Semua tulisan dari Hasriadi Al Farabi

Penulis berasal dari Bantaeng. Mahasiswa Pascasarjana pharmaceutical Sciences, Naresuan University. Peneliti obat dan penyuka fakta-fakta sains.

LI Junyang dan Merpati

Foto ini menggambarkan banyak hal, tampak seorang anak mengusap air mata Ibunya. LI Junyang, seorang anak belia dari kota Shanghai, China. Dia berusia 3 tahun dan diagnosa mengidap kanker neuroblastoma. Orang tuanya kehabisan dana tak mampu membayar, tampak ibunya terseduh seduh menangis menyaksikkan anaknya. Menyedihkan memang, seorang anak lahir, sejenak di dunia, tiba-tiba harus bertarung melawan sakit yang mematikan.

Dari kisah ini, pertanyaan-pertanyaan eksistensial terkadang nyeletuk dalam hati, “untuk apa seorang anak dilahirkan, merasakan sakit dan nyeri, kemudian mati?”. “Mengapa seorang anak kecil tanpa dosa itu lahir untuk cuma merasakan nyeri sakit?”. Agak serupa dengan Albert Camus, dia menggugat dan menafsir dunia ini dengan apa yang disebutnya dengan absurbditas, “manusia lahir di dunia ini, tanpa kehendaknya, tak pernah memintanya, kemudian tiba-tiba hidup di dunia ini, pada saat tiba waktunya dia akan berhadapan dengan kematian, yang bisa saja dengan kehendaknya, ingin menolaknya, tapi tak ada daya untuk itu”.

lets look at the logic, You create a man. Man suffers enormous amounts of pain. Man dies.” Kutipan tersebut salah satu pertanyaan eksistensial Patch Adam, sorang dokter yang kisahnya sudah diaadaptasi menjadi sebuah film. Dia banyak berdekatan dengan orang sakit, menyaksikan banyak orang yang menderita karena penyakit, para anak-anak kecil penderita kanker, menyaksikan pasien yang menderita secara psikis, dan pada akhirnya berujung dengan kematian. Rasa sakit dan kematian sebagai sesuatu talian yang berikatan erat. Ada yang sejenak merasakan sakit,lalu mati, tapi banyak pula diantaranya disepanjang hidupnya menderita sakit dan akhirnya mati pula.

What’s wrong with death? What are we so mortally afraid of’ …”Death is not the enemy”. Patch Adam menerjemahkan bahwa kematian bukanlah musuh dan suatu hal yang perlu ditakuti, kematian adalah sebuah keniscayaan. Banyak orang fokus memanjangkan usia, tapi abai tehadap kualitas kehidupannya. Hal-hal sederhana sebenarnya dapat dilakukan, baik itu menjaga kondisi psikis, berinterakkis ataupun sekedar humor. Menurutnya, meningkatkan kualitas kehidupan lebih essensial dari pada sekedar memanjangkan kehidupan.

Lanjutan pertanyaan eksistensial tersebut adalah “apa yang terjadi setelah kematian?”. Banyak otoritas yang memberi jawaban persoalan-persoalan pasca kematian. Beberapa orang menyandarkan pertanyaan-pertanyaan ini pada otoritas tertentu untuk memperoleh jawaban yang dianggapnya memuaskan. Walaupun demikian, sedikit banyak atau tidak, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kadang kala muncul adalah rekaan-rekaan atau hanya sekedar imaginasi yang muncul dari desain inderawi dan kerja-kerja akal. Tak ada yang tahu jelas dan persis, akan bagaimana nantinya.

Lain lagi dengan Prof. Komaruddin Hidayat, beliau menangap hal ini sebagai suatu peristiwa yang seyogyanya dirindukan, sebagai sebuah peristiwa kembalinya hal yang essential pada diri manusia, yaitu roh, pada tempatnya. Sebagaimana kita merayakan Idul Fitri, kita menyambutnya dengan suka cita, pulang kmapungbertemu dengan sanak keluarga, kita menanti nantinya dan merindukannya. Kenapa tidak dengan kematian?

Sebuah kutipan sajak dari Ibnu Sina tentang apa yang ada dan esensial dalam diri manusia, yaitu roh, dengan analogi merpati. Ruh dan tubuh manusia dianggapnya dua entitas berbeda. Ruh datang bak burung ditubuh manusia yang dianggapnya sebagai sangkar. “Ia (ruh) itu turun dari tempat yang tinggi. hai tubuh bernama manusia, bagai merpati jinak enggan dan menghindar, Ia tiba kepadamu dengan terpaksa, dan boleh jadi enggan berpisah kendati ia penuh keluhan, engganlah Ia dan tidak senang menyatu denganmu, tetapi begitu menyatu akhirnya terbiasa, bersanding dengan kebobrokan yang kumuh, lalu Ia lupa dengan janji-janinya ketika berada di alamnya yang tinggi, ia akan menangis jika mengingat janji-janjinya dialamnya yang luhur …”, demikian sajak Ibnu Sina tentang Roh itu. Jadi, kita semua manusia memiliki merpati-merpati dalam diri kita masing-masing.

“Hai, LI Junyang, adikku, merpati dalam dirimu masih tampak segar, cerah, bisa balik kepangkuannya dengan rian gembira, sedangkan saat ini saya masih meratapi diri, merpati yang hinggap dalam diriku, sayapnya tampak lusuh dan kusut, di perjalanannya nanti, entah bisa berbalik dengan gembira atau tidak”. Lalu, siapa yang layak dikasihani?

 

Sumber gambar: http://dailymail.co.uk

Dialog Imajiner Heraclitus dengan Daeng Pete-pete

Ada yang terasa berbeda tempo hari, sepanjang perjalanan, Daeng sopir pete-pete sepi penumpang. Daeng memalingkan kepala ke kanan ke kiri, tatapan yang presisi ke setiap sudut jalan, berharap ada penumpang yang tampak dan terlihat. Malang benar, hampir sampai pada titik akhir terminal kota, tak satu pun penumpang yang bertambah, hanya aku seorang yang ada dalam pete-pete di sepanjang perjalanan.

***

Situasi di atas kontras sekali dengan pemandangan 5-10 tahun yang lalu. Saya telah menjadi pelanggan setia pete-pete sejak SD di Bone. Jarak dari rumah saya ke sekolah sekitar 9 km, butuh jasa pete-pete untuk “memanjangkan” kaki saya sampai di sekolah. Masa SMP – SMA. Saya pindah ke Bantaeng, tepatnya di Kelurahan Tanah Loe. Jarak rumah ke sekolah berkisar 14 km. Lagi-lagi butuh jasa pete-pete untuk memudahkan akselerasi saya. Bahkan awal-awal mau kuliah di Makassar pun, saya masih sempat menikmati jasa pete-pete.

Kala itu, Daeng pete-pete berada di puncak kejayaan, kita anak sekolahan kadang kala dicuekin sama daeng pete-pete, gara-gara bayarnya dikit dibandingkan orang dewasa. Daeng pete-pete kadang seenaknya menurunkan saya dan penumpang lainnya di jalan, walaupun belum sampai ke tempat tujuan, karena ingin berbalik arah dengan penumpang yang lebih banyak. Tapi ada suatu hal yang membanggakan bagi saya.

Daeng pete-pete waktu itu sering kali mendapat posisi yang terhormat. Tak jarang banyak Daeng yang mendapatkan bunga desa, karena pada waktu itu, memiliki menantu Daeng Pete-pete adalah sebuah kebangaan. Tapi itu dulu, entah apa gerangan, puncak kejayaan itu perlahan-lahan runtuh dan luntur, daeng pete-pete kadang meringis tidak mendapatkan penumpang.

***

Sekitar 2 km lagi akan sampai di terminal kota. Di depan ada persinggahan. Daeng pete-pete’ mampir sejenak untuk sekadar merokok, sambil berharap ada penumpang yang datang. Waktu itu tiba, ada penumpang yang naik dan langsung duduk di bagian depan, pas di samping Daeng pete-pete, tiba-tiba orang itu nyeletuk. ”Hai, Daeng, namaku Heraclitus, saya tinggal di Bisappu,” ucapnya. Senyum si Daeng tampak merekah, sambil berucap “Iye’ Hera, mau ke terminal jiki’ toh?” Heraclitus merespons dengan hanya menaikkan keningnya.

Sepanjang perjalanan terjadi percakapan yang intens anatara Heraclitus dan Daeng pete-pete.

Daeng: Di mana ki’ di Bissappu, Pak? Jarang-jarang ki’ kulihat, padahal saya sering antar penumpang di sana.

Hera: Baru ka’ memang lagi sekarang di Bisappu, saya dulu lama ka’ di Epheus, Turki, sekitar 2000 tahun yang lalu.”

Daeng: Terlalu tongi becandanya ini Bapak, di mana sedeng dibilang Epheus, di sebelah mananya Makassar? Dari 2000 tahun lalui bede’ di sana, jangan ki’ terlalu kalau bercanda, Pak!

Hera cuma meresponsnya sambil tertawa, dan melanjutkan percakapan.

Hera: Kenapa sedikit sekali penumpang ta’, Pak? Dua orang ji ini di dalam pete-pete.

Daeng: Sepi sekali penumpang sekarang … (ucapnya lirih). Tidak sama mi beberapa tahun yang lalu, susah mi dapat penumpang, ada semua mi motornya orang, ada mi juga ojek online, mobil online, banyak mi macam-macamnya, ndak kutahu kenapa bisa begini sekarang!

Hera: Bagaimana memang waktu jaman jaman dulu, Daeng?

Daeng: Dulu, penumpang di mana-mana, keluar ta’ kasi’ jalan mobil banyak mi penumpang, dulu anak sekolah ndak mau jiki’ ambil i, ka sedikit ji na-bayar, sekarang di tunggu i mi anak sekolah di depan gerbangnya, kayak jadi miki’ sopir pribadinya anak sekolah, ka dia mami bisa diangkut, yang lainnya, ada semua mi motornya masing-masing. (Sambil menghel napas, si Daeng melanjutkan pembicaraan). Dulu, Mama’ na, Mama’nya anak-anak, gadis tercantik di desanya, sekali tunjuk ji mau mi sama saya, saking berkharismanya Daeng Pete-pete  waktu itu.

Hera: Kenapa memang sekarang, Daeng?

Daeng: Sekarang, mustahil mi Daeng Pete-pete dapat bunga desa, mustahil mentong mi. Sekarang serba susah mi Pak Hera, kurang sekali mi penumpang. Dulu, kalau penumpang turun dari pete pete, tidak lupa I bilang “Terima kasih, Daeng”, sekarang tidak ada mi, biar terima kasih susah tong mi didapat.

Sambil tertawa pak Hera, menaikkan kaki pada jok mobil, kali ini dia tampak angkuh sekali.

Hera: Eee Daeng! Kita lihat ji air yang mengalir di bawah jembatan Lamalaka? Hari ini, coba kau lompat di situ, besoknya coba kau lompat lagi, apakah air yang membasahi tubuhmu hari ini sama dengan air yang membasahi mu besok? Begitu tong ji juga dengan kehidupan, lain dulu lain sekarang, lain bolu lain cakalang  (dia berucap sambil tertawa).

Daeng: Nassami tidak iya, Pak Hera, tapi sopan-sopan tong miki’ kalau ngomong ki’  (Si Daeng kelihatan murka).

Walaupun agak jengkel dengan sikap Pak Hera, si Daeng tampak penasaran dengan Pak Hera

Daeng: Bagaimana mi pale saya ini, Pak Hera? harus ka’ demo ke Pak Bupati soal itu ojek online supaya nabuatkan ki’ aturan, ka bagus tongi kalau banyak penumpang bela.

Hera: (Sambil tertawa menepuk kaca jendela mobil). Daeng, hidup itu adalah perang, alias assibakjiang, dan pertentangan itu ada di kehidupan dan sebuah keniscayaan, pertentangan- pertentangan inilah yang membuat segala sesuatu tumbuh dan berguna.

Daeng: (Dengan nada heran si Daeng menatap Pak Hera) Gila alias pongoro’ mi anne Pak Hera, mana ada perang dan pertentangan membuat sesuatu tumbuh dan berguna?!

Hera: (Mata Pak Hera melotot memandang si Daeng) Perang kebaikan dan keburukan itu adalah pertentangan, tapi satu kesatuan. Sebagai contoh, kalau robek jidat ta’, pergi ki’ ke dokter untuk nasembuhkan ki’, caranya dengan nabuat ki’ sakit, najahit dan nabedah kepala ta’, namintaki ki’ lagi uang upah, itu semua nabuat ki’ sakit, tapi ada akhirnya nasembuhkan jiki’. Satu lagi contoh. BPJS, itu mempunyai dua sisi, kebaikan dan keburukan, kebaikannya adalah bisa ki’ berobat pada saat sakit berat maupun ringan, tapi di saat yang sama keburukannya adalah harus ki’ membayar tiap bulan untuk biaya asuransinya! Tapi… satu ji yang ingin kusamapikan Daeng, pertentangan itu hadir untuk memberikan harmoni, jadi santai miki’, dunia ji ini!”

Daeng: Bingung ma juga mau bagaimana Pak Hera, setiap malam berdoa ma sama Dewata e, bagaimana supaya dimudahkan ini hidupku kodong, Tapi… dibalas dengan Tuhan dengan kondisi seperti ini ji…. (berucap dengan nada lirih).

Hera: (Si Hera cuma tertawa ke arah si Daeng, tak nampak sekali ada rasa sedih atau iba mendengar curhatan si Daeng) Ee Daeng, Tuhan menghargai manusia yang bertarung dalam kehidupannya. Bagi kita melihat perang ini adalah sesuatu yang tidak wajar, tapi bagi Tuhan mungkin tidak seperti itu, ini dispensasi atas segala kejadian, dan menghasilkannya sebagai suatu harmoni.

Daeng hanya mengangguk, entah dia bingung atau mengerti.

Hera: Beberapa abad yang lalu, manusia bertarung untuk mengisi perutnya, kebanyakan orang-orang kelaparan, tapi lihatlah manusia modern sekarang, mereka bertarung melawan kegemukan, itu contoh pertentangan! Beberapa tahun silam sebelum dokar, bendi, yang biasa mengantarkan para ibu ke pasar, dengan kehadiran pete-pete, berhasil menggilas dokar-dokar itu, lalu mengapa kau mengeluh dengan apa yang terjadi pada dirimu saat ini? Dulu kamu menggilas  dokar-dokar itu, sekarang kamu digilas dengan ojek online dengan teknologi yang mumpuni itu. Pertentangan itu hal yang lumrah terjadi di bumi ini, Daeng. Apa yang perlu kau ratapi?

Daeng: Iye’, iye’… Jadi, sampai berapa lama mi ojek teknologi itu akan bertahan di puncak singgasana?

Hera: (Tampak serius menjawab pertanyaan si Daeng) Hidup itu mengalir seperti sungai, lihat ojek online itu, dia menjemput pelanggan di mana pun dengan titik presisi yang tinggi, bahkan kalau bisa, menjemputmu tepat di depan kamarmu, orang-orang di Indonesia itu miskin dan malas untuk bergerak, tempo hari ada penelitian yang menyebutkan bahwa orang Indonesia itu sebagai orang yang malas bergerak, dan itu bisa berefek pada metabolisme kesehatan tubuh, mencetak orang-orang gemuk dan penyakitan, saya meprediksi, ke depannya akan mucul pete-pete dengan fasilitas fitness di dalamnya” (setelah berucap dia tertawa).

Daeng: Mau miki sampai di terminal kota ini Pak Hera, kalau bisa ki’ bayar lebih supaya ada pembeli bensinku kodong.

Hera: Sorry mami ini Daeng, tidak ada uangku ini, tapi ada ji ini oleh-oleh mau kukasikan ki (Sambil menarik dua lembar kertas dari tasnya, ia nampak menulis sesuatu). Ini ada jimat, satu lipatan kertas ini untuk kamu, dan satunya lagi untuk istrimu di rumah. Ini mi baca saja terus yakin ka akan nada nanti sesuatu yang besar dalam hidupmu datang.

Setelah memberikan dua pucuk lipatan kertas, Pak Hera beranjak dan meninggalkan pete-pete itu, entah ke mana dia akan melangkah setelahnya.

Sementara Daeng tampak berhati-hati membuka surat itu, dia tampak penasaran sekali tentang isi lembaran kertas itu, maka dibacanya lah “The hidden harmony is better than visible”. Si Daeng tampak bingung.

Daeng: Baca-baca dari mana mi ini, tareka’ dari mana mi ini Pak Hera, kenapa barusannya ada baca-baca susah sekali diucapkan.

Tak lama di Terminal Kota, si Daeng langsung beranjak kerumahnya, ia ingin langsung menemui istrinya dan menceritakan pengalamannya bertemu dengan pak Heraclitus. Amanah berupa sepucuk lembaran kertas, tak lupa diberikan untuk istrinya. Walaupun minim pemasukan hari ini, pertemuannya dengan pak Heraclitus tetap merupakan sebuah berkah baginya. Setelah sampai, sepucuk kertas itu diberikan, dengan penasaran istrinya membuka kertas itu dan membacanya “Immortals are mortals, mortals are immortals, living their death, dying their life”. Setelah membacanya, sang Istri tampak cemberut dan merobek kertas itu sambil berkata, “Tidak butuh ja’ kertas kertas begini, apa lagi baca baca (mantra), mana uang mu sekarang!, mauka’ beli ikan!”

Tamparan Richard Dawkins Menyadarkanku

Barangkali, sudah tak asing di telinga kita tentang sosok Richard Dawkins, seorang ateis, evolutionary biologist dan penulis buku Delusion of God. Anda dengan mudah bersentuhan dengan dia di Chanel Youtube, Twitter, dll, berdebat dengan agamawan, baik itu muslim maupun umat Kristen. Dengan akses media yang mudah ini, dia mendapat banyak pengikut. Akhirnya angka peningkatan ateis tidak hanya terjadi di Eropa, tapi juga terjadi di banyak negara Islam. Bahkan pemerintah Saudi sendiri guna mengantisipasi peningkatan jumlah ateis, mengeluarkan kebijakan hukuman penjara selama 10 tahun dan mengategorikannya sebagai teroris. Di Indonesia sendiri banyak yang memprediksi peningkatan jumlah ateis juga terjadi, walaupun belum ada data valid tentang hal ini. Banyak alasan mereka menjadi ateis, salah satunya adalah sentuhan pemikiran Richard Dawkins yang mereka anggap benar dan tentunya akan semakin mengokohkannya.

Si Richard Dawkins percaya bahwa dalam mengungkap realitas cukup dengan fakta-fakta sains. Saya mengandaikan misalkan dalam kajian ontologi, Anda berdebat mengenai idelisme, materialisme, dan dualisme dengan term yang cukup rumit, mungkin Richard Dawkins menjawab dengan fenomena sains atau bahkan dia mengatakan itu cuma aktivitas neuron atau sel saraf saja. Tapi saya tidak mau berbicara banyak tentang itu. Yang ingin saya ulas adalah tweet atau kicauan Richard Dawkins terhadap umat Islam yang bagi saya adalah sebuah tamparan, yang kemudian saya tak bisa mengelak atau membalas tamparannya, cuma bisa berdiam dan meratapi sambil cengingisan, karena beberapa hal yang dia sampaikan adalah benar adanya.

All the world Muslims have the fewer Nobel Prizes than Trinity College, Cambridge. They did great things in the middle ages, though.” Kicauannya pada tanggal 8 Agustus 2013 tentang pencapaian Nobel Prizes umat Islam. Kalau kita mau menjadikan Nobel Prize sebagai acuan atau indikator pencapaian kita dalam berkarya di bidang sains, apa yang dikatakan Richard Dawkins benar adanya. Trinity College Cambrdige telah mengoleksi 32Nobel Prize, 27 di antaranya terkait sains (Fisika, kimia dan Kedokteran). Sementara total umat muslim adalah 23% dari total penduduk seluruh dunia , hanya memperoleh 12 Nobel Prize, 3 di antaranya di bidang sains yang diraih oleh Mohamad Abdus Salam dari Pakistan , Ahmed Zewail dari Mesir, dan Aziz Zancar dari Turki. Di antara 3 pemenang ini adalah orang-orang yang banyak mengenyam “asam garam” pendidikan ala Barat, tidak di tempanya di negeri mereka masing-masing. Itupun perdebatan dan kontroversi tidak berhenti di sini. Ada beberapa di antara kita yang tidak mau memasukkan Mohamad Abdus Salam dalam daftar umat Islam karena katanya dia adalah seorang Ahmadiyah, bahkan Ahmadiyah di Pakistan sendiri, negara asalnya Abdus Salam,  sudah tidak dianggap sebagai bagian dari Islam.

Bukan cuma kita yang mengakui kehebatan peradaban umat muslim di abad pertengahan, Richard Dawkins pun mengakuinya, “They did great things in the middle ages”, banyak peradaban masa lampau umat Islam yang sampai sekarang masih menggema seantero dunia, misalkan Ibnu Rusyd yang berkontribusi besar pada renaissance bangsa Eropa, karya-karya kedokteran Ibnu Sina, Ar Razi dan beberapa ilmuwan muslim abad pertengahan yang menjadi bahan kajian dan primadona ilmu di Barat pada awal-awal transmisi ilmu pengetahuan ke Eropa.

Tapi yang tersisa sekarang di kalangan kita adalah melupakan substansi yang diajarkan umat Islam abad pertengahan yang bersifat inklusif, warisan Islam yang cukup kaya, banyak dan beraneka rupa, akhirnya membuat kita kebingungan mau memilih yang mana. Ibarat adonan kue yang banyak itu, kita sudah memilih kue masing-masing, setelah itu kita berdebat mana kue paling enak, tanpa memikirkan bahwa masing-masing resep adonan itu bersumber pada hal yang sama. Kita kebingungan untuk bagaimana seharusnya, tak tahu bagaimana untuk berdialog dengan fenomena sains, sehingga yang tersisa adalah cuma simbol-simbol, miskin dan kering substansi. Toko obat berakhiran nama ilmuwan muslim, universitas berakhiran nama ilmuwan muslim, rumah sakit berakhiran nama muslim. Itulah yang ada saat ini, sambil bernostalgia dengan prestasi masa lampau.  Saya tidak mengatakan itu salah, tapi kita harus memperkayanya dengan substansi. Yang tersisa sekarang adalah romantika-romantika dan nostalgia masa lalu, yang terlalu manis untuk dikenang dan terlalu indah untuk dilupakan, tapi dalam konteks sekarang tidak tahu peradaban ini mau diapakan dan di bawa ke mana.

Si Richard Dawkins tidak berhenti di situ, setelah berkicau dengan pernyataannya tadi kembali dia mengeluarkan kalimat provokasi, “That was unfortunate. I should have compared religion with religion and compared Islam not with Trinity College but with Jews, because the number of Jews who have won Nobel Prizes is phenomenally high.”   Berdasarkan yang dimuat dari laman algeiminer.com pada Oktober 2013, dua bulan setelah dia mengeluarkan pernyataan kontroversi yang tadi. Dia ingin mengklarifikasi pernyataannya yang membandingkan umat Islam dengan Trinity College Cambridge. Katanya dia seharusnya membandingkan agama dengan agama, maka dipilihlah Yahudi dibandingkan dengan Islam yang meraih Nobel Prize. Dari 0.2% populasi Yahudi di seluruh dunia, sebanyak 185 di antaranya adalah peraih Nobel Prize, atau 21.26% total penerima penghargaan Nobel Prize adalah Yahudi. Tidak usah saya bandingkan lebih dalam lagi karena semakin saya menelaah lebih dalam lagi semakin saya merasa ditampar lebih dalam oleh si Dawkins ini.

Richard Dawkins kembali melanjutkan pernyataannya, “Race does not come into it. It is pure religion and culture. Something about the cultural tradition of Jews is way, way more sympathetic to science and learning and intellectual pursuits than Islam”. Inti yang ingin disampaikan pada pernyataannya ini adalah kultur, atau tradisi Yahudi lebih bersimpati dalam hal sains dan wacana intelektual dibandingkan dengan Islam. Saya merasa Richard Dawkins tidak lagi mengolok-olok saya sebagai orang Islam, tapi menampar pipi kiri kanan saya berulang kali. Hey Dawkins, “Sudahilah menyampaikan kebenaran dan fakta ini dalam pikiranku, karena semakin kau sampaikan, angan-angan dan apa yang saya persepsikan di dalam kepalaku akan hancur berantakan”.

Kita bisa saja menolak apa yang dikatakan Richard Dawkins dengan menjadikan Nobel Prize sebagai indikator kemajuan keilmuwan, atau misalkan mengatakan Richard Dawkins belum paripurna kerangka epistomologinya dalam mengungkap realitas, ataupun berbagai argumentasi lain tentunya. Yang ingin saya sampaikan adalah dia berhasil menampar saya sebagai muslim dengan sekeras-kerasnya. Mudah-mudahan ini menyadarkanku dan menyadarkan kita semua, bahwa kita tidak berdaya dalam dialog sains dengan mereka. Kalau anda masih tidak mau sadar, silakan sibuk bertengkar di antara umat muslim sendiri dengan segala argumentasi dan klaim kebenaran Anda masing-masing.

Atau mungkin Anda bertanya, siapakah Richard Dawkins? Pentingkah orang ini? Patutkah kita mendengarkan ocehan-ocehannya? Faktanya adalah dia orang berpengaruh, dia semakin banyak mendapat pengikut di Indonesia dan dibelahan dunia lainnya.

Sumber gambar: inquisitr.com

Sumber Data:

https://www.trin.cam.ac.uk/alumni/famous-trinity-alumni/nobel-laureates/

https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Muslim_Nobel_laureates

https://www.algemeiner.com/2013/10/29/richard-dawkins-perplexed-by-high-number-of-jewish-nobel-prize-winners/

https://richarddawkins.net/2014/01/the-rise-of-indonesian-atheism/

http://www.independent.co.uk/news/world/middle-east/saudi-arabia-sentence-man-to-10-years-in-prison-and-2000-lashes-for-expressing-his-atheism-on-a6900056.html