Semua tulisan dari Haryati

Ibu rumah tangga yang masih haus mencari ilmu di kampus. Tercatat sebagai Mahasiswi Jamiatuzzahra Qom Iran. Email: harykoe@gmail.com

Perempuan Iran: Sebelum dan Sesudah Revolusi Islam

Menyusul kemenangan revolusi tahun 1979 dengan mengubah konsep negara kedaulatannya dari monarki menjadi Republik Islam dibawah kepemimpinan para Mullah, Iran telah mengubah konstelasi politik international. Profesor John Esposito, dalam Iranian Revolution: Its Global Impact, menulis, “Kawan dan lawan meyakini bahwa Revolusi Islam Iran sangat mempengaruhi dunia Islam dan Barat”.

Tampil dengan wajah baru, yang sangar terhadap AS dan Zionis, sejak itu pula,  Iran harus menerima sanksi embargo ekonomi dari AS dan sekutunya. Namun meski mendapat sanksi Iran sempat terlibat dalam konflik bersenjata selama 8 tahun dengan Irak.  Selama 43 tahun ini Iran terus menunjukkan kemandiriannya dan tetap bisa eksis diberbagai sektor.

Berbagai cara telah dilakukan AS untuk menghancurkan Republik Islam Iran. Selain dengan proxy-war,  melalui kekuatan media Iran dicitrakan sebagai negara teroris dan sistem Islam yang diterapkannya telah menginjak-injak kebebasan dan HAM, terutama terhadap kaum perempuan. Oleh media-media mainstream, perempuan Iran distigma sebagai perempuan yang mengalami pengekangan, diskriminasi dan ketertindasan dengan aturan-aturan Islam yang tidak ramah terhadap perempuan.

Sementara dari dalam, mereka yang anti terhadap Republik Islam dan berafiliasi dengan mantan rezim Shah, giat di media sosial mengkampanyekan seruan kebebasan perempuan. Mereka menggambarkan selama empat dekade terakhir perempuan Iran terampas kebebasannya. Perempuan tidak lagi mendapat kebebasan sebagaimana yang dulu mereka rasakan di era Pahlavi.  Banyak yang termakan oleh propaganda ini, terutama dari kelompok feminis. Sehingga Iran tidak pernah lepas menjadi contoh buruk, bahwa ketika Islam diterapkan sebagai hukum negara, perempuanlah yang pertama menjadi korbannya.

Dengan klaim negatif tersebut, tulisan ini menengahkan tinjauan secara adil mengenai kondisi perempuan Iran di era Pahlavi dan kondisi perempuan pasca revolusi, untuk memahami posisi, status dan martabat perempuan Iran di kedua periode tersebut.

Perempuan Iran di Era Pahlavi

Isu yang paling penting tentang kondisi perempuan Iran pada masa Reza Shah adalah penerapan kebijakan westernisasi dan modernisasi. Kebijakan ini dianggap sebagai simbol kemajuan dan peradaban, sehingga segala sesuatu yang berbau Barat, itu dianggap sebagai tanda kemajuan dan intelektualisme.

Penampilan perempuan harus kebarat-baratan dalam hal pendidikan, pakaian, kegiatan sosial bahkan sampai dalam hal berpikir. Reza Shah ingin perempuan Iran tampil progresif  yaitu dengan cara menanggalkan hijab, sebagaimana perempuan Barat tidak mengenakannya. Melalui program modernisasi Barat, perempuan Iran dicuci otaknya dengan memberikan gambaran kebebasan perempuan yang dimana perempuan bebas mengenakan jenis pakaian apapun yang mereka mau dan bebas kemana saja mereka suka, termasuk ke bar-bar dan diskotik.

Sepanjang era Pahlavi, jilbab selalu dipermalukan di media dan propaganda pers. Hijab disebut sebagai gaya berpakaian yang kolot dan tidak kekinian. Perempuan berhijab mendapat intimidasi dan perlakuan tidak adil. Penanggalan hijab perempuan dilakukan untuk membuat perempuan menjadi tampil lebih terbuka. Secara bertahap, perempuan mulai menggantikan jilbabnya dengan penutup yang tidak pantas dan bahkan vulgar. Pada puncaknya, perempuan Iran terjebak pada pergaulan bebas, menjadi mangsa buasnya pasar fashion, menjadi sekrup mesin kapitalisme dan yang menyedihkan membuang diri ketempat-tempat prostitusi.

Imam Khomeini menganggap bahwa situasi perempuan pada masa kediktatoran shah tak ubahnya dengan perempuan jahiliyah dan status spiritual perempuan diabaikan dan direduksi menjadi komoditas material.

Di era Pahlavi, masyarakat tidak memiliki hak dalam hidup mereka dan semuanya berada di bawah kontrol Shah. Perempuan tidak memainkan peran dalam berbagai ranah dan kehadirannya di area publik jarang terjadi. Perempuan seolah-olah diberi kebebasan, tetapi dalam pandangan mereka, kebebasan hanya berarti kebebasan dari belenggu agama.

Dalam sistem Taghut,  alih alih perempuan terlibat dalam partisipasi sosial dan politik, laki-laki sendiripun tidak mendapatkan haknya. Hak berpolitik dan bersuara dirampas paksa melalui pemenjaraan dan hukuman mati. Alih-alih memandang tinggi derajat kemanusiaan perempuan, justru mereka melihat gender dan ciri-ciri fisiknya sebagai komoditasi. Perempuan bak produk pabrik yang bisa dijual dan bisa memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Lebih dari itu semua, Shah sebagai kaisar, ia bebas melakukan apapun terhadap perempuan. Istananya kerap ramai oleh perempuan simpanan domestik dan pelacur asing. Perlakuan Pahlavi, adalah perilaku yang tidak manusiawi terhadap kepribadian perempuan. Karena rezim ini tidak memandang perempuan sebagai makhluk berfikir, konstruktif, dan kreatif. Perempuan dipandang hanya sebagai tubuh dan bentuk sensual semata. Perempuan yang dihargai dan mendapat tempat di era Rezim Despotik Pahlavi hanyalah yang berpenampilan cantik dan menarik sesuai konstruksi masyarakat barat. Sebuah penghinaan dan pelecehan terhadap martabat perempuan.

Kondisi perempuan setelah Revolusi Islam

Berbanding terbalik di era pasca revolusi Islam, perempuan Iran mendapatkan babak lain kehidupannya dengan berhak mengakses publik secara politik dan sosial dengan keintelektualan dan sumber daya yang dimiliki. Revolusi Islam memulihkan martabat perempuan Iran dan memperkenalkannya pada identitas aslinya. Perempuan tidak lagi dinilai dari fisiknya, tapi dari ruhnya, yang juga bisa berpikir dan memiliki harapan-harapan hidup sebagaimana laki-laki. Dalam empat dekade terakhir, perempuan Iran turut bersimbah peluh bersama laki-laki dalam mencapai tingkat profesional dan ilmiah yang tinggi di lingkungan yang aman dan bermoral.

Imam Khomeini percaya bahwa perempuan harus terlibat dalam menentukan nasib dan masa depan negara. Ia berkata. “Kami tidak bisa dan Islam tidak ingin perempuan berada di tangan kami sebagai objek dan boneka. Islam ingin menjaga kepribadian perempuan dan menjadikannya manusia yang serius dan efisien. Kami tidak akan pernah membiarkan perempuan hanya menjadi objek dan nafsu bagi laki-laki.” (Pidato di depan mahasiswi, 30/9/1979)

Ayatullah Sayid Ali Khamanei sebagai Pemimpin Tertinggi Iran saat ini juga mengatakan, “Di negara kita, tidak ada titik dalam sejarah, baik di masa lalu maupun selama westernisasi, kita tidak memiliki begitu banyak perempuan terpelajar. Kita tidak memiliki begitu banyak perempuan yang aktif dalam kegiatan sosial, kegiatan budaya, kegiatan ilmiah. Kita tidak memiliki begitu banyak perempuan dengan pemahaman politik dan analisis politik, kecuali di era Republik Islam.” (Pidato Sayid Ali Khamanei, pada hari Perempuan Iran, 8/2/2001)

Aturan pengenaan jilbab oleh negara bukan penghalang dan pengekangan kebebasan bagi perempuan untuk bisa aktif diberbagai sektor pembangunan bangsa dan negara. Sebab dengan berjilbab pun perempuan Iran tidak kalah berprestasinya.

Di Republik Islam Iran saat ini, data statistik Iran menyebutkan 97 % perempuan berpendidikan. Lebih dari 60 % Mahasiswa sekarang adalah perempuan dengan 22,7 % perempuan Iran memiliki pendidikan pasca sarjana, jumlah professor perempuan di Iran ada 2100 orang. Majalah Forbes menyebutkan, 70% mahasiswa perempuan Iran di bidang sains dan Tekhnik, karenanya tidak heran, jumlah peneliti dan ilmuan perempuan Iran lebih banyak dari laki-lakinya. 4.000 perusahaan sains dan 30 persen diantaranya dipimpin oleh perempuan.

Ada 2000 LSM perempuan, 712 jurnal  perempuan, 540.000 atlit profesional perempuan dengan 160 medali Iran di kompetisi olahraga internasional dipersembahkan atlit perempuan. Dari total 2423 perusahaan startup Iran, 320 diantaranya co-foundernya perempuan. Seniman Iran 40%nya perempuan, termasuk aktris dan ada 25 sutradara perempuan yang diantaranya telah menyabet berbagai penghargaan nasional dan internasional.  Ada 60 ribu perempuan yang menjadi dokter spesialis, 8000 penulis perempuan dengan karya tulis diberbagai bidang.  Di bidang politik, ada wakil presiden dan menteri perempuan, ada 4 gubernur perempuan, 7 wakil gubernur, 8 walikota, 19 bupati, 3574 anggota parlemen disemua tingkatan dan masih banyak fakta lainnya yang menunjukkan kebebasan perempuan  dalam memberikan kotribusi bagi kemajuan negara.

Perempuan Iran tidak akan pernah melupakan penindasan perempuan atas nama kebebasan dan modernisasi. Pada periode Pahlavi, mereka belajar bahwa kebebasan perempuan hanya akses menuju korupsi dan prostitusi. Penyebaran korupsi dan kerusakan moral inilah menyebabkan perempuan Iran ikut di barisan garda terdepan dalam melawan dan menggulingkan rezim diktator Pahlavi.

Dirgahayu Kemenangan Revolusi Islam Iran ke 43.

Media dan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan

Kekerasan seksual terhadap perempuan terus saja menjadi momok. Dari tahun ke tahun, kasus kekerasan terus meningkat dan sulit dibendung. Ironisnya, tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka terhadap pesoalan ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa kehidupan perempuan krisis aman. Bukan angka kasusnya saja yang meningkat, modus dan perilaku kekerasan seksual makin variatif mengikuti perkembangan teknologi.

Mencari akar pemicu kekerasan seksual tak ubahnya mencari ujung benang yang sudah kusut. Penyebabnya sudah terkait satu sama lain. Dari sistem, agama, politik, sosial hingga media. Masing-masing memiliki dalih pembelaan agar tidak berada dalam posisi tertuduh namun pada realitasnya bisa terlihat jelas, jumlah kaum perempuan yang terpapar kekerasan seksual terus bertambah.

Dalam pasal 1 deklarasi PBB, mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perilaku atau tindakan berdasar pada jenis kelamin yang akibatnya korban mendapati kesengsaraan baik fisik, seksual, psikologis termasuk intimidasi tertentu, mendesak atau perampasan kekuasaan yang sekehendak hati , baik di umum ataupun kehidupan pribadi.

Kekerasan seksual tidak melulu dalam tindakan fisik seperti pemerkosaan dan pencabulan. Namun dalam bentuk verbal misalnya pelecehan; cat calling, cyber stalking, atau cyber harrasment hadir membayang-bayangi perempuan. Bukan pula terjadi hanya pada ranah personal, dalam publik juga demikian. Dari lingkup rumah tangga hingga pada wilayah pacaran  pun kekerasan seksual banyak ditemukan. Bahkan data yang diperoleh tahun 2020 oleh KOMNAS Perempuan, pelaku tingkat kekerasan seksual terbanyak adalah pacar.

Catatan Akhir Tahun (CATAHU) KOMNAS Perempuan 2021 melaporkan selama 10 tahun terakhir, yang menempati angka tertinggi kekerasan terhadap perempuan secara konsisten setiap tahunnyaadalah ranah personaldan tidak sedikit di antaranya mengalami kekerasan seksual. Dalam ranah publik tercatat bahwa jenis dan bentuk kekerasan terhadap perempuan, masih sama seperti tahun lalu di mana kekerasan seksual masih menempati posisi pertama. Perbedaannya adalah jika tahun lalu perkosaan menempati urutan pertama.Tahun 2020, kasus kekerasan seksual yang lain ada di urutan pertama dengan 371 kasus, diikuti oleh perkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181 kasus) dan pencabulan (166 kasus).

Bentuk dan jenis kekerasan terhadap perempuan di ranah publik atau komunitas biasanya adalah di lingkungan kerja, bermasyarakat, rukun tetangga, ataupun lembaga pendidikan atau sekolah. Pada ranah komunitas, juga ada kategori khusus perempuan pekerja migran. dan perdagangan orang (trafiking). Kekerasan seksual baik ranah personal ataupun publik, secara konsisten masih menjadi terbanyak kedua bentuk kekerasan yang masuk dalam pelaporan.

Bisnis Sensual Industri Media dan Kekerasan Seksual

Kita sekarang berada pada masyarakat kapitalis. Korban era materialistik, hedonistik, sekuralistik, dan individualistik. Materialistik karena memandang perempuan sebatas tubuh (jasad) tidak memandang perempuan sebagai manusia seutuhnya. Perempuan dijadikan objek, alat komoditi dan alat kontrol sistem kapitalis.

Hedonistik karena cenderung pada kesenangan semata, menikmati masa glamour, populer dan viral. Karena dengan itu bisa mendongkrak jumlah penonton, mengejar rating industri, dan menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Sekuralistik karena agama bukan acuan hidup lagi, moral terkikis dengan tuntutan pasar. Individualistik, karena tidak memandang kemanusiaan lagi. Kepentingan pribadi bermain,  tanpa memikirkan orang-orang disekitarnya, kehormatan keluarga dan norma-norma masyarakat yang berlaku.

Tidak bisa dimungkiri bahwa salah satu faktor meningkatnya kekerasan seksual terhadap perempuan adalah peran media. Media dominan dalam memberi pengaruh terhadap individu, kelompok maupun kehidupan sosial masyarakat. Karena media memiliki otoritas tinggi untuk membentuk perilaku, persepsi bahkan ideologi masyarakat. Namun sayangnya, yang seharusnya media memberi pengaruh positif, media justru lebih banyak memberi pengaruh negatif terutama dalam hal memicu meningkatnya tindakan kekerasan seksual. Entah itu elektronik, cetak, iklan, sampai game online.

Media secara arbiter menampilkan sisi-sisi sensasional perempuan yang berbau pornografi, pornoteks, pornowicara dan porno-porno lainnya. Lewat propaganda iklan, masyarakat dihegemoni tentang tubuh ideal dan defenisi cantik. Sehingga terbentuk persepsi masyarakat tentang tubuh yang sempurna, baik bentuk, ukuran, warna maupun bau. Tentu dengan memvisualisasikan tubuh perempuan, dari rambut hingga kaki.

Bagian tubuh perempuan yang paling banyak diekploitasi oleh iklan adalah wajah, bibir, dada, punggung, pinggul, betis, dan paha. Terlihat dipelbagai iklan sabun, handbody lotion yang mengkomersilkan tubuh perempuan. Dengan mempertontonkan aksi sensual saat mandi dengan bergaya erotis. Mengusap bagian tangan, dada, punggung dan betis secara lembut dengan sabun, lalu menunjukkan hasil dengan menampakkan kembali bagian tubuh perempuan tersebut. Perempuan yang berpenampilan sensual inilah dinilai sebagai arena selera media atau pasar. Karena memang ideologi pasar  juga sudah menjadi acuan utama industri media.

Kekerasan seksual terhadap perempuan tidak berhenti pada dunia iklan saja. Dalam dunia perfilman pun demikian. Tayangan film, sinetron bahkan pada acara komedi, perempuan tetap diposisikan sebagai objek seksual. Mereka tidak segan-segan menunjukkan posisi perempuan termarginalkan secara eufisme (penghalusan makna untuk menjadikan perempuan objek), disfemisme (bahasa kasar; penggoda, perempuan nakal), labelan atau stereotipe (lemah, tidak mandiri).

Dari judul film atau sinetron hingga adegannya, menampakkan perempuan sebagai pemuas nafsu penonton akan seksualitas. Dengan menghadirkan adegan-adegan yang bertendensi sensual. Judul paling teringat sampai sekarang adalah Inem Pelayan seksi. Dalam tayangan film Dono Kasino Indro pun sebagai film komedi, hampir keseluruhan filmnya menampilkan perempuan pakaian minim, menayangkan perempuan yang dikesankan murahan.

Banyaknya kekerasan dalam film, sinetron atau komedi membentuk persepsi masyarakat terhadap perempuan hanya sebatas tubuh. Kemudian menguatkan pandangan masyarakat terhadap perempuan sebagai objek seksual belaka. Praktik-praktik ini secara tidak sadar mempertahankan status quo perilaku media.

Media pun dipercaya turut memberi andil dalam memoles kenyataan sosial dalam bentuk teks. Menggambarkan fakta atau realitas dari hasil produksi dan reproduksi kata. Dalam artian bahwa masyarakat tidak melihat fakta atau realitas sesungguhnya. Melainkan fakta yang telah dikonstruksi oleh pihak media dengan kepentingan-kepentingan yang bermain di baliknya.

Dalam pemberitaan di media cetak atau online kekerasan seksual terhadap perempuan juga terjadi. Media cetak seperti surat kabar, majalah atau tabloid. Dengan menampilkan judul berita berdasar seksualitas perempuan, narasi-narasi yang diberitakan tentang pemerkosaan atau pelecehan terhadap perempuan membuat pembaca berfantasi dan seolah-olah kejadian yang terjadi tampak di depan mata. Selain itu, pemilihan diksi yang bias dan tidak berpihak kepada korban. Misal dalam perkosaan, menggunakan kata menyetubuhi, menggilir atau menggagahi.

Penulis berita kadang tidak peduli dengan kondisi korban. Tidak memberikan ruang bagi korban untuk membela diri bahkan terkesan memojokkan korban tanpa memperhatikan imbas dari pemberitaan yang dilakukan media. Media harusnya melek terhadap penderitaan yang dialami korban, konsekuensi yang harus diterima dan stigma sosial yang ditanggung yang berefek pada psikologi korban atas pemberitaan yang dibuat.

Media menjadikan tubuh perempuan sebagai bahan komersil dan eksploitasi, agar memperoleh keuntungan besar baginya. Tak bisa kita nafikan bahwa media berada dalam kontrol kaum kapitalis. Sehingga sampai saat ini, ideologi media mengalami reduksi cenderung bersifat komersil. Karena media pada dasarnya bukan tidak berdiri secara otonom. Media dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Misal, penanam modal, tekanan politik, pemasang iklan dan faktor eksternal lainnya.

Semua itu bukan tidak sengaja. Karena tayangan atau berita ini berada sepenuhnya di tangan media.Semua yang terpublish  sudah melalui proses dan pertimbangan tim media sebelumnya. Posisi media bisa kita simpulkan sampai saat ini, sudah mengalami degradasi fungsi. Alih-alih mengedukasi masyarakat, memberikan wacana yang netral kepada masyarakat tanpa memandang gender. Malah kekerasan seksual terhadap perempuan semakin meningkat. Media harus disadarkan dan kembali pada fungsi yang seharusnya. Menyediakan informasi yang bukan hanya real sesuai fakta namun juga memiliki pesan edukasi dan pencerahan.

Ilustrasi: https://insights.dice.com/

Bahan Bacaan yang Disarankan:

Ayu Erivah Rossy Dan Umaimah Wahid: Analisis Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media Online Detik.Com

https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/perempan-dalam-himpitan-pandemi-lonjakan-kekerasan-seksual-kekerasan-siber-perkawinan-anak-dan-keterbatasan-penanganan-di-tengah-covid-19-catahu-2021-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2020

Liestianingsih dwi dayanti; Potret kekerasan gender dalam sinetron komedi di televisi

https://kumparan.com/ayu-sari-chandraningtyas/pelecehan-seksual-terhadap-perempuan-di-media-sosial-1uzmU0LZVhH

http://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/objektifikasi-perempuan-oleh-media-pembakuan-identitas-perempuan-dan-dominasi-kekuasaan-laki-laki

Bahtar HM; Eksploitasi wanita di media massa (Perspektif teori sosial dan komunikasi islam)

Supratman, Lucy Pujasari; Representasi Citra Perempuan di Media

Daud Ibrahim, Marwah; Seksploitasi: Citra Perempuan dalam Media” : 1990

Hentikan Kekerasan pada Perempuan!

Saya bergabung dalam salah satu grup WhatsApp, yang bisa dibilang beranggotakan akademisi, aktivis, politisi dan intelektual secara umum. Saban hari perbincangan di grup ini tidak pernah lepas dari obrolan tentang beragam topik, mulai dari agama, pendidikan, budaya, ekonomi, sosial sampai situasi politik terkini. Saya sangat menikmati diskusi yang tersampaikan secara santai di grup tersebut, setidaknya tahu mengenai perkembangan terbaru di tanah air, meski sedang berada di luar negeri.

Namun ada hal yang sangat mengganggu, dan bagi saya pribadi sangat mengusik kenyamanan alur diskusi yang ada. Di sela-sela obrolan yang memang serius tapi santai tersebut, terkadang ada saja dari anggota grup (lebih seringnya laki-laki) yang membagikan sejumlah stiker perempuan yang menonjolkan bentuk tubuh yang sensual disertai teks yang tidak etis.

Disadari atau tidak, membagikan gambar perempuan demikian sebagai objek candaan, adalah salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan (sexual harassment) bagi kaum perempuan. Tindakan tersebut mau tidak mau oleh pakar gender termasuk kekerasan pornografi. Mansour Fakih dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial mengatakan, “Kekerasan Pornografi adalah jenis kekerasan non fisik terhadap perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang.”

Memberikan alasan bahwa stiker tersebut hanya bermaksud candaan, tidak dapat diterima. Jika bagian tubuh perempuan yang kerap kali dijadikan objek seksual dijadikan bahan candaan, maka itu dengan sendirinya akan membudaya dan menjadi pembenaran hingga akhirnya dianggap normal. Jika dalam masyarakat, sesuatu yang abnormal telah dianggap normal, maka bisa dikatakan, masyarakat tersebut berpenyakit.

Mungkin sesama perempuan yang melihat stiker tersebut juga meresponnya dengan emoticon tertawa tetap tidak menjadi pembenaran bahwa itu bukan pelecehan terhadap perempuan. Pierre Bourdieu dalam bukunya Dominasi Maskulin menyebut perbuatan tersebut sebagai kekerasan simbolik pada perempuan. Ia menulis, bentuk kekerasan simbolik pada perempuan memang terjadi secara halus, tidak melukai fisik tapi berefek negatif secara meluas. Karena itu, kita kerap menemukan dalih, “Ah ini hanya candaan, hidup kok kaku banget,” dan seterusnya.

Sekali lagi, Mansour Fakih dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial mengatakan kekerasan (violence) tidak melulu berupa serangan fisik ataupun integritas mental psikologi seseorang, namun kekerasan juga bisa berupa Bahasa/wacana, simbol dan representasi di mana ini menjadi alat/bentuk kekerasan secara simbolik. Tanpa sadar, mereka yang kerap kali menjadikan perempuan sebagai objek candaan meski tidak bermaksud merendahkan dan melecehkan menunjukkan adanya watak misogini pada pelakunya.

Pada stiker bergambar perempuan berpose sensual jelas mengandung unsur misogini di dalamnya. Bagi misoginis, perempuan adalah objek yang pasif, baik sebagai objek seksualitas pria maupun obyek candaan yang bisa dijadikan lelucon. Misoginis tidak akan segan atau malu-malu untuk merendahkan perempuan, karena menurutnya perempuan hanyalah objek. Dengan memperlakukan perempuan hanya sebagai objek, secara tidak langsung misoginis hendak menunjukkan dominasinya. Dan meski bergerak secara halus sehingga diabaikan dan dianggap wajar, efek parahnya ada pada meningkatnya kualitas dan kuantitas kekerasan secara sadar atau tidak.

Kekerasan Sehalus Apapun, Jangan Dibiarkan

Kekerasan terjadi terhadap perempuan terus terpelihara dengan langgeng dikarenakan adanya tindakan permisif dikalangan masyarakat yang memberikan angin atas tindakan tersebut. Misal, siulan (rayuan laki-laki), atau to the point stiker seksi yang marak di Whatsapp. Ketika sekelompok masyarakat sekeliling menganggap ini sebuah kewajaran, biasa saja atau tidak mau ikut campur (baca: mendiamkan) maka kekerasan yang lebih tinggi misal pemukulan suami terhadap istri biasanya akan dianggap/ditanggapi tetangganya dengan sikap bahwa itu adalah masalah privat/internal keluarga olehnya itu ada perasaan ketidaklayakan untuk ikut terlibat di dalamnya.

Sadar atau tidak, kita seringkali bersikap apatis terhadap berbagai bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan, meskipun kita sendiri tidak terlibat didalamnya, tetapi perlu kita ketahui bahwa laki-laki ataupun perempuan ikut bertanggungjawab atas setiap pelecehan, kekerasan yang dilakukan oleh siapapun.

Karena semua kalangan masyarakat berpotensi sebagai korban kekerasan/pelecehan atau sebaliknya, jadi kita sebagai salah satu bagian masyarakat ikut bertanggung jawab atas pelbagai kekerasan yang dimana-mana, kita tidak boleh mengatakan bahwa “yang penting bukan saya”, “saya nggak mau ikut campur, karna bukan urusan saya”, atau paling parahnya, ada yang bersikap diam, pasif dan tidak peduli meski sadar itu kekerasan. Kita harus tahu, bahwa mungkin bukan hari ini adik, kakak, ibu dan orang-orang terdekat kita yang mengalaminya, tetapi suatu saat akan merembes juga akhirnya kepada mereka. Karna kekerasan tidak pernah mengenal siapa korbannya, usia, pendidikan, atau status sosialnya.

Kalau ternyata, kaum intelektual sendiri masih larut dan nyaman dengan kekerasan simbolik yang dilakukannya, kepada siapa lagi kita berharap. Olehnya itu, mari kita menghentikan kekerasan dari hal yang kecil, dari lingkungan terkecil kita dulu, dari grup Whatsapp kita saja dulu.

Sumber gambar: https://www.telegraph.co.uk/family/life/full-stop-onwhatsapp-cutting-weapon-choice-use-wisely/