Semua tulisan dari Fauzan Al Ayyuby

Suka makan, nulis, ngopi, dan penyuka jendela. Belajar dan berhalaman rumah di Tanahindie. Nongkrong di Yayasan Sabtu Malam (Yassalam).

Melampaui Manusia

Luka kemanusiaan seperti tak pernah sembuh. Ia hanya kering sebentar lalu kembali cedera ditempa pembunuhan, penyiksaan, penganiayaan, dan lain-lain. Belum habis usut babak lampau luka-luka kemanusiaan, kita mesti berhadapan dengan luka yang baru. Luka-luka yang menempel di pikiran dan perasaan kita.

Masih segar dalam ingatan kerusuhan Delhi yang melibatkan dua kelompok penentang dan pendukung Undang-Undang Citizienship Amendement Bill (CAB): Undang-undang yang “mana beberapa orang mengatakan CAB anti-Muslim, dan yang lain mengatakan CAB akan mendorong migrasi skala besar “which some say is anti-Muslim, and others say will prompt large-scale migration[1]

Selain picu kontroversi, CAB membikin konflik antara umat Hindu dan umat Islam pecah. Alih-alih melihatnya dalam ranah kemanusiaan, kita kadung ikut terpolarisasi dalam fragmen konflik agama. Seperti keinginan Perdana Menteri Narendra Modi yang berkuasa hampir selama 6 tahun, mengambil langkah untuk supremasi Hindu di India. Fenomena ini dibaca oleh Sanjay Jha, juru bicara partai oposisi kongres, sebagai “bagian dari strategi politik Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) yang memecah belah lebih dalam untuk mempolarisasi India (part of a deeper divisive BJP’s political strategy to polarise India)”.[2]

CAB, yang diperkenalkan pertama kali pada Juli 2016, kemudian diloloskan pada Desember 2019 oleh Perdana Menteri Narendra Modi ini, jadi imajinasi terberi pada kaum Hindu di India atas suatu tatanan yang terbentuk dari supremasi agamanya. Pasalnya, CAB memang menjadikan agama sebagai landasan kewarganegaraan.

 

Tatanan Khayalan dan Adimanusia

Tatanan itu tentu membikin sebagian orang dari 80% penduduk Hindu di India membayangkan suatu tatanan yang tumbuh dan terbangun atas nilai-nilai agamanya. Yuval Hoah Harari dalam Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia bilang, “terlepas dari kemampuan agama melegitimasi tatanan sosial dan politik yang tersebar luar, tidak semua agama berhasil mewujudkan potensi itu. Guna mempersatukan wilayah yang luas sekali dan dihuni oleh beraneka ragam kelompok manusia di bawah naungannya, agama harus memiliki dua sifat lain. Pertama, agama harus mendukung keberadaan tatanan adimanusiawi universal yang berlaku kapan pun dan di mana pun. Kedua, agama harus bersikeras menyebarkan kepercayaan itu kepada setiap orang. Dengan kata lain, agama harus universal dan berdakwah (missionary).” (hal 249)

Kita tentu tahu, India adalah agama kuno yang oleh Yuval disebut “bersifat lokal dan ekslusif”. Kemudian, undang-undang CAB akan memberikan kewarganegaraan India kepada para imigran dari tiga negara tetangga—Pakistan, Afghanistan, Bangladesh—kecuali jika mereka adalah Muslim. Belum lagi 14% umat Muslim di India yang dari “riwayat Kesultanan Mughal yang bercorak Islam di India dapat dilacak dari penaklukan oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul-Malik mewakili Dinasti Umayyah pada 711 Masehi. Inilah awal mula kehadiran Islam yang meninggalkan pengaruh kuat di tanah air umat Hindu tersebut.”[3]

Dengan kata lain, tatanan sosial politik berlandaskan agama Hindu tentu sulit diwujudkan. Apalagi dengan luas wilayah 3.287.590 KM2 dan jumlah penduduk 1.355.740.000 (1 Maret 2020). Belum lagi imigran yang datang dari tiga negara tetangga. Rasanya hanya akan jadi tatanan khayalan.

Tetapi tatanan khayalan itu telah hadir di kepala sebagian dari 80% populasi umat Hindu di India. Jalin jejal imajinasi yang dipercayai itu bersifat “antar-subjektif, sehingga agar bisa mengubah mereka harus secara bersamaan mengubah kesadaran miliaran orang, dan itu tidak mudah. Perubahan sebesar itu hanya bisa dilaksanakan dengan bantuan organisasi kompleks, seperti partai politik, gerakan ideologis, atau kultus agama. Tapi guna mendirikan organisasi kompleks macam itu kita harus meyakinkan banyak orang yang tak saling kenal untuk saling bekerjasama. Dan itu hanya akan terjadi bila orang-orang yang tak saling kenal memercayai mitos-mitos bersama. Jadinya, untuk mengubah tatanan khayalan yang ada, pertama-tama kita harus mempercayai suatu tatanan khayalan alternatif.”[4]

Perdana Menteri Narendra Modi menangkap tatanan alternatif itu dengan supremasi Hindu, dengan “memanfaatkan” konflik antar agama yang sudah terjadi sejak pemisahan India-Pakistan 1947 silam. Konflik ini dipicu oleh perbedaan nilai dan tafsir atas sesuatu. Misalnya, sapi, yang bagi umat Hindu dianggap sebagai hewan suci, sedangkan umat Islam menganggapnya sebagai hewan kurban. Tafsir ini tentu beda sebab dalihnya berlandaskan keyakinan masing-masing. Sama seperti orang Toraja melihat tedong/kerbau dengan nilai tinggi, sedang “yang lain” menganggapnya hewan pembajak sawah atau daging untuk dimakan. Ini disebabkan kepercayaan atas kerbau sebagai kendaraan bagi arwah menuju puya (dunia arwah, akhirat). Sedangkan “yang lain” itu tidak punya teks rujukan historis sebagai landasan untuk melihat kerbau sebagai sesuatu yang bernilai.

Dengan perbedaan nilai historis dengan basis agama, tentu konflik akan dipicu lantaran nilai yang adimanusia (superhuman order): produk yang bukan merupakan produk olah pikir dan kesepakatan manusia. Alih-alih hidup berdampingan sebagai manusia dengan rasa aman, kebanyakan dari kita kadung menempatkan nilai adimanusia sebagai yang utama. Padahal, nilai-nilai kemanusiaan dan adimanusia mesti beriringan sebagaimana habluminallah wa habluminannas (hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia) disyaratkan untuk menjaga hubungan baik sesama manusia.

Alih-alih menjaga hubungan baik, nilai adimanusia sering membikin manusia melucuti kemanusiaannya dengan melakukan kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, dan lain-lain. Seperti konflik yang terjadi di India beberapa bulan belakangan setelah penolakan terhadap undang-undang CAB ditentang oleh banyak orang. Aksi protes itu, selain berusaha diredam oleh pendukung undang-undang itu, kekerasan juga dilakukan oleh aparat keamanan.

 

Spiral Kekerasan

Konflik menimbulkan aksi kekerasan. Padahal, kekerasan, dikatakan Galtung sebagai “sesuatu penghalang yang seharusnya bisa dihindari yang menyebabkan seseorang tidak bisa mengaktualisasikan diri secara wajar. Penghalang tersebut menurut Galtung sebenarnya dapat dihindarkan, sehingga sebenarnya kekerasan itu juga bisa dihindari jika penghalang itu disingkirkan (Muchsin, 2006)[5].

Penghalang dalam konteks konflik di India adalah undang-undang CAB yang memarjinalkan suatu kaum. Jika tidak, korban akan terus berjatuhan. Baik dari kelompok pendukung, juga dari kelompok penentang. Selain itu, jika terus berlanjut negara, lewat militer, punya legitimasi untuk membubarkan massa dengan cara kekerasan. Tentu saja ini membikin kekerasan jadi meluas.

Dom Helder Camara (2005) dalam Spiral Kekerasan mengurai pola spiral kekerasan dengan merumuskan dua kondisi sub-human. Pertama, kelompok yang berjuang demi kaum tertindas. Kemudian, yang kedua, kelompok dengan perasaan religius yang tidak dapat lagi membiarkan agama ditafsirkan dan dijalankan sebagai candu rakyat. Di India, agaknya kondisi sub-human kedua jadi pemicu dari berlangsungnya aksi protes pada undang-undang CAB itu.

Aksi protes itu lalu memantik pendukung undang-undang CAB itu dengan cara kekerasan. Konflik lalu melebar ke ranah agama lantaran undang-undang CAB itu syaratakan supremasi Hindu. Umat Islam, yang dalam undang-undang CAB itu merasa dirugikan, pun meresponsnya dengan cara yang sama. Konflik berlarut-larut itu lalu melegitimasi kekerasan yang oleh Dom Helder Camara diklasifikasikan sebagai kekerasan nomor 3.

Kekerasan nomor 3 itu terjadi karena “para penguasa memandang dirinya wajib menjaga atau memulihkan ketertiban umum, sekalipun itu berarti dipakainya kekuatan; inilah kekerasan no. 3. Seringkali penguasa bertindak lebih jauh lagi, dan hal ini menjadi semakin umum: untuk memperoleh informasi, yang mungkin sungguh penting untuk keamanan publik, logika kekerasan menyebabkan mereka memakai penyiksaan moral dan fisik.”[6]

Tentu korban datang dari kedua belah pihak. Bahkan pihak aparat pun tak jarang jadi korban. Dalam konflik di India ini, dilansir dari CNN Indonesia, sudah mencapai 20 orang, “sedangkan korban luka-luka dalam kejadian itu mencapai 189 orang, 60 di antaranya akibat tertembak aparat.”[7]

Jika sudah seperti ini, kekerasan akan memicu kekerasan lagi. Fenomena ini yang disebut oleh Dom Helder Camara sebagai spiral kekerasan. Tak jarang, konflik ini dipicu oleh nilai adimanusia yang melampaui manusia. Kita pun jarang melihat persoalan kemanusiaan sebagai manusia. Akhirnya, kita saling ribut dan rebut nilai-nilai yang secara adimanusia punya teks yang akan selalu beda, tapi jadi persoalan lantaran kita memegang teguh adimanusia alih-alih melihatnya sebagai manusia.

Pengeroyokan supir di Dogiyai, Papua, misalnya, berpotensi menimbulkan konflik horizontal lantaran kita melihatnya dalam fragmen identitas. Kita tidak melihatnya sebagai duka dan luka kemanusiaan, sebagai manusia. Padahal, tak jarang fragmen identitas membikin kita melihat persoalan kemanusiaan secara kalkulatif: “nyawa bayar nyawa”. Kerangkeng perspektif identitas macam ini membikin spiral kekerasan semakin menganga dalam kehidupan bermasyarakat kita.

Kita tentu mengutuk pelaku pengeroyokan atas nama kemanusiaan. Tetapi, merespons kejadian itu dengan cara yang serupa bukankah menjadikan kita mengedepankan identitas ketimbang kemanusiaan? Lalu, siapa yang akan bertanggungjawab pada korban-korban selanjutnya jika konflik itu pecah lantaran logika “nyawa bayar nyawa”?

Identitas memang penting lantaran kita tumbuh dengan nilai-nilai yang didasari teks kebudayaan kita masing-masing. Tetapi, untuk melihat persoalan kemanusiaan yang sifatnya universal, kita mesti berdamai dengan lokalitas dan ekslusifitas kebudayaan kita agar spiral kekerasan bisa kita tutup bersama dengan kesadaran yang universal.

Tapi jika itu memberatkan, mari kita coba sama-sama masuk ke dalam spiral kekerasan dan melampaui manusia dan kemanusiaan demi nilai-nilai terberi yang kita pegang teguh sejak dalam pikiran dan perbuatan. Lalu lihat, apa yang bisa kita peroleh setelah semuanya. Barangkali darah dan air mata. Juga ilusi kebanggaan sebab membalaskan nyawa seseorang lalu melupakan banyak nyawa yang hilang setelahnya.[]

 

 

 

Catatan Kaki:

[1]BBC, Citizen Amendment Bill protests: The protesters standing up to police, https://www.bbc.com/news/world-asia-india-50809936, diakses pada 2 Maret 2020, pukul 01.48 WIT.

[2] Bilal Kuchay, https://www.aljazeera.com/news/2019/12/india-anti-muslim-citizenship-bill-191209095557419.html, diakses pada 2 Maret 2020, pukul 14.42 WITA

[3]Iswara N Raditya, https://tirto.id/sejarah-maharaja-akbar-memadukan-islam-dan-hindu-di-india-ekqB, diakses pada 2 Maret 2020, pukul 15.05 WIT.

[4] Yuval Nuah Harari, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, (Jakarta; KPG (KepustakaanPopulerGramedia), 2017), hal 141.

[5]Muchsin dalam Linda Dwi Eriyanti, Pemikiran Johan Galtung tentang Kekerasan dalam Perspektif Feminis, (JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL VOL. 6, NO. 1, APRIL-SEPTEMBER 2017).

[6] Dom Helder Camara, Spiral Kekerasan, (Yogyakarta: Resist Book, Januari 2005), hal 36.

[7] CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200226202106-113-478499/korban-tewas-kerusuhan-muslim-hindu-di-india-bertambah, diakses pada 2 Maret 2020, pukul 17.00 WIT.

 

Sumber gambar: https://www.nbcnews.com/think/opinion/india-s-new-anti-muslim-law-shows-broad-allure-right-ncna1112446

Ruang Maya yang Maya

Teknologi di tangan manusia seperti pisau yang netral pada kemungkinan ‘nasibnya’: bisa jadi dipakai untuk hal-hal baik, bisa juga hal-hal jahat. Tak terkecuali teknologi informasi dan komunikasi. Baru saja kita lewati Pemilihan Presiden (Pilpres) di Indonesia, yang jauh sebelum waktu pelaksanaannya, dipenuhi berita-berita hoaks. Tetapi baru pada awal tahun 2019, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika menyusun strategi untuk menangkal hoaks. Indikasi politik dengan hoaks lewat media sosial jadi penanda penting dari mampunya ruang-ruang maya meredefinisi “cara kita memilih”.

Pengguna media sosial di Indonesia dari hasil riset Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019, mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Jumlah sebanyak ini tentu dilihat sebagai kerumunan massa, ladang suara, bagi peserta Pemilu juga pendukung yang jadi tim suksesnya. Apalagi, dari hasil riset yang sama, pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan tiga jam dua puluh enam menit jika dirata-ratakan untuk bermedia sosial. Waktu yang cukup lama dan tidak produktif mengingat pernyataan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rosarita Niken Widiastuti, pengguna media sosial di Indonesia punya pola komunikasi 10 to 90. Hanya 10% masyarakat yang memproduksi informasi, sedangkan 90% cenderung mendistribusikannya.

Kerentanan pengguna media sosial terhadap hoaks semakin dimungkinkan dengan Filter Bubble, Gelembung Saringan, algoritma media sosial yang dibangun dari akumulasi kecenderungan kita mengetik sesuatu di kolom pencarian, dari klik, like, share, dan comment. Algoritma ini menyaring dan mendistribusikan informasi dari kecenderungan pengguna. Dengan Filter Bubble ini, jika satu hoaks sudah kita like, share, dan comment, dengan sendirinya akan menjadi spiral yang mengisolasi pengguna hanya pada hoaks saja.

Redefinisi dan Hal-hal yang Hilang

Wacana teknologi informasi buat saya ingat idiom “Manusia adalah budak teknologi” yang santer terdengar dan tidak bisa dianggap remeh. Kritik terhadap pengguna media sosial ini merupakan fenomena yang dapat dilihat sehari-hari. Teknologi informasi yang awalnya netral di tangan pengguna, dengan algoritma internet digiring untuk “hidup” di ruang lain, ruang maya. Ditandai dengan munculnya idiom “Berkarya demi Instagram”. Salah satu hal yang buat orang merasa hidup di ruang maya karena media sosial juga jadi ruang apresiasi. Fitur love di Instagram, misalnya, jadi ukuran dari “harga” karyanya.

Dalam memahami fenomena ini, mungkin Anda familiar dengan beberapa orang yang mengukur status seseorang dari jumlah followers-nya. Untuk orang dengan jumlah followers yang banyak, mereka akan dikategorikan sebagai selebriti atau yang kadung dikenal dengan selebgram. Menjadi selebritis di dunia nyata pada kenyataannya tidak semudah di ruang-ruang maya. Di ruang maya, jasa jual-beli followers bahkan menjamur dan jadi hal biasa. Tak sedikit orang rela merogoh kantongnya untuk mendapatkan banyak followers dan menyandang status sebagai selebgram.

Ini tidak terlepas dari kebutuhan manusia akan banyak hal yang mudah ketika didigitalkan, mengutip Antonius Puspo Kuntjoro (2017) dalam “Menangkal Teknologi Patologis”:

“Ada orang yang punya kepentingan politik atau ekonomi; ada orang yang butuh sensasi; ada orang yang butuh identitas; butuh eksis; dan lain-lain. Semuanya itu dapat dilihat sebagai bahan baku untuk meramu sebuah industri hoax dan ujaran kebencian tadi, tentunya dengan bantuan teknologi informasi/digital.”

Sementara kita asyik hidup di ruang maya, perkembangan teknologi informasi meminimalisir perjumpaan tatap muka antar kita. Kita dimanjakan oleh ragam platform yang ikut menyemarakkan laju perkembangan teknologi seperti: ketika ingin belajar atau membuat sesuatu, kita tinggal mencari tutorial di Youtube; ketika kita tersesat di jalan, idiom “malu bertanya sesat di jalan” bukan lagi tentang manusia, tetapi teknologi yang kita kenal dengan Google Maps; ketika ingin belanja, kita tinggal kunjungi salah satu situs belanja daring dan menekan tombol klik.

Saya tidak tahu, apa istilahnya, atau adakah yang pernah membahasnya. Tetapi kita terbiasa menyelesaikan sesuatu dengan cara yang sangat teknologis. Padahal, ketika berbicara, misalnya, menatap mata seseorang dalam ilmu komunikasi adalah sesuatu yang penting. Atau taruhlah, kita tidak diperdaya dengan pesan “Hahaha” di media sosial tetapi tubuh orang yang mengirim pesan itu tidak selaras dengan gerakannya.

Visual Teknologi

Sebagaimana percaya bahwa teknologi di tangan manusia punya posisi netral, teknologi tentu juga membawa hal-hal baik. Misalnya, teknologi memungkinkan kita melihat banyak perempuan di jalanan dengan hadirnya motor matic. Ia menjembatani pikiran para aktivis feminis dengan cara membendakannya. Teknologi juga memangkas jarak dengan menghadirkan video call, juga pada mereka yang ingin belajar tetapi tak punya waktu banyak dengan ikut kuliah basis daring yang kini juga marak.

Dalam pemanfaatannya, masih ada satu tantangan yang dalam istilah teknologi komunikasi dan informasi dikenal dengan digital divide: kesenjangan dalam kapabilitas terhadap akses ke media, ke teknologi informasi/komunikasi, terkait juga dengan kualitas akses tersebut (www.internetworldstats.com, 2017). Di Indonesia, khususnya Indonesia bagian timur, akses informasi digital begitu sulit. Tak jarang, di kota-kota seperti di Provinsi Papua, misalnya, hanya memiliki satu provider dengan kualitas jaringan yang kurang baik.

Kemajuan kemudian masih didefinisikan secara konvensional, jika teknologi diikutkan sebagai indikatornya. Misalnya, dalam mata pencarian, ojek online tentu masih lama terhubung ke sana. Atau dalam perniagaan yang tak jarang masih mengandalkan fisik sedangkan di kota-kota maju yang kualitas jaringannya bagus, fisik seperti toko mulai berkurang. Definisi kemajuan kemudian terbatas hanya pada fisik saja. Misalnya dengan menambah tempat duduk di depan tokonya, atau menambah lantai di rukonya.

Sementara mereka yang kesulitan akses masih terbata-bata, visual teknologi dalam video-video promosi, atau film sudah dicitrakan secara berlebihan. Misalnya dalam banyak film, teknologi di buat berhadap-hadapan dengan manusia pada satu cerita tentang Artificial intelligence, alias kecerdasan buatan. Teknologi hadir dengan cara yang “horor” lewat film-film itu. Padahal kecerdasan buatan seperti fokus kamera di gawai yang bisa melacak muka, tidak menyeramkan seperti yang dicitrakan lewat film.

Citra teknologi yang “horor” berdampak pada ketakutan-ketakutan yang tidak mesti ada. Ketakutan-ketakutan itu justru buat teknologi lebih superior daripada manusia. Padahal, sekali lagi, teknologi adalah alat ciptaan manusia yang diciptakan untuk membantu kerja-kerja manusia. Belum juga mereka yang kesulitan akses mendapat bagian untuk menikmati teknologi, kesan “horor” sudah menghantui pikiran mereka lebih dulu. Teknologi yang lagi-lagi digambarkan terlalu teknologis. Teknologi pada akhirnya mesti dipandang sebagai alat saja. Seperti sikap kita dengan perkataan yang sering menggunakan Facebook, Twitter, Instagram, misalnya, dengan diawali kata “Main”.

Menutup tulisan ini, saya lagi-lagi mengutip Antonius Puspo Kuntjoro (2017):

“Di tengah serbuan teknologi yang cenderung menjadikan manusia sebagai objek, diperlukan etika yang prinsipnya menegaskan supremasi manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri.”

 

Sumber gambar: https://www.jisc.ac.uk/blog/are-you-our-next-he-social-media-superstar-27-sep-2017

Mengikat Ingatan Lepas Soal Laut

“Naik ke laut. Siapkan perahu. Dayung dan ingatan pasti ‘kan bicara.”

Holaspica (Petikan lagu Naik ke Laut)

Lagu Holaspica yang berjudul Naik ke Laut, diawali dengan deburan ombak. Deburan yang menghantar debar menghadapi laut yang luas dan lepas. Laut yang lepas dari mata orang-orang yang berpaling memunggungi laut, atau dari mereka yang melepas ingatannya tentang biru laut berwarna dalam.

Mengapa orang-orang memunggungi laut? Satu hal yang perlu kita tilik bersama, mengingat kita adalah bangsa maritim. Ada beberapa hal yang barangkali bisa menjelaskan hal itu. Trauma, misalnya. Dalam film Walt Disney, Moana (nama yang dalam bahasa Polynesia berarti laut), kita melihat bagaimana suku Motunui menaruh ‘rasa takut’ berlebih pada laut, sampai pada titik memasukkan kapal-kapal pendahulunya itu ke dalam sebuah gua.

Laut dalam film Moana digambarkan sebagai sosok yang hidup. Ia memanggil, membantu, bahkan digambarkan sebagai penyanyi yang bisa membuat nenek Moana melenggangkan badannya di pinggir laut. Sosok yang bisa diajak berkomunikasi. Ia mendengar dan berbicara dengan suara dan berbentuk ombak. Dua hal yang pada akhirnya menjadi hal yang menakutkan bagi orang-orang yang mengalami kebalikan dari apa yang dicitrakan laut pada film Moana.

Ketakutan-ketakutan dalam film Moana, bisa dibaca sebagai trauma. Untuk melihat dampaknya, dalam artikel yang ditulis oleh Andisa Sabrina (2018) berjudul Dampak Trauma Pada Wanita dan Pria Ternyata Beda (Lebih Parah Mana?):

“Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang dipicu oleh pengalaman traumatis di masa lalu, seperti kecelakaan yang mengancam nyawa atau tindak kekerasan dalam keluarga. Mengalami kejadian traumatis adalah hal yang berat untuk siapa saja… Beberapa gejala PTSD yang paling umum adalah muncul flashback atau kilas balik soal kejadian traumatis yang dialami secara tiba-tiba atau kalau ada pemicu yang sangat mirip dengan traumanya. Selain itu, orang dengan PTSD mungkin kesulitan menjalin relasi dengan orang terdekat, susah tidur, dan terus-terusan merasa bersalah.”[1]

Ada yang lepas. Jangkar ingatan kita pada laut yang indah dan, luas, dalam, dan pengalaman menyenangkan tentang apa saja yang pernah dialami dilaut. Avianti Armand (2017:9) menulis dalam buku Arsitektur yang Lain:

“Mungkin kita perlu jangkar: momen-momen, benda-benda, orang-orang—yang bisa mengikat ingatan lepas dan mengembalikan rumah menjadi sesuatu yang intim. Yang membuat betah dan memberi makna. Mungkin juga cinta.”

Jangkar ingatan kita tentang momen, benda, atau apa saja yang intim dari laut, lepas oleh bencana alam, misalnya. Pengalaman traumatis yang dialami memicu rasa takut yang berkepanjangan. Memang tidak mudah menyembuhkan trauma. Memang tidak mudah menaruh kembali jangkar ingatan kita yang lepas tentang laut. Tetapi dengan keterbukaan, segala sesuatu bisa saja terjadi. Termasuk sembuh dari trauma. Bisa dilakukan dengan cara mengalami ‘laut’ kembali sebagai sesuatu yang diciptakan Tuhan bukan untuk dipunggungi.

Trauma dan perlakuan mungkin berjahitan pada satu garis kondisi yang bertemu pada titik subjek dan objek. Seseorang yang trauma pada laut. Garis itu membentang panjang dengan ketakutan sebagai ujungnya. Sehingga, bertemu laut, adalah mengalami rasa takut, lagi. Sehingga laku yang berujung ke laut bagi orang trauma adalah takut.

Kemudian, ada juga bentuk perlakuan pada laut yang tidak dibentuk karena trauma. Kita kehilangan ‘rasa memiliki’ terhadap sesuatu. Kita menjadikan laut sebagai tempat pembuangan akhir. Belum diketahui pasti, ‘komederenan’ seperti apa yang menjauhkan kita dari laut. Padahal, menurut hipotesis bernama biofilia yang dikemukakan Edward O. Wilson (1984), sesungguhnya kita dari lahir memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk berhubungan dengan alam.

Pada tahun 2017, sepanjang Januari sampai bulan Juni, saya memotret sampah yang ditemukan di Pantai Nabire, untuk melihat kemungkinan pemetaan sampah itu. Ada televisi, sepatu, botol air mineral, tulang hewan, boneka, buah-buahan seperti singkong, jeruk, dan jagung, ada ban mobil truck, mainan anak-anak, juga sampah rumah tangga yang begitu mudah ditemukan. Laut kemudian menjelma tempat pembuangan akhir yang luas dan dalam. Tetapi tidak pernah tenggelam. sampah-sampah itu hanya terombang-ambing di tepi pantai, menumpuk dan semakin banyak.

Untuk perlakuan kedua, barangkali ini butuh kolaborasi yang dapat mengembalikan citra laut menjadi bahari, lagi. Bisa dengan membuat narasi posotif yang menumbuhkan energi positif tentang laut. Atau barangkali dengan cara membuat narasi mitos. Seperti yang nenek moyang kita lakukan, agar kita menjaga laut seperti menjaga diri kita sendiri dari banyak ancaman.

Persoalan trauma, saya pernah mengikuti pelatihan Basic Trauma Healing Skill yang dibawakan oleh Alifah Bachmid, yang diinisiasi oleh Koalisi Solidaritas 14 Gerakan Untuk Sulteng Bangkit, Rabu, 10 Oktober 2018, di Café Baca Ruang Ide. Pelatihan ini dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga relawan yang ikut berpartisipasi dalam proses pemulihan trauma korban gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah.

Dalam penjelasannya, memulihkan orang yang trauma, tidak boleh mengikat energi negatif pada perkataan dan tindakan kita. Untuk itu, Alifah Bachmid menyarankan untuk melakukan terapi trauma healing kepada diri sendiri terlebih dahulu. Menghilangkan energi-energi negatif, sehingga hanya energi positif turut menyertai kita.

Misalnya, dalam proses Set Up pada proses trauma healing—SEFT (Spiritual Emotional Freedom Theraphy), narasi yang dicontohkan:

“Ya Allah meskipun saya merasa… (titik-titik diisi dengan hal-hal negatif), saya ikhlas dan menerima keadaan ini dan saya pasrahkan ‘hilangnya energi negatif tersebut’ dan… (titik-titik diisi dengan hal-hal positif) padamu Ya Allah. (Diulang tiga kali).”

Narasi yang ditawarkan Alifah, adalah tidak mengisi titik-titik dengan elemen negatif lagi. Misalnya, ketika kita menyebut ‘malas’ pada hal negatif kita, kita harus merelakan dan pasrahkan energi positif tersebut menjadi kebalikannya. Misalnya, dari malas menjadi rajin. Bukan dari malas, menjadi tidak malas. Sebab, kata Alifah, menggunakan kata tidak malas masih menggunakan sisi negatif pada hal-hal yang positif.

Alifah kemudian mencontohkan, “Coba kalian tutup mata.” Ketika semua orang menutup matanya, ia menyebut, “Jangan pikirkan gajah. Jangan pikirkan jangan gajah pakai celana.” Tetapi, gambaran gajah tetap saja ada di kepala saya. Saya mencoba memikirkan semut memaki celana, tetapi tidak bisa. Inilah yang Alifah maksud sebagai energi positif untuk pemulihan dengan cara sugesti.

Dalam melakukan terapi trauma healing pun, Alifah menganjurkan untuk tidak mengikat ‘masa lalu’ jika orang yang diterapi belum siap. Misalnya, jika kita datang seminggu atau bisa jadi sebulan setelah bencana, bisa jadi ada orang yang belum siap mengingat masa lalunya soal trauma yang ia alami. Sebab ada energi-energi negatif yang mengikat pada masa lalunya, yang perlu dipulihkan dengan energi-energi positif. Sebenarnya, tidak mengulik masa lalu, kata Alifah, bukan anjuran untuk melakukan terapi. Tetapi, ini menghindari kemungkinan yang lain. Juga menstimulus terapi trauma healing yang kita lakukan dengan cepat.

Tetapi, ada beberapa hal besar yang harus kita lawan bersama. Misalnya paradigma ’bad news is good news’ selalu menggembor lewat narasi negatif tentang sisi buruk sebuah peristiwa. Ini adalah hal yang barangkali dimaksud Alifah dengan sugesti negatif. Mengikat ingatan lepas soal laut, barangkali dengan sugesti-sugesti positif yang tersebar secara massif, trauma healing bisa dilakukan dengan cara yang lain. Misalnya tadi, dengan cara menyebarluaskan narasi-narasi positif.

Seperti penggalan lirik lagu Holaspica dalam Naik ke Laut, “Bila yang baik tak mau bicara, yang buruk tertawa melihat semua. Bila yang baik tak turun ke bawah, siapa buktikan, siapa mendengar?”[]

Catatan kaki:

[1] Andisa Sabrina, https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/perbedaan-dampak-trauma-pada-otak/, diakses pada 15 Oktober 2018, 16.12 WITA.

1920 dan Puisi-puisi Lainnya

1920

Keramaian doa di sebuah stasiun kereta menuju langit
Tiba-tiba saja merah. Semua tahu warna doa
: putih. Suci di bibir seorang pendeta
Sedang bertarung dengan makna-makna yang berdarah

Seluruhnya patuh menyaksikan debat
Orang-orang gempal bertopi coklat
Menikmati wangi asap dari pabrik dan pajak.
Kakinya disilangkan, seperti mendengarkan sajak

Teriakan demi teriakan menyemat di telinga takdir
Jiwa-jiwa merah-berdarah-darah terlentang di sepanjang relnya
Beberapa orang bersenggama seperti ibadah
Percaya bahwa Tuhan lupa membawa kunci gereja

Kerajaan surga telah digambar di atas sebuah kanvas
Oleh anak albino kecil yang kehilangan kaki kanannya
Ia menggambar dengan kebebasan dan persamaan,
Sebelum ia sadar, ukuran kanvasnya tak sepadan

Daun-daun kering patah di atas sebuah pohon
Akasia yang mencuri segala yang masih bisa diteguk
Orang-orang naik kereta. Orang-orang berjejer di relnya
: Tuhan lupa membuat kunci kereta.

2017

 

Manuskrip Beda

Sebening rasa
Seputih jatuh cinta
Sedalam luka
Sejauh berpisah

Tuhan menciptakan kita
Di rahim berbeda
Kau berjalan, aku juga
Terluka pada banyak hal
Di dunia

Umpama kata
Kita makna yang dibelah
Dalam kerongkongan puisi
Sebelum mulut-mulut berbisik

Dan aku mendengarmu, kau juga
Lalu kita saling menemukan,
Saling menyembuhkan.

2017

 

Menjawab Pertanyaan Sendiri

Apa rupa sepi di tubuh sendiri
: aku mencintaimu

Aku menyelam ke dalam matamu
Mencari senyumku sendiri
Tak pernah mencari senyummu
Yang sejak lama telah hilang dari dirimu

Apa rupa sendiri di tubuh sepi
: aku mencintaiku

Aku tidak mencintaimu
Aku mencintaiku, yang mencintaimu
Di tubuh sepi, bibirmu masuk sebagai tamu
Kulumat ia hingga kau tak mencintai dirimu

Apa rupa tubuh di sepi sendiri?
: kita tidak saling mencintai

Aku memilikiku, begitupun sebaliknya
Kita memiliki sepi sendiri-sendiri
Mengikat lirih pada tubuh kita dengan senyum
Hingga sepiku dan sepimu, beriringan di tubuh cinta

2017

Mendengarkan Perempuan

“Jalan menuju ke hati wanita adalah melalui telinga.” – Voltaire

Kita terlalu sering menghukumi perempuan baik secara langsung maupun dari obrolan-obrolan ringan di meja-meja warung kopi. Menjadikan perempuan sebagai objek, bukan sekadar melihat kecenderungan perempuan dalam budaya patriarki, ataupun branding. Menjadikan perempuan sebagai objek bahkan sering kita lakukan dalam budaya diskusi, bahasa sehari-hari, pun dalam tulisan ini—jika kita benar-benar menjadikan kata ‘objek’ sebagai landasannya.

Misalnya, ketika kita duduk dalam sebuah diskusi tentang perempuan dengan sangat khidmat. Kemudian beberapa pembicara dengan nada yang agak tinggi mulai berorasi tentang bagaimana perempuan-perempuan mengalami diskriminasi. Kita sebagai pendengar akan merasa kasihan, atau barangkali marah—apalagi ditambahkan dengan ilustrasi berupa kejadian-kejadian yang pernah menimpa perempuan. Rasa marah pun kasihan yang tercipta, membuat perempuan kembali menjadi objek yang harus dikasihani ataupun dibela. Jika sudah seperti ini, perempuan akan tetap selamanya menjadi makhluk inferior.

Dalam bahasa sehari-hari, kata perempuan seringkali dijadikan sebuah lelucon ataupun ejekan. Misalnya ketika beberapa lelaki dan perempuan sedang semenonton Film Korea, lalu tiba-tiba terdengar suara isak tangis oleh seorang laki-laki di antara kerumunan, dengan nada mengejek, seorang temannya mengatakan,”Deh, menangis bede’, kayak perempuan saja.” Parahnya, yang mengejek bukan hanya laki-laki. Tetapi perempuan pun mengatakan hal yang sama kepada laki-laki yang menangis itu. Tentu ini menegaskan bagaimana lagi-lagi perempuan menjadi objek bahkan dari bahasa sehari-hari, bahkan ia—perempuan—sendiri yang melanggengkan ini.

Seharusnya, perempuan mulai bersiasat untuk menjadikan dirinya sebagai subjek. Perempuan harus bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Kita tidak sedang hidup di dalam sebuah layar ajaib penuh naskah, yang butuh pahlawan sebagai sentuhan akhir dalam memuluskan drama. Kita menghadapi kemungkinan setiap hari. Kita selalu terbangun dengan melihat kemiskinan menjamuri baju-baju penuh noda dan robek milik pengemis di jalan, tidak pernah terbangun dan melihat ada seorang pahlawan yang datang membawa pesawat penuh dengan pundi-pundi uang dan menjatuhkannya di lampu-lampu merah untuk menyelamatkan manusia lainnya.

Mendengarkan perempuan adalah belajar tidak membicarakannya, belajar tidak mengasihaninya, ataupun belajar tidak menjadi pahlawan untuknya. Belajar hanya untuk memfasilitasi, bekerja sama, pun mendengarkan. Kemarahan ataupun rasa kasihan kita terhadap perempuan sesungguhnya adalah objektivikasi paling individualis. Kita seolah-oleh merasa bertanggung jawab terhadap sesuatu yang salah, tapi ternyata kita pun melakukan hal yang sama terhadap perempuan, secara garis besarnya kita ingin menjadi pahlawan.

Tentunya kita tidak bisa sepenuhnya menutup diri terhadap perempuan dalam sikap membiarkannya menyelamatkan dirinya sendiri. Kita bisa melakukan banyak hal, apalagi untuk melawan stigma, tanpa ada dominasi dari segi pikiran ataupun tindakan. Perempuan dan laki-laki harus melakukan perannya dengan sesuai. Ada beberapa cara, contohnya menempatkan diri hanya sebagai fasilitator, bukan artis, sebab perempuan bukan objek, justru merekalah penerima manfaat. Mereka bisa membicarakan sesuatu, ataupun tentang mereka, dan kita mulai belajar untuk mendengar.

Mendengarkan perempuan adalah sebuah konsep di mana kita sepenuhnya lepas dari posisi sebagai subjek. Kita—yang memahami isu ini—pun bisa terbantu dari segi pengalaman, ataupun pelajaran untuk diri sendiri. Menurut Sartre (2000) mengenai teori “ketidakhadiran”, apabila Anda sudah menjadi orang lain, dan menderita karena ketidakhadiran yang berkesinambungan pada kedalaman keberadaan (eksistensi, batin) Anda, maka Anda lebih tidak hadir daripada diri Anda sendiri. Ini yang harus dihindari, bagaimana perempuan tidak menjadi dirinya sendiri sebab kita terlalu sering memosisikan diri sebagai subjek, pun artis.

Peringatan hari perempuan misalnya, ini seperti sebuah mulut besar dengan suara nyaring yang harus dioptimalkan oleh perempuan untuk berbicara. Tentu berbicara di sini bisa dengan banyak hal, terlepas dari protes-protes atau kampanye yang dilakukan dalam memeriahkan hari perempuan. Bisa menggelar aktivitas yang melibatkan perempuan dalam memahami dirinya sendiri. Misalnya dengan menyediakan ruang-ruang kreatif, panggung untuk para perempuan.

Masih banyak perempuan yang bersepakat untuk mengucilkan dirinya dengan membiarkan dirinya menjadi objek. Jika kita melihat kecenderungan apa yang memengaruhi perempuan berbuat seperti itu, tentunya ini berkaitan erat dengan indsutri: film, korporasi, musik, dan lainnya. Di dalam beberapa hal—mungkin rata-rata—kita dengan mudah melihat bagaimana perempuan memerankan citra penggoda. Semua hal bisa berubah karena perempuan. Ini juga berlaku pada korporasi yang membuat pakem bahwa hanya perempuan yang berpenampilan menarik yang bisa diterima di perusahaannya, ditambah lagi dengan musik yang menegaskan posisi perempuan, Madu Tiga yang dinyanyikan oleh Ahmad Dhani misalnya.

Malawan Objektivikasi terhadap perempuan seharusnya tidak dilakukan dengan protes—mungkin bisa kalau kau artis, tapi bagaimana membangun. Mulai dengan sesuatu yang paling dekat dengan kita: diri sendiri. Bagaimana upaya membuat diri kita berlaku adil pada apa yang tertanam, diolah, dan dikeluarkan—dalam pemikiran. Protes menurut KBBI adalah protes/pro·tes/ /protés/ n pernyataan tidak menyetujui, menentang, menyangkal, dan sebagainya: sebagian orang melancarkan kecaman pedas dan — keras; sedangkan membangu menurut KBBI adalah membangun/mem·ba·ngun/ v bangkit berdiri; naik (tentang awan dan sebagainya). Tentu kita harus melihat ini dalam frame gerakan.

Protes tidak bisa dikatakan jelek, sebab melakukan protes bisa jadi adalah sebuah upaya penyadaran. Tapi apakah protes efektif dilakukan untuk melawan stigma tentang perempuan? Protes seperti arti yang sebenarnya adalah upaya menentang, pernyataan tidak menyetujui, menyangkal, dan sebagainya. Bagaimana jika protes itu tidak melibatkan banyak perempuan? Bagaimana jika perempuan lain merasa dirinya tidak terkena objektivikasi? Ini adalah persoalan mendasar dari sebuah gerakan. Di mana partisipasi amatlah penting guna menyesuaikan persepsi tentang objektivikasi dan perempuan. Membangun yang dimaksud di sini adalah sebuah upaya memfasilitasi perempuan untuk mengerti, memahami, dan menyelamatkan dirinya sendiri. Prosesnya pun dari bawah, mencari akar permasalahan yang menyentuh inti isu. Protes selama ini sekadar menggalang massa, mengolah isu, kemudian melemparkan ke publik. Ini adalah permasalahan, sebab setelah isu ini dilempar, dibiarkan begitu saja. Sebenarnya titik tekannya di sini adalah partisipatif. Bukan sekadar menciptakan room model untuk dijadikan percontohan massal yang berakhir menjadi isu saja.

Mendengarkan perempuan hanyalah sebuah upaya dari pemikiran saya yang dangkal. Sebuah pemikiran yang mungkin saja hanya jadi isu lagi dan lagi. Jika tidak diawali dengan sebuah gerakan dari yang paling kecil: diri sendiri, atau taruhlah lingkungan sekitar kita. Mengumpulkan data, mengolahnya, lalu menindakinya adalah alternatif yang paling mungkin. Bisa saja apa yang selama ini dikampanyekan oleh beberapa perempuan, dinikmati oleh perempuan lainnya dan itu disadari keberlangsungannya. Tentu saja kita tidak boleh sepihak menggeneralisasi apapun itu: perempuan mengalami objektivikasi. Atau saja, perkataan di atas bisa jadi karena yang menulis artikel ini adalah seorang laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai objek? Atau ia menulis dengan kelaki-lakiannya? Entahlah. Yang pasti lelaki ini terlahir dari rahim seorang perempuan yang dunianya dihabiskan dengan merawatnya, membangunkannya, melepaskannya, dan membiarkannya berpikir sendiri.