Semua tulisan dari Honing Alvianto Bana

Mahasiswa Psikologi Untag Surabaya. Lahir di kota Soe-NTT. Suka membaca dan menulis. Tulisannya terbit di beberapa media.

Dunia Masa Depan Adalah Dunia Kolaborasi

Kita senang sekali dengan lomba. Sedikit-sedikit kita ikut lomba. Sedikit-sedikit kita mengadakan lomba. Seolah kita tidak bisa hidup tanpa lomba. Katanya dengan lomba kita bisa tahu, siapa yang lebih baik di antara kita. Dengan lomba kita bisa kenal orang-orang baru. Dengan lomba kita bisa belajar dari orang lain. Dan dengan menang lomba, kita bisa meningkatkan reputasi kita. Pertanyaannya, apakah benar begitu?

Saya yakin di balik lomba, ada keinginan untuk berkuasa. Saya juga yakin di balik lomba, ada keinginan untuk menghancurkan lawan. Ini semua jauh lebih dominan, daripada keinginan untuk belajar bersama, apalagi belajar dari orang lain.

Kompetisi versus Kolaborasi

Dunia tidak lagi perlu kompetisi. Hampir setiap hari kita berkompetisi. Beberapa orang berkompetisi dengan cara yang sehat. Beberapa tidak.Yang kita butuhkan sekarang ini adalah kerja sama, atau kolaborasi. Kita perlu bekerja sama untuk suatu tujuan luhur. Kita tidak perlu berkompetisi, karena kompetisi itu lebih memecah, daripada menyatukan. Kita perlu menghabiskan energi kita untuk bekerja sama mewujudkan hidup yang lebih baik, dan bukan saling berlomba untuk mencapai kemenangan semu.

Di Indonesia banyak sekali lomba. Setiap sekolah mengadakan lomba. Setiap universitas mengadakan lomba, dan aktif ikut lomba. Mereka lupa bahwa paradigma kompetisi bercokol begitu dalam pada lomba. Mereka lupa bahwa dengan berlomba, keinginan untuk mengalahkan jauh lebih besar, daripada keinginan untuk bekerja sama.

Bangsa kita lupa bagaimana caranya bekerja sama. Itu semua terjadi karena kita terlalu banyak lomba. Akibatnya kita tidak lagi berpikir untuk kepentingan bersama, tetapi semata untuk kemenangan kelompok kita yang amat kecil jumlahnya. Kita lupa bahwa yang terpenting bukan cuma kita, atau kemenangan kita, tetapi juga kebaikan orang lain, yang mungkin merupakan musuh kita dalam lomba.

Menaklukkan

Di dalam lomba kita diajarkan untuk bersikap sportif. Namun nasehat itu lenyap, ketika kita sendiri yang hendak berlomba. Nasehat-nasehat luhur lenyap ditelan keinginan untuk berkuasa. Nilai belajar dan kerja sama hilang digilas oleh kehendak untuk membuktikan diri semata.

Adik-adik dan para murid kita kasihan. Mereka diminta membuktikan diri dengan lomba. Padahal ketika berlomba mereka seperti dilempar ke dalam kandang untuk bertarung. Mereka tidak diajarkan untuk berkolaborasi dengan orang lain. Mereka justru diajarkan untuk lebih baik dari yang lain dengan mengalahkan mereka dalam lomba yang sifatnya semu semata.

Di YouTube, kita bisa mengikuti cara pendidik di Uni Eropa. Mereka justru dibentuk untuk berkolaborasi. Mereka merasa tidak perlu berkompetisi satu sama lain. Mereka merasa lebih kuat, bila berada bersama. Bangsa kita perlu belajar untuk berkolaborasi, bekerja sama, dan bukan berlomba. Kita perlu mengirimkan pesan ini ke seluruh anak didik kita.

Pesan bahwa kolaborasi jauh lebih bermakna daripada kompetisi. Pesan bahwa dunia tidak butuh lagi kompetisi. Pesan bahwa kerja sama jauh lebih bermakna untuk kehidupan, daripada berlomba. Inilah yang harusnya menjadi nilai-nilai pendidikan kita.

Terlibat

Komunikasi amat penting dalam hidup manusia. Puncak komunikasi adalah mengajak orang untuk terlibat, dan kemudian bekerja sama mewujudkan suatu nilai tertentu ke dalam dunia. Dengan berlomba orang tidak bisa diajak untuk bekerja sama. Sebaliknya dengan berlomba orang diajarkan untuk terkurung dalam pandangannya masing-masing.

Yang terjadi di dalam lomba bukanlah dialog, melainkan dua-log. Inilah pendapat Goenawan Mohamad di dalam salah satu artikelnya di Catatan Pinggir Tempo. Ibaratnya dua TV yang dihadapkan, orang saling berlomba, tanpa berusaha mencari titik temu untuk bekerja sama. Berlomba membunuh keterlibatan.

Inilah yang terjadi di Indonesia. Kita dibelah oleh lomba. Akibatnya orang merasa tidak perlu terlibat. Banyak masalah tidak selesai, karena kita sibuk berlomba, dan energi kita habis, tanpa pernah kita terlibat menghadapi masalah-masalah bersama.

Sebagai bangsa kita terpecah, akibat terlalu banyak berlomba.

Lupa

Setiap orang membawa misi dalam hidupnya. Begitu pula organisasi. Setiap organisasi mengemban visi dan misi tertentu, guna diwujudkan ke dalam dunia. Visi dan misi itu diwujudkan di dalam tindakan keseharian. Tujuannya tetap sama yakni menciptakan dunia yang lebih baik.

Namun karena sibuk berlomba satu sama lain, kita jadi lupa akan cita-cita bersama itu. Visi dan misi terabaikan, karena kita sibuk mengikuti dan mengadakan lomba, serta terbuai dalam kemenangan semu semata. Ya, kita menjadi lupa akan apa yang sungguh penting. Itulah yang terjadi di Indonesia. Dunia pendidikan kita sibuk berlomba, mulai dari lomba mendapatkan hibah, sampai kompetisi-kompetisi kecil yang menyita waktu dan tenaga. Akibatnya kita lupa apa yang sungguh penting. Kita lupa akan visi dan misi pendidikan yang mesti kita bawa ke dunia.

Sibuk berlomba membuat kita lupa. Sibuk berlomba membuat kita mengabaikan apa yang sungguh penting. Sibuk berlomba memecah perhatian kita untuk apa yang sungguh berharga. Itulah yang mesti kita pikirkan bersama.

Dunia pendidikan kita semakin terpuruk. Civitas akademika menghabiskan energi untuk hal-hal yang jauh dari visi bersama. Pendidikan tak ubahnya seperti perdagangan. Padahal pedagang sejati justru amat memperhatikan nilai-nilai luhur yang membuat hidup ini bermakna. Sesuatu yang tak dipunyai dunia pendidikan kita sekarang.

Ilusi

Berlomba menciptakan ilusi bahwa setelah kita menang, kita menjadi yang nomor satu. Seolah tujuan lomba adalah kemenangan. Memang nasihat luhur bahwa lomba adalah sarana untuk belajar diucapkan. Namun itu tidak cukup, karena ilusi kemenangan-nomor satu telah begitu dalam tertanam.

Inilah yang terjadi di Indonesia. Dunia pendidikan mengajarkan ilusi kemenangan. Akibatnya orang terjebak dalam ilusi, dan lupa untuk melihat apa yang ada dibaliknya. Dunia pendidikan kita mengajarkan ilusi menang

kalah, justru ketika dunia melihat perlu lebih banyak kerja sama, daripada saling berlomba untuk kemenangan semu yang tak bermakna.

Alternatif

Alternatif dari lomba adalah kerja sama. Alternatif dari kompetisi adalah kolaborasi. Lawan bukanlah sesuatu yang perlu dikalahkan, tetapi untuk diajak terlibat, guna bekerja sama mewujudkan suatu nilai yang baik bagi

kehidupan bersama. Lawan perlu dijadikan kawan. Itulah inti kolaborasi dan kerja sama.Kesadaran itu masih jauh dari bangsa kita. Sementara berbagai bangsa mulai terlibat untuk bekerja sama, dan menghindari kompetisi yang menajamkan ketegangan. Paradigma pendidikan kita pun harus berubah dari paradigma kompetisi-lomba menjadi paradigma kolaborasi-kerja sama.

Dunia masa depan adalah dunia kolaborasi. Salam

Nausus dan Puisi Lainnya

I.  Surat kecil untuk kawan-kawan di Sekolah Alam Manusak

Barangkali pandanganku kepada Manusak
adalah taman penuh tawa
anak-anak semesta

Juga cinta
yang melampaui sekat-sekat
identitas

Yang mengubah
rahim-rahim tandus desa Manusak
menjadi lukisan wajah perempuan
bermata oase.

2021

II. Nausus

Di bukit ini, dalam bisikan angin yang gigil, ujilah aku. Habisi aku dengan sabetan amarahmu.

Lalu tingalkan aku sendiri. Biarkan aku mengobati luka dengan kabut-kabut serupa kapas.

Sebab aku gagal menjadi batu penjuru
seperti sabda pemuda Nazaret
yang tak hanya dibuang tukang-tukang bangunan
tapi juga ditolak dari tanah kelahiran.

Maka di tengah ladang alang-alang yang menyerupai rambutmu. Juga, di tepi danau yang tercipta dari matamu. Aku pasrah menjelma golgota bagi generasimu.

2021

III.  TKW

Maka pulanglah ia kerahim tandus
dengan isi dada yang kosong melompong
bagai buah alpukat yang digaruk
menggunakan  sendok

Ia tak tahu apa-apa
hanya terhanyut rayuan
yang datang silih berganti
seperti  banjir yang meluber kemana-mana

Hingga kini
Ia bahkan tak sadar
bahwa matahari telah tertidur
Langit hitam. Angin mati
Dan seorang ibu sedang menantinya
dengan tangisan yang paling pilu.

2021

IV. Mantra

Jutaan mantra
telah di sabdakan leluhur
pada setiap dada yang bergemuruh
untuk para Tuan yang tuli
dan Tuhan yang membisu

2021

V. Mata air

Aku masih terlelap membisu dalam selimut langit. Meski kau mencari aku pada kemarau. Padahal separuh diriku adalah air matamu. Yang setia membasuh pipimu yang jingga.

Tapi kau campakan diriku, rumahku, juga kenanganku.

Maka pada dada bocah-bocah busung
telah kutumpahkan seluruh deritaku.

Tak usah kau sesali. Cukup akui aku pada semesta dadamu. Maka aku akan kembali memelukmu. Seperti seorang ibu yang sedang menjemput anaknya.

2021

VI. Puncak

Kita berjalan menuju puncak
bukan ingin meniru para pendaki
atau sekedar mengambil gambar

Kita hanya ingin menghitung jarak 
dari bibir menuju tempat paling rahasia

Dari puncak kita menatap ke segala arah
Menikmati seluruhnya:

Angin, awan, lembah, hutan, bukit batu, kabut, dan pelangi.

Dan kau bertanya: Inikah tempat para pujangga menimba inspirasi?

Angin membisu

Kita berdiri disini. Berdua saja

Dan kau menatapku sambil membaca doa
berharap ular tak bersabda kepada adam.

Dari puncak dan pusar hutan. Kita turun mengejar senja yang perlahan redup. Berharap ada celah sebelum malam

Agar kita bisa keluar dari selimut mimpi,
atau kita akan menjelma anak-anak
yang diam-diam membangun semesta kita. Sendiri.

VII. Kau Harus Kembali Ke Nausus

Matahari terjatuh dengan ubun-ubun terluka. Ketika kitab-kitab tua para leluhur mulai di baca. Kau berdiri melingkari altar. Mengikuti ritual sakral para tetua adat.

Mantra suci membumbung ke langit, bagai asap dupa beraroma cendana. Leher seekor ayam putus tersambar pisau. Darah segar menetes membasuh altar, dan kau tiba-tiba menatapku penuh tanya:

Apakah ini bertanda baik?

Diatas langit terdengar seseorang mulai menabuh gong. Bertanda para leluhur mulai menimbang dosa dan cinta. Seketika pucuk- pucuk ampupu menunduk. Udara diam sejenak. Hening.

Kau menatapku untuk kedua kali, ketika seorang tetua adat bersuara parau memecah keheningan.

Lewat hati seekor ayam, Ia membaca pesan yang dikirimkan oleh para leluhur:

Kau harus pergi untuk kembali
sebab di Nausus ada rindu
yang selalu kambuh.

Soe, September 2021


Sumber gambar: www.idntimes.com/travel/destination/nona-ella/danau-nausus-pulau-timor-c1c2/3

Baik dan Buruk itu Tidak Memiliki Inti pada Dirinya Sendiri

”…Baik dan buruk itu tidak memiliki inti pada dirinya sendiri… Suci dan tidak Suci adalah kata-kata kosong. Sebelum semuanya muncul, yang ada hanya kosong dan sunyi…”

Au adalah bahasa orang dawan (Suku Timor, NTT). Au Artinya, Aku. Au adalah usaha untuk memahami dan menyadari siapa diri kita sebenarnya. Siapa saya? Atau, siapa aku? Aku yang dimaksudkan ini adalah aku sebelum agama,teologi, atau sekumpulan pengetahuan yang harus dipercaya buta. Au juga bukan filsafat. Au ini sama dengan zen dalam tradisi Buddha. Au atau zen adalah sebuah jalan kuno untuk menyadari jati diri kita yang sebenarnya, sebelum semua konsep dan pikiran muncul. Dengan kesadaran itu, kita bisa hidup dengan jernih dari saat ke saat, dan membantu semua makhluk. Inilah jantung hati “Aku” atau “Au”.

Siapa Aku?

Beberapa hari lalu, dua orang sahabat saya: Fendy dan Edward mengajukan pertanyaan. Mereka berkata bahwa mereka pernah ditanyakan oleh salah seorang senior. Senior itu bertanya kepada mereka tentang: siapa aku?

Pertanyaan itu adalah pertanyaan mendasar yang diajukan bukan kepada orang lain, melainkan kepada diri kita sendiri. Selain pertanyaan itu, ada pertanyaan lain yang mendasar dan selalu diajukan oleh umat manusia. Pertanyaan itu seperti, mengapa kita lahir ke dunia ini? Mengapa kita harus meninggal? Mengapa segala hal yang kita raih tidak bisa memberikan kita kebahagiaan yang sejati? Mengapa semuanya harus kita lepas, ketika kita meninggal? Ingat, mayat tidak memiliki kenangan dan pengetahuan dibadannya.

Semua orang pasti pernah bertanya tentang hal itu. Setiap agama berusaha mengajukan jawaban. Setiap ajaran filsafat dan ilmu pengetahuan mencoba menggali penjelasan tersebut.
Namun, tidak ada satupun yang bisa memberikan jawaban untuk semua orang. Apa itu kesadaran? Mengapa kita ada? Mengapa kita harus lahir, dan kemudian mati? Memang, ilmu pengetahuan telah berkembang amat pesat. Agama-agama besar juga bertumbuh dan berkembang di berbagai belahan dunia.

Namun, semua itu tidak pernah bisa sungguh menjawab pertanyaan mendasar berikut: Siapa aku sebenarnya?

Filsafat dan ilmu pengetahuan mengandalkan akal budi manusia.
Ketika kita bertanya, siapa aku sebenarnya, akal budi kita terhenti. Kita pun lalu mencerap keadaan batin, sebelum segala pikiran muncul. Ini adalah keadaan batin kita yang asli, sebelum semua agama, filsafat dan konsep.

Jati diri kita yang asli tidak memiliki nama. Ia tidak memiliki bentuk. Ia tidak datang, dan ia tidak pergi. Tidak ada yang muncul, dan tidak ada yang hilang. Ia bukanlah benda, dan bukanlah tempat. Ketika kita menamainya, kita sudah jatuh dalam kesalahan.

Kita bisa menyadari jati diri kita dengan bertanya, siapa saya? Mengapa kita hidup di dunia ini? Sejuta pertanyaan kehidupan
berakhir pada pada pertanyaan ”siapa saya sebenarnya”.

Saat Ini

Kita perlu untuk melihat ke dalam diri kita sendiri. Kita perlu bertanya, ”Siapa ini yang sedang membaca tulisan ini? Siapa ini
yang sedang bernafas?” Ketika ditanyakan secara serius, pertanyaan tersebut menghentikan pikiran kita. Semua analisis konseptual secara alamiah berhenti.

Yang muncul adalah kesadaran akan gerak nafas kita. Kita berakar di keadaan di sini dan saat ini. Kita tidak lagi menilai keadaan sekitar kita. Kita melepaskan semua pikiran konseptual,dan kembali ke kesadaran akan telinga, nafas, tubuh dan lidah kita. Inilah keadaan alamiah kita sebagai manusia. Semua kata dan konsep berhenti.

Ketika ini terjadi, kita bergerak dari ranah pikiran ke ranah sebelum pikiran. Ini bisa disebut kesadaran akan  ”kekosongan dan kesunyian ”, atau ”pikiran pemula”, atau ”jati diri alamiah”. Pada titik itu, kita adalah diri kita sendiri, sekaligus kita adalah siapa pun.

“Siapa aku?” Adalah sebuah pertanyaan mendasar yang menyatukan semua makluk. “Aku”, tak memiliki nama dan identitas. Aku adalah kekosongan dan kesunyian. Aku adalah segalanya.

Sumber gambar: https://riaurealita.com/

Tak Ada Cinta Tanpa Simbol

Adakah yang lebih romantik dari berbicara tentang cinta? Lantas, apa itu cinta? Apakah kebenaran lebih romantik daripada cinta? Itu adalah beberapa pertanyaan khas para filsuf zaman dahulu yang terus berulang  dari generasi ke generasi.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukan adanya usaha dari umat manusia untuk memahami diri dan dunia di luar dirinya. Tak heran, cinta menjadi tema abadi dalam peradaban manusia. Ia lalu menjadi inspirasi bagi lahirnya beragam puisi,buku, lagu, maupun film.

Semua orang tentu pernah merasakan jatuh cinta. Saat cinta hadir, hati serasa berbunga, hari pun seakan lebih cerah. Namun, tak jarang cinta justru berakhir pada duka. Hati yang berbunga tiba-tiba layu diganti rasa kecewa. Sebagian orang lalu melanjutkan hidup tanpa harapan. Tak sedikit, yang akhirnya memilih kematian sebagai solusi. Lantas apa itu cinta?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyadari bahwa manusia adalah makluk simbolik. Artinya, segala hal yang dilakukan manusia selalu berkenaan dengan simbol-simbol yang mengintarinya.

Kita tahu, manusia pada awalnya terlahir sebagai daging, tapi setelah itu ia tumbuh dalam suatu tatanan simbolik. Bahasa itu adalah simbol. Dan dibalik simbol tentu ada makna. Tapi makna itu abstrak. Ia tak kongkrit. Cinta pun demikian.

Cinta adalah sesuatu yang abstrak, tak heran sebagian orang bisa merasakan cinta, tapi kesulitan mendefinisikan apa itu cinta.

Cinta memang konsep yang abstrak. Oleh sebab itu, ia membutuhkan sesuatu yang kongkrit. Misalnya, memberi bunga, memberi perhatian, memberi ciuman dan lain sebagainya.

Sebagian orang beranggapan bahwa cinta adalah sesuatu yang sakral, suci, dan tak bisa dijelaskan. Apakah memang seperti itu? Menurut saya, tidak. Cinta adalah soal rasional. Orang membutuhkan alasan untuk mencintai seseorang. Baik itu Martinus, Paul, Ahmad, Luna, Mince, Maria dan sebagainya.

Cinta tak tumbuh dari ruang kosong. Ia hadir karena ada sesuatu. Oleh karena itu, menurut saya, cinta adalah sensasi yang kita dapatkan dibalik simbol-simbol yang mengintari seseorang. Simbol-simbol itu bisa uang, mobil, kegantengan, kecantikan, pekerjaan, popularitas, gelar, harta, hobi, keseksian, kecerdasan dan lain sebagainya.

Dibalik simbol-simbol itulah, sensasi selalu hadir untuk menopang hasrat untuk mencintai. Contoh, Maria jatuh cinta kepada Marten karena pekerjaanya sebagai polisi. Pekerjaan sebagai polisi adalah simbol. Dibaliknya, ada sensasi yang membuat Maria jatuh cinta. Sensasi itu bisa pengakuan dari orang-orang terdekatnya. Atau, bisa juga, sensasi bahwa dengan hidup bersama Marten maka kebutuhan diri dan anak-anaknya kedepan bisa terpenuhi.

Lalu, adakah simbol yang membuat Marten mencintai Maria? Tentu ada. Orang tak bisa jatuh cinta tanpa simbol. Maria tentu mempunyai simbol yang diakui oleh Marten. Simbol itu bisa kecantikannya, tubuhnya, kemanjaannya, popularitasnya, dan lain sebagainya.

Sensasi dibalik simbol-simbol itu pula yang membuat Marten mendapat pengakuan dari orang lain. Lantas, adakah syarat seseorang jatuh cinta? Tentu ada. Syaratnya adalah simbol-simbol yang ada pada seseorang harus diakui oleh orang yang mencintai.

Simbol-simbol yang diakui pun tak harus hanya satu jenis simbol. Seseorang bisa jatuh cinta pada seseorang karena beberapa simbol sekaligus. Misalnya, si A menyukai simbol kegantengan sekaligus simbol pekerjaan yang ada pada si B.

Lalu, apakah cinta bisa hadir tanpa simbol? Tentu tak bisa.  Cinta tak bisa hadir tanpa simbol. Jika simbol-simbol itu tak ada, cinta juga biasanya tak ada.

Cinta selalu lahir dari sensasi yang kita dapat dibalik simbol-simbol yang melekat pada seseorang.  Tapi apakah sensasi dibalik simbol itu bisa berubah? Tentu bisa. Salah satu sifat manusia adalah tak pernah puas akan apa yang ia dapatkan.

Ketika ia miliki istri yang cantik, ia lalu ingin memiliki pasangan yang seksi. Saat ia memiliki suami yang baik, ia lalu ingin memiliki suami yang memiliki popularitas, harta, dan lain-lain.

Sebab hasrat yang  menopang simbol-simbol itu bisa berubah, maka perlu untuk dikenali dan dikelola.  Jika tidak, ia bisa menjadi pemicu muculnya berbagai perselingkuhan dan pengkhianatan. Perselingkuhan dan pengkhiantan lalu membuat seseorang bisa jatuh pada duka nestapa.

Memahami cinta.

Sesungguhnya, ketika jatuh cinta, kita jatuh cinta pada simbol yang melekat pada seseorang. Bukan pada “diri” orang tersebut. Dibalik simbol-simbol itulah, kita mendapatkan sensasi.

Apakah sensasi dibalik simbol yang melekat pada seseorang itu benar-benar nyata dan abadi?  Tidak ! Saat jatuh cinta,  kita sesungguhnya jatuh cinta pada sebuah gambaran,  pada konsep tentang seseorang. Kita menciptakan “orang” itu di dalam kepala kita. Lalu, kita merasa bahwa “ia”benar-benar nyata. Padahal, “ia” yang nyata pasti berbeda dengan “ia” yang kita bayangkan.

Patah hati, sulit move on, sedih, kecewa, merasa terhianati, adalah hasil dari pemahaman yang salah  akan cinta.  Banyak orang berpikir bahwa apa yang mereka bayangkan  adalah sesuatu yang nyata dan selalu abadi. Mereka tak menyadari, bahwa setiap orang punya  potensi untuk berubah.

Karena pemahaman akan cinta yang salah, maka  saat mereka mendapati pasangan mereka tak lagi sesuai dengan gambaran yang selama ini dibayangkan, mereka pun terperosok pada jurang nestapa. Buahnya adalah sakit hati, depresi, kecewa, putus asa dan lain sebagainya.

Obat patah hati

Sebab cinta lahir dari sensasi dibalik simbol-simbol yang diakui, maka kita perlu memahaminya dengan baik.

Cinta adalah konsep yang ada didalam kepala kita.  Ia datang dari gambaran  kita akan seseorang. Gambaran yang ada dan kita  bayangakan itu pun tak nyata. Ia bisa berbeda dan berubah-ubah.

Perasaan jatuh cinta pun bisa berubah-ubah. Bisa ada dan hilang. Saat ini, Anda mungkin bisa jatuh cinta pada seseorang, tapi besok, Anda bisa benci pada orang yang sama.

Sedih, patah hati, kecewa, perasaan terkhianati dan lain sebagainya pun tak nyata. Ia bisa berubah-ubah. Ia  hanya hadir sesaat. Ia seperti angin, hanya datang, pergi, datang lagi, pergi lagi dan seterusnya. Ia pun tak abadi.

Kalau cinta itu seperti itu, lantas untuk apa terkubur dalam kubangan duka nestapa? Saat patah hati, bangun dan tertawalah. Saat jatuh cinta, sadar-sesadarnya, bahwa semua orang punya potensi untuk berubah.

Sekali lagi, cinta hanyalah bunga-bunga sensasi yang ada dibalik simbol-simbol.  Ia bisa berbeda dan berubah. Ia tak memiliki inti pada dirinya sendiri.

Hanya dengan menyadari akan hal itu, kita bisa tertawa saat tersakiti, dan menari kala jatuh cinta.

Sumber gambar: Google