Semua tulisan dari Deny Ferdiansyah

Mahasiswa aktif di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Indonesia.

23 Pada Manusia dan 24 Pada Kera

Manusia dengan segala sifat mulia yang dimilikinya masih menyimpan unsur-unsur primtif dalam tubuhnya yang diwarisi dari leluhurnya yang paling sederhana” (Charles Darwin).

Kira-kira begitu yang dibilangkan Charles Darwin dalam buku berjudul “Genom” (Kisah Spesies Manusia Dalam 23 Bab) ditulis oleh Matt Ridley. Saya akan meminjam istilah dari Matt Ridley yang menceritakan kromosom pertama manusia membahas “tentang kehidupan”.

Pada tahun 1794 cucu dari Charles Darwin bernama Ersamus Darwin pernah mengeluarkan sebuah spekulasi yang mampu menghebohkan dunia pada masa itu. Karena simpulannya secara tegas bahwa semua makhluk hidup memiliki asal usul yang sama. Enam puluh lima tahun sebelum cucunya Charles menulis buku tentang topik tersebut sebenarnya manusia pada awalnya terbentuk dari seutas benang. Namun, karena penggunaan kata benang pada saat itu sangat tidak lazim. Akhirnya, pernyataanya ini sempat dianggap nyeleneh dan dianggap omong kosong belaka. Padahal, sudah jelas rahasia kehidupan tersimpan dalam seutas benang.

Kita mungkin akan bertanya bagaimana seutas benang dapat membuat sesuatu menjadi hidup? Matt Ridley mendaku sebuah kehidupan sejatinya bukanlah sesuatu yang mudah didefinisikan, tetapi hidup terdiri dari dua keterampilan sangat berbeda: kemampuan melakukan replikasi dan kemampuan menciptakan urutan. Makhluk hidup menghasilkan salinan tepat atas jenisnya masing-masing.

Analoginya cukup sederhana, kucing akan menghasilkan kucing, apel akan menghasilkan apel, dan manusia akan menghasilkan manusia. Akan tetapi, kucing dan manusia akan berbuat lebih dari itu. Manusia akan memakan buah-buahan atau nasi, kemudian mengubahnya menjadi daging. Dalam proses ini manusia tersusun teratur dan kompleks. Selain itu, saya juga sejalan dan sepaham dengan pandangan Erwin Schoridinger yang mengatakan manusia hidup dengan cara meminum keteraturan dari lingkungan sekitarnya.

Hal terpenting untuk kedua ciri ini, yaitu “informasi”. Kemampuan manusia melakukan replikasi dimungkinkan karena ada resep informasi yang diperlukan untuk menciptakan satu tubuh baru. Secara sederhana manusia lahir di muka bumi ini membawa banyak sekali informasi rahasia, berupa sandi yang kita sebut dengan “kode genetik”. Kita pasti sudah tidak asing dengan ungkapan “buah durian jatuh tidak jauh dari pohonnya” maknanya anak yang lahir memiliki kebiasaan/sikap tidak jauh dari orang taunya.

Seorang filsuf Yunani Aristoteles mengatakan “konsep” seekor anak ayam tersirat dalam sebutir telur. Ketika presepsi Aristoteles yang masih samar-samar mengenai teori informasi. Dalam temuan genetika modern, Max Delburck melontarkan gurauan sebenarnya tokoh pemikir Yunani itu, selayaknya dianugerahi penghargaan Nobel sebagai penemu DNA. DNA merupakan informasi atau sebuah pesan yang ditulis menurut suatu kode kimia, satu zat kimia untuk tiap huruf.

Saya tidak bermaksud menyamakan kemampuan replikasi manusia dan hewan. Kita pasti pernah mendengarkan teori Charles Darwin yang mengatakan manusia berasal dari kera. Pendapat Darwin jika digiring dalam telaah ilmiah modern telah menuai problematik. Baik ditilik dari sisi sains maupun agama. Tentu manusia tidak ingin disamakan dengan makhluk primata ini. Tentu saja banyak perbedaan antara kita semua dan seekor simpanse. Dari pandangan fisik saja sudah banyak bedanya, cetus kita semua jika dipaksa berdebat secara awam.

Saya akan menjelaskan lebih jauh intruksi digital linear dapat mengarahkan 2% perbedaan tubuh manusia dan tubuh simpanse. Pada tahun 1921 seorang ilmuwan berasal dari Texas Theopilius Painter mengemukakan sesungguhnya manusia memiliki dua puluh empat kromosom. Beberapa ilmuwan juga mengulang eksperimennya dengan cara berbeda. Semua sepakat mengatakan bahwa kromosom manusia ada dua puluh empat. Selama tiga puluh tahun tidak seorang pun berhasil membantah fakta-fakta tersebut.

Pada tahun 1955, sesorang berkebangsaan Indonesia bernama Joen-Hin Tjio melakukan perjalanan ke Spanyol dan Swedia  untuk bermitra dengan Albert Levan, kebenaran mulai terungkap. Ia hanya menemukan dua puluh tiga pasang kromosom pada manusia. Ia melakukan hitungan gabungan, ternyata pada dua kromosom kera menyatu menjadi satu buah kromosom. Memang agak mengejutkan ternyata manusia tidak memiliki dua puluh empat kromosom. Simpanse memiliki dua puluh empat kromosom. Di bawah mikroskop perbedaan paling mendasar antara manusia dan kera, yaitu kita kekurangan kromosom.

Dalam upaya matian-matian membela spesies manusia Pakar Astronomi zaman Victoria, Sir Richard Owen pernah mengatakan bahwa hipokapmus minor adalah lobus otak hanya ada pada otak manusia, maka pastilah itu tempat bersemayamnya otak. Ia tidak dapat menemukan hipokampus minor dalam otak gorilla yang baru di bawah dari Kongo dari seorang petualang bernama Paul dan Caillu. Hal tersebut secara gamblang telah menggambarkan manusia merupakan ciptaan Tuhan paling sempurna.

Secara terang-terangan kita akan terkagum dengan satu buah kromosom telah mampu membedakan kita dengan seekor kera. Dan akan mendudukkan manusia pada tahta tertinggi di antara semua makhluk hidup. Alhasil secara ekologis manusia adalah makhluk sukses. Kita merupakan makhluk paling berlimpah di bumi ini. Spesies manusia telah membuktikan kemampuan menakjubkan untuk menaklukkan dingin atau panas, kering atau basah, dataran rendah atau dataran tinggi. Kemampun merefleksikan kisah hidupnya adalah sebuah rentetan cerita sukses manusia yang tidak dimiliki makhluk hidup lainnya. Kebalikannya gorilla dan sejenis primata bertubuh besar di muka bumi ini jumlah mereka tidak sampai seribu ekor. Kita terlahir telah dibekali kemampuan replikasi dan menciptakan urutan, dan akan menunjang manusia untuk berkisah di kehidupannya.

Manusia memang sungguh mesin biologis paling penting di planet ini. Manusia dilahirkan untuk mendengar, kemudian berbicara, selanjutnya berpendapat. Binatang bisa saja mendengar, tetapi tidak bisa berpendapat. Karena itu freedom to speak and freedom to express adalah inensitas manusiawi. Menolak kedua ini sama artinya mendudukan manusia setara dengan binatang. Saya akan mengutip perkataan Pinkola Estes seseorang yang berprofesi sebagai psikolog dan psikiatri. Ia membilangkan, bersama tulang dan otot manusia akan bergerak dari satu espisode ke episode selanjutnya di masa depan. Begitupun serangkaian gen-gen manusia akan terus bergerak menyingkap sandi-sandi rahasia, dan rekaman memori manusia. Akan tetapi sebagai makhluk sukses kita masih pesimis sekali soal masa mendatang. Walupun untuk saat ini kita memang sukses.

 


Sumber gambar: https://nationalgeographic.grid.id/read/13292678/manusia-hanya-menggunakan-kurang-dari-10-persen-dna-nya

Gembala Rindu dan Puisi Lainnya

Telah Kucuri Cincin Saturnus

 

Aku selalu ingin terbang mengintari angkasa

Mengudara bersama purnama

Bercerita bersama aquarius

Tertawa bersama orbital

Aku akan menggambar rasi bintang baru

Kemudian, kusulam bersama asteroid

Galaksi  Bima Sakti ikut gembira dan tersenyum kepadaku

 

Di semesta yang luas aku menunggangi komet

Aku akan bernafas bersama aurora

Lalu masuk ke celah-celah mimpimu melalui lorong-lorong fatamorgana

 

Di tanah Bugis yang sakral

Kusematkan rinduku, kemudian

Kutorehkan sebuah kejutan untukmu

Sebuah cincin yang telah kucuri dari Saturnus

 

Bantaeng, 17 Juli 2020

 

 

 

Gembala Rindu

 

Mereka yang mampu menyatukan serpihan rindu yang berhamburan di lantai

Mereka adalah sekawan gembala yang kuberi nama “gembala rindu”

Mereka baru saja membela denyut nadinya

Memangkas habis isi kepala mereka

Ia tidak tahu, mau kemana malam ini

 

Palu temu yang saling menghantam, mendegung keras sampai

Memecahkan gendang telinga mereka

Langkah mereka harus terhenti, kala otak mereka dicabik

Kepala mereka dihempaskan berkali-kali ke dinding tangis

 

Mereka hampir mati katanya, tapi mereka akan tetap merindu

Apa kau sadar? banyak orang yang mati karena menanti

 

Makassar, 13 Desember 2019

 

 

 

Kampus Merah Perindu

 

Cerita ini bermula dari sebuah nafas

Pada pagi hari yang hangat

Aku menyaksikan mentari berlaga di celah awan

Cahaya membias menyentuh daun jendela kamar idekos milikku

 

Aku mulai melompati kecil beberapa genangan air,

jalan-jalan setapak di sini memang selalu becek dikala hujan menerpa

Seingatku tadi malam langit menangis

 

Pada halte kampus yang sepi

Kujumpai seorang gadis

Bermain bersama kuicng jalanan yang terlantar

Kulitnya berwarna kuning langsat,

senyumnya sehangat uap kue putu

Ia mengenakan kemeja biru, dengan balutan jilbab biru,

Rok hitamnya menjuntai menyentuh kecil aspal

 

Dia adalah cintaku, perindu terbaik yang kumiliki

Mari berangkat, pagi masih panjang.

 

Universitas Hasanuddin, 12 Maret 2020

 

 

 

Lampu Jalan

 

Di persimpangan jalan malam ini

Angin tak punya nyali untuk sekadar berbisik

Malam ini begitu dingin,

Menyobek kulitku, merengsek masuk menembus sel-sel tubuhku

Arlojiku sepuluh menit lebih cepat dari jam di tengah kota

Lampu jalan memancar redup

Bahkan malam sulit aku tafsirkan

 

Sudah berapa lama aku berdiri di sini

Badanku menggigil hebat, hujan juga sudah mengoyak-ngoyak harapanku

Berapa lama aku harus menanti?

Berapa lama aku harus menuggu?

Berapa lama aku harus merindu?

Atau sampai maut mengajak aku berdansa?

 

Makassar, 19 Agustus 2018

 

 

 

Jiwa dari Segala Jiwa

 

Di bawah langit November yang dingin

Pernah kutemui seseorang

Matanya sedingin hujan

Kulitnya selembut angin

Senyumnya sehangat anak-anak matahari

Rambutnya setegar langit

Cintanya sekuat bumi

Atas nama jiwa dari segala jiwa

Tidak akan pernah ada kisah yang mati!!!

Tidak akan pernah ada rindu yang hilang!!!

 

Makassar, 5 November 2019

 

 

Hidup Sendiri

 

Doaku telah menusuk tiang-tiang penyangga langit

Puisiku telah kutabung untuk sepertiga malamku

Untuk hati yang tidak pernah bungkam

Demi Tuhan!!

Aku mencintai setiap serat dalam dirimu

Bersabarlah!!!

Rindu selalu punya cara untuk hidup sendiri

 

Bantaeng, 10 Juni 2020

 

 

 

Malaikat Mimpi, Doakan Kami

 

Malam ini begitu menusuk

Seseorang telah mencuri lampu di taman kota

Seseorang telah membelah purnama

Padahal aku tidak punya cukup cahaya untuk menemukanmu

 

Di ruas-ruas jalanan kota Makassar

Seseorang terlihat terkapar terkatung-katung ditampar sedemikian dahsyatnya oleh rindu

Ia menangis terseduh-seduh

Hujan menyelimutinya dengan kuat

Agar dia tidak terlihat menangis

 

Rindu masih punya tahta atas segalanya

Dia akan selalu berkuasa,

Oh…malaikat mimpi, doakan kami

Semoga rindu tidak membunuh kami

 

Makassar, 15 Maret 2020

 

 

 

Aku Masih Punya Segalanya

 

Hari ini aku masih sibuk

Memilah-milah potret kebahagiaan kita

Aku masih bertukar frasa dan bermain dengan beberapa alinea

 

Tidak perlu ku hancurkan kenangan ini

Cara kamu mencintaiku benar-benar unik

Langit selalu punya jendela untuk sekadar menyapamu

Awan selalu punya pintu untuk kuketuk

Hujan selalu punya cerita untuk dialirkan bersamaan rintiknya

 

Menatap matamu yang sayu adalah kesukaanku

Meski matamu sudah terlelap di bilik lain

Setidaknya aku masih punya mata untuk memandangmu

 

Meski tanganmu sudah lenyap tertimbun tanah

Aku masih punya tangan untuk mendoakanmu

Meski kepalamu  sudah berupa tulang belulang

Aku masih punya kepala untuk kusujudkan dengan ilahi

 

Meski tubuhmu sudah hilang entah kemana

Kita masih punya rindu yang akan saling memeluk

Dalam jeda waktu

Meski aku harus kehilangan kaki

Aku masih punya kereta yang akan mengantar,

Kita Menuju ke jannahnya

Bantaeng, 25 Juli 2020

 

 

 

Doa yang Menangis

 

Malam selalu gelap sayang

Dalam sunyi aku masih mengingat wajahmu

Berderai potret pecah dihempaskan tangan-tangan waktu

 

Pada setiap baris sajakku

Kubisikkan cinta yang penuh dengan rasa khawatir

Tubuhku dingin terbujur kaku

Doaku masih terus menangis merindukanmu

Hingga mengembun di subuh ini

 

Kau jangan mati dulu

Biar aku saja yang mati duluan

Sebab jika aku sudah berhenti berdoa

Malam sudah membunuhku

 

Pangkep, 9 Juni 2020

 

 

 

Nyanyian Kematian

 

Saat aku tak bersamamu aku begitu lemah

Aku tidak bisa melompati tuts-tuts piano itu sendirian

Simfoni ini tidak bisa ku nyanyikan sendirian

Aku telah kehabisan idiom

Aku telah kehilangan melodi

 

Waktu telah menggilas diriku

Suaraku sedikit parau

Sedangkan, dirimu yang dahayu

Masih memandangku

 

Aku percaya kau tidak betul-betul pergi

Kau masih bersandar di dinding langit

Tuhan hanya menyapamu lebih dulu

 

Setidaknya aku masih punya cukup kata-kata

untuk menyelesaikan rindu ini

Lalu kukirim bersama doaku

Just for you.

 

Bantaeng, 26 Juli 2020

 

 

 

 

 

 

 

 

Rumah Kardus

Kringggg…

“Baik anak-anak sekarang mata pelajaran kali ini akan dilanjutkan minggu depan, ingat mengerjakan PRnya,” ujar seorang guru.

“Baik Bu…,” jawab siswa serentak.

***

Ting…ting….tuk…tuk…

Tetes air hujan membasahi pipiku, membuat aku terbangun dari tidur panjangku. Rumah kami memang selalu bocor ketika hujan menerpa. Rumah beralaskan tanah, berdinding kardus, dan beratap beberapa seng karatan yang penuh tambalan. Di sini tempat Aku dan Ayah bernaung. Kami tidak pernah memiliki cukup biaya untuk memperbaiki hal seperti itu karena untuk makan saja susah.

“Fitri…Fit! Bangun, sudah pagi. Mau sampai kapan kamu tidur begitu?”

“Iya ayah aku dah bangun. Hemm… ternyata cuma mimpi,” gumamku sambil mengucek-kucek mata bersiap untuk berangkat mengais rezeki.

Aku memang masih sering berhayal dan berangan-angan merindukan suasana sekolah. Sobekan kertas, jeritan teman-teman menandai jam istirahat, dan kantin sekolah.

***

Di bawah langit November yang dingin, syukurlah bumi seakan merestui aku untuk makan hari ini. Jika  kami tidak dapat uang hari ini, kami tidak bisa makan. Namaku Safitri anak berusia empat belas tahun, sejak umur tiga tahun aku hanya tinggal bersama ayah karena ibuku sudah duluan pergi beristirahat di keabadiaan. Setelah itu, ayah juga harus dipecat dari pekerjaanya, karena difitnah telah mencuri uang bosnya, pada salah satu warung makan. Sedih jika membayangkan hal itu, aku harus tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Karena kondisi finansial yang tidak memungkinkan, aku harus putus sekolah. Aku lebih memilih membantu ayah mengumpulkan barang bekas untuk dijual ke pengepul.

Di depan rumah kami ada pohon linden yang memberi kesejukan. Tempat Ayah selalu mengikat dan mengucir rambutku dengan indah. Di pinggiran kota Makassar kami hidup, tinggal di pemukiman kumuh bersama keluarga pemulung yang lain. Anak-anak pemulung seperti saya, tumbuh dan dibesarkan bersama bau-bau sampah. Kami bernafas dengan uap aroma parit berwarna hitam kental  yang sudah lama bersemayam di hidung kami.

Lingkungan kami rata-rata adalah orang yang kurang akan materi dan pendidikan. Jadi, demi menyambung hidup, kami harus menjadi pemulung, yah….pekerjaan yang sebagian orang dianggap rendah. Karena ayah hanya pernah mengenyam pendidikan hingga kelas 4 Sekolah Dasar bahkan membaca saja tidak lancar, jadi ayahku tentu saja sulit mendapat pekerjaan. Terlebih semenjak ibuku meninggal, ayah menjadi pemurung dan sulit bersosialisasi.

Hidup kami memang sangat sulit, aku tidak tahu harus berbuat apa untuk membantu ayah, aku ingin sekali bisa bekerja dengan gaji yang cukup besar, agar ayah tak harus bekerja lagi dan tidak tinggal di sini lagi. Tetapi, aku harus bagaimana, zaman sekarang untuk bekerja membutuhkan pendidikan. Lantas bagaimana buat makan saja aku dan ayahku harus bekerja mencari barang bekas dari pagi hingga petang dan hanya mendapat beberapa rupiah saja.

***

“Fit…?” panggil Ayu dengan senyum lebar.

Ayu adalah temanku, yang nasibnya tidak lebih beruntung daripada aku. Bahkan, bisa dibilang lebih menyedihkan. Dia anak yatim piatu dari kecil karena orang tuanya meninggal akibat kecelakaan puluhan tahun silam, ia hanya dibesarkan oleh neneknya yang juga sudah sakit-sakitan

“Ada apa Yu? ” jawabku sambil memilah sampah.

“Kamu tahu gak, bakalan ada guru sukarela di kampung kita ini. Orang itu bakalan ngajar anak-anak sini tanpa biaya loh,” kata Ayu dengan mata yang berbinar-binar.

Bagaimana tidak, anak di sini rata-rata sudah putus sekolah dan bekerja sebagai pemulung, pengamen, tukang sol sepatu, dan pekerjaan-pekerjaan yang tidak seharusnya kami alami di umur kami yang masih belia.  Padahal, sudah sangat lama kami mengharapkan uluran tangan pemerintah. Apakah masih ada makna sekolah bagi mereka pada saat seperti ini? Setidaknya kami butuh tempat di mana kami bisa belajar, menghitung, dan menulis ala kadarnya. Pendidikan kadang tidak membumi di negeri ini.

“Kamu serius kan?” tanya aku sedikit memastikan, karena aku pikir ini awal yang baik untuk mengubah kehidupan kami.

“Iya Fit, ini kata pak RT langsung, ” kata Ayu sedikit meningkat nadanya untuk meyakinkan aku.

“Aku pulang dulu yah Yu, aku mau kasih tau ayah dulu,” ujarku sambil membereskan gerobak sampah milikku.

“Oh iya udah deh, kamu hati-hati yah, sampaikan salamku sama puang,” kata Ayu yang masih tetap memilah sampah plastik.

Akupun bergegas pulang tidak sabar memberitahukan kabar baik ini kepada ayah.

“Ayah…ayah.. ayah di mana ?” teriak aku memanggil ayah.

“Sini…di belakang, ” timpal Ayah dari arah belakang rumah yang sedang mengemas kardus-kardus berkas.

“Ayah, ayah tahu? bakalan ada guru sukarela di kampung kita ini dan itu gratis” ujarku dengan menjelaskannya ke ayah dengan penuh harapan.

“Wah, kapan itu? Kamu juga ikut yah, ini kesempatan baik biar anak ayah ini makin pinter nantinya. Nanti soal kerja kamu bisa kerjanya abis belajar yah biar ayah yang bekerja sendiri selama kamu belajar,” kata ayah sambil mengelus-elus kepalaku.

“Makasih banyak ya, Yah. Aku janji bakalan rajin belajar biar pinter dan bisa bahagiain ayah, biar ayah tuh gak mulung lagi.” Kata aku meyakinkan ayahku.

Ayah hanya mengangguk sebagai isyarat bahwa ayah percaya sepenuhnya dengan anaknya ini. Meski kedepannya aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi aku harap akan ada jalan untuk aku mengubah nasib aku dan ayah. Aku mau rumah kardusku ini berubah jadi rumah beton dengan ubin yang mengkilap.

Hari itupun datang, seorang guru muda, berkacamata, berperawakan ramah dengan senyum manisnya datang ke kampung kami dibantu oleh pak RT dan warga untuk memasang sebuah tenda lengkap dengan papan tulis, alas lantai, spidol, dan beberapa buku untuk kami belajar. Anak-anak di situ termasuk aku tidak sabar untuk berkenalan dengan guru muda itu. Tidak sabar untuk belajar juga. Setelah semua telah rapi, kami dipersilahkan duduk dan berkenalan dengan guru itu.

“Selamat siang adik-adik, bagaimana kabarnya? Perkenalkan nama kakak Dwi Sinta. Bisa adik-adik panggil Kak Dwi, ” Kata ibu guru itu dengan senyum manisnya.

Serentak kami jawab

“Selamat siang Kak Dwi.”

Hari-hari aku lalui tidak seperti biasanya. Aku lebih senang berada di sekolah tenda dibandingkan berada di tumpukan sampah. Semenjak aku ikut belajar di sekolah tanpa gedung ini, aku merasa lebih mengerti banyak hal dan pandanganku semakin luas. Setelah pandai membaca, aku lebih senang menghabiskan waktuku membaca buku-buku bekas yang sudah terbuang di tumpukan sampah. Tetapi, berbeda dengan anak-anak pemulung yang lain. Semakin hari semakin sedikit yang mengunjungi sekolah tenda. Anak-anak yang lain lebih bersemangat mengumpulkan sampah karena bisa mendapatkan uang. Begitulah persepsi beberapa anak-anak pemulung.

****

“Fit…bisa kakak bicara sebentar ?” kata kak Dwi memanggiku saat kelas sudah berakhir.

“Iya kak ? Boleh banget, silakan, ”ujar aku sedikit penasaran.

“Begini Fit, kakak melihat ada sesuatu dalam dirimu, kamu itu memiliki potensi. Sikap pantang menyerah, tekun, dan kamu juga cerdas. Untuk itu kakak punya usul bagaimana jika mengikuti lomba ini, lomba ini bisa membuat kamu dapat beasiswa jika kamu menang loh ” ungkap Kak Dwi sambil menyodorkan selembar brosur perlombaan.

“Ha? Benarkah ini kak? Tapi…apa kakak yakin aku biasa?”

“Fit…Kamu harus yakin, kakak akan mendukung dan orang-orang di sini pasti mendukung kamu. Ini adalah jalanmu Fit. Kakak yakin kamu pasti bisa,” Kak Dwi menimpali dengan penuh keyakinan.

Di tengah terjangan hujan deras, dan bunyi bising mobil truk kontainer yang keluar masuk di depan rumah. Tidak menjadi penghalang bagiku untuk giat berlatih. Akhrinya aku mengikuti lomba itu, dan alhasil aku berhasil menjadi juara. Kemenangan ini adalah hal yang paling tidak aku sangka. Setelah kemangan perdanaku, aku lebih bersemangat belajar, dan ikut beberapa perlombaan seperti matematika, dan debat bahasa Indonesia.

Berkat prestasiku, akhirnya aku bisa melanjutkan pendidikanku hingga tamat SMA. Setelah itu, aku diterima jalur undangan untuk masuk perguruan tinggi negeri di salah satu universitas negeri ternama di Makassar. Aku lulus di Fakultas Ilmu Pendidikan, Prodi PGSD dan mendapat kembali beasiswa bidik misi. Sebuah beasiswa yang diperuntukkan untuk orang-orang miskin. Aku berharap dengan lulusnya aku di sini, aku bisa menjadi guru dan membantu anak-anak yang kurang beruntung seperti diriku.

Semua berkas-berkas telah aku persiapkan. Di sana juga, aku akan tinggal asrama. Meninggalkan rumah kecil yang penuh kenangan itu sungguh menyayat hati kecilku, apalagi ayah, harus ku tinggal sendiri.

“Fit…..sini nak, ayah ingin mengatakan sesuatu, ” ayah memanggil aku dengan suara pelan.”

“iye ada apa yah?”

“Kamu baik-baik di sana nak, kejar cita-citamu, semoga Allah melindungimu, aku akan menunggu anak manisku ini sarjana,” sambil meneteskan air matanya, ayah tersungkur sedih di atas kursi plastiknya.

“Pasti ayah, doakan Fitri,” sambil memeluk haru ayahnya.

***

Awan mendung bergeleyut di langit Makassar, kemudian hujan kembali turun. Bersamaan dengan itu tangisku pecah. Menyusuri jalan-jalan setapak yang basah dengan genangan air hujan. Empat tahun berlalu, setelah baru saja kelar dari ujian skripsi. Gawaiku mendadak berdering. Ayu? tumben sekali sahabatku ini menelfon, pasti dia rindu, gumamku dalam hati.

“Halo Yu? Ada apa, kamu apa kabar?” aku dengan nada kegirangan.

“Halo Fit, kamu harus pulang sekarang!!!!, ayah kamu dilarikan ke RS,” dengan nada kaget dan panik.

“Apa?….halo…..halo…,” teleponku dengan Ayu terputus.

Ajal memang sudah menjadi rahasia Tuhan, Ayah harus meninggalkanku hari itu. Ayah menyembunyikan penyakit kanker paru-paru yang dideritanya. penyakit itu semakin parah, karena setiap hari ayah selalu berhadapan dengan bau-bau sampah yang meyengat.

***

Satu bulan berlalu, hari wisuda aku sudah tiba. Hari yang sangat ditunggu para mahasiswa. Mereka semua mengajak keluarga mereka untuk bersua berfoto bersama. Ada yang diberikan buket bunga oleh orang spesialnya. Mereka semua tersenyum bahagia, mareka semua terharu dipeluk oleh orang taunya. Berbeda dengan diriku, perasaanku campur aduk antara senang dan sedih. Luka itu berbalut perih bagi diriku, padahal ayah sangat ingin melihat aku sarjana. Setelah acara selesai aku bergegas lari keluar dari gedung. Pipiku sudah kuyup dengan air mata.

Tanpa melepaskan pakianku, dan togaku masih tertenteng di atas kepalaku, aku mengunjungi pemakaman ayahku. Kemudian, aku menanggalkan togaku, di atas makam ayah.

“Ayah hari ini aku sudah sarajana, ayah baik-baik selalu di sana,” air mataku terus tertumpah ruah.

***

Setahun berlalu, aku berhasil diterima menjadi salah satu pegawai negeri sipil, pada salah satu sekolah dasar di Makassar. Kini rumah kardus kecilku telah berubah jadi rumah beton yang sangat indah, lebih indah daripada yang pernah aku bayangkan.

Kemiskinan tidak seharusnya diratapi sebagai penderitaan, tetapi sebagai cara Tuhan membentuk diri. Terima kasih Tuhan, terima kasih Ayah, terima kasih Kak Dwi, terima kasih Ayu, dan terimah kasih untuk orang-orang yang selalu mendukung dan menyayangiku selama ini.


Sumber gambar: https://hot.detik.com/art/d-2407566/lukisan-gerobak-pemulung-dan-komik-curhatan-penghuni-lapas

Cintaku Hanya Sebatas Penutup Siri’

Kring…….(alarm berbunyi dari gawai milik Rizal)

Dia sengaja menyetel alarm tepat pukul 5.30 dini hari. Tidak biasanya Rizal bangun sepagi itu. Hari ini ia begitu bersemangat untuk bangun pagi ,dengan mata memerah dan sedikit sembab Rizal mulai bangkit dari kasurnya yang sangat menggoda itu. Hari ini Rizal sudah janjian akan bertemu dengan teman kecilnya Andi Cendra. Seorang perempuan cantik keturunan Karaeng, dan putri dari seorang juragan terkenal di Desa Tino Toa.

Rizal segera menarik handuk yang tergantung pada tali plastik jemuran. Setelah mandi sambil mengusap-usap rambutnya yang masih basah ,Rizal mendekati meja makan. Memang setiap pagi ibunya selalu menyiapkan sarapan untuknya. Ketika sedang makan, ibunya tiba-tiba muncul dari pintu dapur. Dia menghempaskan sebuah baskom yang ditentengnya ke lantai secara keras.

Pukkk….kurang ajar ini anak, sudah berapa kali saya tanyako kodong nak, tidak baik makan menggunakan piring yang sudah digunakan untuk penutup makanan, mauko jadi pa’tongko siri’nya (penutup aib/harga diri) orang?”, ungkapnya dengan nada tinggi dan marah.

Ededeh..mama masih pagi-pagi marah-marah terus, mitosji juga itu ,saya tidak percaya dengan begituan-begituan deh“, ungkap Rizal sambil menyelah.

Sebuah pamali yang berkembang dilingkungan masyarakat Makassar, seseorang dilarang makan menggunakan piring yang telah dipakai sebagai penutup makanan. Menurut kepercayaan masyarakat Makassar orang yang makan menggunakan penutup makanan akan ditimpa kesialan. Nantinya dia akan menjadi penutup dari aib seseorang.

Setelah makan ibunya masih saja mengomel panjang lebar.

“Kau itu tidak punya telinga yah, ibu sudah larang kamu, masih saja dilanggar. Bukannya bangun pagi untuk cari kerja di kota, ini bangun pagi karena cewek”.

“Harusnya kau bantu mamamu ini cari uang.”

Rizal adalah seorang anak yatim, Ayahnya meninggal waktu dia berusia lima tahun. Ayahnya merupakan seorang buruh pemanjat pohon kelapa yang bekerja di kebun kelapa milik Karaeng Sitaba, Ayah dari Andi Cendra. Ayah Rizal  jatuh dari pohon kelapa dari ketinggian sembilan meter dari bawah tanah ketika memanjat kelapa. Rizal hanya memiliki satu kakak perempuan ,dia juga sudah menikah kemudian dibawah merantau oleh Suaminya ke Malaysia. Kini Rizal dan ibunya hanya tinggal berdua saja di rumah .

Deh kodong mama sudahmo….”, sambil berjalan meninggalkan ibunya, lalu masuk ke kamarnya untuk mengenakan pakaian.

Dia mulai mencari pakaian andalannya, dan mulai menyemprotkan parfum berbau semerbak mawar ke bajunya. Dia bergegas keluar dari rumahnya, ia sudah janjian untuk bertemu Andi Cendra di dekat sungai tempat bermain mereka waktu kecil. Dia sudah tidak sabar ingin melihat sahabat kecilnya itu.  Dengan tergesa-gesa dia mulai turun dari anak tangga rumah panggung miliknya.

“Pasti makin cantik Andi Cendra..beh sudah lama saya tidak bertemu degan dia” ,sambil tersenyum sendiri.

Rizal mulai membayangkan kulit putih, senyum manis, dan rambut hitam panjang yang selalu diurai Andi Cendra. Bagi Rizal dia seperti bidadari yang selalu melelehkan dirinya. Sejak kecil memang Rizal sudah kagum sama sahabatnya itu ,hingga menginjak masa Remaja, ia mulai jatuh cinta pada Andi Cendra, perempuan pertama yang memikat hatinya. Rizal adalah laki-laki pemalu, dia tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Ditambah lagi Andi Cendra sudah berpacaran dengan seseorang laki-laki kaya di desa seberang. Sejak hari itu Rizal sangat kecewa, dan harus mengubur dalam-dalam perasaannya pada Andi Cendra. Dia selalu berpikir menjadi sahabat saja sepertinya sudah cukup. Namun, perasaan cintanya  masih melekat dan tetap menggebu pada Andi Cendra.

Arlojinya sudah menunjukkan pukul 7.30 sambil  berteduh dibawah pohon, Rizal menoleh ke kanan. Dari Kejauhan Andi Cendra tampak berjalan mendekat kearahnya. Andi Cendra sudah memancarkan aura yang begitu luar biasa baginya. Jantung Rizal berdebar-debar dengan sangat kencang. Sudah empat tahun dia tidak bertemu dengan Andi Cendra ,setelah Andi Cendra meninggalkan desa untuk menempuh pendidikan tinggi di Makassar. Dari kejauhan gaya berpakaian Andi Cendra juga sudah berubah, hal itu sah-sah saja dia kan anak kuliahan.

“Astaga…. Cal lamatami tidak ketemu ,kamu apa kabar sekarang? Baik-baik jako?, dengan nada kegirangan dan bahagia.

Cal adalah nama panggilan yang diberikan oleh Andi Cendra bagi sahabatnya itu, meski terdengar biasa saja bagi Andi Cendra. Tetapi, bagi Rizal panggilan itu begitu istimewa ditelinganya dan dihatinya. Panggilan yang sangat dia rindukan.

“Alhamdulillah baik-baikja Cendra, eh tambah cantikko dih saya lihat.”

emdd menggombal lagi…btw makasih hehehe, sekarang apamu kerja?”

“saya masih bantu mamaku kumpulkan bantok kelapa  di kebun kelapanya tettamu, mamaku larangka jadi pemanjat kelapa, takut kejadian seperti tettaku terulang.”

Mereka berbincang-bincang cukup lama, sambil melepaskan rindu.

“kamu ingatji? Waktuta kecil kita sering saling kejar-kejaran disini, kalau sudah lelah kita langsung nyebur ke sungai”, tutur rizal dengan terharu sambil menghayal masa kecilnya.

“hehehe iya, kamu itu paling nakal waktu kecil, biar berdarah lututmu masih kuatji lari.”

Mereka berdua larut dalam kebahagiaan. Sambil tertawa Rizal memadangi bola mata sahabatnya itu. Dalam hatinya “andai kau tahu betapa sayangnya aku sama dirimu.”

Matahari bersinar semakin terik. Mereka berdua juga turut merasakan panasny yang sudah sampai di ubun-ubun. Andi Cendra perlahan menyalakan gawainya untuk sekadar mengecek jam. Dengan tingkah sedikit tergesa-gesa. Sebenarnya Cendra keluar rumah dengan alasan jalan-jalan saja. Dia tidak mengatakan pada Ibunya akan menemui sahabatnya.

“sudah jam 12 Cal, pulang duluanma saya nah, na lihatki nanti tettaku disini”, dengan nada halus karena takut sahabatnya itu tersinggung.”

bah iya nanti orang desa lihatki disini berduan lama-lama, takutnya ada fitnah”

Persaan takut dan was-was masih membayangi mereka berdua. Dari kecil mereka bersahabat secara diam-diam. Andi Cendra adalah keturunan karaeng bergelar “Andi” (bangsawan). Sedangkan, Rizal adalah keturunan Rakyat biasa, dan tidak memiliki gelar apapun. Dalam kebudayaan Makassar dikenal tiga tingkatan seseorang. Tingkat pertama untuk orang yang bergelar Andi, tingkat kedua untuk orang yang bergelar Daeng, dan tingkat ketiga untuk orang biasa yang tidak memiliki gelar apa-apa (orang biasa).  Waktu kecil Cendra sudah dilarang untuk bergaul dengan Rizal putra seorang buruh pemanjat kelapa. Tettanya sangat malu dan marah  bila mendapati anaknya bergaul dengan anak buruh seperti Rizal. Pertemuan mereka juga tidak disengaja, waktu kecil Rizal sering ikut tettanya ke kebun kelapa milik Karaeng Sitaba, di sana Rizal bertemu dengan Andi Cendra putri Karaeng Sitaba pemilik kebun kelapa.

Mereka berdua akhrinya meninggalkan tempat itu. Rizal juga bergegas pulang ke rumahnya.

“Assalamualikum ma…. Pulangma.”

“wa’alaikumusalam nak” dengan nada sendu.

“eh kenapaki mama? Baik-baik jaki.”

“ mama hanya pusing sedikit.”

Ibu Rizal memang sudah sakit-sakitan. Diusia senjanya, dia sudah harus banyak-banyak istirahat, Tidak seharusnya lagi berkerja dan banting tulang. Ibunya selalu mengimpikan sebelum kematiannya dia harus melihat putra satu-satunya menikah.

“Rizal…siniki nak.”

“iye ma? Kenapaki?”

“kapanko itu baru menikah nak? Supaya ada bisa urusko, saya sudah tua nak” tutur ibunya dengan perasaan sedih.

“iye mama secepatnya mi ini, saya masih cari-cari pekerjaan ini, doakanka juga nah mama semoga adaji perempuan mau sama saya, sambil mengusap-usap kepala ibunya.

“Aamiin nak”, ibunya menimpali dengan nada suara halus.

Dua hari berlalu, Rizal bergegas berangkat ke kota untuk mencari-cari peruntungan untuk dirinya itu. Karena telat bangun dan tergesa-gesa Rizal lupa membawa gawainya. Setelah sampai di rumah dia bergegas membersihkan diri. Dengan santai Rizal menyalakan dan mengecek gawainya Rizal Kaget dilayar gawainya tertulis sepuluh panggilan tidak terjawab dari Cendra. Tidak seperti biasanya, Rizal mulai kaget dan panik, dia takut terjadi apa-apa menimpa sahabatnya. Secara kalang kabut, dia mulai membaca pesan singkat yang tertulis di apalikasi whatsapp miliknya.

“temuika ini malam Cal….jam delapan malam “, dengan emoji menangis.

Rizal segera bergegas kembali meninggalkan rumah. Jam sudah menunjukkan pukul 20.30 , sebelum keluar dari rumahnya ia bermaksud pamit dengan ibunya. Dalam kamar ibunya, dia telah mendapati ibunya sudah terlelap tidur dengan nyenyak. Ibunya pasti kelelahan setelah dari kebun mengumpulkan batok kelapa. Dengan terburu-buru dia lari meninggalkan rumah, ia sengaja tidak membangunkan ibunya, ia takut menganggu tidur ibunya yang nyenyak.

Malam mulai semakin pekat, bersamaan dengan itu bulan purnama begitu cerah memancar dari langit. semilir angin mulai bertiup masuk menusuk kulit Rizal. Ia sudah melihat Cendra berdiri menunggu di jembatan Kayu diatas sungai, dekat dengan tempat mereka pernah bertemu beberapa hari yang lalu. Dengan nafas yang tidak teratur dia mulai berlari mendekati Cendra. Dia hanya tertegun melihat sahabat manisnya terhisak menangis, air matanya tidak dapat dibendung.

“ada apa Cendra? Kenapa menangis?

“cal….”, sambil terus menangis.”

“coba cerita pelan-pelan.”

“aku hamil Cal”, sambil terbata-bata mengeja kalimatnya.

Rizal hanya termangu, dia begitu terkejut, orang yang selama ini dia sangat percayai, melakukan kelakukan keji seperti itu. Dalam hatinya ia masih belum percaya sahabatnya melakukan hubungan terlarang.

“siapa yang melakukan semua itu padamu?” dengan nada yang sedikit tinggi.

“pacarku Rifki” cetus Cendra dengan pelan.

Rifki Adrian adalah pacar Andi Cendra, dia merupakan teman kampusnya dari semester satu. Sudah tiga tahun lebih dia bepacaran dengan Rifki. Dia sudah sangat percaya pada Rifki. Ia tidak menyangka Rifki harus merusak kepercayaannya dan merenggut harga dirinya. Rizal mundur secara perlahan-lahan dan meninggalkan sahabatnya sendirian di malam itu. Dia begitu kecewa dengan kelakukan sahabatnya, hatinya begitu hancur.

Satu bulan berlalu, Rizal dan Cendra sudah tidak pernah saling kontekan lagi. Rizal juga sudah sibuk kerja di kota, ia sudah diterima bekerja di salah satu perusahaan air kemasan di kota. Perangi Cendra mulai memperlihatkan kecurigaan bagi ibunya. Setiap hari dia keluar masuk kamar kecil, dia lebih suka berkurung diri dalam kamar, moodnya juga berubah. Perasaan Ibu Cendra sudah tidak enak, dia sudah menebak pasti ada hal yang tidak beres menimpa anak gadisnya.

“ada apa nak? Kalau kamu punya masalah coba cerita.”

Dengan berat hati dia menceritakan semua kejadiannya kepada ibunya. Dia terus menangis dan tersandar di bahu ibunya. Kehamilan Cendra tidak dapat disembunyikan dari tettanya. Ketika mengetahui anaknya sudah berzina. Dia marah besar.

“Cendra sini kamu”, sambil menarik dengan paksa dari kamar Cendra.

“siapa yang melakukan semua ini ? Lihat tettamu”, dengan nada tinggi dan membentak.

“pacarku tetta….”,sambil terus menangis.

“kurang ajar mana itu laki-laki.”

“tidak kutahu tetta dia menghilang.”

siri’ jeka (harga diri ini), cari itu laki-laki kau harus segera dinikahkan.”

Sudah seminggu nomor telepon Rifki tidak aktif, keberadaanya tidak diketahui, janjinya untuk bertanggung jawab, kini hilang entah kemana. Tetta Cendra mulai pergi mencari keberadaan laki-laki tersebut bersama dua orang bayarannya yang berbadan kekar. Hingga disuatu desa terpencil keberadaan Rifki ditemukan. Dia tidak mau mengakui kesalahnnya di depan tetta Cendra.

“bukan saya yang lakukan itu om, bisa jadi laki-laki lain, banyak pacarnya itu Cendra waktu kuliah” , sambil mengelak dari masalah.

“kurang ajar, kau harus tanggung jawab. Nikahi anakku!!!!!”

“saya tidak mau bukan saya yang lakukan itu.”

Karena terbawa emosi dua orang bayarannya mulai mengeluarkan sebilah parang panjang. Hanya dengan sekali tebasan, leher Rifki tergorok. Akhirnya Rifki tewas dengan cara menengaskan. Kemudian jasatnya dibungkus kemudian dibuang ke sungai yang arusnya deras. Berita pembunuhan itu kemudian dirahasikan. Hanya Karaeng Sitaba dan dua orang suruhannya yang mengetahuinya.

Empat bulan berlalu perut Cendra semakin membesar. Masalah itu masih ditutup rapat-rapat. Tettanya masih khwatir, ia belum menemukan calon lelaki untuk dinikahkan dengan anaknya sebagai pa’tongko siri’ (penutup aib). “

“Mana mungkin ada laki-laki yang bersedia menikahi anak kita yang sudah terlanjur rusak” dengan perasaan cemas dan khawatir.

Suatu hari di kebun kelapa miliknya, Karaeng Sitaba sedang sibuk menghitung hasil kelapa yang sudah di panen. Rizal perlahan datang menghampiri Karaeng Sitaba.

“tabe Karaeng? Apakah saya menganggu?”

“oh kamu, ada apa.”

“saya langsung saja Karaeng, saya siap menikahi Andi Cendra putrita.

“apakah kamu yakin?”, kamu siap menerima keadaan Cendra sekarang”, dengan terkejut.

“InsyaAllah saya siap Karaeng.”

Dengan cepat, dia mengajak pergi Rizal dan membawanya ke rumahnya. Ibu Cendra turut bahagia, Cendra juga ikut terharu dan sedikit lega.

“Cendra sudah lama saya mencintaimu, bahkan waktu kita masih remaja. Ini semua takdir Allah cinta kita dipertemukan dengan cara seperti ini,” tutur Rizal sambil meneteskan air mata.

Cendra perlahan menangis memeluk ibunya. Rizal bergegas pulang dari kediaman karaeng Sitaba. Dia segera menemui Ibunya. Tanpa mengucapkan salam dia berlari menaiki tangga rumahnya.

“ma..ma..dimanaki?

“kenapaki nak.”

“ada yang ingin saya katakan.”

“apa nak?”

“mauma menikah ma….”

“dengan siapa?, tanya ibunya dengan senyum sumringah bahagia.

“dengan Cendra…meskipun hanya pa’tongko siri’ ja (penutup aib)”, sambil meneteskan air mata di hadapan ibunya.

Ibunya hanya membisu tanpa kata dan kalimat, dia mulai terjatuh dan mendadak lemas mendengar perkataan anaknya. Akhrinya pernikahan mereka dilaksanakan secara sederhana. Pernikahan itu menimbulkan banyak tanya bagi warga desa. Mustahil anak Karaeng menikah dengan seseorang lelaki yang bukan keturunan karaeng.

Mitos lahir karena seseorang menanam sebuah harapan di dalamnya. Begitulah teori yang di ungkapkan oleh Levis Trauss mengenai mitos dan harapan. Begitu penting mendengarkan pesan-pesan orang terdahulu kita, bukan dengan mengabikannya dan menganggap enteng hal tersebut.

Catatan

Andi                 : tingkatan stratifikasi sosial, gelar tertinggi bagi masyrakat Bugis-Makassar

Daeng              : sebuah gelar untuk orang yang dituakan.

Karaeng           : gelar bangsawan bagi masyrakat Makassar

Pa’tongko Siri’: Penutup aib/rasa malu dari keluarga

Siri’                  : Harga diri (rasa malu)

Tetta                : Panggilan pengganti Ayah

 


Sumber gambar: Google