Semua tulisan dari Bahrul Amsal

Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).

Sebuah Esai untuk Hari Pendidikan Nasional

Selamat hari pendidikan nasional bagi guru, ojol, siswa-siswi, penjaga gerbang sekolah, mahasiswa, penjual di kantin, satpam kampus, dosen, dan semua orang yang pernah duduk menjadi seorang pelajar, di sebuah sekolah, di suatu perguruan tinggi.

Pendidikan saya kira adalah mesin transformasi. Suatu waktu, anak seorang petani, berseragam, bersepatu, ia bersekolah dan tidak lama dapat bercita-cita menjadi seorang insinyur tidak seperti pekerjaan orangtuanya. Anak seorang tukang becak pasca menyemat gelar bisa diterima di perusahaan multinasional, dan di tempat lain, membuat seorang anak muda pelosok setelah meninggalkan kerbau dan sawahnya, pergi ke kota dan bersekolah bercita-cita ingin menjadi seorang presiden di negeri yang hampir semuanya adalah laut

Pendidikan memang memberikan peluang-peluang baru, wawasan baru, dan memperkenalkan keterampilan-keterampilan baru yang diciptakan melalui kebudayaan, tapi di saat bersamaan mengubah cara orang berpikir melahirkan kebiasaan baru dengan risiko meninggalkan adat kebiasan lama.

Keluarga petani terancam kehilangan pengetahuan bercocok tanam setelah anaknya pergi bersekolah di kota. Anak seorang ketua adat terancam kehilangan kearifan lokal setelah menerima pendidikan modern. Dan anak pelosok tadi sudah gengsi bertungkuslumus dengan kerbaunya karena lebih memilih pergi dari sawahnya mengejar impian-impian barunya di kota.

Pendidikan bukan sekolah, meski banyak orang kadung mengidentikkan keduanya. Itu ulah birokratisasi, saat masyarakat menyadari pentingnya suatu lembaga publik agar dapat mengerjakan tugas-tugas yang tidak dapat mereka sanggupi di dalam keluarga. Di masa lalu, keluarga merupakan lembaga utama dan tertua untuk membentuk karakter anak-anak sebelum akhirnya diserahkan kepada pihak lain melanjutkan kerja parenting yang tidak dapat lagi dilakukan oleh para orangtua. Kebiasaan berubah, dari scola matterna menjadi scola in loco parentis. Dari tangan seorang ibu diserahkan kepada guru-guru bijak bestari. Setelah itu, tempat asuh yang makin menjadi sering itu menginisiasi lahirnya lembaga pendidikan yang kelak akan disebut almamater (ibu yang mengasuh).

Dari sini bisa jadi pendidikan itu berkarakter feminin ketimbang maskulin sehingga awalnya bagi anak-anak yang mengenyamnya dapat merasakan kedekatan, kasih sayang, dan merasa diayomi. Bisa jadi dalam buaian feminin pertanyaan akan dibalas jawaban, protes akan dibalas senyuman, dan gugatan akan dibalas gugahan.

Saat ini pendidikan adalah barang istimewa. Tidak semua orang dapat merasakannya. Banyak kritikus menyatakan itu semua karena pendidikan telah menjadi komoditas. Ia menjadi barang dagangan yang mengubah relasi ilmu pengetahuan menjadi relasi transaksional. Mengubah orang-orang di dalamnya seperti sedang beraktivitas di dalam suatu pasar. Meriah tapi tidak sanggup untuk mendapatkan produk yang diharapkan. Terlalu tinggi. Mahal.

Tapi meskipun demikian, ia tetap direspons dengan cara yang hampir sama: upacara. Suatu cara yang ditentukan negara ketimbang lembaga pendidikan itu sendiri. Seolah-olah lembaga-lembaga pendidikan telah kehilangan inisiatif untuk mengisi momen pentingnya sendiri. Barangkali hanya di negara ini hari pendidikan diperingati seolah-olah sedang menghadapi perang dengan cara membentuk barisan, berseragam, dan perlu protokol untuk mengaturnya. Hari pendidikan sebaiknya-baiknya cara untuk menyambutnya, menurut saya, dengan membuka pertemuan-pertemuan akademis, melakukan publikasi karya ilmiah, penganugerahan jasa, mengadakan pameran pendidikan, seminar-seminar sains, atau menggelarnya selama sepekan dalam semangat ilmu pengetahuan. Vibesnya lebih terasa.

Di atas ini beberapa gambar yang saya temukan di salah satu perguruan tinggi yang tidak perlu saya sebutkan namanya, yaitu UNM. Seseorang (atau sekelompok) menuliskannya dengan cukup menyakinkan, dan sepertinya ditulis dalam rangka hari pendidikan nasional—setidaknya begitu yang saya kira. Satu dua gambar di antaranya sudah cukup jelas diperuntukkan untuk merespon isu ketenagakerjaan, yang masih cukup relate dengan hari Buruh Internasional kemarin. Sementara sisanya mengingatkan saya kepada salah satu cerpen Eka Kurniawan, Corat Coret di Toilet. Tapi, ini kamar kencing yang berbeda dari toilet Eka Kurniawan di dalam cerpennya, yang saling sambung komentar antara pengunjungnya sehingga menampilkan suatu percakapan. Tidak ada cermin di toilet ini, yang dapat menjadi metafor tentang pentingnya refleksi bagi wacana kritis. Dan juga tiada tulisan dari gincu merah menandai kata-kata elite yang lebih sering menjadi pemanis bibir.

Meski demikian ini menjadi satu sinyalemen bahwa aspirasi dari bawah masih hidup dari ceruk-ceruk perguruan tinggi, meski dari pandangan elite tindakan semacam ini bisa dinyatakan sebagai vandalisme ketimbang pemberontakan yang ditengarai kelompok perlawanan bersenjata. Ini mungkin juga tanda-tanda saluran aspirasi sedang mampet dan perlu perbaikan, atau simbol kegagalan elite pelajar yang sedang mengalami disorientasi apalagi frustasi ketika menjabarkan dengan cukup visioner bagaimana peran publik mereka ketika diperhadapkan dengan masalah-masalah yang lebih luas dari sekadar masalah lokal dan terbatas di kampus mereka, sehingga lebih memilih menyampaikannya dengan cara terbatas dan terisolir.

Atau ini sekaligus sebagai tanda kehancuran epistemik di sebagian besar kubu pelajar yang tidak sanggup menjangkau pemikiran yang lebih panjang dan ilmiah, sehingga tidak sanggup dituangkan kedalam karya-karya publikasi yang lebih argumentatif dan komunikatif. Itu menjadi satu soal internal yang mesti dipecahkan dikarenakan masalah selama ini hanya dapat tuangkan ke dalam idiom jargonistik ketimbang pikiran-pikiran yang terlatih.

Tapi, menurut saya tindakan semacam ini tidak usah direspons secara berlebihan apalagi mendatangkan satuan keamanan untuk memberikan pelajaran kepada entah siapa yang melakukannya. Ini bisa dianggap sebagai gaya curhat sekelompok mahasiswa yang tidak dibekali rasa percaya diri tapi berani diam-diam menulisnya seperti seseorang yang sedang jatuh cinta. Ia malu bertemu langsung dengan perempuan idamannya sehingga memerlukan medium tidak langsung demi mengatakan uneg-uneg perasaannya.

Syahdan, begitulah makna edukasi (ed: keluar, care: menarik). Yakni sudah merupakan fitrahnya pendidikan itu “menarik keluar” apa saja yang ada di dalam pikiran pelajar untuk dibicarakan bersama, ketimbang seperti anggapan sebagian pendidik selama ini yaitu terdorong memasukkan sesuatu ke dalam benak anak-anak asuhnya untuk mengharapkan kesepakatan. Itu.

Tulisan ini pertama kali terbit 2 Mei 2023 diterbitkan ulang demi pendidikan

Mbah Benu dan Kisah Nabi Musa

Tidak usah Anda tertawakan seorang kyai yang berlebaran pasca “menelepon” Tuhan, dan setelah itu Anda jumawa melihat keyakinan Anda merupakan doktrin yang paling benar. Sifat seperti itu akan merusak kepribadian Anda. Anda jangan lupa, si Iblis akhirnya menanggung kutukan seumur hidupnya hanya karena suatu waktu nyinyir kepada Adam.

Ini masih kalah banding dengan beberapa orang di masa lalu yang sangat antusias menjadi nabi atau anak tuhan pasca bertemu Jibril di suatu tempat. Atau pengakuan si pemikir pembunuh tuhan yang menyatakan dunia sudah tidak bisa diselamatkan lagi kecuali dengan membunuhnya. Apalagi dibanding pengakuan Firaun berabad-abad lalu sebagai tuhan, Mbah Benu pimpinan jemaah Aolia Giriharjo tidak ada apa-apanya.

Jadi biasa saja. Anda perlu juga ingat kembali agama punya banyak fasilitas untuk beragam pengalaman seorang manusia. Apalagi Tuhan yang —saya kira Anda tahu— memiliki 1001 cara untuk berhubungan dengan ciptaannya. Saat ini masa penghabisan ramadan, yang seharusnya membuat diri kita makin “selow” melihat beragam ekspresi keagamaan. Toh, cerita seperti Mbah Benu sudah sering kita dengarkan.

Saya nyaris juga mengutuk kyai si penelepon tuhan, meski hanya melihatnya saat diwawancarai salah satu stasiun Tv. Dari keperawakannya yang sudah uzur menandai panjangnya usia yang ia pakai untuk mencari kebijaksanaan melalui agamanya. Tapi, kesadaran kerap datang terlambat, dan mulai menyadari apa hak kita sesungguhnya untuk menjastifikasi keputusan yang telah diambilnya. Seorang kyai dengan ratusan jemaah, saya kira bukan pemuka agama biasa.

Di negeri ini tidak gampang mengumpulkan orang dalam jangka waktu lama untuk menuntut kesetiaan mereka. Mengemongnya, mendidik, dan memberikan bimbingan agama bagi sekelompok warga yang kelak menjadi jemaah. Sebuah kekuatan religius yang bukan main. Kecuali dalam politik, agama salah satu perangkat kesetiaan yang tidak dengan mudah dapat dijelaskan seperti yang kita lihat melalui tayangan media massa.

Sebagai sebuah fenomena, Mbah Benu adalah sebuah fenomenologi agama, yakni ekspresi yang perlu dipahami dari konteksnya sendiri. Meski seringkali setiap penilaian atas sesuatu telah dibingkai oleh prasangka, kepercayaan, atau nilai tertentu, sebuah pendekatan untuk melihat melalui kacamata si pelaku perlu untuk diperhatikan. Dunia ini tidak hanya bisa dilihat dari sepasang mata belaka, melainkan membutuhkan kehadiran orang lain agar dunia ini tidak berlari hanya seperti yang kita inginkan.

Istilah menelepon tuhan yang dikatakan Mbah Benu menurut saya hanya persoalan semantik belaka. Setidaknya dari sisi kegunaan, ”menelepon tuhan” hanya kiasan untuk melambangkan model hubungan antara hamba dan Tuhannya belaka. Suatu diksi yang sama persis dengan kemajuan zaman kiwari di mana banyak orang mulai diresahkan dengan manfaat benda canggih bernama smartphone itu.

Tapi, apakah betul tuhan memiliki nomor khusus sehingga setiap orang dapat menghubunginya jika dalam keadaan kepepet? Sudah pasti tidak. Tuhan bukan bagian dari sistem teknologi informasi dan komunikasi canggih, yang dibekali kecerdasan atau intelegensi tiada tara melebihi kapasitas berpikir manusia. Sebaliknya, semua kecanggihan sistem informasi itu telah menjadi tuhan abad 21, yang merebut hati manusia dan kesetiaannya.

Bukan tidak mungkin selama ini kepercayaan manusia lebih percaya dengan beragam informasi yang tersedia di dalam dunia maya. Segala yang Anda inginkan dapat dengan mudah diakses. Informasi yang telah lama tersimpan ditimpa beragam informasi terbaru dapat Anda panggil dengan mengetikkan kata-kata kuncinya. Jangankan informasi dari masa lalu, peristiwa yang bakal terjadi di masa depan dapat dengan mudah disusun berdasarkan algoritma super ketat. Sensasi pengalaman semacam itu tidak pernah dialami sebelumnya, sekalipun seringkali dinyatakan melalui doktrin agama seluruh kejadian kehidupan ini telah tersimpan di kitab kejadian bernama Lauhul Mahfudz.

Era kiwari pengalaman interaksi manusia lebih mudah dialami via dunia maya. Hampir semua dilakukan saat ini mesti dikoneksikan ke dalamnya. Sudah menjadi agama. Kebiasaan yang sukar ditinggalkan. Saking sukarnya, pengaruh internet sampai menancapkan tiang-tiang signalnya sampai di jiwa manusia. Mengubah orientasi spiritual manusia dan pengalaman kebatinan tentang agama yang semula rahasia dan tersembunyi terekspose sedemikian rupa bagai sejumlah tayangan iklan. Banal dan narsistik.

Alkisah seorang pengikut Nabi Musa ditemukan sedang menyeru tuhannya. Dalam rintihannya ia ingin menyisir rambut tuhan, mengikat tali sepatunya, dan memberikan pengkidmatan terbaik kepada tuhannya. Jika perlu ia ingin melayani tuhannya seperti seorang raja. Mendengar permintaan umatnya itu, Musa marah. Tuhan bukan zat yang pantas diserupakan dengan makhluknya. Ia tidak layak disisir karena tidak berkepala, apalagi bersepatu. Kemudian muncul suara bergema mengisi seantero langit. Tuhan kecewa dengan Musa setelah nabinya itu ditegur. Sesungguhnya Tuhan senang dengan keintiman umatnya itu. “Aku tidak melihat kata-kata, tapi isi hati hambaku,” begitu kira-kira yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Musa.

Di kisah itu Nabi Musa diminta mencari umatnya untuk menyatakan maaf. Tapi sayang setelah berkelana mencarinya Musa tidak menemukannya.

Galibnya kisah-kisah berbau tasawuf, narasi tentang umat nabi Musa ini perlu diintrepetasikan dengan bijak. Begitu pula apa yang dilakukan Mbah Benu kurang lebih mengindikasikan pendekatan keagamaan lain di luar dari tinjuan ilmu fiqih. Dari sisi ini, tidak semua orang dapat memahami jalan pikiran Mbah Benu sehingga karena itu tidak layak untuk menghakiminya secara berlebihan.

Sekelumit Gagasan tentang Keabadian

Selama ini saya mengira saya abadi. Atau setidaknya dapat hidup tidak berubah meski waktu bergerak-gerak sampai kesini.

Sudah sejak lama saya menyadari tubuh saya berhenti menjadi lebih tinggi, sama halnya seperti raut muka saya yang tidak menunjukkan indikasi perubahan. Wajah saya seperti berjalan di tempat persis seperti lima, sepuluh, atau dua puluh tahun lalu. Saya seperi sosok highlander, mitologi manusia abadi yang berasal dari ketinggian gunung-gunung di Scotlandia. Tidak akan mati sebelum kepalanya dipenggal. Saya seperti seseorang yang hidup di dalam zaman yang berhenti bergerak saat setiap orang yang saya kenal berubah setiap waktu. Saya tidak mengalami banyak perubahan setelah itu. Itu ciri-ciri keabadian menurutku.

Ada suatu masa karena itu saya ingin menjadi begini-begini saja, yang saat itu berarti hidup menyerupai anak-anak yang melihat kehidupannya dengan cara begini-begini saja pula. Bebas, tanpa beban, dan terutama tidak ada tanggung jawab yang perlu dipikul.

Saya rasa kehidupan seperti dalam cerita Peter Pan di saat ini bukan hanya terjadi dalam dunia fiksi saja.

Di beberapa negara, terutama Jepang kecenderungan sebagian orang memilih model kehidupannya menjadi lebih mudah setelah ia memilih usia yang diinginkan. Selama ini kebebasan yang dimiliki manusia hanya bisa mendorongnya memilih jenis kelamin yang ia harapkan, atau sama sekali tidak memilih satu kepercayaan agama yang terlanjur dipilih banyak orang. Anda jika ingin menjadi seperti seorang anak berusia 14 tahun maka pilihlah itu sebagai usia Anda saat ini. Itulah trans-age, fenomena memilih usia berdasarkan keadaan mental seseorang.

Di Jepang, pria bernama Jackie memilih hidup berdasarkan usia yang ia pilih karena menolak usianya yang telah 39 tahun. Ia selalu menyatakan kepada siapa saja kalau usianya masih 28 tahun dikarenakan menginginkan kebebasan dan keceriaan anak muda yang sudah mulai jarang dialami orang-orang yang memasuki usia kepala empat.

Sama seperti Jackie, saya selama ini menginginkan usia saya berhenti di 24. Karena itu bukan hal yang aneh jika setiap orang memiliki keinginan untuk kehidupan yang lebih lama melebihi seperti kehidupan sekarang.

Tapi, gagasan itu kemudian mulai berubah. Di kepala, saya menemukan beberapa helai rambut memutih. Itu artinya, setiap orang bakal menghadapi usia yang makin panjang, setelah ia disadarkan dari tanda-tanda perubahan seperti yang saya alami beberapa waktu lalu pasca berulang tahun.

Keabadian merupakan gagasan yang telah berumur panjang. Bahkan ia merupakan obsesi yang sampai saat ini berusaha dipecahkan melalui berbagai cara, termasuk sains.

Sejak era Yunani antik di masa Plato, gagasan keabadian dinyatakan melalui keazalian jiwa yang mendiami suatu tatanan metafisis tempat ide-ide universal berada. Semua orang saat itu memiliki sejumlah pengetahuan yang tidak terbatas dikarenakan langsung dapat mengakses ide-ide keabadian yang tidak berubah, pasti, dan menyeluruh. Di kondisi ini, bahkan konsep waktu dan tempat tidak relevan sehingga memungkinkan setiap apa yang ada dapat aktual tanpa melalui suatu proses spasial dan waktu.

Saat ini, sains berusaha merealisasi ide-ide semacam itu, dan ini bukan suatu hal yang mustahil. Setidaknya tampak dari upaya industri kecantikan yang menjual gagasan mengenai konsep awet muda melalui beragam produk dan treatment agar banyak orang kembali seperti kehidupannya 15 tahun lalu.

Melalui pendekatan yang lebih canggih, tekhnik pembekuan sel-sel dari diri seseorang agar ia bisa dibangkitkan di masa depan sudah makin populer, terutama di beberapa tempat negara barat.  Pembekuan otak menggunakan nitrogen cair merupakan tekhnik medis saat ini yang bisa memberikan harapan bagi orang yang percaya bahwa di masa depan ia bisa hidup kembali meski telah berganti tubuh.

Keyakinan semacam ini tidak ada salahnya dikarenakan obsesi hidup kekal sudah merupakan keinginan yang tertanam di setiap jiwa manusia. Cara-cara seperti ini bukan sesuatu yang baru dikarenakan di masa lalu, bahkan seorang raja seperti Firaun telah menggunakan tekhnik pembalseman untuk mempertahankan dirinya agar terus dapat awet, sementara jiwanya melanjutkan perjalanan ke alam baka tanpa perlu khawatir kehabisan harta.

Terkait harta, banyak orang kaya memiliki gagasan kebadian dengan cara membeli segala hal yang dapat ia beli. Selama ia memiliki banyak uang, keabadian dapat ia miliki dengan memperbanyak koleksi mobil mewah, perhiasan, tas mahal, atau bahkan mengoleksi jam tangan branded seakan-akan setiap jarum jam yang berputar di dalamnya akan menambah waktu menjadi dua kali lipat lebih lama. Tapi memang, jiwa yang telah tenggelam di dalam keberlimpahan materi sering menganggap semua yang ia miliki bakal bertahan selamanya.

Mungkin karena itu konsep keabadian tidak selamanya pantas untuk kehidupan manapun. Terutama jika gagasan itu berkaitan dengan keberadaan sesuatu di dalam ruang dan waktu. Bahkan ketika Anda memiliki kekuasaan, yang kerap membuat sifat seseorang cepat berubah menjadi seratus delapan puluh derajat sehingga menghendaki agar ia menjadi pemimpin selamanya.

Tidak bisa dibayangkan jika di masa sekarang semua orang dapat hidup lebih lama dan tidak sekalipun ajal menghampirinya. Membuat kekayaannya abadi, jabatannya abadi, dan semuanya serba bertahan lama. Itu artinya di sisi lain ada kemiskinan yang abadi, bawahan yang abadi, serta struktur yang tidak bisa berubah pun selama-lamanya. Sudah pasti dengan semua keabadian itu akan mempertahankan ketidakadilan, ketimpangan, dan penindasan selama manusia bisa membayangkannya. Imbasnya, kehidupan ini akan terjerumus di dalam nihilisme, kepadatan, mengalami krisis multidimensi, dan kebosanan mulai melanda yang akan mendorong satu dua orang akan berani memikirkan ide tentang bagaimana caranya mengakhiri hidupnya.

Itulah sebabnya, kehidupan abadi di satu sisi adalah kutukan, sama seperti si Iblis atau Sisipus yang dikutuk Dewa Zeus untuk hidup selamanya hanya demi melakukan hukuman tanpa henti sampai ia sendiri kehilangan kepercayaan atas nilai-nilai. Kutukan Sisipus mesti mengangkat batu di pagi hari sampai ia melihatnya jatuh dari atas bukit setelah malam tiba. Begitu seterusnya yang ia lakukan seumur hidup, selama-lamanya.

Saat ini, menurut saya, meski tidak hidup abadi, hampir semua orang hidup dengan kutukannya sendiri-sendiri. Ada yang mesti menanggung hidup melarat pasca habis-habisan di atas meja judi, mengalami nasib sial berupa perceraian setelah melanggar perjanjian pernikahan, atau bernasib malang setelah biaya hidup berubah drastis akibat kesalahan kebijakan ekonomi-politik. Ya, yang namanya kutukan merupakan nasib buruk, kemalangan, dan nahas imbas dari kesalahan melakukan sesuatu, seperti misal menyerahkan semua urusan hidup kita kepada sistem atau orang yang salah.  

Hari-Hari yang Buruk

Hampir setiap orang pernah merasakan nasib sial. Atau bernasib buruk di hari-hari yang lain. Di masa lalu, saat masih di bangku sekolah, orang seperti saya menganggap Senin adalah hari yang buruk. Masuk sekolah mesti lebih cepat: upacara bendera. Berbaris dan berdiri panas-panasan hingga topi dan seragam seperti handuk basah.

Anda menjadi lebih sial jika tidak gesit mengambil tempat di bawah pohon rindang. Sebatang pohon mangga, misalnya, yang sering Anda lempari buahnya meski belum ranum.

Dan, hari itu Anda bisa saja akan menjadi terdakwa. Inilah saat ternahas Anda. Dunia sedang memunggungi diri Anda karena itulah hari paling bedebah: Anda telat datang lalu hanya berdiri bersama barisan anak-anak sial lainnya. Kali ini Anda berdiri di luar pagar sekolah. Tapi, bersama menjadi lebih mudah. Seringkali jika seseorang bersalah ia akan segera mencari orang yang bernasib sama untuk menormalisir perasaannya, ketakutannya. Itulah manusia, bahkan sebuah pelanggaran dapat menjadi lumrah jika disepakati banyak pihak.

Hari buruk lainnya, untuk saya adalah ketika di hari lain akan mempelajari matematika, fisika, atau kimia. Sudah sejak malam sebelumnya melihat roster pelajaran menjadi pekerjaan paling malas. Keburukan Anda menjadi dua kali lipat jika ketiga pelajaran itu bercokol di hari yang sama. Saya rasa guru atau siapa pun yang menyusun jadwal seperti ini perlu mempelajari ilmu psikologi dengan serius, atau ilmu pendidikan dengan lebih baik lagi.

Tidak semua orang menyukai ilmu perhitungan, sedangkan sebagian lainnya lagi akan menganggap ilmu seperti itu tidak akan berguna di kemudian hari. Mungkin orang semacam ini ada benarnya, karena tidak mungkin semua orang akan bekerja dengan menggunakan ilmu semacam itu setiap harinya. Dengan alasan ada orang-orang tertentu telah mempelajarinya mati-matian, maka tugas sebagian yang lainnya hanya untuk menikmati hasil kerjanya. Tapi, tidak tepat juga ilmu semacam matematika, misalnya, tidak akan berguna untuk masa depan seseorang. Setiap saya menghindari ilmu seperti ini di masa lalu, semakin membuat saya menyadari untuk saat ini perlu bagi setiap orang untuk memilikinya agar membantunya dapat berpikir analitis, memahami pola-pola, dan dapat membantunya untuk memecahkan masalah yang membutuhkan pendekatan logika.

Semakin ke sini, setiap bidang kehidupan memerlukan kesatuan ilmu-ilmu. Di dunia akademik, integrasi ilmu-ilmu juga sudah menjadi hal lumrah.

Saya tidak tahu apa arti hari buruk bagi Anda, dan juga apakah Anda hari ini sedang menjalani hari yang indah? Kita pernah mengalami hari-hari buruk yang cukup panjang, bahkan sampai tiga dekade lamanya. Hampir seluruh usia saya saat ini. Tidak bisa dibayangkan jika seseorang hidup di dalam hari-hari buruk seperti ketakutan menyatakan pendapat, kekhawatiran berkumpul dan berserikat, atau tidak ada jaminan kesehatan serta pendidikan yang mampu menjamin masa depan.

Bagi negara demokratis hari-hari buruk tidak sama persis dialami seperti negara otoriter. Bagi negara otoriter hampir semua orang tidak memiliki kebebasan berekspresi, dan bagi intelektualisme ini merupakan ancaman berbahaya. Sementara bagi negara demokratis, demokrasi bisa berjatuhan tidak sama seperti di negara otoriter yang menggunakan kudeta atau kekerasan, melainkan melalui pemerintahan hasil pemilu, yang sebelumnya telah melakukan rekayasa publik dengan mengubah aturan mainnya. Meminjam Levistky dan Ziblatt: “Kemunduruan demokrasi hari ini dimulai di kotak suara”.

Beberapa hari lalu kita telah melalui hari-hari paling menentukan, terutama untuk perjalanan bangsa ini. Bagi banyak orang, demokrasi ketika kali pertama ditemukan merupakan hari paling bahagia. Itulah saat ide-ide sakral yang berasal dari langit tidak akan lagi digunakan. Tiang-tiangnya telah diguncang oleh suara mayoritas. Dan, sejak saat itu suara mayoritaslah yang paling afdal menentukan kebahagiaan banyak orang.

Di dunia ini, tidak sedikit orang merasa bahagia jika mampu berpikir dalam-dalam menyerupai para filsuf. Mengoleksi banyak buku agar mengisi jiwanya yang kosong. Juga hampir semua orang yang menginginkan banyak uang untuk merasakan bahagia, sama seperti sekelompok orang yang cukup senang jika diberikan makanan gratis. Tapi, banyak orang akan merasakan hari buruk apabila roda kendaraannya pecah saat buru-buru mengejar pesawat. Saya kira banyak orang pernah mengalami ini.

Saya pernah kehilangan dompet, ditilang polisi, lalu sekali tempo gagal dalam sebuah tes wawancara. Semua itu hari buruk bagi saya. Anda juga mungkin memiliki pengalaman semacam itu, seperti salah memilih pasangan hidup, atau salah memilih figur pemimpin, misalnya. Sokrates adalah orang yang mengalami dampak buruk keduanya. Ia menikahi seorang perempuan super cerewet dan galak, tapi karena itu ia menjadi filsuf. Di banyak tempat, banyak bangsa-bangsa demokratis salah memilih pemimpin. Mereka justru memilih seorang calon diktator yang tidak akan membuat apa-apa selain hari-hari buruk setelahnya. Semoga Anda tidak.

Palestina vs. Israel: Nasionalisme dan Kolonialisme

(Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan)


Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank Gardner, koresponden keamanan BBC, menyatakan serangan itu bisa lolos karena intelijen Israel “tertidur”.

Gempuran mendadak itu menambah catatan panjang “konflik” antara dua kawasan yang dimulai setengah abad lalu—penting untuk dicatat, termin konflik bukan istilah yang pas untuk menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan. Di kesempatan terpisah, perdana menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyebut serangan itu tidak dapat dimaafkan dan menyebut kelompok Hamas merupakan organisasi teroris. Suatu pernyataan yang sebenarnya kontraproduktif mengingat sejarah panjang kolonialisme Israel atas warga Palestina. Dalam hal ini, kolonialisme Israel lebih berbahaya dari terorisme yang dilakukan sembunyi-sembunyi. Kolonialisme Israel selama ini merupakan pendudukan, pembajakan, penindasan, dan pembunuhan yang dilakukan terang-terangan, tapi sunyi dari suara kritik sebagian besar negara-negara dunia. Karena itu, merupakan standar ganda menyesatkan dari pernyataan perdana menteri Israel itu.

Yang terjadi di Palestina saat ini, merupakan seperti dikatakan Ilan Pappe, sejarawan Yahudi pro Palestina, adalah suatu pembersihan etnis. Merupakan tindakan pengecut bagi Israel jika menginginkan suatu tatanan dunia hanya dengan tujuan melestarikan etnis atau suku bangsa tertentu. Sudah menjadi pemahaman umum, teori keunggulan manusia berdasarkan penampakan fisik, warna kulit, atau ras merupakan ilmu yang objektif. Karena tidak sesuai fakta-fakta empiris sudah lama teori ini ditinggalkan. Pappe menyebut Israel selama ini tengah mengembangkan propaganda keyakinan untuk membenarkan bahwa Israel-lah penduduk asli di Palestina, yang sebenarnya hanyalah mitos belaka.

Di beberapa media sosial beredar tentara-tentara Israel yang tertangkap dan menjadi tawanan militan Palestina. Galibnya tawanan sudah pasti merasakan ketakutan dan kekhawatiran persis seperti tawanan Israel yang beredar itu. Menjadi pertanyaan untuk konteks itu, seperti apakah dampak dari beragam peristiwa kekerasan perang bagi kedua belah pihak? Bagaimanakah perang jalanan bertahun-tahun membentuk psikologis mereka? Seperti apakah arti perang bagi Israel terlebih lagi Palestina? Pertanyaan ini tidak baik untuk saya jawab di sini, tapi satu hal yang pasti, tentara Israel yang nampak merengek minta dibebaskan cukup menggambarkan bagaimana situasi psikis militer Israel saat ini. Kekerasan perang nampaknya menjadi instrumen negatif, setidaknya untuk dirinya. Berbeda dengan sebuah tayangan seorang istri pejuang Palestina yang haru dan bahagia atas kabar kematian suaminya akibat serangan drone Israel. Tentu makna kematian disambut kebahagiaan wanita ini adalah syahid, satu konsep kematian yang tidak dipahami tentara sekuler masa kini.

Kekerasan seringkali menjadi momok, tapi kerap juga menjadi instrumen melahirkan kekerasan baru. Itu artinya, momok akan melahirkan momok baru, yang merupakan respons atas kekerasan sebelumnya. Persis seperti itulah dibilangkan Dom Camara, pemikir Amerika Latin, dengan konsep spiral kekerasannya, yang mengandaikan kekerasan akan saling berbalas kekerasan selama terjadi di tantanan personal, institusional, dan struktural. Tapi, di kawasan terkhusus Palestina, kekerasan tidak saja berbentuk spiral, melainkan seporadik dan menyebar sehingga lebih menyerupai ledakan-ledakan kecil yang dibalas dengan ledakan lainnya dengan eskalasi yang semakin meninggi. Dalam arti ini, kekerasan yang silih berganti bisa mempengaruhi tatanan budaya sehingga melahirkan tradisi kekerasan.

Patut disayangkan jika mengingat kesaksian banyak aktivis pendidikan di Palestina, yang mengatakan kolonialisme telah mengubah perangai anak-anak di Palestina. Anak-anak yang tumbuh di kawasan perang seperti Palestina akan tumbuh menjadi tidak normal karena kehilangan keriangan dan kegembiraan. Mereka akan berubah menjadi seseorang yang berjiwa keras, dan akan sulit menerima apalagi mempercayai orang asing. Masa anak-anak akibat perang, dengan kata lain, telah mentransformasikan jiwa polos mereka dari kebahagiaan menjadi rasa was-was dan kekhwatiran akut. Kekerasan perang memberikan dampak mental tidak main-main sampai dapat mengubah cara mereka merasa, berpikir, serta cara bertindak.

Di Palestina pendidikan hampir tidak berdampak signifikan, terutama apabila dilihat melalui fungsi edukasinya, disebabkan sebagian besar anak-anak enggan pergi bersekolah. Boleh dikata, pena dan papan tulis kehilangan daya pikatnya sehingga membuat ilmu pengetahuan tidak lebih dihargai jika itu tidak ditujukan untuk mendorong mereka menjadi pejuang jalanan. Mereka lebih senang disodori senjata atau batu-batu katapel untuk menjadi senjata konfrontasi dengan musuh-musuh tentara Israel. Toh jika mesti bersekolah di tenda pengungsian, mereka ingin belajar tentang bagaimana cara merakit bom, menyusun strategi perang, atau mengetahui teknik-teknik sabotase dibandingkan mesti mempelajari matematika atau astronomi, ilmu-ilmu yang sama sekali tidak cukup dibutuhkan untuk kondisi mereka saat ini.

Singkatnya, peperangan sangat berdampak bagi pertumbuhan perkembangan kejiwaan anak-anak Palestina. Bahkan kematian itu sendiri sudah menjadi ontologi kesadaran yang membuat setiap anak-anak sudah sangat akrab dengan peristiwa hidup mati, sampai-sampai belakangan ini setiap anak di Palestina menandai nama-namanya di telapak tangan mereka. Sewaktu-waktu jika satu di antara mereka mati terkena bom atau reruntuhan bangunan, membuat pekerjaan menjadi lebih mudah bagi keluarga mereka. Dengan nama itu setiap tubuh mungil mereka akan lebih mudah teridentifikasi.

Masyarakat Palestina saat ini boleh jadi tidak demikian akrab dengan gagasan-gagasan perubahan yang kerap ditemui di negara-negara modern, yang cukup antusias dengan kemajuan dan progresivitas sejarah yang diandaikan mengalami loncatan-loncatan kemajuan. Bagaimana mungkin gagasan semacam itu dapat mendorong wacana pembangunan di tempat mereka jika setiap saat, seinci demi seinci tanah mereka dirampas sehingga banyak di antaranya terancam tidak dapat memiliki tempat tinggal. Perang berkepanjangan apalagi, membuat hari-hari di antara mereka lebih mengutamakan gagasan mempertahankan kehidupan mereka dibandingkan berpikir untuk mengembangkan bangsanya. Seolah-olah pergerakan sejarah berhenti di Palestina.

Bahkan kematian itu sendiri sudah menjadi tujuan hidup alih-alih mengorientasikan semua dari apa yang mereka miliki kepada kehidupan. Dalam hal ini persis seperti dikatakan Baruch Spinoza, filsuf jelang modernisme, bahwa kebijaksanaan masyarakat modern lebih menaruh perhatian besar kepada kehidupan daripada kematian. Paling-paling untuk saat ini kematian bagi zaman kiwari hanya lebih dapat dipahami sebagai angka-angka statistik yang ditemui di lembaga-lembaga internasional ketimbang sebagai sebuah peristiwa bermakna. Singkatnya, dengan kesadaran semacam itu, kematian jika bagi sebagian kita menghindarinya, tidak untuk Palestina. Tidak banyak pilihan yang dapat mereka ambil selain mempersiapkan kemungkinan akhir dengan kematian yang lebih bermakna dalam rangka membela pertiwinya.

Kekerasan senantiasa berwajah ganda: konflik dan perang. Keduanya sulit dibenarkan apalagi jika di balik itu menyimpan sejumlah asumsi yang melegitimasi tindakan itu. Kita semua mengerti motif di balik perampasan tanah dilakukan Israel kepada Palestina didasarkan bukan atas narasi sejarah belaka, tapi juga karena didorong oleh nasionalisme sempit, yang sebenarnya cukup absurd. Bagaimana tidak, dibandingkan bangsa lain, Israel satu-satunya negara di dunia ini yang dasar nasionalismenya tidak dilahirkan dari sejarah pergerakan rakyat. Israel justru dibentuk atas lobi-lobi politik elite negara Eropa dalam rangka memperpanjang era kolonialisme baru. Tidak seperti Indonesia, misalnya, tidak akan ditemukan founding father yang sejak awal bergerak menghimpun kelompok terjajah untuk mendeklarasikan kemerdekaannya melalui pertumpahan darah sebelumnya.


Konflik dan perang merupakan kondisi yang dapat menghancurkan berbagai tatanan, termasuk di dalamnya sistem berpikir. Dalam keadaan itu, atas nama ras, agama, atau nasionalisme dapat mengubah persepsi dan berpeluang menjadi legitimasi yang membenarkan perilaku kekerasan. Dengan kata lain kekejaman perang yang menyebabkan kengerian, penderitaan, dan ketakutan tidak akan bermakna lagi karena alasan atas nama sebuah nilai yang menjadi dasar ideologisnya. Makanya tidak heran, selama masa perang tiga minggu belakangan, di media sosial Tik Tok, tidak sedikit konten kreator asal Israel memeragakan olok-olok kepada penduduk Palestina melalui gimik korban perang dengan akun reels mereka. Tidak sama sekali bersimpati apalagi empati kepada korban kekerasan perang, tapi itulah watak dari bangsa agresif yang menghilangkan karakteristik kemanusiaan bagi anak-anak bangsanya.

Indonesia dan Palestina memiliki semacam kesamaan, keduanya dekat secara perasaan yang sama-sama pernah mengalami kekerasan perang dari masa lalu. Karena itu secara psikologis sebagai bangsa solidaritas atas Palestina sama artinya dengan perasaan senasib dan sepenanggungan. Palestina bahkan negara pertama yang mengakui nasionalisme Indonesia. Jika begitu siapa yang mau beralasan untuk menerima kolonialisme Israel untuk palestina saat ini?