Semua tulisan dari Fatmawati Liliasari

Fatmawati Liliasari lahir pada 11 Juni 1995. Menulis baginya adalah sebuah kebutuhan, seperti bernapas, sebab setiap kali ia melakukannya rasanya seperti pulang ke rumah. Ia juga menjadikan menulis sebagai sarana baginya menebar kebaikan, bermanfaat bagi sesama. Selain membaca dan menulis, gadis yang menyukai tantangan ini juga senang sekali bertualang. Mengunjungi tempat-tempat jauh, bertemu orang-orang baru, cara hidup tak biasa, nilai-nilai hidup yang baru, juga bahan untuk menulis lagi. Di samping itu ia juga sering sekali melamun. Ia sangat terilhami pada salah satu kalimat Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi, bahwa hidup tentang memberi sebanyak-banyaknya bukan menerima sebanyak-banyaknya. Bukunya yang pernah terbit ialah kumpulan puisi Dari Galesong Kepada Indonesia (2016). Ia bisa dihubungi lewat email fatmalilia5@gmail.com atau nomor ponsel 085146373850.

Kelabu Kesayangan Ibu

Kelabu sangat penyendiri dan kesepian. Ia seperti sesuatu yang lain dari segalanya di rumah ini. Tetapi Ibu menyayanginya, amat sangat. Ia punya kamar sendiri dan tempat makan sendiri-makannya selalu teratur. Tidak pernah terlambat walau sedetik.

Aneh. Dengan seluruh keistimewaan yang diberikan Ibu padanya, Kelabu justru terkesan tidak begitu mengacuhkan. Ia meninggalkan makanannya di tempat khusus itu, lantas memilih mencari di dapur atau mengorek sisa makanan di meja makan kami. Ia makan sendirian, tanpa suara, tanpa ambil pusing dengan keributan dari ruang sebelah  tempat Ibu meletakkan makanan khusus untuknya.

Kelabu juga selalu bermain sendiri. Kegemarannya adalah berkeliling di halaman rumah, mengamati apa saja. Tumpukan batu yang diam, pot bunga warna-warni milik Ibu, atau sekedar berjalan-jalan di atas rumput sambil memandangi kakinya yang tidak pernah beralas. Kalau sedang hujan, ia akan duduk diam di kursi teras. Mengamati hujan lamat-lamat, matanya seolah dapat menyibak bilah-bilah hujan. Kelabu akan terus seperti itu hingga hujan reda.

Aku menyayangi Kelabu-walaupun tidak sesayang Ibu. Aku senang memperhatikannya diam-diam sembari menebak-nebak gerangan apa yang sedang terlintas di kepala kecilnya. Mengamati Kelabu sibuk sendiri, seperti melihat seseorang yang sedang mencari bagian yang hilang dalam dirinya.

Namun, sayangku berangsur-angsur berubah seiring kelabu tumbuh semakin besar. Dia menjadi kurang ajar. Seenaknya saja memasuki daerah pribadi kami tanpa permisi, mengotori lantai dengan bekas-bekas lumpur yang menempel di kakinya. Kami semua anak-anak Ibu mengeluh, tapi Ibu malah makin sayang padanya.

Saban kali kakinya hendak melewati pintu, aku dan saudara-saudaraku sigap mengusirnya. Kami membentaknya agar segera keluar dan kembali ke tempatnya sendiri. Aku tidak mau jejak kakinya mengotori lantai. Lalu Ibu selalu datang bak malaikat bagi Kelabu. Dibujuknya Kelabu pelan-pelan, dan diantarkannya Ia ke tempatnya.

Semakin hari Ibu semakin protektif pada kelabu. Tidak boleh ada yang menyentuhnya kecuali Ibu. Bapak pun tidak, sebab tangan Bapak adalah api yang memusnahkan segala yang hidup. Sedang Ibu adalah Bumi tempat tumbuh segala yang hidup.

Aku masih senang memperhatikan Kelabu diam-diam. Tidak tahulah, aku selalu penasaran dengan isi kepalanya. Bagaimana ia memandang kami anak-anak Ibu? Seperti apa Bapak baginya? Atau apa yang ada di benaknya mengenai Ibu?

Kelabu adalah segala sesuatu yang tidak pernah terucap dalam keluarga kami. Dia mengakrabi sunyi, diam adalah napasnya, dan kesendirian adalah jejak kakinya. Dia adalah Kelabu, anak ayam kesayangan Ibu yang beliau pelihara sejak masih dalam telur dan tidak pernah tahu siapa Bapaknya.

 

sumber gambar: junkhost.com

Jendela dan Puisi-Puisi Lainnya

Jendela

Saban pagi aku membukanya
Menyingkap tirainya beserta doa-doa
Angin baik, hujan dan kicau burung
dan embun sisa semalam pada kisi-kisinya

Saban pagi aku selalu membukanya
Suatu saat di bilangan pagi yang entah keberapa
Wajahmu muncul di balik tirai
beserta doaa-doaa..

Makassar, Juli 2017

 

Katamu, tidak semua bisa diungkapkan lewat kata-kata

 

Seperti malam pada gulita
Dan api pada nyala
Sunyi kita berbicara
Semesta menciut sebatas pelukan

Seperti malam pada gulita
Katamu tidak semua bisa diungkapkan lewat kata-kata
Tapi aku adalah mata
yang mencari petanda

Seperti api pada nyala
Tidakkah kau tahu?
Benda bermula dari kata
Kata menjadi kerja
Dan kerja adalah sikap

Seperti api pada nyala
Sunyi kita berbicara
Tapi aku tidak mau selamanya
menatap matamu
Menebak-nebak isi kepalamu

Makassar, Juli 2017

 

Pintu

 

Aku memikirkan sebuah pintu
dengan gagang gading yang berkelotak
saban memikirkanmu
Dan terbuka membawaku padamu setiap kali aku rindu

Makassar, September 2017

Nona Biskuit dan Kebahagiaan Abadi

Sepotong biskuit cokelat berbentuk persegi tipis dengan taburan kristal gula di sekujur tubuhnya lahir begitu saja di suatu petang yang ganjil. Tanpa Bapak, tanpa Ibu. Lantas begitu saja terhidang di atas meja, duduk manis dalam plat porselen yang indah.

Joy, Nona Biskuit bertabur gula itu adalah biskuit pengembara. Ia bertualang ke seluruh negeri, mengikuti berbagai sayembara, ikut serta dalam kerja bakti, dan berkhidmat menjadi warga negara yang baik. Setiap gula di tubuhnya adalah piagam penghargaan dari seluruh sayembara yang ia serta, maupun dari orang-orang yang sempat ia bantu. Joy adalah biskuit paling berbahagia di kota itu. Seluruh kebahagiaan ditaburkan ke seluruh tubuhnya.

Namun petang ini lain, terasa ganjil bagi Nona Manis itu. Baru saja ia mengobrol dengan matahari yang nyaris terbenam. Bagaimanakah caranya agar ia bisa mendapatkan gula kebahagiaan darinya?

‘Wahai Nona Biskuit bertabur gula, akan kau apakan seluruh kebahagiaan yang melekat di seluruh tubuhmu?” Matahari bertanya.

Aku ingin lebih bahagia.

“Gula kebahagiaanku punya batas waktu, Nona. Pagi hari mungkin kau merasa seperti biskuit paling bahagia di dunia. Tapi menjelang petang kebahagiaan itu diangkat dari tubuhmu tanpa sisa. Tidak mengapa, aku akan memberitahumu di mana kau bisa mendapatkan kebahagiaan abadi.”

Joy penasaran, ia sangat penasaran.

“Pergilah ke kota minuman. Carilah seseorang yang seluruh hidupnya dilumuri kepahitan. Ikuti dia, kemanapaun dia pergi.”

Jingga adalah warna terakhir yang disaksikan Joy dari matahari. Malam itu juga Joy berangkat ke kota yang dimaksud. Melewati beberapa bukit dan hutan berpohon jarang. Sampai di sebuah ladang, terlihatlah gerbang kota minuman. Dari jauh kota itu bercahaya, seluruh gerbangnya dipenuhi lampu-lampu aneka warna.

Kota minuman mirip pasar malam. Ramai sekali. Sepanjang jalan utama berjejer toko-toko minuman, ada jus, anggur, sirup, minuman herbal. Ah.. Joy mendadak merasa haus.

Joy memasuki salah satu toko jus. Memesan segelas jus mangga. Ia begitu haus setelah berjalan jauh.

Setelah menandaskan jus mangganya, Joy lantas ingat tujuannya kemari. Mencari minuman yang seluruh hidupnya dilumuri kepahitan.

“Oh.. pergilah ke toko minuman herbal, nyaris semua minuman di sana pahit bukan main.” Sahut pemilik toko.

Joy berangkat ke toko yang dimaksud, di sana ia menemukan bau wangi rempah yang legit dan eksotik. Bertanya pada pemilik toko. Adakah minuman yang seluruh hidupnya dilumuri kepahitan?

Si pemilik toko bingung.

***

Joy lesu, gula di seluruh tubuhnya meredup satu-satu. Tanda kebahagiaan sedang diangkat demi sedikit darinya. Aduh! Minuman seperti apakah yang dimaksud Matahari. Keluhnya.

“Malam begini dingin, tidakkah tubuh tipismu akan membeku, Nona Biskuit?” Sebuah sapaan. Seseorang sedang mendekat ke kursi taman yang Joy duduki.

Tidak ada siapa-siapa, mata Joy nanar mencari-cari. Bangku tempatnya duduk demikian terang, lampu taman sebesar bola bersinar. Tapi Joy tidak melihat asal suara barusan.

“Oh.. aku memang sulit terlihat, apalagi di gelap malam. Tubuh hitamku yang malang..” Keluh suara itu pilu.

Joy bertanya ragu-ragu.

“Aku Robi, minuman paling pahit di kota ini. Dan seolah kepahitan itu belum cukup, tubuhku juga hitam bagai jelaga. Aku minuman paling tidak diminati di kota ini.” Sahut Tuan Kopi mengenalkan diri, sambil tidak lupa mengeluh.

Joy terhenyak. Tuan inikah yang dimaksud oleh Matahari? Seseorang yang seluruh hidupnya dilumuri kepahitan.

Apakah seluruh hidupmu dilumuri kepahitan?

“Tidak ada yang lebih pahit daripada hidupku, aku lahir dengan seluruh kepahitan yang ada. Mungkin juga akan mati dengan cara yang sama. Ngomong-ngomong siapa kau, Nona Biskuit? Kau punya banyak sekali gula kebahagiaan di seluruh tubuhmu.”

Aku Joy, Tuan Kopi. Dan kaulah yang kucari untuk mendapatkan gula kebahagiaan abadi.

Tuan Kopi heran. Di malam yang ganjil itu pertama kali ada seseorang yang mengatakan hal seindah itu tentang dirinya. Nona biskuit yang seluruh tubuhnya dipenuhi kebahagiaan, malah mencari kebahagiaan abadi pada seseorang yang dilumuri kepahitan macam dirinya. Wahai.. tidak cukupkah kebahagiaan yang diberikan padanya?

“Aku tidak memiliki satu pun gula kebahagiaan.”

Aku akan mengikutimu kemanapun kau pergi. Sekujur tubuh Joy kembali bersinar.

Sepanjang hidupnya Robi hanya menginginkan satu hal. Menemukan seseorang yang bersedia meminumnya tanpa mengernyitkan dahi, menghidunya dengan penuh perasaan tanpa memiliki niat memuntahkannya ke tanah.

“Maukah kau menemaniku menemukan seseorang itu?”

Joy mengangguk tanpa pikir panjang.

***

Sepotong biskuit cokelat bertabur gula terhidang di meja, di atas plat porselen yang indah. Di sampingnya tersaji dengan sederhana secangkir kopi hitam pekat yang mengepul.

Seorang lelaki datang dengan tempias hujan di rambutnya, kuyup di bahunya. Memeluk cangkir Tuan Kopi. Menghidunya dengan khidmat dan meminumnya dengan penuh rasa terimakasih. Dan sepotong biskuit coklat bertabur gula dicelup ke dalamnya.

Di luar hujan sedang turun.

 

Makassar, 04 Agustus 2017

*Sepotong biskuit dan

cerita tentang kamu..

Cara Terbaik Mencintai

Helai-helai malam dianyam oleh sepasang tangan seputih pualam milik seorang perempuan. Ia duduk tekun di atas anyaman bambu yang hampir selesai, sesekali tangannya yang kanan membenturkan batang besi pipih untuk merapatkan anyaman. Sinar lampu minyak tanah bercahaya, membuat wajah perempuan itu bersinar bagai purnama.

Adalah Nur, yang sejak kepergian suaminya beberapa jam lalu memutuskan untuk menghabiskan sisa malam menanti sang suami pulang dengan menyelesaikan anyaman gamacca (anyaman yang terbuat dari serat bambu, biasa dibuat dinding) yang telah dimulai suaminya. Nyaris saban malam Nur menghabiskan waktunya menekuri anyaman demi anyaman sembari menunggu sang suami, sedang suaminya sendiri baru pulang lewat tengah malam dengan bau tuak menyeruak dari seluruh tubuh, dan mulut yang sudah tidak jelas lagi menggumamkan apa.

Suaminya Karna memang pemabuk kelas berat seantero dusun. Bergelas-gelas tuak bisa ia habiskan dalam semalam, membuat kawan-kawannya menyerah kalah dan bersorak untuk kemenangannya.

Berkali-kali saudara perempuan dan sepupu-sepupu Nur menganjurkan agar ia berpisah saja dengan suaminya. Tapi Nur hanya tersenyum, lantas bilang bahwa suaminya minum tuak dan mabuk-mabukan hanya untuk bergaul dengan kawan-kawannya. Lagipula sang suami tidak pernah berkata kasar apalagi memukul. Hari itu mekar dalam hatinya yang bening, kelak suaminya akan berubah menjadi semakin baik. Bersama dengan itu makin mekar pula cintanya pada Karna.

Bulan demi bulan berlalu. Akhirnya tiba juga kabar bahagia yang dinantikan keduanya. Nur hamil anak pertama mereka. Maka dimulailah episode bahagia dalam keluarga kecil itu. Karna berlipat-lipat perhatiannya. Tidak pernah ia membiarkan Nur bekerja terlalu banyak. Mencuci pakaian dan mengangkat air menjadi tanggungjawabnya setelah pulang dari sawah. Karna juga tidak pernah keluar malam lagi dengan kawan sepeminumannya.

Malam-malam mereka lewati saling bercengkerama, merencanakan hal-hal sederhana namun indah bagi mereka berdua dan Si Kecil yang sedang tumbuh dalam perut Nur. Di luar para jangkrik berebutan mengaminkan, sedang langit dan bintang-bintang berkelipan mencatat kenangan manis mereka berdua.

Kadang mereka juga menganyam gamacca bersama, merampungkan sudut-sudut bagian masing-masing. Berdua mereka mengerjakannya dalam diam, hanya suara besi pipih beradu dengan helai-helai serat bambu terdengar sekali dua kali. Di atas sinar lampu minyak makin purnamalah wajah Nur, dan Karna adalah bintang-bintang yang sedang jatuh cinta.

Malam itu ingin Nur bertanya, apakah Karna telah menyiapkan sebuah nama yang bagus bagi si bayi kelak. Namun segera ia urung, Nur ingat pesan Mamaknya, pamali memberikan nama bagi jabang bayi sebelum ia lahir ke dunia.

***

Angka pada lembaran almanak berganti. Lahirlah Si Bayi mungil dengan kulit merah berseri. Karna segera menggendong anaknya disertai rasa gugup, ia gembira sekaligus takut dekapannya membuat Si Bayi kesakitan. Karna melantunkan azan di telinga putrinya dengan khidmat. Membuat Karna merasa sebagai laki-laki paling terberkati di dunia.

Nur tersenyum di atas ranjang rumah bersalin. Masih sakit seluruh tubuhnya, masih serasa remuk tulang-tulangnya. Namun menyaksikan kedua belahan jiwanya berdekapan, sungguh tiada artinya seluruh penderitaan itu. Nur merasa sebagai perempuan paling terberkati di dunia.

“Siapakah namanya?’ Buncah juga pertanyaan yang ditahan-tahannya berbulan-bulan.

“Purnama. Lihatlah! Wajahnya bundar dan bersinar seperti purnama penuh.” Sahut Karna bangga.

Sejak saat itu Purnama menjadi sinar kebahagiaan bagi kedua orangtuanya. Setiap hari ia tumbuh, bergerak dengan lincah, berlari-lari kecil, bertanya apa saja yang ia temukan. Purnama telah tumbuh menjadi gadis cilik yang menggemaskan.

Karna juga semakin hari semakin bahagia dan semangat bekerja. Hingga suatu waktu kawannya pulang dari rantau. Ia dan kawan-kawannya di dusun menyiapkan acara penyambutan kecil-kecilan, acara minum tuak bersama-sama. Katanya kawan yang baru pulang itu rindu minum tuak dari kampung mereka.

Mulailah sejak saat itu kebiasaan Karna pulang malam kambuh lagi. Meninggalkan Nur menganyam sendirian dan si kecil Purnama yang pulas tanpa tepukan lembut dari Bapaknya.

Nur masih diam di awal-awal, tetapi ia tidak bisa terus diam ketika Purnama selalu bertanya kemana perginya sang Bapak saban malam. Si Kecil yang mulai beranjak enam tahun itu mulai curiga pada Bapaknaya, apalagi ia sering mendengar sepupu-sepupu Mamaknya bilang tentang mendengar Karna agar tidak terlalu banyak minum, tentang Mamaknya yang sudah punya anak, atau tentang Karna yang mulai sering membentak dan berteriak kasar pada Nur.

“Lebih baik kau ancam saja dia dengan perpisahan.” Salah satu sepupu Nur memberi saran. Bertiga. Nur dan kedua sepupunya sedang berbincang di bale-bale depan rumah, di bawah rimbun pohon bambu. Si Kecil Purnama sedang bermain rumah-rumahan.

Nur diam, tidak setuju. “Suatu saat Karna pasti akan berubah. Kalau tidak demi aku, boleh jadi demi Purnama.” Tegas Nur sore itu.

***

Bulan-bulan berlalu begitu cepat. Almanak berganti tanpa disadari, Purnama tumbuh semakin jelita. Kini gadis cilik itu duduk di bangku taman kanak-kanak. Bila sore menjelang ia mengaji di kolong rumah Pak Imam bersama kawan-kawannya. Sementara Karna semakin kuat minum, tidak hanya pada malam hari. Tetapi juga siang hari, selepas duhur dia sudah menghabiskan empat gelas tuak di rumah tetangga.

Nur resah, tertekan batinnya. Ia kehabisan cara menasihati sang suami. Percuma menasihati saat Karna pulang di waktu malam. Orang mabuk tidak bisa mendengar penjelasan. Malah Nur dibentak bila bersuara. Menegur di siang hari juga tak patut ia lakukan. Nur tidak ingin Purnama melihat kedua orangtuanya bertengkar. Ia semakin kurus memikirkannya.

Suatu hari Nur berkunjung ke rumah Mamaknya. Tidak ada maksud lain. Nur hanya ingin meminta nasihat.
Maka mengeluhlah Nur mengenai kesusahannya, bahwa dia kehabisan cara menghadapi sang suami.

“Nur, masihkah kau mencintai Karna?” Mamak Nur bertanya sungguh-sungguh.

“Kalau begitu, cara terbaik mencintai suamimu adalah tetap berada di sampingnya. Jangan berkurang perhatianmu padanya, jangan patah kepatuhanmu padanya kecuali bila Karna menyuruhmu berbuat dosa, jangan benci pada suamimu walau sebesar biji sawi. Kelak Gusti Allah akan mendengar doa-doamu. Kita tidak akan pernah mengira dari mana datangnya pertolongan itu. Maka bersabarlah Nur, sesungguhnya sabar adalah atap dari sebuah bangunan cinta.”

Didengarnya sungguh-sungguh nasihat sang Mamak, diresapinya dalam-dalam. Kelak sejak hari itu Nur tidak pernah lagi mengeluh. Semakin Karna membentaknya, makin telaten Nur mengurusnya. Ia yakin suatu saat Karna akan luluh.

***

Jumat adalah hari yang sempurna bagi Purnama. Anak itu sekarang naik tingkat ke jilid lima. Ia senang sekali, sebab itu berarti sisa satu jilid lagi ia taklukkan untuk bisa mendaras surah-surah pendek. Anak itu tidak sabar ingin segera pulang. Berita baik ini harus segera disampaikan pada Mamak dan Bapak.

Selepas majelis ditutup, Purnama segera bergegas pulang. Tidak dihiraukannya seruan Guntur yang menantangnya bermain kelereng. Anak itu berlari-lari kecil sepanjang jalan setapak menuju rumah saking girangnya.

Tiba di depan pintu rumah anak itu mengucap salam, membuka pintu, lantas melipir menuju dapur tempat Mamaknya berada setiap ia pulang mengaji.

“Mak, hari ini Purnama sudah jilid lima. Sebentar lagi sudah bisa baca jus’amma. Hebat kan?!” Serunya bersemangat.

Tidak ada yang bisa membuat seorang Ibu lebih bahagia selain melihat buah hatinya tumbuh dengan baik dan bangga atas kerja kerasnya sendiri, “Wah, hebat sekali anak Mamak.” Nur tersenyum dengan lebarnya.

“Bapak mana Bu? Purnama juga mau memberitahu Bapak,” lehernya menoleh ke setiap sudut rumah mencari sosok sang Bapak.

Nur gamang, tetapi ia tidak tega melihat semangat Purnama yang letup. “Tadi Bapakmu pamit ke rumah Kirana.”

Purnama segera meraih tas mengajinya lantas pamit tanpa mengganti baju. Ia tahu rumah Kirana. Teman sepengajiannya itu tinggal tidak jauh dari rumahnya.

Purnama tiba dengan napas tersengal dan mendapati Kirana sedang bermain di halama, “Bapakku ada di dalam, Rana?”

Kirana mengiyakan, lantas mengikuti langkah Purnama dari belakang.”

Ruang tamu rumah Kirana penuh. Karpet merah digelar di lantai dan orang-orang laki-laki duduk melingkar. Di tengah lingkaran terhidang berpiring-piring ikan bakar sebesar telapak tangan dan bergelas-gelas minuman berwarna putih pekat, mirip air tajin. Baunya kecut dan menyengat.

Purnama tahu itu minuman apa. Anak itu menajamkan mata mencari sang Bapak. Lihatlah Bapaknya, duduk diapit dua laki-laki kawannya sedang berseur panjang setelah menghabiskan segelas. Entah gelas yang keberapa.

Purnama tidak peduli, ia merangsek menuju Bapaknya duduk. Merengek, meminta perhatian.

“Pak. Pak hari ini Purnama sudah jilid lima. Sebentar lagi sudah bisa membaca jus’amma.” Karna hanya mengangguk-angguk antara sadar dan tidak, sementara Purnama terus memeluk lengan Bapaknya.

“Bapak, Purnama sudah jilid lima. Ayo kita pulang,” ajaknya lirih. Suara anak itu serak dan mengiba. Dua mata beningnya siap menganak sungai.

Wahai.. gadis kecil yang lugu itu. Ia kebingungan. Apakah gerangan yang membuat air matanya tumpah? Padahal sang Bapak begitu gembira tertawa-tawa di antara riuh kawan-kawannya.

Lalu kelabat baying Ibunya melintas dalam benak. Ibunya dengan wajah bersinar oleh pelita, Ibunya yang sedang tekun melengkapi anyaman demi anyaman serat bamboo hingga jauh malam sendirian. Alangkah elok wajah itu. Namun setegar apapun perempuan itu terlihat, matanya sungguh tidak dapat berdusta. Bahwa ada kesedihan panjang dan dalam mendekam di kedalaman hati. Bahwa ada harap yang tak putus-putus yang perempuan itu sendiri tidak tahu di mana ujungnya.

Karna, bagaimanapun bebalnya seorang peminum saat mabuk. Ia tetap tidak bisa menghindar dari tali kasih sayang antaranya dengan Purnama. Gadis kecil berkerudung hijau lembut itu anaknya. Anaknya yang tersayang. Yang mewakili wajah bundar milik istrinya.

“Bapak, ayo kita pulang.” Rengek Purnama dengan sisa-sisa suara.

Itu siang dengan pemandangan mengharukan si seluruh kampong. Seorang gadis kecil berwajah purnama, sisa-sisa tangis membekas di pipi, tangannya lekat pada lengan sang Bapak yang menggendongnya dalam keadaan setengah mabuk.

Purnama yang lain leleh di ambang jendela demi menyaksikan pemandangan mengharukan itu. Wahai, benarlah seluruh nasihat itu. Bersabar adalah cara terbaik untuk mencintai.
Makassar, Mei-Juni 2017

Memoriaphobia

Malam datang begitu lesat, umpama desing peluru yang tiba di sasaran sepersekian detik setelah pelatuk ditarik. Lail mengeluh, rupanya kali ini peluru macam itu menyasar jantungnya. Dua manik mata gadis itu cemas memandangi meja, di atasnya tergeletak secarik undangan yang diikat pada tangkai mawar putih mekar sempurna.

Sejak pagi Lail gelisah. Lebih tepatnya sejak Ben muncul di depan pintu rumahnya dan menyodorkan undangan berikat mawar itu. Hanya undangan makan malam perpisahan antara dua sahabat. Kata Ben sambil menyengir, tidak lupa mengingatkan betapa Lail harus datang apapun yang terjadi.

“Karena setelah ini kita akan jarang sekali bersama-sama.” Sahut Ben riang.

Keriangan Ben membuat Lail tersinggung. Lihatlah, Ben begitu bahagia dengan gagasan bahwa mereka akan jarang sekali bersama-sama setelah dia menikah.

Ben memang akan menikah tidak lama lagi, dengan seorang perempuan beruntung dari antah-berantah. Perempuan yang dengan kedatangannya secara tiba-tiba telah merenggut Ben darinya.

Dalam sekejap waktu-waktu luangnya bersama Ben dikuasai perempuan itu. Hilang sudah percakapan-percakapan gila dua sahabat di warung-warung kopi. Tidak ada lagi Lail dan Ben berdua menyasar bangunan-bangunan tua tersembunyi di sudut-sudut kota hanya untuk mengambil gambar. Kini Ben yang akan selalu pergi kemanapun bersama perempuan beruntung itu. Tanpa Lail.

Esok lusa Ben dan perempuan itu akan menikah, dan undangan makan malam perpisahan antara dua orang sahabat itu begitu mengecewakan hati Lail. Ben dengan cara yang resmi sekaligus terselubung hendak mengusirnya pergi jauh dari hidup mereka. Apalagi setelah Ben bilang undangan spesial itu hanya ada satu. Hanya untuk Lail seorang.

“Maaf Ben, kupikir aku tidak akan datang,” sahut Lail kecewa.

Ben terkejut, tidak menyangka reaksi Lail begini berbeda.

“Aku akan menikah Lail, apakah kamu tidak bahagia sebagai sahabatku?”

“Beginikah caramu bersahabat Ben? Ketika kamu bahagia, kamu malah menghadiahi sahabatmu dengan undangan perpisahan.”

Lail tidak kuasa menyaksikan wajah polos tanpa dosa Ben lagi. Setelah mengungkapkan kekecewannya, Lail berlari masuk kamar. Tidak keluar lagi hingga malam.

***

Apakah Lail cemburu?

Mungkin iya. Sebab Ben lebih duluan menemukan pendamping hidup, sebab Ben memilih perempuan dari antah-berantah yang membuat Ben mau mengucapkan selamat tinggal padanya.

Tapi mungkin juga tidak. Lail bukan tipe perempuan yang jatuh cinta pada sahabatnya. Ia mungkin hanya merasa kehilangan.

Bukan kehilangan Ben.

Tetapi kehilangan terhadap kenangan-kenangannya bersama Ben.

Lail telah banyak merasakan momen bernama perpisahan. Dan perpisahan selalu sanggup membuat dua orang menyesal pernah bertemu dan membangun kisah bersama-sama. Padahal apa susahnya membiarkan? Toh kita hidup di dunia yang serba dinamis. Semua orang bisa datang dan pergi kapanpun dia mau.

Lalu apa susahnya membiarkan Ben pergi, mengetuk pintu kebahagiannya bersama perempuan beruntung itu?

Di luar bulan sedang purnama. Sinarnya bulat sempurna menggantung di atas siluet daun-daun mangga di bingkai jendela. Ben baru saja mengirim pesan. Sahabatnya itu sudah menunggu dengan manis di restoran tempat pertama kali mereka makan malam. Di tepi pantai, di sebalik deru ombak, di bawah sinar bulan. Lail menyukai pantai dan kehadiran Ben malam itu.

Sebagian hati Lail tidak rela jika tempat yang menyimpan kenangan manis itu harus diingatnya juga sebagai tempat kali terakhir mereka bertemu. Lail ingin mengkristalkan tempat itu di dalam kenangannya yang indah-indah tentang Ben. Bukan tentang perpisahannya.

Ayolah Lail, bulan sedang bagus-bagusnya. Aku menunggu.

Itu pesan Ben yang kedua. Lail berusaha tidak peduli.

Wahai, beginikah dasyatnya kenangan? Makhluk tanpa wajah tapi sanggup menciptakan kepedihan tiada tara. Membalikkan peristiwa bahagia di masa lampau menjadi penyebab kesedihan panjang di waktu sekarang. Beginikah jahatnya kenangan? Tanpa ampun membuat Lail tidak bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan sahabatnya.

Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang? Membiarkan Ben menunggu untuk kecewa pada akhirnya. Atau merelakan sebagian kecil kenangan manis bersama Ben rusak demi membuat sahabatnya bahagia. Lalu Lail juga akan pergi setelah menjelaskan segalanya.

***

Di langit bulan makin tinggi, angin laut menjelang tengah malam tidak hanya membawa bau asin tetapi juga gigil yang menggigit. Ben nyaris putus asa. Atau kecewa lebih tepatnya. Lelaki itu belum juga mengerti, apa yang membuat seorang sahabat tidak bisa ikut bersimpati atas kebahagiannya?

Padahal Ben yakin tidak ada alasan bagi Lail menolak datang. Segala hal menyangkut makan malam kali ini adalah semua yang disukai Lail. Pantai, bulan, setangkai mawar putih, dan senyumnya.

Ya, Lail pernah bilang ia sangat menyukai senyum Ben.

“Heh, Tuan Kegeeran. Aku nggak pernah ya bilang suka senyum kamu.”

Ben takjub, malu sekaligus senang. Malu sebab ternyata tanpa sadar ia telah menyuarakan pikirannya dan Lail mendengar. Senang, sebab lihatlah Lail yang nyaris membuatnya putus asa menunggu akhirnya berdiri tepat di hadapannya dengan gaun coklat muda dan jepitan bunga yang manis.

“Tapi.. tapi kamu pernah bilang aku jauh lebih ganteng kalau senyum.” Sahut Ben tidak terima.

“Ia, tapi bukan berarti aku suka senyum kamu.” Lail membalas dengan sengit sambil menggeser kursi dan duduk seenaknya.

“Kamu lama banget Lail. Tadi itu satu menit lagi kamu nggak datang, aku pasti sudah pulang. Dan kita berdua selesai.”

Lail tersenyum getir, “di luar macet, Ben.”

Hati Lail kecut pada kata selesai yang disematkan Ben untuk mereka berdua. Begitu mudah menyelesaikan segalanya bagi Ben. Tapi biarlah, toh ini akan menjadi kali terakhir ia bertemu Ben, kali terakhir ia akan makan di tempat ini dengan bulan dan bau laut, dan.. senyum Ben.

Nanti setelah mereka berdua melangkahkan kaki keluar dari restoran maka tidak akan ada langkah untuk kembali masuk. Lail berjanji tidak akan membuat kenangan lagi