Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kini menjadi kebutuhan hidup masyarakat Indonesia . Segala bentuk aktivitas masyarakat melibatkan teknologi baik di bidang keagamaan, politik, ekonomi,sosial, dan budaya. Hingga, tak jarang masyarakat Indonesia kecenderungan mencari kebenaran melalui media. Hal ini sangatlah jelas dalam penggunaan media sebagai sarana informasi. Senada dengan ungkapkan oleh John Berger dalam sebuah jurnal bahwa “media adalah suatu cara melihat realitas the way of seeing“, terkait eksplifikasi fenomenal dan upaya manifestasi nilai-nilai berfikir individu. Berkaitan dengan realita sosial yang nampak di masyarakat Indonesia, tidak hanya memberi dampak baik, juga berdampak buruk. Selain itu, dampak lain yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan media sebagai sarana ritual kejahatan memicu berbagai persoalan di tanah air bahkan dunia.
Upaya-upaya kejahatan media saya ibaratkan sebuah ritual. Mengapa saya artikulasikan sebagai sebuah ritual sebab kegiatan ini dilakukan dengan sebuah tujuan tertentu, berkelanjutan, tertata dan melahirkan embrio baru. Ritual dari segelintir orang berkepentingan yang nampak terorganisir. Sebab mereka mampu menjelma sebagai media valid. Mereka menghasilkan produk informasi di antara berita media yang diyakini oleh masyarakat sebagai media valid.
Munculnya post truth yakni, sebuah tradisi yang lahir dari suatu golongan mempengaruhi golongan lain atas dasar keyakinan sepihak terhadap suatu substansi dengan mengesampingkan fakta dan data objektif yang merekonstruksinya. Menurut Oxford dalam sebuah artikel bahwa “post-truth diterjemahkan sebagai situasi di mana fakta dan realitas tidak lagi menjadi indikator kebenaran, melainkan opini orang secara personal berdasarkan emosi dan keyakinan secara pribadi”. Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran hanyalah bias dan subjektif. Kebenaran yang diada-adakan lantaran pransangka. Fakta yang terisolir oleh keyakinan personal. Lebih naasnya lagi, ritual ini menjadi paradigma masyarakat dalam kehidupan sosial dandemokrasi.
Lahirnya ritual kelompok ini di Indonesia dapat diidentifikasi dengan kemunculan akun- akun palsu. Akun bertindak sebagai sentral informasi yang berupaya mendominasi kebenaran media publik lain yang dilandasi fakta objektif. Para pelaku ritual melakukan kamuflase diberbagai sumber media yang telah diyakini masyarakat luas. Kamuflase dari akun hasil curian maupun dari hasil jual beli yang memiliki pengikut banyak. Para pelaku ritual memproduksi hingga mempublikasi informasi hoax yang mampu mendoktrin pola pikir masyarakat.
Nezar Patria, Anggota dewan pers dalam sebuah jurnal mengasumsikan bahwa post truth merupakan kondisi yang terjadi ketika informasi hoax digunakan untuk membangkitkan emosi dan sentimen publik. Media sebagai wadah penyalur informasi bohong yang mengelaborasi fenomena sosial yang menghantarkan khalayak publik pada keyakinan untuk melakukan suatu tindakan atas keyakinanya. Tindakan dari hasil pembenaran tanpa melibatkan identifikasi faktual dan aktual. Hasil identifikasi sebagai rujukan dalam menetapkan kebenaran sebuah pernyataan.
Berbicara tentang kebenaran saya teringat dengan pengalaman literasi tulisan Prof.Dr. Ahmad Syafii Maarif yang berjudul “Mencari Autentitas”, dalam bukunya menjelaskan tentang kebenaran sebuah ilmu yang tidak mutlak sebab kebenaran ilmu memiliki korelasi terhadap relativitas manusia terhadap lingkup ruang dan waktu. Sehingga mencari sebuah kebenaran produk media tidaklah cukup atas keyakinan dari diri atau sumber lain tanpa dilandasi atas fakta.
Dalam hal ini literasi media sangat mempengaruhi kekuatan asumsi masyarakat terhadap berita yang dilayangkan para pelaku ritual cyber media. Sehingga, kesadaran literasi media sangat dibutuhkan sebagai filterisasi terpaan media massa. Berkaca pada sejarah, literasi media mulai berkembang sejak tahun 1964 di UNESCO. Sejak itu, negara-negara mulai melirik literasi media. Di antaranya dengan melakukan literasi media melalui jalur pendidikan formal dan non-formal. Sedangkan literasi media di Indonesia mulai buming sejak tahun 2000- an setelah fenomena dampak media massa menggelitik eksistensi masyarakat di dunia maya. Khususnya dikalangan remaja dan masyarakat Indonesia umumnya.
Pelaku ritual media secara terpolarisasi melalui penyamaran akun media sosial hari ini tak lagi dapat dibendung. Berdasar pada sebuah jurnal, menggambarkan sebuah hasil penelitian Masyarakat Telematika (Mastel) tahun 2017 menunjukkan bahwa “sebanyak 92,40 % berita hoax diterima masyarakat melalui sosial media seperti facebook, twitter, instagram serta path. Sementara sebanyak 62,80 % diterima melalui aplikasi chatting seperti WhatsApp, Line, Telegram, dan sebanyak 34,90 % melalui situs web.
Jika dilihat dari jenis informasinya, peringkat pertama jenis hoax yang diterima masyarakat terdiri dari sebanyak 91,80 % berupa hoax masalah sosial dan politik, baik itu terkait pilkada ataupun tentang Pemerintah. Kedua, adalah masalah SARA sebanyak 88,60 %, Kesehatan sebanyak 41,20 %, makanan dan minuman sebanyak 32,60%, penipuan keuangan sebanyak 24,50%, Iptek sebanyak 23,70%, sisanya adalah jenis hoaks seperti berita duka, candaan, bencana alam, serta lalu lintas “. Menyikapi hal ini tentunya pemuda hari ini harus kritis dalam merespon produk media sosial.
Produk media era post truth ini juga erat diperbincangkan bahkan dikaitkan dengan demokrasi di Indonesia, pilpres menjadi salah satu mainstream terbentuknya cyberdemocracy media sosial. Fenomena politik yang lahir memposisikan masyarakat sekedar keterlibatan dalam pemilihan umum.
Demokrasi tidak berjalan sebagaimana esensi negara demokrasi. Kegagalan partai politik dalam mengintegrasi pendidikan politik bagi masyarakat, memicu timbulnya reaksi kelompok-kelompok oposisi dari satu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya. Kegagalan partai politik juga ungkapkan dalam buku yang ditulis oleh prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif dalam menyikapi masalah demokrasi di Indonesia, mengatakan bahwa “kita mengimbau kepada elite politik kita untuk bersedia berkaca diri agar tampang bopeng itu terlihat lebih nyata” .
Dari kutipan di atas mengisyaratkan kepada para elite politik untuk senantiasa berkaca diri guna menghindari paradikma berfikir yang mengedepankan sifat egoistis- parokialistis.
Kehadiran media sosial di era globalisasi mewadahi masyarakat demokratis dalam menyampaikan pendapat di ruang publik mendorong masyarakat untuk berinterakasi dengan bebas. Interaksi yang merekonstruksi pola pikir netizen dalam menanggapi fenomena kehidupan demokrasi negara. Netizen melontarkan berbagai opininya sebagai manifestasi demokrasinya melalui media sosial. Namun disisi lain, kebebasan justru melahirkan feonomena yang berbeda, fenomena dimana kebebasan berpendapat dan berekspresi yang irrasional membentuk pola politik informasi secara publisitas. Alhasil opini-opini yang bersifat propaganda tak dapat lagi terbendung guna mencapai tujuan politik tertentu, kemunculan berita hoax dimana-mana atau dikenal pula dengan istilah fake news. Opini yang lahir tidak lain untuk mempengaruhi emosi masyarakat terhadap kepentingan oknum-oknum tertentu yang berdiri dibelakang layar. Bahkan opini positif juga dimunculkan sebagai pencitraan untuk menarik simpati masyarakat.
Di era post truth, banyak hal dapat berubah. Berubah dalam artifisial tidak lagi pada porosnya, dengan istilah lain, seperti pada sebuah artikel kompas yang ditulis oleh subhan , bahwa “dunia bisa terbalik, ketidak jujuran bisa menjadi kejujuran. Kekeliruan juga bisa menjadi kebenaran”. Serupa pula dengan momok yang sering dilontarkan dari mulut masyarakat, bahwasanya kedudukan dan kekuasaan kini bisa dibeli dengan uang.
Sumber gambar: https://www.theguardian.com/commentisfree/2017/jan/31/post-truth-statistics-data-facts
Mahasiswa UNM. Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institute Makassar