Semua tulisan dari Eko Prasetyo

Penulis, peneliti dan aktivis. Telah menulis banyak buku di antaranya: Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Modern (2002), Islam Kiri: Jalan Menuju Revolusi Sosial, Orang Miskin Dilarang Sekolah (2004), dan Bangkitlah Gerakan Mahasiswa! (2014) dan yang terbaru Kitab Pembebasan (2016).

Melawan Hegemoni Lewat Esai Sosial Politik

Bentuk akhir gaya (tulisan) diperoleh lebih dari perilaku benak daripada dari prinsip mengarang (Strunk dan White)

***

Namanya Achmad Tirto Adisurjo, yang berusia 20-an tahun, ketika mendirikan koran , yang diberi nama, Medan Prijaji. Goresan esainya yang tajam telah membangkitkan kesadaran pada anak-anak pribumi tentang kekejaman Kolonial. Di antara yang terprovokasi tulisanya adalah Mas Marco, yang menulis dengan satire, tentang kota Semarang saat senja. Mas Marco, yang kelak menjadi tokoh muda radikal Sarekat Islam, memiliki kepiawaian dalam mengungkap tentang kebusukan kolonialisme. Tulisan menjadi senjata yang jauh lebih ampuh ketimbang senapan. Ia telah menegaskan kembali, guna sebuah tulisan. Ernest Hemingway membuat kalimat yang indah berkaitan dengan tulisan:…lewat ciptaan, Anda membuat sesuatu yang bukan sesuatu perwakilan, melainkan suatu hal yang benar-benar baru, yang lebih benar daripada apapun yang benar dan hidup, serta Anda membuatnya hidup, dan apabila Anda membuatnya dengan cukup baik, Anda memberinya keabadian. Itulah alasan Anda menulis.

Hemingway seperti yang kita pernah baca karyanya, mendedikasikan hidupnya untuk menulis banyak kisah. Panitia Nobel di tahun 1954 memberinya penghargaan, karena Hemingway berjasa dalam ‘keahlianya menguasai seni bercerita dalam prosa modern’. Hemingway tidak sendirian. Di abad 21 ini, gerakan Zapatista yang berjuang untuk tanah masyarakat adat menggunakan ‘senjata’ tulisan. Subcomandante Marcos, begitu disebut pimpinanya, memanfaatkan banyak metafora untuk mengguncang keyakinan orang pada ideologi neoliberalisme. Esainya yang menumpahkan puisi, syair dan berbagai kisah jenaka, makin mengukuhkan kedudukanya sebagai pemimpin gerakan. Esainya makin menghasut, karena dalam diskusi tentang neoliberalisme, ia cukup berdiskusi dengan seekor serangga. Imajinasi yang liar dan cerdik! Indikator ekonomi yang kerapkali membikin orang pusing, ditumpahkan dalam tulisan yang sederhana dan jujur.

Sebuah esai memang bukan artikel yang padat dan kering. Jika artikel harus dilandasi oleh beragam teori, tetapi esai memerlukan perayaan Imajinasi. Sebab Imajinasi ini akan merangkai fakta yang muram, menjadi tulisan yang menggugah. Saya contohkan tulisan EZLN tentang Chiapas:…Perlahan-lahan dataran Chiapas mulai terbelah. Angin dari atas mengambil bentuk-bentuk purba arogansi dan keangkuhan. Polisi dan tentara federal merapatkan barisan uang dan korupsi. Angin dari bawah sekali lagi berkelana sepanjang jurang dan lembah-lembah; ia mulai menghembus kuat-kuat. Akan ada badai…….Saksikan bagaimana bait-bait tulisan yang isinya dikirimkan, kepada semua media massa Mexico, yang menyiratkan tentang bagaimana kejamnya kapitalisme global. Tulisan ini mencoba untuk melawan, segala ceramah dan himbauan pemerintah agar penduduk ikut serta dalam ‘pasar bebas’. Buat pembaca esai memang perlu menampilkan kesadaran baru tentang sebuah fenomena, yang kadangkala, harus dikatakan dengan indah.

Di Indonesia kita mengenal sosok penulis cerdas, yakni Asrul Sani. Prosa dan esainya kerapkali dimuat dalam majalah Zenith. Kalimat-kalimatnya, dalam istilah Goenawan Mohammad, cerdas, memikat dan sarkasmenya menusuk kesana-kemari. Sejumlah kalimatnya sangat jenaka. Dalam esainya ‘Surat dari Jakarta’, dikritiknya sikap mereka yang tak mau bergulat dalam masalah sosial: aku-lihat-kalian-seperti Badut yang memandang enteng dan enggan terlibat. Jika kita ambil contoh lain, Asrul Sani berkomentar tentang nasionalisme: Nasionalisme Indonesia menurutnya ‘suatu kebangsaan yang masih mencari alasan’. Kebangsaan itu mungkin kuat ‘karena ia mungkin sangat fanatik’, tetapi dalam kekuatannya itu ‘ia tak begitu pasti akan nasibnya atau masa depannya, ataupun keabadian dirinya’. Dan sebabnya, kata Asrul: ‘Karena ia adalah sesuatu yang ‘belum punya alasan’ dan karena itu tidak mempunyai sumber, dari mana perasaan yang terkandung di dalamnya dan yang dapat mengeluarkan tenaga, dapat diberi hidup. Orang sering mengatakan, bahwa sumbernya adalah suatu kebudayaan atau suatu tradisi. Tapi tradisi atau kebudayaan itu harus dibenarkan dulu’

Asrul Sani menggoreskan ‘pertanyaan dan kegelisahan’ mendalam pada sejumlah konsep-konsep besar. Tentu untuk menghasilkan kualitas tulisan semacam ini, membaca buku politik tidak mencukupi. Seorang penulis esai perlu ‘mencintai’ topik yang diangkatnya; cinta membuatnya memiliki kemampuan untuk bertanya, sangsi, keyakinan dan pengetahuan mendalam tentang detail. Dalam bahasa Clarissa Pinkola Estes dikatakan: Jika anda ingin mencipta, anda harus mengorbankan kedangkalan, sedikit rasa aman, dan rasa ingin disukai. Anda harus menata wawasan Anda yang paling kuat, visi anda yang paling jauh. Diperlukan sikap yang keras dan belajar giat, terutama untuk memproduksi kata-kata yang kadang tidak lazim. Sudut tulisan yang datar, lempang dan banal akan menjadi kolom yang kering dan mudah dihapus oleh waktu. Untuk melawan kelaziman itulah Anda memerlukan hasrat, yang kadang harus menggebu-gebu, apalagi jika tulisan itu merupakan essai sosial-politik. Sebuah essai yang selalu ingin berbicara soal besar dan gagah.

Di akhir tulisan ini mungkin saya hanya bisa berharap, Anda tak perlu malu untuk memulai tulisan esai dengan cara yang ‘aneh’. EZLN sebagai sebuah pasukan yang anggotanya menutup muka, mengawali tulisan kadang dengan kalimat yang, mencemooh. Haji Misbach, bahkan beberapa kali, membuat tulisan dengan menggunakan banyak tanda seru. Esai mereka memang imajinatif, liar bahkan mungkin keluar dari pakem ejaan yang umum. Ada kalanya memang tulisan yang teratur, datar dan dibumbui dengan analisis yang padat, akan memberikan penjelasan yang mendalam pada pembacanya. Esai dengan kualitas begini, yang mungkin lebih diterima oleh media massa. Anda memang tinggal menggali data dan membumbui analisa melalui pendapat dari berbagai pakar; niscaya akan Anda peroleh tulisan-yang dari sisi awam-mengaggumkan. Tapi ada yang hilang dari tulisan begini, yakni di mana posisi si penulis? Esai memang, seminimal mungkin, memberikan gambaran memadai tentang, keberadaan dan posisi berdiri sang penulis! Begitulah selayaknya Anda memulai.

Ilustri: http://crilleb50.deviantart.com/art/Weird-Writer-299089477

Intelektual dan Pimpinan Profetik

Tuhan pemeliharaku, janganlah Engkau menyerahkan aku, kepada diriku sendiri, walau hanya sekejap (Rasul SAW)

Nah, beri dia sedekah! Semakin sedikit engkau dibebani oleh rasa memiliki, semakin ringan beban nafsumu yang selalu minta dipuaskan (Irving Karchmar)

***

Tertera dalam sejarah seorang bernama Ibnu Sina. Pria yang hidup dalam geliat kekuasaan istana: pongah, mewah sekaligus mencekam. Walau keunggulanya dalam berbagai bidang ilmu menorehkan keharuman, tapi kekuasaan mencekik kebebasan intelektualnya. Pinangan kekuasaan telah membawanya berada dalam kehidupan penuh tragedi: diangkat sebagai teknokrat, dituduh bersekongkol hingga berada dalam status buron. Ibnu Sina yang memahami segala cabang ilmu dasar: logika, filasafat hingga medis-mengajarkan apa yang sampai sekarang jadi bahan debat-hubungan ilmuwan dengan penguasa.

Mirip Antonio Gramsci, kekuasaan merasa bahwa isi pikiranya lebih berbahaya ketimbang batang tubuhnya. Sejarah mencatat, keberanianya menanggung derita dan kekerasan sikapnya untuk tidak kompromi: telah mengekalkan apa yang selama ini jadi idaman seorang intelektual: ketangguhan dan keyakinan. Pernah ditanya dirinya oleh seorang putra mahkota tentang kudeta: Ibnu Sina menjawab dengan lembut dan bersayap:

‘..sampai kapanpun mencintai kemegahan dunia tidak bernilai jika dibandingkan dengan nyawa manusia. Seorang filsuf pernah mengatakan bahwa ketika kebodohan menguasai kesadaran maka kesadaran memiliki hak untuk berbuat hal yang paling bodoh…[1]

Kekuasaan selalu dianggap sebagai kemegahan dunia yang nilainya seperti sampah. Khas intelektual yang meyakini bahwa pengetahuan harus bersih dari motif-motif kerakusan. Ibnu Sina prototipe ilmuwan yang berada dalam pusaran konflik istana. Pernah menjabat sebagai dokter istana hingga hulubalang: tahu seluk-beluk kelicikan dan akal busuk para penghuninya. Meski kecintaanya pada karya intelektual membakar hari-harinya, tapi Ibnu Sina tak bisa berkelit dari pengaruh intrik istana. Dirinya ditempa oleh tragedi sekaligus belajar darinya. Maka moralitasnya kemudian bergerak dalam dataran yang pasti, lugas dan literer.

Mirip dengan para ulama pada masa-masa kerajaan yang meyakini bahwa pengetahuan itu tidak dipertautkan dengan kepentingan pragmatis kekuasaan melainkan sumbanganya pada peradaban. Mungkin karena itulah dasar etik yang jadi pedoman adalah memberi dan membagi. Di sisi ini pengetahuan terpaut dengan ruh bukan motif dangkal seperti penguasaan. Salah satu sufi dengan indah melukiskan jiwa intelektual seperti itu dengan kalimat lembut

Wahai Ishaq, hati yang dermawan senantiasa punya sesuatu untuk diberikan. Orang yang merasa tidak punya sesuatu yang bisa diberikan adalah orang yang ruhnya menderita. Bukan kekurangan materi yang menyebabkan kemiskinan spiritual, juga bukan doa dan puasa saja. Yang membuatmu fakir adalah keterlenaan pada pemuasan diri sendiri[2]

Penguasaan yang jadi ambisi modernitas telah memakan akal sehat dan roh. Maka utopia sebagai buah dari kehendak ideal pupus secara perlahan. Intelektual terpasung pada status keterpelajaran dengan identitas simbolik. Gelar di mana-mana dirayakan dengan ritual yang naif. Seolah pada gelar itulah seorang intelektual itu diwisuda dan pada gelar itulah digenapkan semua proses jadi cendekiawan. Maka intelektual kini memagari diri, jika dulu dengan spesialisasi, kini ambisi untuk merengkuh semuanya.

Gejala ini tidak didasarkan semata-mata pada kobaran keingin-tahuan, tapi daya pikat kapital yang menerjemahkan apa yang dulu jadi misteri menjadi komoditas. Bagaimana kita bisa memahami debat hukum yang dilakukan oleh para pelaksana dengan motif yang saling bertubrukan. Antara kesalahan dan sikap naif saling menyalip. Untuk sebuah pencurian bisa dimaklumi sebagai kekhilafan; pada sebuah kegiatan suap maka semua pihak merasa tidak pernah melakukanya. Hampir semua tragedi kemanusiaan itu diawali dari pengkhianatan atas suara kebenaran yang terang dan lugas.

Intelektual laksana sosok yang sebenarnya mampu mencium kecurangan itu. Tan Malaka pernah menyebutnya dengan seruan untuk tidak kompromi. Kemerdekaan itu 100% tanpa beban untuk dirundingkan apalagi disesuaikan dengan kekuatan para penjajah. Luapan gagasanya itu mendarat dalam peta yang sunyi: Soekarno lebih memilih untuk tidak mengikuti arus radikal, Sjahrir menyukai untuk tetap menegaskan diplomasi dan Hatta jauh lebih tidak menginginkan revolusi yang dipimpin oleh kaum kiri.

Yang tersisa kemudian adalah barisan intelektual yang memiliki utopia tentang sosialisme hingga nasionalisme, tapi tanpa punya kemauan untuk menghidupkanya dalam perjuangan. Mereka tak mau bersilat dengan risiko. Gramsci selalu saja merasa itu sebagai aib yang melekat dalam diri seorang yang tak mampu ‘merasa’. Posisi kelas dan watak borjuisnya membuat tiap jalan perubahan diukur dari kepentingan dan orientasi praktis. Di antara yang paling menyolok ada pada ilmu-ilmu sosial yang dikerahkan pada watak teknokratis. Hukum melahirkan pengacara, ekonom pegawai keuangan dan ilmu politik memunculkan para politisi. Dengan mengibarkan status fungsional maka ilmuwan menjadi apa yang dikuatirkan oleh Pramoedya, tanpa keberpihakan, tanpa rasa kemanusiaan dan nyali!

…….Keadilan sosial dan kemanusiaan: itulah esensi ideologi pemuda. Apakah pemuda akan menang? Semua terletak pada kemauan dan keberanian mereka sendiri…….

Bentangan jarak itulah yang selama ini jadi jurang kaum intelektual. Kesedihan dan ketidak-adilan telah berganti rupa dengan adegan dramatis yang ditayangkan oleh televisi. Kisah tentang bencana hanya berujung pada kotak sumbangan dan nyanyian para biduan. Seolah-olah tiap musibah adalah hukuman dan selalu diberi hikmah. Maka mencekamlah keinginan kita untuk memastikan bahwa ada kehidupan setelah dunia. Pesona akhirat telah menimbun keinginan untuk mengurus segala hal duniawiah. Tampillah para pimpinan demagog yang bersemboyan palsu dengan ambisi untuk merengkuh segala yang tidak bisa dibuktikan secara empiris.

Kibaran dari semua itu adalah subur dan meluasnya komplotan fasis yang hanya mengandalkan popularitas, semangat untuk membunuhi yang berbeda dan yang paling tak masuk akal, mengajarkan manusia untuk tunduk pada dogma ketimbang konstitusi. Padamlah kesadaran kritis para intelektual karena kebanaran ditaklukkan oleh keinginan untuk merajai akal sehat. Kesangsian dikalahkan oleh kepastian akan nubuat akhirat. Maka proposal kehidupan kebangsaan seperti tangga untuk menuju alam baka. Krisis itulah yang membuat kita berpaling pada sebuah keyakinan untuk melahirkan pimpinan dari kasta intelektual.

 

Aku tidak mengajarkan kekerasan, tapi kalau kau injak kakiku; maka aku wajib membalasnya

(Malcolm X)

Maka rindulah kita dengan kepemimpinan alternatif, yang tidak sekedar memastikan kesejahteraan PNS, tapi juga mengangkat kewibawaan sebagai bangsa berdaulat. Meraih kehormatan itu dilakukan pertama-tama dengan, apa yang dikatakan Tan Malaka, keberanian dan kemauan keras. Kristalisasi dari sikap ini ada pada organisasi yang secara sadar memilih garis perjuangan yang menancapkan ‘tiadanya’ jarak antara massa dan pimpinan. PNI dulu memulai kader dengan memberikan pertanyaan dan Masyumi mengawali rekruitmen melalui kegiatan sosial dan pendidikan. Lebih dramatis lagi PKI yang kader-kadernya tangguh melalui ikatan persekutuan aktif dengan massa miskin. Pemimpin dilatih tidak melalui jalur karir, tapi rintisan perjuangan yang aktif si garis massa. Ini tentu saja bukan jalan organisasi semata tapi pendidikan yang melatih kematangan, harapan dan solidaritas.

Etika kaum muda seperti itulah yang dapat ditumbuhkan lewat pendidikan dan pengasuhan pada organisasi. Bersaing dengan rekruitmen para ‘pewarta akhirat’, maka organisasi anak muda yang melahirkan pemimpin tak bisa menanggalkan prinsip normal –nya: proses untuk tumbuh dalam kematangan, kegigihan dalam menaklukkan rasa putus asa dan kemauan keras untuk melahirkan karya-karya.

Restorasi kaum muda yang dibesarkan oleh cita-cita idealnya itu menemukan landasan yang ideal: pada sistem politik yang terbuka, walau bercampur dengan uang; kompetisi politik yang berbaur dengan watak oligarki; sekaligus proletarisasi yang memayungi mayoritas kehidupan rakyat. Luapan krisis itulah yang jadi titik awal untuk mendobrak peta imajinasi politik yang beku: konservatisme, oligarkii hingga watak feodal. Pada cermin kusam kehidupan sosial yang padat dengan belenggu itulah, maka anak-anak muda sebaiknya lahir untuk membawa utopia yang selama ini tak mampu dibuktikan. Keberanian untuk membawa bukti bahwa keadilan itu palsu dan kemakmuran hanya jamuan retorika dalam rapat para pejabat.

Ajak rakyat tidak hanya memaklumi tapi melawan kondisi zalim ini, sembari memberi peta masa depan yang mau diraih: Tan Malaka membawa sosialisme dalam mimpi masa depan, Hatta mengusung ide Republik dan Moh Natsir mewartakan etika kebangsaan. Kini pertanyaan paling ujung adalah, peta macam apa yang mau dibentangkan dan bersediakah kita semua memperjuangkan bentuk nyata dari peta itu?

Mengetahui apa yang baik, tetapi tidak melakukannya adalah sikap pengecut yang paling buruk (Kong Hu Cu)

Catatan Kaki

[1] Lih Husasyn Fattahi, Tawanan Benteng Lapis Tujuh, Zaman, 2010

[2] Lih Irving Karchmar, Sang Raja Jin: Novel tentang Cinta, Doa dan Impian, Kayla Pustaka, 2010

Budaya Membaca dan Kelola Pustaka

Mungkin kita hanya satu orang di dunia ini. Tetapi, bisa jadi kita adalah dunia bagi seseorang

(Harvey Mc Kinnon & Azim Jamal)

***

Saya sedih saat melihat paras sekolah. Perpustakaan merupakan tempat yang sangat sunyi. Buku-bukunya tak teratur, lama dan penjaganya kurang menarik. Daya pikat perpustakaan muncul karena tugas atau jika ada ujian. Selebihnya perpustakaan hanya menyisakan meja dan ruangan kosong. Belum ada investigasi yang detail mengapa keadaan perpustakaan begitu buruk: sunyi, tak ada pengunjung dan kurang greget. Walau tak semuanya bernasib naas, tapi sulit diingkari perpustakaan adalah tempat yang tak seberuntung kantin. Lihat saja bagaimana kantin sekolah yang meriah, hidup dan ramai. Lebih-lebih ada banyak acara wisata kuliner: seakan-akan perkara jajan bersangkut-paut dengan peradaban. Makan dan makanan ibarat kepingan budaya yang patut dijunjung.

Bukan hanya wisata kuliner tapi ancaman budaya menonton. Rasanya tak ada perkakas yang paling umum selain televisi. Nyala selama 24 jam dengan jumlah penonton mengerikan. Televisi telah mengganti fungsi kumpul keluarga dan juga kegiatan membaca. Tengok saja mana ada rumah yang kini punya stok buku yang lumayan; lebih banyak rumah yang menyimpan rekaman lagu dalam kepingan VCD. Buku hanya menyembul di tas-tas sekolah dan setelah ganti tahun mungkin dijadikan jualan loak. Di samping itu juga budaya untuk menikmati fasilitas komunikasi. HP seperti berhala kecil yang ada di tiap saku celana atau kemeja. Uang untuk beli pulsa mengalahkan jatah bulanan—kalau ada—untuk beli buku. Dengan korting sms berulang-ulang, bicara dan menulis sms jadi kegiatan paling populer. Dengan situasi seperti itu membaca kemudian jadi budaya yang terengah-engah dan agak kuno. Lahir kemudian anekdot perpustakaan tempat paling sunyi setelah museum.

Soal sunyinya perpustakaan tak bisa lain karena lemahnya budaya baca. Buku memang jadi makanan utama sekolah, tapi membaca bukan budaya yang umum. Kebanyakan buku sekolah berisikan LKS, lembaran kerja yang berorientasi pada latihan menjawab soal. Pelajar sangat sedikit dan jarang memiliki tradisi baca. Membaca bukan bagian tugas tapi bagi pengalaman: merupakan sesuatu yang jarang didapat di sekolah. Anak-anak sejak kecil berlatih membaca tanpa pergolakan bahkan emosi. Ingat saja bagaimana buku membaca lepas dari konteks. Mengenalkan aksara tanpa memiliki akar budaya di mana aksara itu tumbuh. Ringkasnya perkara belajar membaca merupakan pengalaman yang tak menakjubkan. Anak-anak tumbuh dengan penghargaan yang minim pada buku, apalagi isinya. Tanyakan pada anak-anak SMP, kenalkah mereka dengan isi surat RA Kartini? Saya yakin mereka hanya mengenal judul tanpa tahu apa isinya.

Budaya baca dikenalkan bisa melalui berbagai cara. Yang umum adalah mengajak anak-anak untuk berbagi pengalaman membaca dari sebuah buku yang mereka rasa menarik. Kisah Harry Porter atau New Moon sebelumnya hanya sebuah fiksi tebal yang mengajak pembaca untuk berada di dunia fantasi. Sebelum menjelma menjadi sebuah film kedua novel ini menyimpan dinamit kisah yang mengaggumkan. Kisah anak bersekolah sihir atau pacaran dengan drakula. Kemasan bahasanya ringan, meyentuh dan indah. Atau anak-anak diajak untuk membaca majalah National Geographic yang menyajikan perjalanan alam. Bertemu dengan keganasan alam atau mata rantai binatang yang belum pernah mereka duga. Singkatnya, untuk menghidupkan budaya baca memerlukan buku yang menantang, memberikan daya pesona dan disajikan dengan mudah.

Jika sudah begitu maka budaya baca bisa dirayakan dengan lomba menulis komentar atau resensi buku. Buku-buku yang telah dibaca kemudian diberi komentar, ditanggapi dan dituliskan. Pengalaman membaca selalu punya hubungan dengan menulis. Mengikat makna dalam istilah seorang penulis: menggambarkan bagaimana buku musti diperlakukan dan diberi penghormatan. Pengalaman membaca tak bisa lagi dikurung dalam ruang individual, melainkan perlu dibagikan dan disebar-luaskan. Begitu pengalaman membaca bertemu dengan kegiatan menulis maka buku mendapat perlakuan istimewa. Anak-anak harus dibiasakan untuk mengenang buku-buku yang memengaruhinya. Soalnya tiap buku seperti sebuah kisah yang hidup dalam alam pembacanya sendiri. Lewat menuliskan buku yang telah dibaca maka buku akan mengawetkan gagasanya dalam diri pembaca.

Tentu demi untuk memberikan iming-iming bagaimana membaca itu kegiatan menyenangkan: sesekali ada kegiatan mendatangkan penulis. Mereka yang punya pengalaman dalam membaca dan menulis. Apa yang sesungguhnya ada di balik kerja sebuah buku: seorang penulis-sebuah penerbitan-rantai distribusi. Begitulah sebuah gagasan itu tumbuh, diawetkan dalam buku dan disebarkan pada pembaca. Saya selalu merasa bangga menjadi penulis, bukan sekadar buku saya laku dibeli melainkan juga saya berjumpa dengan komunitas pembaca yang tak bisa diduga. Menulis adalah cara termudah untuk memberi saya lukisan atas masa depan atau merenungkan apa yang terjadi. Berjumpa dengan penulis membuat buku bukan lagi benda mati tapi buah hidup. Buah yang benihnya disemai oleh seseorang sebagaimana mungkin pembaca. Saya punya banyak pengalaman bagaimana penulis kerapkali dituntut untuk menjadi wujud utuh dari gagasanya.

Tentu untuk mengoptimalkan gagasan semacam ini diperlukan penjaga gawang yang andal. Sang penjaga perpustakaan yang punya kriteria sederhana: penyuka buku, penikmat bacaan dan imaginatif. Menyukai buku saya rasa jadi syarat paling minim seorang pengelola perpustakaan. Saya punya pengalaman dengan penjaga perpustakaan di kota kecil saya. Seorang PNS yang sangat antusias untuk memberitahukan isi perpustakaan daerah yang sederhana: selalu memberitahu jika ada buku baru atau buku penting yang layak untuk dibaca. Ia selalu melanggar waktu tutup karena tak ingin menganggu pembaca yang sedang asyik. Dirinya selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan terimakasih pada para pengunjung yang memang tak banyak. Keramahanya begitu dikenal di kota kami. Kadang saya rindu datang bukan untuk membaca, tapi menemukan keramahanya. Begitu telaten menggunting koran yang meresensi sebuah buku yang ada dalam perpustakaanya. Tak jarang dirinya menegur anak yang berisik dalam perpustakaan. Ia menjaga perpustakaan seperti menjaga harga dirinya.

Di samping itu tentu sebuah perpustkaan butuh dukungan. Di Malang sebuah perpustakaan kota berdiri dengan anggun. Dicat dengan warna ceria dan bekerja sama dengan toko buku setempat. Semua acara yang berhubungan dengan teks diselenggarakan di sana. Dari bedah buku, pameran lukisan, foto hingga bertemu dengan penulis. Komplit semua kegiatan berjalan di sana dan tulang punggung dari kerja itu adalah ‘kerja sama’. Pengelola perpustakaan musti mahir mengembangkan kerja sama dengan berbagai pihak untuk membuat perpustakaan bukan lagi sarang kesunyian. Magnet kegiatan membaca dan menulis ada pada bagaimana perpustakaan jadi tempat semarak, meriah dan padat. Bukan hanya itu, perpustakaan juga bisa menjadi saluran informasi pendidikan yang penting. Makanya lokasi kerapkali ikut menentukan. Di Malang, kehadiran perpustakaan kota berdekatan dengan kampus dan berdampingan dengan pusat keramaian.

Saya tak bisa mengusulkan lebih banyak, karena memang perpustakaan punya karakter dan keunikanya. Keberadaanya tidak ditentukan lewat koleksi buku semata, tapi juga bagaimana pengelola mulai memandang tempat itu. Akankah mereka melihat perpustakaan itu sebagai lorong yang berisi rak yang hanya patut dipelihara, atau tempat di mana akan muncul calon ilmuwan, pemimpin dan negarawan agung? Imaginasi dibutuhkan ketika kebuntuan muncul dan perpustakaan hanya menjadi lokasi gudang buku saja. Berkaca pada negara-negara maju, perpustakaan adalah tempat utama yang menunjukkan sejauh mana sebuah bangsa menghargai dan menghormati akal sehat. Melalui budaya baca, menulis dan berkunjung ke perpustakaan: sesungguhnya kita diam-diam sedang memelihara peradaban sekaligus hati nurani. Karena itu saya begitu menghormati dan angkat topi pada Anda, yang masih mau bekerja dalam kubangan buku dan tulisan.

Sumber gambar: deviantart.com