula kita hidup bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain, bukan?

Sumber gambar: dictio.id