Semua tulisan dari Bahrul Amsal

Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).

Sepak Bola, Politik, dan Kolonialisme

Konon dunia olah raga mesti dipisahkan dari politik, termasuk sepak bola, permainan kolektif paling banyak digandrungi di muka bumi saat ini. Pernyataan ini nampak aneh untuk tidak mengatakannya naif. Kiwari, sepak bola modern bukan lagi sekadar olah raga, tapi sudah menjadi industri, budaya, dan bahkan identitas, yang karena itu ketiga dimensi ini bertalian pula dengan politik. Asumsinya  sederhana, sepak bola sebagai sebuah organisasi tidak mungkin tanpa konteks politik, orientasi yang dijabarkan melalui struktur kekuasaan, visi misi, dan aturan institusi yang menopangnya sebagai sebuah olah raga.

Anda jika belum mengyakini kenyataan di atas saya sarankan menonton FIFA Uncovered, film dokumenter yang menguliti jaringan kepentingan, bisnis, dan korupsi di tubuh organisasi yang memayungi sepak bola dunia saat ini. Film dengan empat episode ini cukup gamblang menunjukan bagaimana lapangan sepak bola tidak sampai berjarak sejengkal dengan keputusan politis elite sepak bola di atas meja. Bahkan sudah bukan rahasia, sepanjang sejarah berdirinya, federasi sepakbola sekelas FIFA lekat dengan upaya bangsa-bangsa kolonial untuk mempertahankan kekuatan dunia lama melalui politik kulit bundar.

Relasi sepak bola dan politik sudah sejak awal berkelindan bersamaan dengan praktik politik aneksasi. Beberapa pihak berkeyakinan sejarah awal permainan ini berkaitan dengan cerita masyur sepasukan perang Julius Caesar yang mengimpornya masuk ke tanah Inggris bersamaan dengan kepentingan perang saat itu. Versi paling dramatis dari kisah ini mengatakan bahwa bola perdana saat itu menggunakan kepala pasukan Romawi yang terbunuh dalam pertempuran.

Sudah sejak awal konsep olahraga, termasuk sepak bola, berhubungan dengan kedisiplinan di medan perang, meski dalam praktiknya sepak bola secara teknik tidak fungsional seperti tinju atau lempar lembing, misalnya, yang dapat dimanfaatkan di dalam perang. Dibandingkan dengan olah raga lempar lembing atau tinju, sepak bola kalah pamor ketika di masa lalu ketangkasan seseorang prajurit lebih sering ditunjukkan dengan cara ketika ia mampu mengalahkan musuh dalam ajang duel. Meski demikian, pertalian sepak bola dan politik, tidak saja dapat dilihat dari aspek-aspek langsung dari tujuan permainannya itu sendiri, yang selain dapat membangun kedisiplinan, juga mampu melahirkan jiwa korsa bagi pihak-pihak yang terkait dengannya. Dalam konteks ini lah nasionalisme dapat dimengerti sebagai identitas bersama ketika itu diperlukan untuk menunjukkan kesetiaan terhadap suatu negara.

Relasi sepak bola dan politik tidak selamanya akur seperti, misalnya, yang terjadi sebelum abad 19, ketika di Inggris permainan ini dianggap dapat menjadi biang keonaran di jalan-jalan, atau di taman-taman. Sebelum kerajaan memberlakukan aturan penjara bagi yang memainkanya, cap sebagai kriminil akan disematkan dengan kewajiban membayar denda bagi warga yang memainkannya. Tentu ini masih terkait dengan pandangan bahwa olah raga ini tidak berhubungan sama sekali dengan keperluan kerajaan untuk melahirkan prajurit perang yang tangkas dalam berduel.

Melalui cara pandang politik, sepak bola bukan olah raga yang dapat memberikan keuntungan bagi kekuasaan kerajaan, karena tidak seperti memanah, misalnya, yang kegunaan teknik dan fisiknya dapat dialihkan ke dalam perang perebutan wilayah. Dengan narasi yang seperti itu, tidak aneh bahkan dalam drama King Lear karya Shakespeare 1606, memainkan sepak bola akan dianggap sebagai pelecehan dan penghinaan kepada kaum bangsawan.  Mengapa dianggap sebagai penghinaan, itu dikarenakan dilihat dari konteks relasinya, warga yang bermain sepak bola sedang menunjukkan rasa tidak setianya kepada elite bangsawan yang menjadi pemerintahan setempat.

Meski demikian, saat raja-raja di Inggris berusaha menghapus sepak bola dari wilayahnya, permainan ini dapat tetap hidup di sekolah-sekolah dan universitas. Permainan ini bahkan lebih awal diformulasikan ke dalam aturan-uturan pertama kali oleh pelajar-pelajar sekolah dan mahasiswa-mahasiswa di universitas. Hingga 1863, menurut catatan sejarawan sepak bola Luciano Wernickle, itu lah fondasi awal ketika sepak bola dimainkan dengan sejumlah kesepakatan mengenai ukuran lapangan, jumlah pemain, atau perlunya gawang yang dulu bisa berupa  batu, pohon, atau pintu gerbang sekolah mereka. 

Dalam sejarah Indonesia hubungan sepakbola dan politik setidak-tidaknya ditandai dari dua momen bersejarah. Yang pertama adalah saat Soekarno tidak  mengundang Israel dan Taiwan dalam penyelenggaran Asian Games 1962 sebagai reaksi terhadap Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang tidak mengikutsertakan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Vietnam Utara dalam Olimpiade. Mendapatkan sanksi keanggotaan dari komite  olimpiade, Soekarno kemudian menyelenggarakan olimpiade tandingan bernama Ganefo (Games of the Emerging Forces) yang diikuti 51 negara dari benua Asia, Afrika, Amerika Latin, bahkan Eropa.

Kedua, ada hubungannya dengan sejarah PSSI yang membuat sepakbola menjadi ajang perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di masa penjajahan. Ada masa ketika pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan “pesta kolonial” selama berhari-hari untuk memamerkan kemajuan teknologi, kebudayaan, dan ekonomi negeri penjajah kepada wilayah jajahan. Dalam penyelenggaraan itu dimeriahkan pula dengan pertandingan sepak bola yang sudah mulai marak dimainkan oleh kalangan pemerintah hindia belanda (mungkin inilah cikal bakal gelaran pameran atau pasar malam seperti yang sering dilakukan birokrasi-birokrasi selama ini, yang dahulu merupakan kegiatan pemerintah Hindia Belanda  dalam rangka menunjukkan keunggulannya atas warga pribumi).

Saat itu, pemerintah Hindia Belanda tidak membiarkan sepak bola dimainkan bebas oleh bumiputera karena dapat menginisiasi sentimen kolektif dan dapat membangkitkan perlawanan rakyat atas Belanda. Ini nampak kontradiktif dengan kebiasaan praktik kolonialisme di tanah jajahan yang sering mengimpor kebiasaan mereka, seperti memanfaatkan sebidang tanah di belakang rumah untuk bermain olah raga seperti misalnya sepak bola, atau kriket, seperti yang dilakukan Inggris di India.

Seperti diketahui, praktik kolonialisme seperti di Hindia Belanda tidak saja menggunakan saluran pendidikan dan pemerintahan untuk mengontrol perlawanan rakyat di tanah jajahannya, tapi juga menggunakan olah raga seperti sepak bola demi melanggengkan supremasinya. Dalam hal ini untuk menegakkan supremasi kulit putih, bahkan dalam soal kekuatan fisik dan mentalitas, sepak bola menjadi sarana efisien dan efektif untuk menanamkan nilai-nilai bangsa kulit putih yang lebih elitis, beradab, dan berpendidikan dibandingkan dengan masyarakat jajahan.

Seolah membenarkan justifikasi teori kekuasaan terkait relasinya dengan wacana, kekuatan kolonialisme kerap menggunakan sarana wacana olahraga untuk menegakkan kontrol atas wilayah kekuasaannya. Gambaran mengenai ini sampai sekarang tercermin pula dalam dunia sepak bola yang mengetengahkan supremasi bangsa-bangsa kolonial, dibanding negara dunia ketiga, sebagai raja-raja sepak bola. 

Belakangan sepak bola dan politik menjadi perbincangan hangat terkait pro kontra kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggara Piala Dunia U-20 tahun 2023. Dikarenakan Israel ikut serta di dalamnya membuat sebagian pihak menunjukkan sikap tegas agar negeri zionis itu lebih afdol tidak menginjakkan kakinya di bumi pertiwi. Melalui konstitusi, Indonesia sudah menyatakan dari awal dalam pembukaan UUD 1945, sebagai suatu bangsa, Indonesia  merupakan bangsa anti penjajah dikarenakan penjajahan dengan alasan apapun tidak akan dapat dibenarkan. Penjajahan dengan vulgar memeragakan tindak tanduk perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Karena itu, Indonesia juga menyatakan setiap bangsa berhak merdeka untuk menentukan sendiri nasibnya. Tidak ada di masa kini bangsa yang menganggap dirinya lebih superior dari bangsa lainnya.

Bagi sebagian orang kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 merupakan kiamat, dan bagi sebagian yang lain, justru itu tidak ada hubungannya dengan cita-cita ketika sepak bola tidak dimainkan berdasarkan agenda yang sportif. Jamak diketahui, jangankan sepak bola, olah raga pada umumnaya tidak akan menjadi permainan yang menyenangkan semua pihak kalau dilakukan tanpa nilai-nilai sportivitas, yakni idealisme dalam dunia olah raga untuk menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, keterbukaan, dan pengakuan kepada lawan main. Tanpa nilai-nilai ini olah raga apa pun yang dimainkan manusia hanya sama artinya seperti sabung ayam. Tanpa kehormatan dan kebanggaan.

Jadi dari perspektif ini saja, implisit di dalamnya olah raga, terkhusus sepak bola, merupakan pernyataan politik, tetapi dengan pendekatan permainan yang dilakukan ke dalam kerangka kerja sama tim demi meraih kemenangan. Apabila pengertian manusia sebagai zoon politicon seperti pandangan Aristoteles diandaikan dalam dunia olah raga, pemain-pemain sepak bola dalam hal ini juga merupakan subjek politik yang sedang menyatakan semacam gagasan melalui cara mereka bermain dan bertindak di dalam lapangan. Dengan kata lain, konteks ini tidak dapat serta merta dilepaskan dari benih-benih politik yang selama ini terejewantah ke dalam wacana negara, pemerintah, atau kekuasaan itu sendiri. Dengan kata lain, pengandaian dimensi akal budi ke dalam permainan “olah otak” seperti dalam politik, tidak jauh berbeda secara substansial dari dunia olah raga.

Itu sebabnya, bukan hal aneh apabila dimensi politik dalam dunia olah raga juga ditemukan dalam nilai yang sama melalui nilai sportivitas, yang bermakna setiap olah raga mesti mengedepankan nilai kesetaraan, keadilan, dan keterbukaan untuk dapat dimainkan dengan kemartabatan sebagai bagian dari peradaban manusia. Dengan demikian, olah raga termasuk sepak bola di dalamnya, tidak akan dapat diterima sebagai suatu ajang permainan jika sebelumnya tidak menyepakati klausul yang inheren di dalamnya yaitu dimensi politis dari nilai sportivitas.

Menurut saya melalui konteks inilah, mengapa penolakan Indonesia terhadap Israel yang terjadi dalam sepak bola bisa dipahami. Israel, jangankan sepak bola yang merupakan derivasi dari identitas politiknya, keberadaannya sebagai suatu bangsa juga tidak dapat diakui dikarenakan masih menjalankan praktik agresi kepada Palestina. Dari sini dapat dimengerti, melalui sepak bola Indonesia sedang memperlihatkan politik pengakuannya untuk tidak sama sekali menunjukkan penerimaan kepada entitas penjajah sekalipun itu adalah Israel.  Menurut saya, ini jauh lebih penting dikarenakan kolonialisme tidak saja dikemukakan melalui agresi kekerasan, tapi juga melalui kebudayaan tidak terkecuali di dalamnya adalah olah raga.

The Wind Will Carry Us: Manusia itu Bukan Apa-Apa

“Death is the worst. When you close your eyes on this world, this beauty, the wonders of nature, it means you’ll never be coming back”

Kali ini The Wind Will Carry Us (1999) lebih memberikan ”ruang”  yang besar kepada perempuan, dan lebih banyak mengedepankan peluang pembacaan yang lebih feministik jika dibandingkan dengan Taste Of Cherry (1997), film besutan Abbas Kiarostami yang lain, yang sama-sama beride sentral kematian. Judul The Wind Will Carry Us diambil dari penggalan puisi Forough Farrokhzad penyair sekaligus aktivis progressif feminis Iran yang mati muda akibat kecelakaan mobil pada 1962. Dengan mengambil penggalan penyair beride politik feminis sebagai judul filmnya, apakah Kiarostami sedang menyatakan ide-ide kritisnya terkait dengan paham politiknya, atau itu juga berarti menandai suatu pesan eskatologik di dalam filmnya?

Dengan pertanyaan seperti ini akan sesuai dengan nuansa umum film Kiarostami yang lebih sering mengundang beragam pertanyaan, sehingga akan membuat penontonnya lebih banyak berpikir laiknya seorang filosof. Tapi, untuk mengatakan film-film Kiarostami tidak berdampak eksistensial kepada penikmatnya merupakan kesalahan fatal. Meski senantiasa berangkat dari premis sederhana, film-film garapannya lebih mengedepankan kompleksitas kemanusiaan.

The Wind Will Carry Us telah mengulang adegan pembukanya persis seperti Taste of Cherry, yaitu scene sebuah mobil berjenis Land Rover yang meliuk-liuk di antara bebukitan dikelilingi sabana, sementara angin terlihat membuatnya bergoyang-goyang seperti sedang dipandu untuk menyatakan gerak alam yang memukau. Dengan tekhnik long-shot, mobil ini meliuk-meliuk di antara jalanan tak beraspal, menandai bahwa film ini banyak menyediakan ruang filosofis bak jalan pikiran seorang penikmat ide-ide filsafat.

Tapi, film ini tidak sepenuhnya film tentang itu, melainkan kita akan dibawa kepada pergulatan perasaan, tarik ulur yang melibatkan ambisi manusia dan dari apa yang tidak dapat ia jangkau: ajal, alam, dan takdir. Dalam hal ini, ini terkait waktu, medan enigmatik antara kesementaraan dan keabadian, seperti dalam penggalan puisi yang menjadi bagian penting dalam film Kiarostami ini: “Bulan merah dan gelisah… Awan menunggu lahirnya hujan… Satu detik, dan kemudian tidak ada.”

Melalui Behzad Dourani, seorang reporter bersama dua krunya, kita akan menuju Siah Darreh (Lembah Kegelapan), sebuah kampung Kurdi udik yang berasal dari masa silam terletak 400 mil dari Teheran, Iran. Rumah-rumah mereka berdiri di atas tebing-tebing bebatuan, saling menempel, berjejal, dan tumpang tindih mengikuti gaya bangungan Pueblo yang terbuat dari lumpur keras, suatu kesan yang kontras dengan konteks zaman kekinian.

Maka jadilah Behzad bersama rombongannya dengan tipikal orang kota, yang kemudian mengalami sesat alamat ketika memasuki wilayah desa yang sepenuhnya hanya dikelilingi bukit-bukit maha luas. Beruntung rombongan ini dipandu oleh Farzad, bocah lelaki lokal yang akan menyanggupi seluruh keperluan mereka selama tinggal di desa ini.

Lalu untuk apa mereka melakukan perjalanan jauh sampai ke tempat yang signal handpone saja sulit? Rupanya karena seorang perempuan tua bernama Nyonya Malek yang  telah berusia 100 tahun. Mereka tinggal di Siah Darreh demi menunggu ajal Nyonya Malek, dan akan membuat film dokumenter mengenai ritual kematian yang dilakukan berdasarkan kebiasaan lokal masyarakat setempat. Sesuatu yang membawa nilai eksotisme dan spiritual bagi masyarakat kota seperti diwakilkan melalui kehadiran Behzad.

Selama menunggu Nyonya Malek sakaratul maut, tidak sekalipun kamera Kiarostami mewakili harapan penonton untuk dapat melihat langsung nenek misterius yang berusia satu abad itu. Ia hanya muncul melalui percakapan antara Behzad dan Farzad, melalui bingkai jendela biru sebuah rumah yang di dalamnya diketahui sedang terbaring seorang nenek sekarat—sesuatu yang juga berlaku kepada dua kru Behzad yang sama sekali tidak pernah tampak di depan kamera selain hanya mendengarkan dialog mereka dengan Behzad sebagai fokusnya.

Namun rencana tinggal rencana. Mereka makin lama makin frustasi dikarenakan tidak ada tanda-tanda ajal bakal menjemput Nyonya Malek. Dari hari ke hari Nyonya Malek makin membaik, yang karena itu membuat  mereka tidak akan dapat membuat film dokumenter seperti yang direncanakan sebelumya.

Eksotisme dalam Kamera

Peradaban modern merupakan konsepsi kehidupan yang terlampau rasionalistik, terukur, dan cepat. Tentu kegamblangan ini ditampakkan Kiarostami melalui adegan-adegan dilakukan Behzad saat berkomunikasi dengan atasannya menggunakan telepon genggam yang sama sekali tidak berfungsi, kecuali jika Behzad keluar mencari jaringan sampai di atas bukit kuburan. Ini satu tema yang mencolok mengenai problem modernitas ketika diperhadapkan dengan keadaan-keadaan yang belum dapat ia identifikasi sebagai bagian dari dirinya.

Tapi problem kebudayaan yang eksplisit dalam film ini tentu saja mengenai cara pandang masyarakat modern kepada hal-hal yang bernuansa eksotis dan spiritual. Itu sebab dahaga itu dimunculkan melalui motif dokumentasi yang sejak awal menjadi kepentingan jurnalistik Behzad. Ritual kematian dalam hal ini, apalagi masih dibalut dengan tradisi lokal, sudah tentu merupakan rangkaian upacara yang akan menjadi komoditas ekonomi melalui kemasan media massa. Sesuatu hal yang di masa sekarang menjadi bagian dari ekonomi pariwisata, dan dikukuhkan melalui program pemerintah untuk menjual eksostisme kepada dunia internasional yang notabene sangat menginginkan hal-hal yang berbau local wisdom.

Domestifikasi dan Paradoksnya

Formulasi pengambilan gambar Kiarostami bergerak di antara alam bebas, rumah-rumah bergaya Pueblo, dan sedikit karakter yang lebih banyak hanya diisi oleh Behzad. Seringkali Kiarostami memberikan perspektif yang luas melalui alam bebas; bukit, tanah lapang, dan siluet pegunungan dengan cakrawala luas permainan panoramik yang dinamis, dan di satu sisi kembali menyorot lebih dekat kehidupan domestik komunitas yang lebih banyak mengungkapkan kehidupan statik.

Di antara perpindahan dua landscape itulah perempuan tanpa disadari menjadi wacana yang tidak bisa diabaikan dalam film ini.  

Perempuan komunitas masyarakat Kurdi menjadi representasi gagasan tentang stigma beradab-abad mengenai kedudukan perempuan di tengah masyarakat. Makanya peralihan scene demi scene, perempuan menjadi sosok domestik dalam ruang lingkup kehidupan komunitas yang lebih banyak diperlihatkan melalui sorot pengambilan gambar Kiarostami—yang paling vulgar adalah scene saat Behzad mengambil susu sapi dengan memasuki area gelap berupa dapur (atau kandang), dengan sosok perempuan muda di dalamnya yang tidak sama sekali ditampakkan wajahnya; suatu permainan representatif menyangkut posisi perempuan yang mengalami domestifikasi atas dasar tradisi.

Sementara di sisi lain, tidak sekalipun ditemukan aktifitas mencolok mengenai peran laki-laki selain diceritakan lebih banyak menggunakan waktunya di ladang-ladang persawahan. “Penundaan” kehadiran laki-laki dalam cerita Kiarostami mengindikasikan signifikansi kekuasaan dan wewenang laki-laki yang meski sangat jarang tampak, tapi cukup menentukan terkait segala apa yang menjadi bagian dari wilayah keputusan, seperti yang selama ini terjadi melalui budaya patriarki.

Dengan indikasi semacam ini, tidak berlebihan jika dikatakan justru melalui keberadaan sosok Behzad yang berambisi dapat mendokumentasikan kematian sesosok perempuan tua, memperlihatkan sisi paradoksal dikarenakan dalam melakukan tugas jurnalistiknya, ia juga didesak oleh seorang perempuan melalui komunikasi via telepon yang tidak sama sekali terlihat sosoknya. Meski demikian, keberadaan sosok perempuan ini di sepanjang penceritaan sangat berpengaruh kepada keberadaan Behzad di desa itu.

Berlalu bersama Angin

Menjelang akhir, Behzad disadarkan mengenai kedudukannya sebagai makhluk fana—setidaknya seperti yang saya tangkap berkenaan dengan pergulatannya atas waktu. Di hadapan semua itu, setiap rencana yang berasal dari ambisi dan harapan, tidak dapat digdaya. Dialog-dialog ditunjukkan Behzad dengan seorang dokter kampung jelang pupusnya ambisinya, menjadi perangkat kesadaran bagi penonton yang sejak awal mulai memahami bahwasannya di dalam waktu segalanya akan bergerak berdasarkan hukumnya sendiri.

Dalam arti ini, manusia sebagai makhluk yang kerap berposisi superior atas keinginan-keinginannya mau tak mau akan dikembalikan kepada ruang negoisasi di dalam dirinya. Dengan kata lain, apalah arti semua harapan, cita-cita, apalagi ambisi, jika di luar dari itu masih banyak hal yang tidak dapat dikendalikan olehnya, termasuk di dalamnya: takdir, atau ajal, atau yang lebih substansial dari itu, misteri ego!

Bulan merah dan gelisah… Awan menunggu lahirnya hujan… Satu detik, dan kemudian tidak ada.”

Directed byAbbas Kiarostami
Written byAbbas Kiarostami
Produced byAbbas Kiarostami
StarringBehzad Dorani
CinematographyMahmoud Kalari
Distributed byNew Yorker Films (USA)
Release date6 September 1999 (Venice Film Festival)
Running time118 minutes
LanguagePersian

Apokaliptik Sepak Bola

“Butuh seratus tahun lagi melihat seorang pesepak bola seperti Lionel Messi,” kata teman saya, yang saya tahu merupakan penggemar berat Inter Milan. Kami berdiskusi tentang piala dunia, aktivisme kemahasiswaan, dan sekelumit masalah dalam dunia akademik. Tidak lama, tapi tidak bisa juga dibilang singkat. Dan, setelah itu tidak ada euforia, setidaknya yang ditunjukkan olehnya, dan juga diri saya yang dikarenakan bukan penggemar Argentina. Tidak lama kami berpisah, dan pernyataannya yang tidak disangka itu terngiang-ngiang mengusik benak saya.

Mengapa membutuhkan waktu seratus tahun lamanya? Mengapa mesti orang seperti Lionel Messi? Bagaimana kalau tidak sampai seratus tahun, separuh penduduk dunia mulai meninggalkan sepak bola? Bagaimana jika dua puluh tahun saja, si kulit bundar sudah tidak lagi dimainkan di masa depan?

Barangkali abad 21 merupakan fase terakhir masyarakat dunia dapat menyaksikan sepak bola. Dan Lionel Messi merupakan prototype pesepak bola mutakhir dan akhir untuk saat ini. Sudah tidak ada lagi pesepak bola yang menyerupai dirinya. Hatta Cristiano Ronaldo sekalipun, lawan tanding yang kerap dipersandingkan media dan kedua penggemarnya. Messi disebut-disebut pemain bertalenta yang dilahirkan alam, dengan bakat tiada dua sehingga sepak bola menjadi lebih bermartabat dikarenakan pernah dimainkan seorang manusia dengan kemuliaan kaki kirinya.

Dia bak Achilles keturunan Hercules, anak Zeus setengah manusia setengah dewa yang dapat melakukan hal-hal di luar nalar melalui kehebatan kelahinya.

Lionel Messi karena itu tidak sekadar persoalan semantik, dari namanya yang benar-benar menjadi “juru selamat.” Ia bermain dengan tekun, menunduk seperti kutu (la pulga), membuat dirinya menjadi lebih kecil saat menggiring bola, berkelit benar-benar seperti kutu rambut, dan melalui kaki kirinya melahirkan sekeranjang gol yang tidak pernah diciptakan banyak pemain bola manapun. Dalam hal ini caranya bermain bagai anomali sepak bola, persis kelahiran Juru Selamat yang muncul di tengah-tengah keadaan masyarakat Jerusalem yang memburuk.

Oleh sebab itu bukan sekadar Argentina tapi bisa saja Lionel Messi penyelamat untuk sepak bola dunia, yang akan segera berakhir setelah namanya menutup jejeran legenda sepak bola, sejak era Zamora, Puskas, Kruyff, bahkan Diego Maradona, satu-satunya pesepak bola yang membuat penggemarnya menciptakan agama demi dirinya bernama Iglesia Maradoniana (Gereja Maradona). Kedatangannya akan menutup buku catatan rekor sepak bola. Mengakhiri olahraga ini di muka bumi yang ditandai melalui fotonya yang sedang mencium bola dunia emas, yang tidak lama lagi akan menjadi foto iconik di mana-mana.

Sepak bola bukanlah agama, tapi fanatisme dapat muncul tanpa terduga sehingga membuat olahraga seperti sepak bola dapat membuat penggemarnya memberlakukannya seperti agama, dan menjadikan sang idola seperti tuhan. 1998 merupakan tahun terpenting bagi Iglesia Maradoniana yang didirikan oleh penggemar berat Maradona yaitu Hector Campomar, Alejandro Veron dan Hernan Amez, di Rosario Argentina. Sampai saat ini, gerakan ini aktif mengkampanyekan 10 ajaran agamanya yang menjadikan sepak bola sebagai ajang siar kasih sayang, dan menjadikan jersi Argentina sebagai jubah sucinya. Diperkirakan sekarang anggota mereka mencapai 200 ribu orang tersebar di 130 negara, dan menjadikan hari kelahiran Maradona sebagai hari natal mereka.

Belum lama ini perhelatan sepak bola dunia telah ditutup dengan pesta kemenangan Tim Tango setelah drama adu tendang 12 meter mengalahkan Perancis sebagai juara bertahan. Messi dinobatkan menjadi pemain terbaik di Lusail Iconic Stadium berkapasitas 88.000 penonton, menggunakan jubah hitam laiknya pandit agama, yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Pencapaiannya akan dianggap sebagai batas prestasi maksimal bagi pemain sepak bola, menjadi legenda, dan bisa jadi dianggap sebagai nabinya sepak bola dunia.

Di masa lalu hanya ada satu pemain yang menyita publik sepak bola karena gaya bermainnya yang tidak pernah ditemukan sebelumnya, bahkan Pele sekalipun, yang konon telah mencetak 1.279 gol di sepanjang karir sepak bolanya. Adalah Ronaldo Luís Nazário de Lima, yang belum genap 20 tahun dapat menyabet gelar Ballon d’or saat berkostum Barcelona di 1999. Karena itu ia dijuluki El Phenomenom, predikat yang mensinyalir suatu fenomena anomalistik dalam dunia sepak bola saat itu.

Tapi setelah itu dunia kulit bundar segera menyadari, sepak bola terus berkembang dan masih terus melahirkan talenta-talenta baru yang kehebatannya lebih dahsyat dari seorang Ronaldo. Sampai kemudian muncul nama-nama beken seperti Ronaldinho, Rooney, Eden Hazard, dan Cristiano Ronaldo, tapi tidak satupun yang cukup dapat menjadi pemain seperti Messi, pemain yang seolah-olah berasal dari dunia lain. Hanyalah Lionel Messi digadang merupakan titisan pesepak bola seperti Maradona, si Tangan Tuhan, karena baik postur, kecepatan, dan juga gaya driblenya yang mirip dengannya. Hingga akhirnya di partai final dalam menghadapi Perancis, Messi cs. dapat menorehkan kali ketiga bagi Argentina untuk merajai sepak bola seantero dunia. Suatu pencapaian kolektif bagi sepak bola Amerika Latin untuk dunia, dan sudah tentu menjadi tinta emas bagi Messi yang telah menggenapkan sejumlah gelar domestik dan dunia.

Menurut catatan sejarah diakui FIFA, sepak bola merupakan permainan yang pertama kali muncul di masa Cina Kuno, tepatnya di masa Dinasti Han abad 3 SM bernama Ts’uh Kuh. Kemudian ditemukan permainan sejenis bernama Kemari di Jepang; Epislcyros di Yunani; Harpastum di Romawi; dan Tlachtli di  Aztec, yang semua merupakan nenek moyang sepak bola modern saat ini.

Tentu cerita dramatik bagi sebagian orang selama ini sepak bola dapat menyeberang ke Inggris setelah imporan rombongan pasukan Julius Caesar yang menggunakan kepala mayat tentara Romawi sebagai bolanya. Sejak saat itu ”sepak bola” dimainkan di jalanan atau ladang yang bisa melibatkan dua desa dengan dua puluh, lima puluh, atau bisa mencapai ratusan pemain masing-masing tim. Kemudian tiba era ketika permainan ini dimainkan oleh pelajar-pelajar di asrama sekolah elite di kota London, yang masing-masing kamar berisi sebelas pelajar sehingga mulai saat itulah kebiasaan sebelasa lawan sebelas menjadi lumrah.   

Dari abad lampau hingga kini, kata Luciano Wernickle dalam Mengapa Sebelas Lawan Sebelas, sepak bola terus berubah: ukuran lapangan, jenis bola, jumlah pemain, model tiang gawang, sampai keberadaan kartu merah dan kartu kuning. Menyesuaikan dengan perubahan-perubahan itu semua, para pemainnya sebagai bagian hidup di dalamnya juga mengalami perubahan dan evolusi cara mengolah kulit bundar.

Sepak bola abad 21 sudah sangat maju baik dari segi penyelenggaraan, tim-tim yang berlaga, dan kualitas pemainnya apakah itu terkait fisik dan intelektualitas permainan. Mulai dari aturan terbaru offside sampai penggunaan chip sepatu dan teknologi Electronic Performance and Tracking Systems (EPTS) yang dapat dimanfaatkan pelatih untuk mengkoordinasi data-data pemain selama merumput. Sepak bola makin kesini telah menuju masa puncaknya, dan itu telah membuat piala dunia 2022 yang diselenggarakan di Qatar merupakan pagelaran sepak bola terbaik. Sebagai era puncak sepak bola di ajang ini pula beberapa nama akan menjadi bersinar, dan tentu Messi menjadi pemain sepak bola abad 21 paling fenomenal terkait pencapaiannya.

Jadi, jika saja sepak bola menjadi bagian perwatakan dunia saat ini, yang mengalami dekadensi, kekeroposan, dan kehancuran, dan setelah itu mendasari kemunculan seorang juru selamat, bisa jadi Lionel Messi menjadi salah satu pemain yang menandai era kanonik dalam sepak bola. Para penikmat sepak bola tentu penasaran, jika rivalitas seperti ”pemain robotik” Ronaldo versus Lionel Messi yang dinyatakan pemain dari galaksi lain berakhir, apakah itu mengisyaratkan sepak bola di masa depan telah memasuki era apokaliptik?


Sumber gambar: www.fcbarcelona.es

Roti dan Bunga: Kekecewaan, Harapan, Revolusi

Pernahkah kau terima hutan seperti aku terima hutan, sebagai rumah tinggal, bukan istana,

Pernahkah kau buat rumput jadi ranjang dan berselimutkan luasnya ruang, merasa daif di hadapan yang kelak, dan lupa akan waktu silam yang hilang

(Fairouz, Penyanyi Lebanon)

Belakangan ini Iran menjadi sorotan dunia internasional, terutama setelah kematian Mahsa Amini, seorang perempuan Kurdi yang bukan siapa-siapa diduga meninggal dibunuh, 16 September lalu, —tapi rekaman CCTV menunjukkan ia terjatuh di ruang pembinaan. Ia mengalami serangan jantung. Tidak sedikit media memberitakan Mahsa Amini meninggal akibat kekerasan aparat keamanan. Reaksi internasional, terutama dari golongan feminis dan pejuang demokrasi dan HAM, menjadikan kematian Amini sebagai tonggak untuk mereformasi Iran, yang sejak 1979 menerapkan Islam sebagai undang-undang negara.

Saat ini, perempuan Iran mengalami desakan formalisasi syariat untuk mengenakan jilbab di ranah publik, terutama pasca revolusi 1979 dan jika tidak, akan ditindak oleh Gasht-e Ershad, satuan polisi moral yang dibentuk sejak masa Mahmud Ahmadinejad, dengan tugas khusus menegakkan aturan negara di kehidupan publik Iran. Mahsa Amini, satu di antara perempuan Iran terjaring, diimbau, dan disosialisasi agar memperbaiki cara ia berpenampilan sesuai hukum Islam. Tapi, ia meninggal, dan seperti yang terjadi setelahnya, beritanya diblow up dengan massif, terutama media-media Barat kontra Iran.

Sekarang, Iran tengah menghadapi tantangan internal yang terbilang kompleks. Gelombang protes umumnya berasal dari generasi kedua Iran, generasi muda Iran abad 21 yang tidak mengalami masa-masa sulit seperti dialami orang tua mereka. Alih-alih mengalami masa ideologis sebelum dan sesudah revolusi 1979, mereka saat ini dapat menikmati kebebasan, mempelajari demokrasi, terhubung dengan internet, dan mampu berbicara menggunakan ide-ide Barat. Mereka tidak hidup di masa perang Iran-Irak, tidak melewati masa berat revolusi, dan sudah pasti tidak menginternalisasi nilai Islam seperti cara bagaimana generasi masa lalu berjuang untuk mendirikan suatu negara yang menjadi idaman revolusi lima dekade lalu.

Dalam konteks itulah, saya cukup dapat merasakan pesan disampaikan Mohsen Makhmalbaf tentang posisi kaum muda di antara irisan masa lalu dan masa sekarang melalui A Moment of Innoncence (1996), atau Nūn o Goldūn (Roti dan Bunga), sinema semi auto-biografi sutradaranya sendiri di masa empat tahun jelang revolusi republik Islam Iran, 1979.

Nūn o Goldūn  merupakan rekam ulang peristiwa Mohsen Makhmalbaf muda ketika ide-ide pemberontakan merekah untuk menggulingkan pemerintahan. Ia pemuda militan anti Shah, yang mengambil keputusan bersama seorang gadis muda, mendedikasikan dirinya untuk perubahan fundamental Iran. Saat itu demonstrasi makin eskalatif, yang dalam sejarah Iran sendiri digerakkan seorang ulama kharismatik, Imam Khomeini, untuk menentang pemerintahan Iran yang pro Barat. Terdorong imajinasi pembebasan, Makhmalbaf muda yang masih 17 tahun melakukan tindakan kriminal menikam polisi dengan melucuti senjatanya, dan berencana merampok bank kemudian uangnya akan ia sumbangkan untuk perjuangan revolusioner. Tapi, skenarionya kacau balau. Ia ditangkap dan baru dibebaskan ketika Iran telah berhasil menggulung pemerintahan Shah.

”Saya dijatuhi hukuman mati. Saya telah mencoba membunuh raja Iran (Mohammad Reza Pahlavi), Tapi, karena berusia di bawah 18 tahun, saya kemudian diputuskan terlalu muda untuk mati”, ungkap Makhmalbaf seperti dikutip Post Magazine, 2015.

Dua puluh tahun pasca insisden, Makhmalbaf memutuskan mengangkat ulang peristiwa itu ke layar sinematik. Ia memutuskan mencari polisi yang pernah ia lukai: dalam film, ia seorang pria berseragam jaket hitam, jangkung dengan rahang nyaris persegi, berambut ombak, dengan sorot mata berat di bawah alis tebal menyerupai ulat bulu. Ia datang ke rumah sang sutradara setelah membaca ”iklan” Makhmalbaf mengenai ide pembuatan filmnya. Nelson Kim melalui resensinya, A Moment of Innocence dibuat Makhmalbaf  untuk “menangkap kembali masa mudanya dengan menggunakan kamera.”

Itulah scene pembuka film ini, yang diketahui bahwa sang polisi pensiun dini paska kejadian itu. Ia lalu ditugaskan mencari sosok pemuda yang dapat menjadi dirinya saat menjadi polisi pada 1974. Demikian juga Makhmalbaf mencari seorang pemuda lain yang akan memerankan dirinya saat melakukan aksi penikaman. Kedua pemuda secara terpisah diberikan skenario singkat, latihan, dan narasi latar belakang terkait konteks masa lalu si polisi dan Makhmalbaf. Dengan bekal mereka bakal memahami motivasi, merekontruksi ulang kejadian yang menjadi inti narasi film ini, yakni momen yang mempertemukan dua eksponen dalam arus sejarah perubahan Iran: barisan revolusioner pengikut Khomeini dan antek-antek Shah Pahlevi.

Tapi, bidikan kamera tidak sanggup sepenuhnya menangkap masa lalu, apalagi jika dihadirkan kembali. Akan selalu ada tegangan antara kemampuan kemera dalam menangkap objek kekinian, dan masa lalu yang coba ia reka ulang. Karena itu kalau tidak cukup membingungkan, film ini sedang bermain-main di antara dokumenter dan fiksi, kesalahan dan penyesalan, masa lalu dan masa kini, serta rasa muak dan kebencian dari apa yang pernah dialami di masa slogan-slogan revolusi menjadi pekik sehari-hari yang mengisi kehidupan publik masyarakat Iran. Bahwa masa lalu merupakan wilayah yang tidak bisa diubah hanya karena semuanya telah terjadi, dan masa depan hanya bisa diakses melalui perubahan yang dilakukan di masa sekarang.

Tapi, di situlah tragisnya, meski dalam film ”intervensi” sama-sama dilakukan Makhmalbaf dan pensiunan polisi agar skenarionya dapat terjadi seperti di masa 20 tahun silam, rekontruksi peristiwa yang diinginkan tidak berjalan seperti harapan. Pemeran polisi muda dan Makhmalbaf muda tidak melakukan adegan seperti yang terjadi sesungguhnya di masa lalu. Di situlah ”momen kepolosan”, dalam arti terjadi tumpang tindih persepsi antara dua generasi yang terpaut jauh, yang dirasakan si pemeran, yang tidak sama untuk mewakili bagaimana generasi masa lalu mempersepsi perasaannya, harapan, cita-cita, bahkan emosi yang mendorong sikap mereka saat berada dalam aliran besar perubahan Iran.

Dengan kata lain, setiap generasi memiliki cara pandangnya sendiri, terutama saat mereka berhadapan dengan sejarah bangsanya, dan itu secara tidak langsung menandai betapa setiap persepsi antara generasi tidak mudah untuk dicopy, dan digandakan.

Kalau skenarionya berjalan sesuai masa silam, cerita akan diketahui berahkhir aksi penikaman. Tapi, yang terjadi dengan kehendak kreatif, pemeran muda polisi dan Makhmalbaf mengubah plot akhir dengan mengganti pisau menjadi roti, dan senjata pistol menjadi bunga. Perasaan dan cara pandang mereka, jika tidak berubah, tentang masa lalu berbeda; perdamaian. Sebuah pesan bahwa generasi muda meski ia dibawa ke masa lalu, tidak akan sama cara mereka merespon lingkungan seperti bagaimana generasi sebelum mereka hidup.

Nūn o Goldūn, karena itu merupakan cara Mohsen Makhmalbaf melihat hubungan masa lalu dan masa kini, antara semacam kesadaran masa muda yang polos berubah total melalui satu tindakan, sehingga setelah kejadian itu mengubah total takdir kehidupan satu generasi. Terlebih lagi terhadap masa depan Iran, alih-alih masa lalu menjadi lebih dominan untuk menentukan perasaan dan pemikiran generasi mudanya, justru melalui Nūn o Goldūn, kekecawaan dan hilangnya kepercayaan terhadap revolusi bukan menjadi masalah selama masa depan Iran ikut menjadi tanggung jawab kelompok mudanya.

Sutradara     Mohsen Makhmalbaf
Produksi  Abolfazi Alagheband
Pemain Mirhadi Tayebi, Mohsen Makhmalbaf, Ali Bakhsi
Sinematografi Mahmoud Kalari
Musik Madjid Entezami
Produksi  Produksi          : MK2 Production
Tanggal rilis     : 13 Agustus 1996 (Festival Film Locarno), 9 April 1997 (Prancis) 13 Agustus 1996 (Festival Film Locarno), 9 April 1997 (Prancis)
Durasi   78 menit
Negara Iran
Keterangan Film

Sumber gambar: www.facebook.com/186896518706041/photos/a.186897422039284/186897402039286/

Membuat Otak Tidak Kedaluwarsa

Saya kira semua profesi ada batas waktunya. Setiap orang tidak akan menjadi penari balet selamanya, atau akan menjadi pegulat profesional seumur hidupnya. Pemain sepak bola seperti Cristiano Ronaldo atau Andry Shevchenko, misalnya, bisa menjadi pemain berbahaya pada usia produktif 24-30 tahun. Ini ukuran rata-rata usia emas pesepak bola profesional. Di luar dari usia itu, pesepak bola sekelas Lionel Messi pun akan terlihat sebagai pemain angin-anginan. Fisiknya akan kalah jika mesti dipakai selama 90 menit pertandingan. Atlet seperti Usain Bolt, yang namanya sohor karena kecepatan larinya, juga sudah akan gantung sepatu jika usianya menginjak kepala tiga. Valentino Rossi yang membuat angka 46 menjadi iconik, toh akhirnya juga tidak akan menjadi penunggang motor terus-terusan. Di atas lintasan, selalu akan ada talenta-talenta muda lebih energik dan berani bakal menggeser posisinya.

Tubuh ibarat mesin memiliki masa usia produktif. Setiap pekerjaan yang mengandalkan kinerjanya akan mencapai batas ambyar. Tapi, masih lebih mending mesin mekanik dibanding mesin organik manusia. Jika mesin kendaraan sehari-hari yang Anda pakai ke sekolah, atau ke kantor mengalami kerusakan, komponen-komponennya bisa Anda ganti. Anda bisa menukar businya kalau mengalami gangguan kelistrikan, atau untuk menghasilkan pembakaran optimal, karburatornya bisa Anda preteli. Apabila menginginkan hasil yang lebih bertenaga, Anda dapat mengganti keseluruhan mesinnya, meski itu sama saja seperti Anda membeli kendaraan baru.

Dunia kedokteran sudah demikian maju, sampai-sampai seorang dokter dapat bekerja seperti seorang montir. Seonggok tubuh sama seperti seperangkat mesin motor. Jika seseorang mengalami gangguan ginjal, dengan teknik transpalantasi, ginjal dari seseorang  tidak dikenal bisa Anda gunakan di dalam tubuh Anda. Seseorang yang mengalami kebutaan, dengan bantuan pekerjaan seorang dokter di atas meja operasi, membuat orang buta, setelah operasinya berhasil, dapat melihat keindahan dunia, dan tentu saja keburukan yang juga ada di dalamnya.

Meski demikian, kinerja komponen mesin tubuh jika sudah mengalami pergantian tidak akan sesempurna aslinya. Setiap olahragawan pasti mengetahui faktor penting ini: di akhir dekade 90-an dunia sepak bola terperangah dengan seorang anak berusia 20 tahun, yang bermain di tim elite Eropa pertamanya sejak hengkang dari PSV Eindhoven: Barcelona. Ronaldo Luis Nazario de Lima, saat itu berhasil mengoleksi 47 gol dari 49 penampilan selama musim 1996-1997 di Barcelona.  El Phenomenon demikian julukannya, bagai pemain kesetanan saat menggocek kulit bundar. Kedua kakinya seolah-olah diciptakan hanya untuk dua hal saja: berlari dan berkelit di antara kaki-kaki lawannya. Di atas lapangan hijau sang Phenomenon berubah bagai penari sambo samba, yang kaki-kakinya lentur dan tangkas sekaligus. Barcelona dan Inter Milan adalah dua klub Eropa yang merasakan sentuhan tarian samba ala Ronaldo.

Tapi, setelah ia mengalami cedera lutut, terutama pasca Piala Dunia 1998, performanya menurun. Meski setelah itu ia menjadi pemain berbahaya saat berseragam Real Madrid, tetap saja ia bukan lagi Ronaldo sama seperti saat ia bermain di Barcelona. Gocekannya boleh saja masih aduhai, tapi kaki-kakinya tidak bisa berbohong. Kaki pesepak bola pasca operasi sudah pasti akan mudah aus jika dipakai dengan intensitas tinggi. 

Ada anekdot, di masa depan kalau menjadi barang dagangan, otak orang Indonesia akan menjadi komoditas dunia bernilai tinggi. Bisa saja setengah kilonya setara dengan Saffron, rempah tertinggi harganya di dunia saat ini (US$ 1.000/0,5 kg atau sekitar Rp 14,2 juta/0,5 kg). Jika rata-rata otak manusia dewasa seberat 2,7 kg dikalikan harga setengah kilo Saffron, harga otak orang Indonesia bisa mencapai 75 juta lebih. Dengan harga seperti ini, otak orang Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan harga perbarel minyak mentah yaitu 1.327.199 rupiah per barel (kurs Dollar saat ini).

Jadi, sama seperti saat membeli ikan segar, karena jarang digunakan, otak orang Indonesia masih akan jauh lebih mahal jika ia belum berbau amis dan pejal. Dibandingkan otak dari negeri-negeri lain, otak Indonesia jaminan mutu.

Tapi, anekdot itu sesungguhnya menyesatkan. Neurosains telah membuktikan dari sejumlah organ manusia, hanya otak lah satu-satunya milik kita yang akan tampak lebih baru meski ia berkali-kali dipakai. Jantung, paru-paru, limpa, atau bahkan telinga akan tidak berguna seiring usia Anda menjelang renjana. Semua organ-organ yang melekat dalam tubuh akan tinggal pajangan saja. Seperti gas air mata si tua yang mulai rabun, perannya lamat-lamat mulai kedaluwarsa.

Lalu dengan apa otak akan terus menjadi baru dan semakin tajam? Berpikir. Berikutnya jika ia digunakan untuk menganalisis, mengurai, memperdalam, dan memecahkan masalah. Karena itu tubuh manusia mengandung paradoks. Tidak seperti organ tubuh lain disfungsi seiring bertambahnya usia, otak justru seperti mengalami hukum perkembangannya sendiri. Ia akan makin berkembang kalau dipakai berpikir.

Ahli neurologi bersepakat, otak manusia dibandingkan binatang merupakan jaringan otot prematur. Meski demikian, otak manusia terdiri dari 100 miliar neuron, yang setiap dari ujungnya memiliki serabut sinapsis dengan menyimpan banyak reaksi kimiawi setiap kali seseorang mendapatkan informasi. Ibarat jembatan, jaringan sinapsis inilah yang akan menghubungkan setiap ujung neuron dengan neuron lainnya, antara satu informasi dengan informasi lainnya. Ajaibnya, jaringan sinapsis akan terus tumbuh menyerupai serabut akar setiap kali manusia menemukan pengalaman baru dalam hidupnya. Konon jika jaringan neuron seseorang dibentangkan, ia bisa setara jarak Jakarta sampai New York. Bentangan ini masih bisa lebih panjang lagi kalau seseorang sehari-hari menggunakan otaknya dengan baik.

Terkait otak, Eleanor Maguire, dikutip Detik.com, seorang neuroscientist dari University College London (UCL) menunjukkan hasil penelitian cukup menarik. Ia menemukan relasi antara kekusutan peta jalan kota London, Inggris, dengan pertumbuhan hipokampus, bagian otak di lobus temporal para sopir taksi yang menjadi subjek penelitiannya. Kota London tidak seperti New York atau Paris yang peta jalannya dibuat saling sejajar atau mengikuti pola arah jarum jam, melainkan saling berkelindan menyerupai benang kusut. Karena itu para sopir taksi di kota London terlatih berpikir taktis untuk mencari rute singkat antara dua lokasi. Dengan kemampuan navigasi, mereka menghafal 25.000 jalan menyerupai labirim, ribuan tempat-tempat wisata, dan titik-titik terminal kereta api. Hasilnya setelah diteliti selama empat tahun, para sopir taksi kota London memiliki hipokampus lebih besar dari orang lain. Mereka dengan lain kata, memiliki pusat-pusat memori tempat menyimpan ingatan lebih besar dibandingkan orang lain, yang menjadi fungsi hipokampus.   

Ahli otak menyebut hipokampus berbentuk menyerupai kuda laut, ia kecil dan kenyal, tapi dapat tumbuh berkali-kali lipat jika seseorang menggunakan otaknya untuk memecahkan masalah spasial, navigasi, atau menghubungkan titik-titik rumit informasi yang saling tumpang tindih seolah-olah sulit diuraikan. Orang-orang Indonesia, terutama di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, kemungkinannya memiliki hasil sama seperti para sopir taksi yang hidup jauh di London, yaitu memiliki volume hipokampus lebih besar dibandingkan dengan orang lain. Ditambah kemacetan, pengendara ugal-ugalan, jalur jalan  tikus, dan gang-gang penghubung, membuat hipokampus masyarakat perkotaan menjadi sebesar kunyit kering.

Sejarah pemikiran mencatat kelahiran filsafat lahir dari masyarakat Yunani penyuka berjalan kaki. Orang Yunani melakukan segalanya di luar, berjalan kaki, dan menganggap rumah hanya seperti asrama ketimbang tempat tinggal. Mereka akan lebih mudah ditemui di agora, alun-alun, gimnasium, atau sedang mengelilingi perbukitan di sekeliling kota. Saat kota mereka hancur pasca melawan Persia, sarana publik paling pertama kali diperbaiki adalah agora; suatu tempat berkumpul warga polis yang bisa menjadi apa saja. Di Athena, kebebasan dan kesenangan bertemu banyak orang dapat dilihat dari semrawutnya jalanan kota. Ibarat labirin yang membingungkan tapi memberi sensasi kebaruan, setiap orang tidak akan menduga dengan siapa bakal bertemu di ujung jalan kelak, di mana mereka akan bertemu, dan apa yang bakal mereka bicarakan jika segalanya menjadi mungkin dan baru.

Kata Eric Weiner, penulis The Geography of Genius, rahasia kegeniusan orang Yunani adalah perang, dan…, kesemrawutan jalanan mereka. Sementara kata psikolog Standford University, Marily Oppezo dan Daniel Schwartz, kreativitas orang Yunani tidak berasal melalui permenungan yang lahir dari kursi tempat duduk mereka, melainkan dari kesenangan mereka berjalan kaki.

Sejak saya memulai tulisan ini, saya berhipotesis pekerjaan yang bisa dilakukan sampai akhir hayat adalah penulis. Apalagi penulis yang menyukai berjalan kaki, seperti yang banyak dilakukan para pemikir besar dunia. Salah satu yang saya ingat adalah Friedrich Nietzsche, yang menyukai area perbukitan gunung Alpen Swiss, kemudian Mahatma Gandhi, yang bahkan menggunakan berjalan kaki untuk memprotes kolonialisme Inggris. Lalu, Immanuel Kant, lalu Jean Jasques Rosseau, dan yang lain adalah Henry David Thoreau, penulis dan filsuf asal Amerika Serikat.

Sekarang, saat organ tubuh kita lebih banyak berdiam tidak digunakan menurut tujuannya, dan dari waktu ke waktu akan menggelambir sama seperti kulit kering markisa, Anda perlu mempertimbangkan untuk menulis sesuatu, yang membuat otak Anda makin produktif. Saya baru saja gugling, setelah penasehat keuangan, profesi yang bisa Anda lakukan hingga akhir hayat adalah penulis, itu jika Anda tidak ingin menjadi guru, atau seorang apoteker. Dua jenis pekerjaan lain yang bisa Anda bawa sampai mati.