Semua tulisan dari Faisal Rani

Seorang guru di SMP no. 1 Sinoa, Bantaeng. Suami dari Bau Te`ne, Bapak dari Imam & Bening.

Bubur Manado dan Menjadi Imam Salat Saat PSBB

Ramadan tahun ini nantinya adalah Ramadan yang akan selalu diingat atau dikenang. Bukan karena tahunnya berangka cantik, 2020 Masehi atau 1441 Hijriah, tetapi karena banyak ”hal-hal cantik” khas Ramadan yang tidak bisa disaksikan, atau dilakukan tahun ini, terutama yang berlabel kebersamaan. Sebutlah misalnya, ngabuburit bareng, buka puasa bersama, dan tarawih berjemaah di masjid.

Untuk orang bertipe melankolis, akan baper. Dia akan merasa nostalgia Ramadannya terkudeta. Lockdown, PSBB, social distancing, stay at home adalah deretan kata yang menjadi sasaran untuk “dikata-katai”. Dia menjadikan Covid-19 sebagai tersangka utama, patut diadili, dan dihukum dengan sanksi maksimal. Betapa tidak, karena tak bisa ber-ramadan seperti dulu lagi, katanya … sakitnya tuh di sini …!

Tetapi buat apa baper dan menyesali keadaan yang sudah “mengada” saat ini? Kehadiran corona sudah dalam kemasan takdir. Respon para pakar telah menguar. Prosedur standar penanganan pun telah dimaklumatkan oleh pemerintah. Kini saatnya menyiasati bagaimana “sakitnya tuh di sini” bisa  menjadi ” senangnya, oh di sini”. Ibarat kata ” nasi sudah jadi bubur”. Tak perlu lagi menggerutui buburnya. Buruan tambahkan daun kelor secukupnya, jadi, deh “bubur manado”. Mau lebih sip lagi, campurkan ikan teri kering, maka jadilah “bubur mana (lagi) dong…”. Uenaak, kan?

Intinya, seperti kata Dahlan Iskan, sebagai masyarakat, informasi dan pengetahuan kita tentang virus corona sudah cukup. Media sudah masif mewartakannya. Sekarang saatnya berfikir bagaimana roda kehidupan tetap berputar di dalam situasi yang terlanjur seperti ini.

Perihal ibadah Ramadan, terutama tarawih di masjid, yang tidak lagi se-wah tahun sebelumnya, atau bahkan dianjurkan untuk distop, itu bukanlah sesuatu yang harus dirasakan sebagai “mencederai” kualitas iman atau “menghambarkan aroma” ketakwaan. Untuk situasi negeri saat ini, menurut para ulama, ajaran agama telah memberi celah via kaidah fiqih: ” mencegah mudharat lebih utama daripada meraih manfaat “. Dan salah satu celah untuk mencegah mudharat, ya, salat tarawih berjamaah di rumah. Demi menggunting temali penularan Covid-19.

Jika memakai kaidah “bubur manado” di atas, salat berjamaah di rumah bisa menorehkan beberapa “rekor enak” yang baru, lho. Terutama bagi Sang Panglima keluarga yang berstatus  suami “garis miring” bapaknya anak-anak. Setelah sekian (puluh) tahun berlalu, tibalah saatnya pembuktian. Pembuktian seorang suami kepada isterinya akan  lontaran kata-kata “masterpiece”-nya dulu. Duluu..

Misalnya, dulu, di hadapan calon istrinya, dengan mata dibuat sayu, ala-ala Rahul di hadapan Anjali, dia pernah berkata: ” Yang… jadikan aku imam dalam hidupmu…”

Ataukah di hadapan penghulu, dengan dada gemuruh dan bibir kemarau, ber-ijab kabul: “… dengan seperangkat alat shalat dibayar cash…!

Nah, dalam rangka stay at home melalui tarawih berjamaah di rumah, seorang suami bisa membuktikan kata-kata hipnotisnya itu.

Saatnya suami harus berani berdiri di depan. Saatnya jadi imam salat di rumah. Walau itu harus ditempuh dengan susah payah. Menggali kembali memori saat mengaji kampung dan menapaktilasi hafalan the best Juz Amma dengan surah favorit “trio Qul..” dan tri ayat pamungkas Surah Al-kautsar.

Setidaknya dengan begini, suami akan terhindar dari sindiran: ” katanya ingin jadi imam dalam hidupku, lha jadi imam shalat saja tak bisa…”

Begitupun ikrar suami di hadapan penghulu. Seperangkat alat salat yang diberikan kepada istri itu sebagai simbol, bahwa suami akan membimbing istri untuk senantiasa melaksanakan salat plus jadi imam salatnya. Tidak lupa pula mencukupi perangkat salatnya seperti baju, sarung, mukenah, sajadah, dan tasbih. Syukur-syukur, kalau ternyata selain seperangkat alat salat, di kemudian hari sang suami juga mampu membangunkan tempat salat: baik itu berupa masjid atau mushalla dengan nama isterinya  (hehehe ). Suami top itu. Yeah.

Di program stay at home ini, bisa jadi merupakan  pengalaman indah pertama seorang suami betul-betul menjadi imam bagi keluarga. Bukan hanya sebagai imam di sektor ekonomi dan keamanan keluarga, tetapi juga imam pada salat berjamaah di rumah.

Dengan plot seperti di atas, saat stay at home, ibadah di rumah akan menemukan “santannya”  di tengah ampas situasi saat ini. Akan menuai harapan di tengah terpaan. Akan membuka pikiran positif di tengah suasana negatif.

Ya, seperti nasi yang kadung jadi bubur. Tak usah kabur. Cukup tambahkan daun kelor dan ikan kering, jadi tuh bubur manado yang nikmat. Wallahu a’lam bisshawab.


Sumber gambar: Indoprogress.com

Paraf dan Paras Pemimpin

 

Mendengar kata “pemimpin”, alur pikiran saya selalu gagap jika berniat memahaminya secara kaffah. Mungkin itu akibat kasta otak saya yang terlalu sederhana sehingga tidak bisa menjangkau  level keningratan dan kemewahan dari status pemimpin itu. Atau bisa jadi, gagap, karena bayangan sosok  pemimpin selalu saya maknai sebagai  seseorang yang  luar biasa. Luar biasa hebat, luar biasa genius, dan luar biasa berani menyandang gelar pemimpin. Pemimpin  bagi banyak orang. Pemimpin bagi banyak kepala, dengan aneka pikiran dan keinginan di dalamnya.

Bayangkan, seorang pemimpin itu “rela” memberikan waktu, tenaga, perhatian, bahkan hidupnya untuk membimbing orang-orang yang  mencapai kemaslahatan hidup mereka. Belum lagi, para pemimpin itu berani dan tahu diri betul, bahwa statusnya berisiko terhadap masa depan akhiratnya. Risiko yang saya maksud bahwa  “setiap pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban akan apa dan siapa yang dipimpinnya”. Hanya orang hebat dan genius yang berani menghadapi pengadilan seperti  ini.

Maka saya salut dan bertepuk tangan bagi para calon pemimpin yang dengan sekuat tenaga maju berkompetisi “mewakafkan” (begitu bahasa mereka) dirinya pada momen pilkada ini, demi  kepentingan orang banyak. Inilah wakaf tertinggi melebihi harta benda. Diseleksi pula!

Saya mencoba ber-husnudzon  menganggap para calon pemimpin itu pasti sudah mengerti hitung-hitungannya. Jika dia seorang pemimpin di sebuah kabupaten, misalnya, maka waktu, tenaga, dan perhatiannya harus senantiasa terkuras untuk  masyarakat kabupatennya. Aturan-aturan, kebijakan-kebijakan, paraf dan tanda tangan yang menjadi produk darinya akan dihitung sebagai pertanggungjawaban: apakah membawa kebaikan hidup bagi masyarakatnya ataukah sebaliknya. Ini berlaku juga pada level kepemimpinan di atasnya, yang areanya lebih luas dan jumlah masyarakatnya lebih banyak:  propinsi dan negara.

Para calon pemimpin itu pastinya sudah memiliki jurus jitu, guna menghindari kejadian, umpamanya, jika kelak paraf dan tanda tangannya  malah menjadi  asbab terkebirinya potensi-potensi manusiawi penduduknya. Ataukah hak-hak politik, ekonomi, sosial dan keagamaan masyarakatnya jadi terpenggal karenanya. Ataukah  mungkin karena paraf dan tanda tangannya,  menjadi  gara-gara seorang anggota masyarakat jadi “saraf” dan “berputih tangan” karena kehilangan pekerjaan. Yang karena kehilangan pekerjaan sehingga kemungkinan untuk menafkahi keluarganya jadi tidak mungkin lagi. Yang karena tidak memeroleh nafkah, berakibat satu keluarga tersebut terintimidasi oleh desakan pemenuhan kebutuhan sandang-pangan-papan. Yang karena akumulasi derita ini, bisa saja berujung pada kematian.

Taruhlah, paraf dan tanda tangan itu adalah persetujuan “ketuk palu” berlakunya kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak), TDL (Tarif Dasar Listrik) dan produk kebutuhan dasar lainnya. “ Percikan api” macam ini seperti membakar jerami kering yang asapnya bisa kemana-mana. Asap yang bisa membuat nafas  rumah tangga perusahaan megap-megap, dan membikin rumah tangga keluarga jadi sesak nafas. Betul-betul seperti ketukan palu pada kepala.

Saya yakin, di kepala para calon pemimpin itu, sudah ada tekad untuk mencegah kejadian di atas.

Saya pun berusaha yakin, para calon pemimpin itu  akan mencoba berusaha untuk nantinya meniru, minimal mendekati, pola kepemimpinan Nabi dan para sahabatnya. Misalnya, keadilan hukum yang diterapkan Nabi, yang “ketajamannya” berlaku untuk semua: atas-bawah, luar-dalam. Hal ini tergambar dari maklumat beliau yang menggetarkan: “ Ketahuilah, jika misalnya Fatimah binti Muhammad, suatu saat mencuri, maka saya sendiri yang akan memotong tangannya!”. Atau dengarlah luapan cinta dan kasih sayangnya kepada rakyatnya: “ jika ada umatku yang berpotensi kelaparan, biarlah aku yang merasakan lebih dahulu kelaparan itu. Dan jika ada yang kenyang, biarlah aku yang belakangan merasakannya…”

Ataukah jika tidak bisa mencontoh nabi, setidaknya bisa bercermin kepada Umar bin Abdul Azis (salah seorang Khalifah Bani Umayyah), perihal menjaga diri dari hal-hal yang berbau koruptif. Konon ketika suatu malam beliau sedang sibuk di ruang kerjanya, bergelut dengan tugas kenegaraan, datanglah sang putera mengetuk pintu. Setelah beliau menanyakan keperluan anaknya, dipersilahkannya anaknya masuk dan duduk.Kemudian beliau beranjak  mematikan lampu. Tak ayal, gelap gulitalah seisi ruangan.Sang anak bertanya keheranan.

“ Ayah, mengapa engkau mematikan lampu?”

“Anakku, bukankah yang ingin engkau bicarakan adalah urusan pribadi?”

“Betul, Ayah.”

“ Ketahuilah, Anakku. Lampu yang aku pakai ini dibiayai oleh negara. Peruntukannya adalah untuk urusan negara dan urusan umat. Tapi karena yang ingin engkau bicarakan adalah urusan pribadi, biarlah keadaannya gelap seperti ini”.

———-

Adakah “paras” pemimpin seperti ini saat sekarang? Setidaknya jika ini adalah sebuah mimpi, kita masih bisa berharap semoga segera menjadi nyata. Seperti harapan yang akan kita tenteng  masuk ke bilik suara nantinya. Harapan, semoga pemimpin yang kita tusuk gambarnya kelak bisa menorehkan tinta kemaslahatan dan kebahagiaan bagi masyarakatnya. Bukan malah pemimpin yang balik “menusuk” hati dan menoreh tinta hitam di wajah kehidupan penduduknya.