Semua tulisan dari Ilyas Ibrahim Husain

Ilyas Ibrahim Husain adalah nama pena dari Adil Akbar. Alumni S1 dan S2 Pendidikan Sejarah UNM. Pernah menjadi guru di SMAN 1 GOWA dan SMAN 3 MAKASSAR. Pun mengajar di SMAN 2 MAKASSAR dan SMKN 10 MAKASSAR

Layang-Layang dan Kenangan Lelaki Berumur

Lelaki itu tinggal di ujung gang, bermukim dalam rumah yang terbuat dari bahan semi permanen. Bagian atap rumahnya terbuat dari daun rumbia, adapun bagian dinding rumahnya terbuat dari anyaman rotan yang ditempeli koran bekas—sebagai penghalau udara yang dingin. Adapun lantainya beralaskan spanduk bekas kampanye gubernur. Umur lelaki itu telah mencapai enam dasawarsa lebih, menjadikan dirinya sebagai salah satu penghuni gang yang paling uzur.

Lelaki berumur itu hidup seorang diri, sebatang kara menyambung hidup. Dua dasawarsa lalu, tepatnya di penghujung Desember, sang istri lebih dahulu dipanggil Ilahi. Adapun anak semata wayang telah lama pergi merantau. Dan selama itu, untuk menyambung hidup, lelaki yang berumur itu kerja serabutan, termasuk di dalamnya menjual layang-layang.

Selama dua dasawarsa itu, di sela-sela mencari nafkah dengan kerja serabutan, lelaki berumur itu mampu membuat puluhan layang-layang yang dijajakan pada anak-anak kecil yang bermukim di sekitaran gang. Tetapi, kini di usianya yang semakin senja, jemari renta lelaki berumur itu hanya mampu membuat sepuluh layang-layang. Bukan lantaran fisik yang dimangsa waktu, sehingga lelaki berumur itu hanya mampu membuat sepuluh layang-layang, melainkan bahan membuat layang-layang semakin langka, sudah sangat sulit menemukan pohon bambu di antara rimbunnya hutan beton.

Satu layang-layang buatan lelaki berumur itu dibandrol dengan harga lima ribu rupiah. Jikalau kesemuanya laku terjual, lelaki berumur itu mampu meraup uang lima puluh ribu rupiah. Jumlah yang terbilang kecil bagi seorang remaja yang doyan kongkow-kongkow di café. Namun, bagi lelaki berumur itu, selembaran rupiah bewarna biru sudah mampu menyambung hidupnya untuk tiga hari kedepan.

Semakin waktu berjalan, lelaki berumur itu terkadang hanya mampu menjual tiga layang-layang. Ketidak-lakuan layang-layang tersebut bukan lantaran layang-layang yang dijual tak elok nan sedap dipandang mata. Melainkan selera anak-anak dan remaja kiwari ini telah berubah. Karena, kesenangan dan kegemaran hanya sebatas layar di genggaman. Tidak seperti dahulu, di mana kesenangan dan kegemaran akan ditemukan melayang di udara dalam bentuk layang-layang atau menggelinding di tanah dalam bentuk kelereng.

“Ah, kehidupan anak-anak tidak seperti dahulu.”

Lelaki berumur itu mendesah pelan, lalu berjalan dengan langkah penuh harap. Ia lantas memerhatikan sekelompok anak-anak yang berkumpul di pos ronda yang berada di ujung gang dekat persimpangan jalan. Anak-anak itu sedang asyik memerhatikan layar di genggaman. Tidak ada interaksi di antara mereka, semua sibuk dengan dunianya sendiri, dunia yang bernama maya. Mereka duduk berdekatan, tetapi sesungguhnya mereka saling berjauhan.

Lelaki berumur itu mendekati mereka, seraya menawarkan layang-layang. “Cucuku sekalian, mau beli layang-layang?” Di tangan kanan lelaki berumur itu terdapat kantong kresek bewarna merah, yang berisikan layang-layang dan gulungan benang.

Segerombolan anak-anak itu kemudian serempak menatap lelaki berumur itu. Lalu mengalihkan pandangannya pada layar di genggaman. Anak-anak itu mengacuhkan tawaran lelaki berumur itu, cukup lama lelaki berumur itu berdiri menatap penuh harap pada anak-anak itu. Mereka kemudian saling berpandangan, salah satu dari mereka kemudian berujuar. “Ayo kawan-kawan, kita pindah tempat saja, ada orang tua bangka yang mengganggu pemandangan.” Mereka lalu beranjak dari tempat meninggalkan lelaki berumur itu.

Lelaki berumur itu kemudian menaruh kantong kresek—yang berisi barang dagangannya—di pos ronda. Lalu duduk di samping kantong kresek tersebut. Lelaki berumur itu kemudian mengelus dada, mencerna perangai anak-anak tadi yang menurutnya sedikit tidak sopan pada orang tua, mengacuhkan lalu meninggalkan begitu saja.

“Apakah sudah tak ada lagi nilai dan norma yang diajarkan kepada mereka?”

Lelaki berumur itu memandangi kantong kresek di sampingnya, kemudian membukanya lalu mengambil satu layang-layang, menatapnya sembari tersenyum simpul. Rupanya, ada kenangan yang muncul kembali dari layang-layang itu.

Lelaki berumur itu masing mengingat, betapa masa kecilnya penuh dengan warna. Menghabiskan kesenangan dan kegemaran di padang rumput luas nan hijau. Saling berkejaran dengan kawan sepermainan, adu strategi dalam bermain kelereng atau bermain benteng, menari-nari di bawah rintik hujan, mengejar layang-layang yang putus terbawa angin. Tidak hanya dirinya yang menikmati permainan itu, anak semata wayang yang tumbuh-berkembang di tahun 90-an juga menikmati permainan yang sama. Bermain kelereng, benteng, dan layang-layang bersama kawan sejawat. Permainan anak-anak dahulu sungguh menyenangkan, sangat banyak nilai yang terkandung di dalamnya. Ada nilai kerja sama, interaksi, tenggang rasa, dan tentunya meninggalkan kenangan yang indah. Permainan tradisional mulai digilas waktu dan zaman, digantikan dengan layar di genggaman. Begitulah lamunan lelaki berumur itu.

Lamunan lelaki berumur itu dibuyarkan dengan suara perut berkeruyak. Nampaknya sedari pagi belum terisi. Lelaki berumur itu hanya mampu menahan lapar, dagangan masih sepi, belum ada anak-anak yang berminat untuk menukarkan selembaran rupiah untuk barang dagangannya. Lelaki berumur itu kemudian berjalan, berjalan, dan berjalan. Menyusuri gang satu dengan gang lain, jalanan ke jalanan lain, komplek perumahan ke komplek perumahan yang lain. Menawarkan layang-layang kepada anak-anak.

Kini senja mulai menyapa, dagangan hanya laku sedikit. Seperti biasa, sebelum mengakhiri perjalanan mencari reseki, lelaki berumur itu menuju tanah lapang yang mulai tandus. Di tempat itulah ia sering menyemai kenangan masa lalu. Kenangan tatkala bersua dengan sang kekasih—yang kini (mungkin) telah bermukim di surga—dan kenangan ketika menghabiskan masa kanak-kanak penuh tawa dan warna.

Lelaki berumur itu kemudian berjalan, berjalan, dan berjalan. Mengitari lapangan luas yang mulai tandus. Langkah kaki lelaki berumur itu terhenti pada sebatang pohon yang tumbuh tinggi menjulang.

“Rupanya pohon ini masih berdiri tegak.”

Lelaki berumur itu menatap pohon yang tinggi menjulang, daunnya begitu rimbun—walaupun tak serimbun dahulu. Cukup nikmat dijadikan tempat berteduh untuk melepaskan penat. Lelaki berumur itu duduk sejenak untuk melepaskan lelah, ia nampak mengelus-ngelus dadanya. Nafasnya sedikit tersengal-sengal, penyakit asma akut yang telah lama dideritanya membuat dadanya sesak, sulit bergerak, seolah ada tali yang mengikat dirinya. Lelaki berumur itu cukup kelelahan mengitari lapangan luas itu, apatah lagi sedari pagi ia menjajakan layang-layang dari satu gang ke gang lain, dari satu jalan ke jalan yang lain, pastinya menguras tenaga. Dahulu ketika terbilang cukup muda, ia mampu berlari menyusuri lapangan luas itu, saling bekerjaran dengan kekasih kemudian merenda asmara di bawah rimbunnya pepohonan.

Lelaki berumur itu kemudian beristirahat, bermaksud memulihkan tenaga. Ia sejenak tertidur, dan selama ia tertidur di lapangan luas itu nampak dua bocah berpakaian kumal sedang asyik bermain layang-layang. Benang ditarik dan diulur mengikuti hembusan angin senja. Layang-layang semakin tinggi mengudara, hingga kedua bocah itu tertawa riang gembira. Tetapi tawa itu hanya sementara. “Layang-layang kita putus!” Seru salah seorang dari bocah itu. Layang-layang terhempas angin, terhuyung-huyung mengikuti hembusan angin.

“Ayo kejar!”

Seruan dari kedua bocah itu membangunkan lelaki berumur itu dari tidurnya. Ia kemudian bangkit dan menatap kedua bocah itu yang berlarian mengejar layang-layang. Melihat pemandangan itu, ada gelora yang membuncah di hatinya. Entah mengapa kaki lelaki berumur itu melangkah, kemudian langkahnya semakin cepat, lalu berlari, turut serta mengejar layang-layang itu.

Lelaki berumur itu berlari, berlari, dan berlari. Bersama kenangan yang masih terbayang dalam ingatan. Mengejar layang-layang yang putus dan terhempas angin. Berlari, berlari, dan berlari. Hingga lelaki yang berumur itu tak menyadari, bahwa ruh telah lepas dari jasad.

Di Balik Tingkap Saoraja Arumpone

Saya masih mengingat peristiwa tempo itu, kala usiaku baru menginjak dua dasawarsa. Tepat di tahun 1859 Besse Kajuara—seorang perempuan pemberani yang kukenal sekaligus Mangkau Raja Bone—diungsikan oleh Ade’ Pitue—Dewan Adat Kerajaan Bone—untuk meninggalkan Saoraja—istana kerajaan—dan Kota Watampone, ibu negeri Kerajaan Bone tuk menghindar dari kejaran pasukan De Vierde Bonische Expeditie, ikut pula bersamanya Arajang—benda pusaka—Kerajaan Bone. 

Diungsikannya Besse Kajuara kala itu sesungguhnya bukanlah keinginannya sendiri, melainkan pertimbangan Ade’ Pitue. Karena raja tak boleh ditangkap oleh Belanda, demikian pula Arajang tak boleh dirampas oleh si mata putih, karena raja adalah simbol perlawanan kami saat itu, dan karena raja adalah kerajaan itu sendiri. Raja tertangkap maka selesai sudah peperangan.

Dan kini, di usiaku yang ke enam puluh enam tahun, di tahun 1905, dalam Saoraja Arumpone ini, peristiwa itu terulang lagi.

***

HAMPIR semalaman saya tidak bisa tidur nyenyak, kewaspadaan selalu mengintai, suasana perang memang tak mengenakkan. Kabar terakhir yang kudengar serdadu Belanda di bawah pimpinan Kolonel C.H. van Loenen telah membangun bivak di sepanjang garis pantai Bajoe, pun kudengar beberapa pasukan Marsose telah memasuki gerbang Kota Wattampone. Jikalau terus begini tinggal menunggu waktu mereka mendobrak pintu Saoraja ini.

Sesekali saya mengintip dari balik tingkap, memerhatikan suasana sekitaran istana kerajaan yang telah lengang. Belum ada tanda-tanda kedatangan serdadu Belanda, walaupun matahari mulai meninggi. Di dalam istana ini, tinggal saya seorang bangsawan kerajaan, para anggota Ade’ Pitue juga telah mengungsi, membawa Arajang—benda pusaka kerajaan—yang telah menjadi alat legitimasi kekuasaan raja sejak masa Mata Silompoe Mannurungge ri Matajang pada abad ke XIV lalu. Adapun Arumpone—sebutan lain dari mangkau—mungkin telah memasuki wilayah Palakka, Arumpone dikawal oleh pasukan regular kerajaan di bawah pimpinan Petta Ponggawae—panglima kerajaan—Abdul Hamid yang tak lain dan tak bukan putra Arumpone, La Pawawoi Karaeng Sigeri.

Sejenak kuberlalu dari tempatku, kemudian menuju ruang tamu Saoraja—yang terbuat dari kayu bitti’ ini—sungguh rapi nan bersih, dayang-dayang istana merawatnya dengan baik, bahkan saat perang pun mereka masih menunaikan tugasnya. Masih kuingat kemarin sore saat perang berkecamuk mereka masih menyempatkan membersihkan ruangan ini. Di ruang tamu inilah: saya, anggota Ade’ Pitue, dan Petta Ponggawae bersama Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri membahas surat yang dilayangkan pemerintahan Hindia-Belanda melalui salah seorang utusanya. Ada dua surat yang dikirimkan Tomarajae—yang dipertuan—di Makassar. Pertama, surat tertanggal 22 Juni 1905—berisikan pemberitahuan tentang realisasi pembaharuan kontrak yang ditandatangani Arumpone tempo itu. Dan surat kedua pada bulan Juli 1905 yang salah satu isinya meminta pihak Kerajaan Bone menyerahkan hak pengelolaan Pelabuhan Bajoe dan Pelabuhan Pallime ke pihak Hindia-Belanda. Tentu saja permintaan ini kami tolak, kami geram! Selama ini kedua pelabuhan itulah yang menjadi urat nadi perekonomian Kerajaan Bone—yang menjadi sumber penghidupan masyarakat Kerajaan Bone. Jikalau Belanda menginginkannya apa jadinya kerajaan ini? Pun sudah cukup pedih apa yang kami rasakan, status Kerajaan Bone yang mulanya kerajaan sekutu Belanda—bondgenootscap—diubah menjadi kerajaan pinjaman—yang menyebabkan segala tindak-tanduk kerajaan harus diketahui pemerintah Belanda melalui Tomarajae di Fort Rotterdam. Dan lebih menyakitkan lagi, kami hanya diberikan waktu 24 jam untuk menjawab tuntutan itu.

***

SUBUH-SUBUH betul saya selaku tomairilaleng dan juga merangkap sebagai pabicarae—juru bicara kerajaan—memanggil Haji Dulung, syahbandar Pelabuhan Bajoe menghadap ke Saoraja. Meminta perkenaannya sesegera mungkin mengirimkan surat balasan Arumpone kepada Kolonel van Loenen di atas geladak kapalnya—yang sedang membuang sauh di lepas Pantai Bajoe.

“Syahbandar Bajoe,” sahut Arumpone yang duduk di ruang tengah Saoraja.

“Iya Puang! Sembah patik Haji Dulung syahbandar pelabuhan.”

“Sampaikan segera surat ini ke panglima perang Belanda yang membuang sauh di depan Perairan Bajoe. Surat ini harus ada sebelum jam delapan pagi. Pacu kudamu secepat mungkin, cari jalan pintas, dan berhati-hatilah jangan sampai surat ini jatuh.”

“Siap laksanakan Puang,” sahut Haji Dulung yang menerima surat itu, kemudian ia berlalu meninggalkan Saoraja, sesaat kemudian kudengar suara kuda meringkik disusul langkah pacu kuda yang berlari kencang. Di saat bersamaan seribu satu pikiran berkelebat, membayangkan reaksi Kolonel van Loenen atas balasan surat itu—yang tentunya tak mengenakan hati dan mungkin akan memulai kembali perang yang pernah terjadi. Cepat atau lambat pihak Belanda pasti akan meletupkan bedil.

***

DI dekat tingkap Saoraja saya tersadar dari lamunan, seorang dayang-dayang istana menghampiriku sembari memberikan nasi dan lauk seadanya untuk sarapan pagi. Ah, saking kalutnya saya lupa bahwa rupanya saya tak sendirian, ada dua orang dayang-dayang istana menemaniku, keduanya adalah perempuan Bone yang telah uzur, sudah cukup lama mereka menjadi abdi yang mengurusi urusan rumah tangga istana.

Tabe’, permisi Puang, sudah waktunya Puang Tomairilaleng Kerajaan Bone untuk sarapan,” sahut salah seorang dari mereka lalu menyerahkan nasi dan lauk seadanya serta cerek dan gelas. Mereka kemudian berlalu kemudian memberikan takzim.

Sejenak kutatapi sarapan pagi itu, lalu kutaruh begitu saja, saya tak menyentuhnya sama sekali. Sungguh saya tak merasa kelaparan, walaupun kemarin sore dan malamnya perut ini belum diisi makanan. Pikiranku kalut nan gelisah, memikirkan nasib Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri dalam pelariannya. Semalam kami mengadakan pertemuan, memikirkan langkah taktis dalam perang ini, setelah berunding kami memutuskan untuk mengungsikan Arumpone ke daerah Palakka, sebelah utara Kerajaan Bone. Pilihan ini memang sulit, mengingat usia Arumpone telah uzur dan di sisi lain jarak antara Wattampone dan Palakka cukup jauh. Tidak hanya itu, skenario terburuk jika serdadu Belanda mengejar Arumpone, maka beliau akan diungsikan lagi menuju Tana Toraja dan itu bukanlah perjalanan yang mudah.

Puang, kami telah bersepakat untuk mengungsikan Puang Arumpone ke luar dari Kota Wattampone, keadaan perang ini begitu genting, apatah lagi musuh telah berhasil mendarat dan menyerang kubu-kubu pertahanan di sepanjang Perairan Bajoe. Hanya menunggu waktu Wattampone jatuh ke tangan serdadu Belanda pimpinan Kolonel van Loenen. Puang tak bisa lagi berlama-lama di sini, kami khawatir Puang akan ditangkap Belanda, dengan tertangkapnya Raja Bone maka perlawanan telah tiada, raja adalah simbol dan marwah kerajaan, raja adalah kerajaan itu sendiri. Kami telah mempersiapkan segalanya Puang. Petta Ponggawae akan mengawal rombongan Arumpone. Hanya inilah pilihan kita untuk melawan Belanda, perang gereliya. Selama Arumpone hidup, selama itu pula perang akan berkobar.” Itulah yang saya sampaikan ke Arumpone mewakili para bangsawan kerajaan yang menyempatkan hadir. Pilihan paling taktis memang bergerilya, kondisi telah memaksa kami untuk mengambil pilihan yang sulit, pun persenjataan Kerajaan Bone terlampau jauh tertinggal tinimbang persenjataan milik Belanda.

***

MATAHARI semakin meninggi, kekalutan yang menghinggapi perlahan-lahan mulai menguap, ada ketegaran yang mulai menyelubungi hati. Masih jelas malam itu terbayang wajah Arumpone yang membiaskan keengganan meninggalkan istana, langkahnya terasa berat ketika menuruni anak tangga istana, tapi bagi kami itulah pilihan terbaik. Lamat-lamat kurapalkan doa untuk keselamatan Arumpone dan Kerajaan Bone. 

Kini dari balik tingkap kumengintip kedatangan para serdadu Belanda dan Marsose, mereka mengendap-ngendap dengan siaga, memasuki kawasan istana. Wattampone nampaknya telah jatuh. Tetapi marwah kerajaan belum redup karena mereka belum berhasil menangkap Arumpone. Mereka pasti kecele ketika memasuki Saoraja Arumpone karena tak menemukan junjunganku—La Pawawoi Karaeng Sigeri.

Sejenak ku menghela nafas yang panjang dan sesegera mungkin  menuju ruang tengah sembari memanggil dayang-dayang istana, memintanya meninggalkan Saoraja  melalui pintu belakang istana, tetapi mereka menggelengkan kepala seraya berkukuh untuk menemaniku di Saoraja Arumpone ini.Kudengar pintu Saoraja didobrak, saya hanya berdiri menatap pintu itu seraya merapalkan beribu doa keselamatan untuk Arumpone. Hanya ketegaran dan keikhlasan yang menemaniku menghadapi segala kemungkinan. Ya Dewata Sewae, Ya Karaeng Allah Ta’Ala. Apa yang mesti hamba lakukan ketika mereka telah memasuki Saoraja ini? Tanyaku pada diri sendiri. Belum sempat kutemukan jawaban dari pertanyaanku, pintu Saoraja telah terbuka oleh serdadu Belanda dan kulihat di ujung sana moncong bedil mengarah tepat ke jantungku

Di Ruang Tunggu Bandara

“Maaf boleh duduk di sini?” tiba-tiba seseorang menyapaku, saya hanya tersenyum dan mepersilakannya.

“Zalsabila Cornelia Endy,” gadis itu menjulurkan tangan kemudian memperkenalkan dirinya

“Yardan Michael Julian,” sahutku lalu meraih ulurannya kemudian menjabat tangannya dengan erat.

“Lagi menunggu pesawat yah?” tanyanya sekadar basa-basi, tentu tanpa kujawab pun ia akan tahu dengan hanya melihat tiket pesawat yang tergeletak manja di samping secangkir cappuccino.

“Sama, saya juga sementara menunggu penerbangan, pesawat yang akan kutumpangi take-off empat jam lagi,” sahutnya kembali, tanpa mempersilakan saya menjawab pertanyaan yang ia layangkan kepadaku sebelumnya.

Gadis cantik itu kemudian mengambil sesuatu dalam tas yang berlogo L-V, kukira ia hendak mengambil ponsel, rupanya ia sedang mengambil satu bungkus sigaret. Kemudian menyulut api lewat pemantik, asap kemudian mengepul di udara. Ia menghisap sigaret tersebut sembari sesekali memejamkan mata, menikmati tiap ujung tembakau yang tersulut api.

“Ibuku pernah bilang kepadaku, dulu kalau mau bepergian, harus menunjukkan kartu vaksin dan hasil tes PCR serta hasil SWAB Antigen, tapi itu dulu, sekarang telah berbeda.”

Saya hanya mengangguk menanggapi seadanya, apa yang ia ucapkan memang benar. Ayahku pernah bercerita, bahwa dahulu bumi dilanda satu penyakit yang dinamakan COVID-19, virus yang menyerang saluran pernafasan seseorang, virus itu menyebar begitu cepat hingga statusnya menjadi pandemi.  Ayahku pun pernah berkisah, karena virus itu ia menghabiskan masa SMA nya dengan begitu hambar, belajar lewat dunia maya hingga menapaki jenjang sarjana. Pandemi itu baru benar-benar menjadi endemik ketika seluruh masyarakat telah melaksanakan vaksinasi dan tercipta kekebalan komunal.

Bahkan kata ayah, ketika pernah diadakan sekolah tatap muka terbatas, ia harus menjaga jarak dengan kawan sebayanya, selalu mencuci tangan, bukan sekali, namun berkali-kali. Pun dalam setiap aktivitasnya memakai masker. Apa yang diceritakan ayahku membawa imajinasi kepada sebuah aktivitas yang rumit.

“Ia benar, sekarang nampak normal kembali,” sahutku datar.

“Ibuku pernah bercerita, bahwa bencana itu bisa saja dicegah jika penguasa saat itu menerapkan karantina wilayah, dengan menutup semua pintu masuk baik laut dan udara. Agar mobilitas masyarakat dari wilayah terdampak virus tidak masuk ke negeri ini. Tapi penguasa kala itu memandang remeh hingga virus itu masuk dan menyebar begitu cepatnya. Perekonomian sempat terseok-seok, bahkan banyak orang-orang yang memanfaatkan peluang di tengah bencana,” gadis itu menghentikan ucapannya. Kemudian menghisap sekali lagi sigaret dan menyumbulkan asap ke udara.

“Mungkin ayah atau ibumu pernah mengisahkan ini, bahwa di masa itu seorang menteri dengan teganya berbuat korup, menyunat dana bantuan sosial. Mungkin pula beliau-beliau menceritakan bagaimana masyarakat melancarkan kritik atas ketidakcakapan dalam menangani pandemi melalui kampanye mural yang estetik.” Gadis itu menghentikan ucapannya, sigaret di jemarinya kemudian dimatikan dengan ujungnya ditekan keras pada asbak yang ada di hadapanku.

Sekali lagi, saya hanya mengangguk, karena cerita itu memang pernah dikisahkan oleh ibuku, betapa beberapa kali ironi terjadi di negeri ini. Ibu pun pernah berkisah ketika dilakukan pengetatan dan pembatasan mobilisasi, ia harus dengan rela membatalkan perjalanan menuju seberang, melayat nenek yang berpulang. Saat itu Ibu bercerita betapa hatinya tersayat ketika tidak bisa bepergian sedangkan di saat bersamaan banyak tenaga kerja asing masuk ke negeri ini.

Ada pula kisah pembungkaman kritik masyarakat melalui mural, katanya, beberapa seniman membuat mural yang tampak sarkas, lalu keesokan harinya mural itu telah lenyap. Lenyapnya mural tersebut kemudian ditanggapi dingin oleh masyarakat, bahkan sebuah organisasi non profit membuka sayembara kritik mural, juara pertama ketika mural tersebut dihapus oleh aparat setempat. Jadi secara tidak langsung membuat pemangku kebijakan menjadi juri atas lomba tersebut.

Kini gilaran saya yang mengambil sesuatu dari tas ku, mengambil sigaret lalu menyulutnya dengan api. Gadis di depanku tak mau kalah, ia pun mengambil satu batang sigaret, kami sama-sama mengembuskan asap dari tembakau yang terbakar, untungnya kedai kopi di bandara ini memiliki smoking area.

“Kamu sudah baca berita daring belum? Tentang tragedi jatuhnya pesawat pagi tadi?” gadis itu kemudian membelokkan pembicaraan, kini yang ia kisahkan hanyalah tragedi bencana yang pernah terjadi di negeri ini.

“Ayahku pernah berkisah, mengenai tragedi jatuhnya pesawat terbang di awal bulan Januari 2021, pun ayah pernah berkisah tragedi tenggelamnya kapal selam di bulan April. Kata beliau, itu adalah tragedi pertama di negeri ini, kasus pertama tenggelamnya kapal selam, hingga ia menyelam menuju keabadian, On Eternal Patrol, kata ayahku.” Dari bibir bergincu merah itu kemudian menyumbulkan asap, saya pun membalasnya dengan mengembuskan asap putih. Lantas ia pun kembali menyinggung perihal peristiwa jatuhnya pesawat terbang tadi pagi.

Ia, gadis itu, tanpa henti bercerita, tanpa kami sadari kami telah membunuh waktu begitu lama. Suara riuh kemudian menyelimuti bandara, tentunya karena kasus pagi tadi, tentang jatuhnya pesawat yang membawa penumpang. Ucapan duka cita dan simpati mengalir melalui media sosial. Bahkan layar kaca tanpa henti menampilkan berita jatuhnya pesawat terbang tersebut. Saya kemudian menatap layar kaca di atas sana, berita menayangkan jatuhnya pesawat terbang di laut lepas, di sana kulihat jelas beberapa nama.

“Itu namamu kan?!” celetuk gadis itu tiba-tiba kepadaku, pandanganku kualihkan kepadanya lalu tersenyum.

“Iya, benar itu namaku, dan ada juga namamu terpampang disana, kan?!.”

Sesaat kemudian hening, kudengar namaku dan namanya dipanggil, kami kemudian beranjak dari kedai kopi ini, lalu bergegas menyusuri ruang tunggu dan menuju aprone bandara. Pesawat yang akan kami tumpangi telah tiba, sebentar lagi take-off dan mengangkasa, membawa kami menuju keabadian di ujung sana….

Naar de Tokyo : Indonesia, Ik Hou van Jou

Kabar terakhir kudengar bahwa Jepang mulai terdesak oleh Amerika Serikat dan Sekutu, di satu sisi lain kawan kami di Eropa telah kolaps, Musollini tertangkap oleh partisan Italia, Hitler memutuskan bunuh diri di bunkernya bersama perempuan yang baru dinikahinya, Eva Braun. Bahkan pada Mei lalu Jerman-Nazi telah menyerah kepada sekutu. Maka praktis sasaran bedil kemudian terpusat ke Jepang.

Duta besar kami di Moskwa mengirimkan telegram ke Tokyo bahwa ada gelagat Uni Soviet akan menyerang Jepang melalui Manchuria, beberapa pembesar di Tokyo lebih memilih berperang dengan Amerika Serikat tinimbang Uni Soviet. Negeri yang dijuluki Paman Sam itu masih memiliki sedikit nurani dalam berperang dan masih memandang hormat pada kaum bangsawan, sedangkan Uni Soviet tidak akan ragu menghabisi para bangsawan kaisar Jepang sebagaimana ketika Revolusi Bolshevik yang memakan korban para bangsawan Rusia.

Saya mendengar langsung dari sahabatku yang duta besar di sana, bahwa malam itu Tsar Nicholas II dan sekeluarga dibangunkan oleh sekelompok tentara dan menuntunnya ke suatu tempat, di sana mereka  dihabisi oleh pasukan merah dengan berondolan senjata.

Hal itulah yang membuat para pembesar Jepang memiliki ketakutan tersendiri, jika Pasukan Merah berhasil merangsek ke Tokyo, bisa jadi nasib kasiar kami akan sama dengan nasib yang ditimpakan Tsar Nicholas II.

Di Jakarta sendiri, tanda-tanda kejatuhan Jepang mulai nampak, masyarakat mulai memasang Bendera Merah Putih, berdampingan dengan bendera Jepang, Hinomaru. Selain itu pimpinan militer setempat mengeluarkan kebijakan membolehkan masyarakat menyanyikan lagu Indonesia Raya, tentunya setelah mereka menyanyikan lagu Kimigayo. Kejatuhan itu semakin nampak kala semalam saya mendapat kabar bahwa Iwo Jima dan Okinawa telah digempur sekutu.

“Apa yang harus kulakukan?” tanyaku pada diri sendiri, sembari memerhatikan arloji, kurang sejam lagi pesawat yang akan memberangkatkanku dari Kemayoran ke Singapura akan lepas landas.

Sejenak kuperhatikan ruang tunggu bandara, sedang riuh rendah para polisi miiliter Jepang membicarakan janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Dari informasi kudengar, Kumakichi Harada telah menetapkan berdirinya Dokuritsu Junbi Cosakai yang diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat. Surat kabar yang kubaca pagi ini juga mengonfirmasi desas-desus itu. Melalui surat kabar ini, kuketahui bahwa beberapa anggota Dokuritsu Junbi Cosakai ialah Hatta, Sukarno, dan Yamin.

Seorang porter bandara menghampiriku, ia warga pribumi, dalam bahasa Jepang yang fasih, porter itu meminta tuk segera menuju aprone bandara, pesawat yang akan kutumpangi menuju Singapura telah siap berangkat. Saya tersenyum kepadanya, ia—lelaki pribumi yang fasih berbahasa Jepang—kemudian memberikan takzim dan menuntunku menuju aprone.

Sepanjang perjalanan dari ruang tunggu Bandara Kemayoran ingatanku berkelebat di masa-masa awal kedatanganku sebagai mata-mata di Tanah Hindia. Penempatan pertamaku di Kota Makassar, untuk menuju ke kota itu, saya harus menumpang pesawat dari Tokyo menuju Dalat, Vietnam. Selepas itu pesawat mengudara menuju Singapura, dari Singapura perjalanan udara berlanjut ke Kemayoran, Bandar Udara di Jakarta, kala itu Jakarta masih bernama Batavia.

Di Jakarta saya beberapa hari menginap, lalu perjalanan dilanjutkan melalui darat, menuju Surabaya, menyusuri Tanah Jawa yang begitu luas, sepanjang perjalanan begitu banyak nyiur yang melambai. Sesampainya di Surabaya, saya langsung menuju Tanjung Perak, dari pelabuhan inilah saya menyusuri lautan biru menuju Makassar.

Sepanjang perjalanan saya dibuat takjub oleh birunya langit, hangatnya mentari, dan luasnya samudera. Ketika kapal yang kutumpangi bersandar di Makassar, saya melihat pemandangan pergudangan yang penuh dengan beras dan kopra, dua komoditas yang bagi warga setempat membawa pundi-pundi gulden dan tentunya kekayaan.

Sebagai seorang dari Timur Asing, saya kemudian melapor kepada pejabat setempat, tentunya juga membawa semacam pass tinggal. Pejabat yang kutemui adalah seorang Belanda bernama H.F. Brunne, pertama bertemu, ia terkesima, karena kemampuan berbahasa Belandaku yang cukup fasih. Belakangan baru kuketahui, bahwa pejabat Belanda yang kutemui itu adalah Walikota Makassar. Ia mulai menjabat sejak tahun 1936 hingga tahun 1942.

H.F. Brunne kemudian memberikan izin untuk tinggal di sekitar kawasan Vladingaren yang jaraknya hanya selemparan batu dari Chinesse Wijk. H.F. Brunne juga sempat mengisahkan kepadaku, mengenai Kota Makassar, bagaimana penduduknya, serta cara bersikap terhadap masyarakat pribumi.

Ia memberikan satu pesan agar menjalin keakraban dengan penguasa lokal, terutama para bangsawan kerajaan, juga menjalin hubungan baik dengan para pedagang Tionghoa, Arab, serta Melayu.

Di Makassar, saya membuka sebuah toko kelontong serta bengkel sepeda, kadang kala juga menyewakan sepeda. Ada beberapa pelanggan setiaku, namun paling berkesan adalah seorang pemuda cerdas yang juga bangsawan Kerajaan Gowa, ia rupanya menempuh pendidikan di Kota Makassar.

Padanya saya mengenal tentang adat-istiadat masyarakat Makassar, termasuk nilai-nilai kearifan lokal yang dijalankannya. Saya pernah mendengar, bahwa masyarakat Makassar itu sangat menghargai kejujuran, ia mengibaratkan kejujuran sebagai bilah bambu yang terapung di sungai. Jika menginjak pangkalnya, akan muncuk pokoknya, jika menginjak pokoknya, akan muncul pangkalnya.

Kadang juga, saban sore hari, bangsawan dari Kerajaan Gowa itu membawaku melihat pertandingan Berburu jonga, saya heran jonga itu apa? Rupanya Jonga adalah rusa. Karena di daerah itu banyak ditemui jonga, maka masyarakat setempat menamai daerah tersebut dengan jongaya.

Kulihat Porter telah menaikkan barang bawaanku di kabin pesawat, ia kemudian mengumbar senyuman kepadaku. Saya lalu membukukkan badan, memberikan pernghormatan kepadanya, lalu menjabat tangannya. Ia lantas pamit meninggalkanku, sedang saya hanya duduk lalu memandang keluar melalui jendela pesawat terbang. Ingatanku kemudian melayang pada peristiwa penyerangan Jepang ke berbagai daerah termasuk di Makassar.

Saat itu begitu jelas, pesawat Jepang mengangkasa di langit Kota Makassar, bom-bom dimuntahkan, salah satu sasarannya adalah Fort Rotterdam, pada salah satu bastionnya luluh lantah terkena bom. Masyarakat kota dilanda ketakutan, namun ketakutan yang paling nyata terpampang di wajah orang-orang Belanda.

Situasi yang semakin kacau itu membuatku mengambil keputusan segera mungkin ke luar kota dan mengungsi di Barombong, musababnya menghindari kemungkinan ditangkap oleh orang-orang Belanda. Bagaimanapun negaraku telah mengemundangkan genderang perang.

Tujuanku ke Barombong karena di sanalah lokasi pendaratan tentara Jepang, dengan demikian kemungkinan selamat dari sergapan Belanda sangat tinggi.

Ketika Tentara Jepang berhasil mendarat, sesegera mungkin saya menunggu momen tepat dan keluar dari persembunyian, menemui mereka. Awalnya ia hampir menembakku, tetapi setelah berseru dalam bahasa Jepang, moncong bedil itu kemudian diturunkan.

Satu kebetulan karena komandan regu tentara Jepang rupanya masih karib saya, hal itu membuat diriku ini dijadikan penasehat militer lapangan. Saya kemudian menyarankan kepadanya agar bersikap simpatik pada warga pribumi, agar memudahkan jalan menuju Makassar. Bagaimanapun, warga pribumi masih menaruh dendam kesumat kepada Belanda, apatah lagi peristiwa Perang Gowa terkahir di tahun 1905-1906 masih membekas di hati mereka.

Perjalanan menggempur Makassar begitu mudah, beberapa pembesar Belanda mengungsi ke pedalaman, di antaranya Camba dan Sengkang. Pasukan Jepang mengejarnya hingga ke Camba. Beberapa batalyon dari Pare-Pare juga mulai merangseng masuk menuju Barru, lalu ke Soppeng, kemudian menuju Sengkang.

Tidak butuh waktu lama memaksa Belanda menyerah. Takluknya Belanda membuka mata kaum pribumi, bahwa bangsa Asia mampu mengalahkan bangsa Eropa.

Pesawat kini lepas landas dari Kemayoran, perjalanan menuju Singapura akan memangsa waktu cukup lama, dari Singapura pesawat akan menuju Dalat, lalu dari Dalat ke Hongkong, dan akhirnya ke Tokyo.

Saya mengembuskan nafas, lalu sejenak mataku melirik pada koper yang ukurannya tidak terlalu besar, isinya catatan perjalananku selama lima tahun di Tanah Hindia. Entahlah, meninggalkan tanah di bawah garis khatulistiwa ini membuatku sedih, tentunya ada kenangan indah yang pernah tergores.

“Sayonara Indonesia, selamat tinggal tanah di bawa garis khatulistiwa, tanah dengan nyiut melambai, tanah yang sebentar lagi merdeka, tanah yang bernama Indonesia.”

 “Indonesia, Ik Hou van Jou….” dan pesawat terbang pun lepas landas, mengangkasa membawaku menuju Negeri Matahari Terbit.


Sumber gambar: www.kompas.com/skola/read/2020/04/16/193000169/tiga-wilayah-pemerintahan-militer-jepang-di-indonesia?page=all

Naar de Tokyo : van Soerabaja tot Djakarta

Senja itu menyapa Surabaya, kapal perlahan-lahan bersandar di dermaga Pelabuhan Tanjung Perak. Dari buritan kapal kulihat Tuan Radjamin Nasution, saya seketika teringat pesan Tuan Yamasaki, bahwa untuk bertemu walikota Surabaya, saya hendaknya berjumpa dengan Tuan Radjamin Nasution.

Burung camar di atas sana terbang ke sana ke mari, seolah turut menyambut kedatanganku, lelaki berwajah teduh itu, membungkukkan badan, memberi takzim lalu kemudian menjabat tanganku, jemari hangat dan senyumnya memberikan sedikit kedamaian di tengah kemelut perang dunia

Tuan Radjamin Nasution adalah Wakil Walikota Surabaya, ia mendampingi Tuan Takashi dalam mengelola wilayah pendudukan di Surabaya. Dahulu, jabatan seorang walikota hanya dikuasakan kepada orang Belanda totok, tapi ketika Jepang menguasai Tanah Hindia, kami memberikan kepercayaan kepada pribumi untuk menduduki pos-pos penting, hal ini tak lebih dan tak bukan sebagai upaya propoganda guna menarik simpati masyarakat dalam mendukung upaya Palagan Asia Timur Pasifik Raya.

Di sepanjang perjalanan, Tuan Radjamin Nasution berbagi kisah, bagaimana kala Jepang berhasil melibas Belanda hanya dalam tempo tiga bulan. Belanda yang selama ini dianggap bangsa superior mampu takluk di hadapan bangsa Asia. Lebih lanjut, Tuan Radjamin Nasution mengisahkan bahwa di satu masa ia mendengar seorang Belanda menghadrik masyarakat pribumi dengan pernyataan bahwa Bangsa Belanda, Bangsa Eropa, diciptakan Tuhan untuk menundukkan Bangsa Asia.

Tuan Radjamin Nasution kemudian meminta supir mobil tuk berhenti, menepi di salah satu sudut kota, lalu sejenak meminta perkenaanku tuk mengikutinya, rupanya ia membawaku ke alun-alun kota. Di sana Tuan Radjamin Nasution melanjutkan ceritanya, bahwa apa yang telah dilalui oleh bangsanya telah lama diramalkan Jayabaya, salah seorang raja Kediri. Bahwasanya pada satu masa Tanah Jawa akan diperintah oleh bangsa berkulit pucat, dan kemudian akan digantikan oleh bangsa berkulit kuning dari utara. Kami berdua kemudian larut dalam diam, sejenak memandangi alun-alun kota, dan melanjutkan perjalanan bertemu Tuan Takashi.

***

Kekalahan Belanda ditandai dengan Kapitulasi Kalijati pada 9 Maret 1942, penyerahan Hindia-Belanda kepada Jepang diteken oleh Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara Hindia-Belanda. Kehadirannya mewakili Gubernur Jenderal Hindia-Belanda van Starkenborgh. Setelah penandatanganan tersebut seluruh perwira tinggi dan pentoan Hindia-Belanda dijadikan tawanan perang.

Sesungguhnya, tidak semua pentolan Hindia-Belanda berhasil dijadikan tawanan perang, beberapa dari mereka melakukan tindakan pengecut dengan lari ke Australia, salah satunya van Mook, wakil dari sang Gubernur Jenderal van Starkenborgh. Yah, kami memaklumi tindakan pengecut itu, karena itu adalah bagian dari strategi Belanda guna mendirikan pemerintahan Hindia Belanda dalam pengasingan.

Praktis, kekalahan Belanda atas Jepang sebenarnya membuka mata bangsa Indonesia sendiri, bahwa masyarakat Asia mampu menyaingi masyarakat Eropa dan Amerika, hal ini juga sedikit banyak membuat bangsa Indonesia menyambut kedatangan kami dengan terbuka, apatah lagi propoganda sebagai  Saudara Tua yang datang membebaskan Saudara Muda-nya, yakni Indonesia, dan mendirikan keluarga utuh Hakko Ichiu—Delapan Penjuru Dunia di Bawah Satu Atap.

Berbagai propoganda dan upaya dilakukan pemerintahan pendudukan militer guna menarik simpati pribumi, mulai memberikan kesempatan pada mereka mengisi pos-pos penting nan strategis, melatih para pemuda dalam organisasi militer dan semi-militer, menghilangkan segala berbau Barat seperti perubahan nama kota yang menggunakan Bahasa Belanda seperti Meester Cornelis menjadi Jatinegara, Buitinzorg menjadi Bogor, Fort de Kock menjadi Bukittinggi, Batavia menjadi Jakarta. Terakhir kami memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya setelah mengumandangkan Kimigayo dan mempersilakan masyarakat mengibarkan bendera Merah Putih di samping bendera Jepang, Hinomaru.

***

Melalui Tuan Radjiman Nasution, saya berhasil bersua dengan Tuan Takashi. Di ruang kerjanya, saya melaporkan kondisi terakhir di wilayah pendudukan militer di timur Indonesia, yakni Kaigun Armada Selatan ke-2 yang berpusat di Makassar. Saya menyampaikan bahwasanya  suatu kemustahilan Sekutu akan menyerang kawasan Timur, mereka akan memilih mengambil alih Filipina dan dari sana menyusun rencana taktis dan strategis guna merangsek ke Tokyo.

Tuan Takashi nampak memijit-mijit kepalanya sembari memerhatikan satu bundel laporan yang kuhimpun selama dinas intelejen di Makassar. Ia kemudian mengemukakan bahwa ada laporanku yang luput, bahwa akan sulit Sekutu membebaskan Filipina jika tidak menguasai salah satu wilayah di Timur guna dijadikan basis atau batu loncatan menuju Manila, Filipina. Tuan Takashi juga mengemukakan kekhawatirannya tentang kekuatan Jepang yang mulai mengalami kemunduran, cepat atau lambat Jepang akan kalah.

Namun, saya memiliki pandangan lain, saya menyampaikan kepada Tuan Takashi bahwa hal demikian itu mustahil, menurut analisaku atas laporan intelejen yang telah kuhimpun, kemungkinan Sekutu menyerang wilayah pendudukan di Timur begitu kecil, mereka akan memilih melompati Indonesia dan langsung merebut wilayah koloninya, Filipina dan merangsek masuk menuju Tokyo. Itu adalah pilihan logis, karena Kekaisaran Jepang ibarat gurita yang tentakelnya menyebar dari dataran Tiongkok, Asia Tenggara, hingga Tanah Hindia. Wilayah pendudukan Jepang ibarat tentakel dengan Tokyo sebagai kepala guritanya, maka oleh sebab itu, Sekutu tidak akan memotong tentakelnya, namun lebih memilih menyerang kepalanya, yakni Tokyo.

***

Setelah berbincang dengan Tuan Takashi, saya kemudian melanjutkan perjalanan menuju Jakarta. Kali pertama ke Jakarta saat tahun 1940, wilayah itu masih bernama Batavia, kunjunganku ke Batavia sebagai delegasi dalam misi diplomasi ekonomi yang dipimpin Tuan Ichizo Kobayashi, menteri era Kabinet Konoe, tujuan kami ke sana untuk meminta kesediaan Hindia-Belanda menjual minyak kepada Jepang dan mengurungkan niatan mengadakan blokade ekonomi atas negeri kami.

Misi itu gagal, van Starkenborgh sang Gubernur Jenderal menolak proposal yang kami ajukan dan kukuh pada pendirian untuk tidak menjual segala bentuk sumber daya alam ke negeri kami. Tentunya kami pulang dengan tangan hampa, akan tetapi, atasan kami kukuh untuk mencari cara agar Hindia-Belanda mau menjual sumber daya alam kepada kami, maka dikirimlah Tuan Kenikichi Yoshizawa, mantan menteri luar negeri guna berunding dengan van Starkenborgh. Sekali lagi upaya itu gagal.

Kegagalan itu kemudian membuka satu opsi dari pemerintahan Jepang, yakni menyerang Hindia-Belanda, lantas saya dan beberapa kawan-kawanku ddiwajibkan mengikuti sekolah intelejen yang bernama Nakano Gakko. Setelah lulus, kami ditugasi ke Hindia-Belanda untuk misi spionase, salah satunya memotret medan dan topologi Hindia-Belanda, guna memudahkan kami menyusun rencana menyerang titik lemah Tanah Hindia di Garis Katulistiwa.

***

Selama perjalanan darat dari Surabaya menuju Jakarta, pikiranku hanya tertuju pada kemelut palagan Asia Pasifik Timur Raya, pada awal perang kami menunjukkan kemajuan yang luar biasa, mampu menguasai Manchuria di Utara, Korea di Barat, hingga Tanah Hindia atau Indonesia di Selatan.

Namun kini Jepang mulai terjepit, apatahlagi kabar bahwa posisi sekutu kami di Eropa yakni Jerman Nazi dan Fasisme Italia semakin terdesak. Hanya menunggu waktu kami akan hengkang di negeri ini, Indonesia. Saya hanya menghela nafas memikirkan semua itu, sejenak kemudian pandanganku mengarah ke luar jendela—kereta api yang kutumpangi—di sana kulihat hamparan sawah yang hijau dan nyiur melambai-lambai…..