Semua tulisan dari Indri Stamou

Siswi kelas XI Jurusan ilmu-ilmu sosial MAN 1 Kota Tanggerang Selatan. Penulis mulai menyukai Hobi menulis sejak duduk di kelas X. Sekarang sedang terus belajar dalam mengayomi hobi menulis sebagai salah satu potensi. Ingin tulisan-tulisannya memberikan manfaat untuk sesama.

Semilir Gendang Petasan

Bunyi hentakan petasan mengguruhi telingaku. Sepertinya, sumber suara itu berasal dari sebelah timur rumahku. Suara-suara keras itu mulai menabrak kesunyian kampung halamanku—tepatnya Desa Bojong Hejo, Bandung.

Kulangkahkan kakiku menuju jendela kamarku, menatap kerumunan orang-orang yang membawa baki, beberapa di antaranya membawa sebuah parcel—tepatnya parcel pisang tanduk yang berukuran cukup besar. Sepertinya, mereka adalah rombongan keluarga dan besan.

Suara bising irama dangdut juga tidak kalah keras, merambat menusuk pendengaranku. “Ummi! Itu teh[1] yang hajatan siapa sih? Berisik banget. Nggak tahu apa Neng[2] lagi sakit gigi. Mana suara musik dangdutnya nyaru[3] banget lagi.” Aku hanya menggerutu kesal lantaran suara yang bising itu. Suara yang mengganggu keadaanku yang menahan rasa sakit—sudah berhari-hari gigi ini tidak bias diajak berkompromi.

“Itu teh yang hajatah si Teteh Erna,” sahut Ummi-ku sembari menyodorkan sebuah amplop. Saya hanya meraih amplop pemberian Ummi,

“Maaf yah, Neng. Ummi baru nyampein[4] surat undangan ini. soalnya Ummi lupa. Dia ngundang kamu loh buat datang ke pesta pernikahannya,” lanjut Ummi menyambungkan percakapan yang sempat terpotong tadi.

“Apa?! Yang lagi nikahan itu Teteh Erna? Dia kan baru saja tamat SMA.” Sejenak kutatapi amplop itu—yang pastinya amplop itu berisi sebuah undangan pernikahan. Saya masih heran saja, kok Teteh Erna mau menikah muda? Usianya saja baru 17 tahun.

Ih duka atuh! Jung lah geura mandi, saentos eta rarapih jeung kunjungan ka bumi tatangga,[5]ucap Ummi dengan bahasa Sundanya yang begitu khas. Ia kemudian berlalu tanpa menggubris rasa penasaranku terhadap pesta pernikahan Teteh Erna.

Saya hanya diam sesaat, sembari memerhatikan undangan pernikahan Teteh Erna,tetangga sekaligus karibku, yang akan bersanding dengan mempelai pria yang tak kukenal. Kang[6] Dodi. “Kok Teteh Erna mau yah nikah muda? Bukankah Teteh Erna mau kuliah? Sayang kan otaknya yang encer itu tidak dimanfaatin,” gumamku pada diri sendiri. Kemudian melangkahkan kakiku menuju kamar mandi sembari menahan rasa nyeri akibat sakit gigi yang mendera.

***

Di depan cermin, kutatap wajahku yang telah mengenakan riasan wajah. Sembari memberikan perona merah pada kedua pipiku, pikiranku melayang pada Teteh Erna. Karibku yang begitu cantik. Wajahnya khas mojang Sunda.[7] Memang sih, bukan urusanku untuk mencampuri terlalu dalam urusan Teteh Erna. Menikah di usia muda juga tidak ada salahnya. Tapi kan, konsekuensinya pasti Teteh Erna harus mengubur impiannya untuk kuliah di kota. Bukankah Teteh Erna sudah berjanji untuk kuliah di kota bersama-sama?! Bersama dengan karibnya ini.

Kuambil gincu bewarna merah yang terletak di atas meja riasku. Kuolesi setiap sudut bibirku sembari mengingat kejadian sesaat setelah pengumuman kelulusan di SMA.

Neng sudah lihat pengumuman?” sahut Teteh Erna kepadaku. Usianya setahun lebih muda dariku. Walaupun demikian, Teteh Erna sudah kelas dua belas SMA. Maklum saja, gadis paling cantik se SMA ini terkenal berotak sangat encer. Teteh Erna mengikuti program akselerasi saat SMP. Jadinya ia hanya bersekolah di SMP selama dua tahun.

“Udah Teteh Erna. Saya lulus, kalau Teteh gimana? Pasti lulus dong,” sahutku kepadanya. Ia hanya mengangguk. Lantas kami berjalan menuju taman sekolah. Melepaskan penat setelah melalui Ujian Nasional yang begitu menegangkan.

Neng, setelah ini. Mau lanjut kuliah di mana?”

“Lanjut kuliah? Hmmm… entahlah? Kalau Teteh sendiri ada niatan tidak untuk kuliah?”

“Iya tuh, Neng ada pastinya. Saya mau kuliah di kota. bagusnya, kita kuliah bareng aja Neng. Giamana? Mau kan?!”

“Wah, kalau sama Teteh Erna pastilah Neng mau. Kan asyik kalau bareng terus.”

“Janji?!”

“Iya, janji.” Kami pun saling menautkan jari kelingking satu sama lain, sembari tertawa bersama desiran angin.

***

Suara petasan kembali terdengar, pertanda kenduri pernikahan Teteh Erna semakin ramai. Bersama Ummi dan Abah kulangkahkan kakiku menuju kediaman Teteh Erna yang begitu ramai. Para sanak famili dan handai taulan berdatangan. Makin malam semakin meriah. Kulirik arloji yang melingkar telah menunjukkan pukul 20.00.

Setelah suara petasan, giliran hentakan musik dangdut yang menyambut kedatangan para tamu undangan. Termasuk saya, Ummi dan Abah.

Di bawah tenda biru, dengan gemintang lampu-lampu pernikahan. Dan ornamen khas Sunda. Membawa suasana yang begitu khidmat dan sakral. Namun berbeda dengan kedua mempelai. Dari jarak yang cukup jauh, nampak roman wajah Teteh Erna yang gundah gulana. Seyogianya kedua mempelai berbahagia, namun entah mengapa suasana di pelaminan itu begitu dingin.

Sebelum Abah dan Ummi menuju pelaminan, saya lebih dahulu mencegah mereka. Untuk memberikan kesempatan pada diriku untuk berswafoto ria dengan kedua mempelai.

“Wah selamat yah Teteh,” sahutku. Kulihat Teteh Erna mencoba memaksakan senyuman. Sama halnya mempelai pria—Kang Dodi. Kulihat wajahnya begitu masam. Ia mengumbarkan senyuman yang kecut kepadaku.

Saat kupandangi bola mata Teteh Erna. Ada beningan mata yang coba ia tahan. Saya hanya mendesah pelan. Kami pun akhirnya berfoto bersama. Abah, Ummi, Neng, dan kedua mempelai.

***

Malam semakin larut, semakin ramai kenduri pernikahan Teteh Erna dan Kang Dodi. Saya mengambil deretan kursi paling belakang. Sedangkan di sebelah kiri tempat dudukku, kulihat kerabat dekat Teteh Erna. Mereka nampak begitu asyik mengobrol. Suaranya timbul tenggelam dengan suara musik dangdut yang memeriahkan pernikahan ini. Cukup jelas telingaku menangkap obrolan mereka.

“Kasian, yah si Teteh Erna?”

Naha atuh kasian[8]?”

“Kasihanlah, Teteh Erna harus mengubur impiannya untuk kuliah, lantaran Abahnya[9]

kelilit utang. Makanya, ia di jodohin sama Kang Dodi—anak rentenir itu.”

“Ah, yang bener Jeng?!”

“Iya…!”

Saya hanya menghela nafas panjang, mendengar pembicaraan mereka. Lamat-lamat suara musik dangdut kembali terdengar, kini Sakit Gigi milik Meggy Z yang menggema.

 

Ilustrasi: www.novelrw.com/

Catatan Kaki:

[1]Teh ( suatu panggilan kakak untuk anak perempuan)

[2]Neng ( suatu panggilan untuk anak perempuan)

[3]Nyaru (sangat terdengar)

[4]Nyampein ( menyampaikan)

[5]Ihduka (tidak tau) atuh! Jung lah  (cepatlah) geura mandi, (cepat mandi) saentos eta (selepas itu) rarapih jeung (rapi-rapi untuk) kunjungan ka bumi tatangga (kunjungan ke rumah tetangga)

[6]Kang ( panggilan kakak untuk anak laki-laki)

[7]Mojang Sunda (khas Sunda)

[8] Naha atuh (kenapa dong)

[9]Abah ( ayah)

 

Kidung-Kidung Hutan

Burung gereja bersenandung kidung alam. Semua penghuni hutan di ketinggian Gunung Gede—di puncak selatan Bogor—terkesima akan cuitan merdu burung gereja itu. ada kelinci, yang melompat-lompat di tanah, ada kupu-kupu yang beterbangan, serta ada rusa yang asyik berlari-lari kecil. Mereka begitu khidmat menikmati kidung-kidung hutan yang disenandungkan burung gereja.

 

Seolah alam menaruh takzim pada suara yang begitu merdu, angin pun berhenti berembus sejenak dan hutan pun serasa sunyi, penuh kedamaian.

“Sungguh kedamaian yang begitu khidmat, andai hutan tempat kita tinggal selalu seperti ini,” sahut si kupu-kupu yang terbang rendah mendekati Konijn, seekor kelinci penghuni hutan.

Konijn hanya tersenyum, kumisnya ikut mengembang, ia lantas mengangguk sebagai tanda setuju atas pernyataan Vlinder yang terbang semakin rendah.

“Yah, hutan semakin rusak oleh tangan-tangan jahiliyah manusia, lihatlah sampah berserakan, beberapa batang pohon ditebang,” sahut Hert seekor rusa yang menghuni hutan. Ia mendengus kesal, ikut nimbrung dalam percakapan antara Vlinder dan Konijn.

“Mari sejenak kita nikmati suasana sendu ini, sembari mendengarkan kidung-kidung hutan yang disenandungkan burung gereja,” sahut Konijn, kelinci hutan berbulu abu-abu.

Mereka bertiga kemudian tenggelam bersama kidung-kidung hutan, yang membawa mereka atas kenangan masa lalu.

***

“Aummmm!” suara auman hutan harimau kembang terdengar membangunkan penghuni hutan di malam hari yang dingin itu.

Pada malam itu Hert, Vlinder, dan Konijn yang sedang hangat tidur di bawah dedaunan langsung terjada. Mereka ketakutan mendengar auman seekor harimau kembang—penghuni hutan memanggilnya Spot. Pikiran mereka kalut, terlintas di benak mereka rasa berburuk sangka, karena auman Spot itu sebuah pertanda bahwa mereka akan mati diterkam hewan buas malam itu.

“Bagaimana ini? aku takut menjadi santapan malam Spot…, si harimau yang lapar itu,” ucap Konijn yang sangat ketakutan, peluh pun mengalir deras membasahi bulunya yang abu-abu itu.

“Tenang dulu Konijn! Kamu jangan gelisah seperti itu. Hey Vlinder kepakkan sayapmu, kamu intip dulu sana, di mana si Spot itu dan kenapa ia mengaum kencang di malam hari.”

Hert menyuruh Vlinder untuk mencari informasi, gerangan apa yang membuat Spot si harimau kembang membangunkan penghuni hutan. Dipilihnya Vlinder bukan tanpa alasan, tubuhnya kecil pun ia bisa terbang dan tentunya bisa bersembunyi di antara dahan-dahan maupun ranting-ranting pohon. Di sisi lain, hanya Vlinder yang tak mengundang hasrat untuk diterkam si Spot.

“Oke siap! Kalian tenang dulu yah di sini,” sahut Vlinder dan bersegera mengepakkan kedua sayapnya–yang bewarna hitam dengan corak kuningnya itu—ke arah timur hutan, menyusuri gema auman Spot.

***

Malam silih berganti, Fajar mulai terbit dari ufuk timur bersama lelehan embun yang dingin. Perlahan-lahan cahaya matahari mulai menyibak dedaunan dan ranting-ranting pohon yang menaungi hutan. Pagi pun menyapa dengan sinaran hangat dari sang mentari. Namun, kehangatan itu belum mendekap Hert dan Konijn. Mereka risau, menunggu sedari malam hingga pagi.

“Di manakah gerangan si Vlinder itu yah? tanya Hert dengan perasaan berkecamuk dalam kekhawatiran yang teramat sangat.

“Jangan-jangan Vlinder mati diterkam Spot, si harimau kembang itu?!” tandas si Konijn dengan mata melotot, seolah-olah mengekspresikan keyakinannya tentang kebenaran yang akan terjadi pada Vlinder.

“Gak mungkin, kamu jangan sembarang ucap. Mana mungkin Spot si harimau belang itu ingin menerkam Vlinder, kamu tahu sendirikan Spot hanya makan daging, tepatnya daging kelinci dan rusa.”

Konijn menelan ludah, ia bergidik mendengar penuturan Hert. Lantas Konijn berjalan beberapa langkah ke depan—walaupun sebenarnya Konijn melompat. Ia sejenak memandangi pepohonan yang menaungi hutan. “Yah sudah, sekarang kita cari Vlinder bersama-sama.”

***

Matahari mulai meninggi, pertanda hari sudah mulai siang. Hert dan Konijn terus berjalan mengitari hutan, melihat ke kanan dan ke kiri. Ke depan dan ke belakang. Tak ada tanda-tanda keberadaan Vlinder. Mereka berdua berseru serempak memanggil nama Vlinder. “Vlinder…! Vlinder..! Vlinder…!” mereka tak jemu-jemu memanggil nama Vlinder, bahkan di antara ruas-ruas pepohonan yang tumbuh berundak-rundak di bukit mereka terus berteriak.

“Vlinder…! Kau di mana?!”

Tiba-tiba, dalam pencarian Vlinder. Hert dan Konijn mendapati segerombolan manusia berjalan, memasuki hutan dengan membawa tas yang terlihat sangat berat.

“Siapa mereka? Dan mau apa mereka ke sini? tanya Konijn pada Hert

“Mereka manusia yang mau mendaki gunung dan sampai puncak yang tertinggi,” jawab Hert.

“Oh…, jadi mereka yang dinamakan manusia? apakah mereka jahat? Kembali Konijn memberondong tanya pada Hert. Ada binaran ketakutan yang nampak jelas di kedua bola mata hitam Konijn

“Manusia itu tidak jahat, tetapi kadang juga ia bisa menjadi jahat,” jawab Hert yang membuat Konijn kebingungan.

“Bagaimana maksudnya?” tanya Konijn yang masih bingung atas jawaban dari Hert.

“Maksud kedatangan mereka ke sini itu baik, mentadaburi alam tetapi di antara mereka ada pula yang dengan perasaan tak berdosa membuang sampah sembarangan,” tukas Hert memberikan jawaban.

Mereka memerhatikan seksama tindak-tanduk manusia yang menyusuri hutan, beberapa di antara mereka ada yang membuang bungkusan—seperti bungkusan keripik.

“Jadi, merekalah yang diceritakan dalam kidung-kidung hutan itu? Tentang manusia jahiliyah yang merusak hutan?” tanya Konijn untuk kesekian kalinya, sembari melantunkan beberapa bait kidung-kidung hutan yang sering diperdengarkan burung gereja.

“Tidak semua, sudah mari kita lanjutkan pencarian. Semoga Vlinder tidak apa-apa.” Hert mengalihkan pembicaraan itu. bagi Hert membicarakan manusia-manusia jahiliyah tidak akan ada ujungnya, ia masih mengingat kejadian itu, ketika manusia menebang pepohonan yang menaungi tempatnya bermukim. Sehingga ia harus menyingkir membiarkan rumahnya diberangus oleh tangan-tangan jahiliyah manusia.

***

Matahari yang mulai menguning di ufuk barat itu kembali datang. Melenyapkan cahaya terang menjadi keremangan yang sendu, tak berselang lama mega-mega merah mulai menampakkan dirinya. Perlahan namun pasti hari telah berganti menjadi gelap.

Hanya desiran jangkrik yang terdengar malam itu, tetapi pencarian atas Vlinder belum membuahkan hasil. Tampak roman wajah Konijn yang mulai meringis dan menangis. Ada kesedihan mendalam yang mendera jiwanya. Pikirannya selalu berkecamuk bahwa Vlinder sudah mati.

“Apa yang harus kita lakukan Hert? Hari sudah gelap, saya takut Vlinder kenapa-kenapa”

“Sudahlah, kamu jangan berpikiran negatif begitu, ia pasti baik-baik saja. Semoga malam ini kita menemukan Vlinder.”

Lelah terasa dalam perjalanan seharian mencari Vlinder, akhirnya Konijn dan Hert tertidur lelap di bawah rerimbunan pohon.

Tidak cukup lama untuk mereka terlelap, karena tetiba saja suara auman harimau kembang terdengar jelas, membangunkan para penghuni hutan.

Hert dan Konijn terbangun, mata mereka menyiratkan kekalutan yang teramat dalam. Betapa tidak di hadapan mereka nampak Spot si harimau kembang.

“Kenapa kamu membangunkan penjuru hutan di malam-malam begini Spot?” Hert mengumbarkan tanya, ia mengambil jarak pada Spot. Di saat yang bersamaan Konijn melompat bersembunyi di belakang Hert.

“Hert…! Konijn…! Jangan takut!” sebuah suara menyeru dari balik tubuh gagahnya si Spot. Mata Hert dan Konijn terbelalak, rupanya itu Vlinder. Sahabat yang mereka cari selama ini.

“Apa yang kau lakukan di situ Vlinder?” tanya Konijn dengan penuh perasaan penasaran dan keheranan. Di sisi lain ia masih meringkuk ketakutan di belakang Hert.

“Tenang dulu Hert dan Konijn. Spot ini tidak jahat kok, ia harimau yang baik.” Vlinder kemudian menjelaskan kejadian yang dialaminya, pertemuannya dengan Spot termasuk alasan mengapa si harimau kembang itu mengaum, sehingga membuat penghuni hutan ketakutan.

***

Kidung-kidung hutan menggema dari ciutan burung gereja. Vlinder, Hert, dan Konijn hanyut dalam elegi itu. Tidak hanya mereka bertiga, Spot si harimau belang memutuskan ikut bergabung dalam suasana sendu itu.

“Maafkan kami yang pernah menaruh curiga terhadapmu, Spot,” sahtu Konijn dengan nada menyesal. Spot hanya tersenyum, menampakkan giginya yang bertaring.

“Yah, dahulu aku mengaum karena manusia-manusia yang mengotori alam. Sampah-sampah dibuang semberangan oleh para pendaki itu, pepohonan ditebang oleh manusia-manusia yang tamak itu. Vlinder, Hert, dan Konijn. Aku hanya ingin menegaskan kepada manusia-manusia itu melalui aumanku, bahwa alam ini harus dijaga, jikalau alam ini tidak dijaga maka semua akan rusak. Dan kita sebagai penghuni hutan merasa tidak nyaman. Jika manusia seperti itu, alam pun akan marah dan kita juga akan marah.”

Vlinder, Hert, dan Konijn mengangguk pertanda setuju akan ucapan Spot. Mereka kemudian menikmati kidung-kidung hutan yang disenandungkan burung gereja.

Catatan : Konijn (Bahasa Belanda) berarti Kelinci, Vlinder (Bahasa Belanda) berarti Kupu-Kupu, Hert (Bahasa Belanda) berarti Rusa.


Sumber gambar: www.deviantart.com