Semua tulisan dari Irfan Nesa

Alumnus UNM. Bergiat di Kelas Menulis Paradigma Institute. Ketua Harian LDSI Al Muntazhar Makassar.

Penderitaan; Suatu Tinjauan Filsafat

Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat sembuh dari penderitaannya. Mengapa kita menderita? Apakah hanya manusia yang menderita? Dari perspektif filsafat, satu-satunya makhluk alam yang merasakan penderitaan adalah manusia. Hal ini karena hanya manusia yang memiliki pengetahuan tentang kemewaktuan atau kemampuan kesadaran akan masa lalu, kini, dan nanti. Melalui kesadaran itu manusia mampu menghubungkan kegelisahan yang dirasakan saat ini dengan kejadian di masa lalu yang membuatnya menderita. Penderitaan lampau akhirnya menjadikan manusia hari ini, dan keadaan sekarang tentu diarahkan agar di masa depan menjadi lebih baik.

Penderitaan dari tinjauan filsafat dapat difragmentasikan kedalam tiga cara pandang. Pertama, paradigma bahwa penderitaan adalah fenomena yang wajib kita hindari. Hidup tanpa derita adalah hidup yang paling bahagia. Pandangan ini digaungkan pada era filsafat Yunani. Lebih spesifiknya pada era helenisme, pandangan filsafat hedonisme dan stoikisme mewakili corak berpikir yang menolak hidup di bawah payung penderitaan. Menurut hedonisme Epikurus, penderitaan dihindari melalui pengoptimalan kenikmatan. Berbeda pada era sebelum filsafatnya, Epikureanisme memandang kenikmatan sebagai epifani atas terpenuhinya hal yang kita butuhkan.

Kenikmatan dipahami dua bentuk, yakni terdiri atas kenikmatan dinamis dan kenikmatan statis. Kenikmatan dinamis adalah kenikmatan yang diperoleh ketika proses ketercapaian kepuasan berlangsung. Sementara kenikmatan statis adalah keadaan ekuilibrium yang tercipta ketika kepuasan itu tercapai. Misalnya, kenikmatan yang diperoleh dari upaya untuk memuaskan rasa lapar yang masih berlangsung maka itu disebut kenikmatan dinamis. Namun rasa tenang muncul pasca terpuaskannya rasa lapar adalah kenikmatan statis. Bagi Epikurus, kenikmatan yang lebih murni adalah kenikmatan statis, karena ketika jasmani mencapai keadaan ekuilibrium, penderitaan pun lenyap. Maka untuk menjaga keadaan ekuilibrium tersebut, Epikurus menganjurkan agar tidak mewujudkan kenikmatan yang didasari oleh keinginan yang meluap-luap dan tidak terbatas.

Sementara itu, filsafat Stoikisme mencoba menghindari penderitaan dengan mengabaikannya, segala fenomena yang ada di luar kendali-menyebabkan kita menderita-sebaiknya dinafikan. Penderitaan bagi Stoik lahir dari persepsi yang terbentuk pada diri kita atas sesuatu di luar diri kita. Kita menderita akibat persepsi kognitif yang kita bentuk sendiri. Agar hidup bahagia, maka cukup dengan mengendalikan rasionalitas yang membentuk persepsi kita atas sesuatu.

Kedua, cara pandang yang menolak menghindari penderitaan atas dasar kenyataan bahwa kita sepatutnya tidak dapat menghindar. Kehidupan adalah rangkaian berkelindan dengan penderitaan itu sendiri. Olehnya itu kebahagiaan menjadi bagian kecil dari perjalanan kehidupan manusia. Semacam terminal persinggahan atau peristirahatan manusia dalam menjalani kehidupan penuh derita. Bahagia itu sesaat, penderitaan itulah yang hakiki. Mustahil menemukan hidup yang tidak terdapat penderitaan di dalamnya. Cara pandang seperti ini diwakilkan oleh filsuf Arthur Schopenhauer (1788-1860).

Baginya, penderitaan dapat muncul karena manusia memiliki will (kehendak). Will ini diartikannya sebagai nafas atau energi utama yang menggerakkan kehidupan kita. Dorongan tersebut membuat kita hidup dan melakukan sesuatu. Segala sesuatu bersumber darinya, sehingga penderitaan adalah suatu keadaan ketika kehendak tidak terwujud. Misalnya, saat kita berkehendak memiliki si A jadi pasangan, maka seluruh energi dan potensi diarahkan untuk mendapatkannya. Namun ketika kenyataan si A menolak menjadi pasangan kita terjadi, maka saat itulah penderitaan tiba.

Sebaliknya, Penderitaan tidak menghampiri jika kita tidak memiliki kehendak memiliki si A. Atas dasar itu, Schopenhauer menganggap bahwa biang keladi kita menderita ialah kehendak/will. Kehendak adalah hasrat berlebih, kemauan yang baka, buruk, hina, dan seterusnya. Olehnya itu kehendak mesti dikendalikan. Mengendalikan kehendak bagi dia adalah dengan hidup asketis. Hidup dengan menghindari kemewahan, mengebiri diri dari kehidupan dunia yang dianggap sebagai sumber kejumudan. Pendekatan pesimisme terhadap kejumudan dunia selanjutnya menjadi magnum opus dari filsafatnya dan memberi pengaruh bagi pemikiran setelahnya.

Ketiga adalah cara pandang filsafat Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900). Pandangan Nietzsche tentang penderitaan merupakan kelanjutan pandangan Schopenhauer. Sebagaimana Nietzsche sendiri mengakui Schopenhauer sebagai gurunya dalam hal memaknai penderitaan. Senafas dengan gurunya, bagi Nietzsche penderitaan adalah bagian kehidupan manusia. Akan tetapi, bertentangan dengannya Nietzche memilih paradigma optimis dalam menghadapi kehidupan. Kebijaksanaan dapat berkembang melalui penderitaan. Semakin sering kita menderita, ditempa musibah dan semacamnya, maka semakin mapan dan matang pula kita dalam menjalani hidup.

Penderitaan tidak perlu dihindari, bahkan penderitaan semestinya dirangkul dan dijadikan teman dalam menjalani hidup. Penderitaan menjadi batu loncatan, ruang bagi jiwa kita ditempa agar kuat dalam menghadapi hidup beserta problemnya. Hampir seluruh tokoh-tokoh revolusioner dunia lahir dari rahim penderitaan. Nelson Mandela di Afrika, dilahirkan dari penderitaan hidup di penjara selama 27 tahun di Pulau Robben, Pollsmoor, dan Victor Verster. Ruhullah Imam Khomeini merupakan Tokoh revolusioner modern. Beliau melalui penderitaan ke penderitaan untuk dapat menumbangkan rezim Reza Shah Pahlevi (1941-1979). Terusir dari negaranya, kerabat, dan keluarganya kurang lebih selama 15 tahun. “Pelaut ulung tidak pernah dilahirkan dari laut yang tenang”. Kiranya demikian tokoh-tokoh besar menjalani kehidupannya. Mereka menunjukkan sikap optimisme dalam menghadapi penderitaan. Akhirnya bagi Nietzsche Penderitaan adalah madrasah bagi penciptaan manusia sempurna (Ubermensch). Cara manusia menjalani penderitaan adalah cara manusia menyempurna.

Syahdan, dapat diuraikan simpulan sederhana dari problema di atas. Penderitaan, derita, rasa sakit adalah bagian dari kehidupan. Sebagaimana bahagia, senang, tertawa juga bagian lain dari hidup kita. Kenyataannya kita cenderung menghindari penderitaan dari pada meraih kebahagiaan. Karena saat terhindar dari derita, saat itulah kita sementara nongki pada terminal kebahagiaan.

Term derita pada dasarnya menjadi salah satu aspek kajian sufisme Islam. Terminologi derita dalam sufisme Islam dimaknai sebagai keterpisahaan eksistensi diri dari kesempurnaan. Manusia menderita akibat jarak antara kesempurnaan dengan eksistensinya. Fakta ontologis tersebut bertransformasi pada wujud kesehariannya. Sehingga dari perspektif sufisme sejatinya tidak ada fenomena lahiriah yang dapat membuatnya menderita. Orang-orang pilihan, suci, dan murni tentu meneguk derita dengan penuh kebahagiaan. Sebagaimana persaksian Siti Zaenab RA ketika disindir dengan pertanyaan menohok dari kekuasaan atas nasib nahas yang menimpa saudaranya, Imam Husain di Karbala. Beliau memaknai derita dengan berkata, “Tidak ada yang ku lihat kecuali keindahan”.

Sumber gambar: rumahfilsafat.com

Punggahan, Nyadran, dan Suru Maca

Malam telah larut, para jamaah masjid telah mengambil posisi duduk berderet, bersandar pada dinding masjid. Tepat ba’da sholat Isya Daeng Situju telah menanggalkan pecinya sambil mengelus-elus kepala sembari melihat panitia lalu lalang di hadapannya. Mereka tengah sibuk menyetel sound system, menggeser mimbar, menggulung sajadah guna mempersiapkan acara “Malam Sambut Ramadan”.

Acara dimulai dengan tadarrusan beriringan remaja putri merapal tilawah dengan suara dan intonasi yang indah di belakangnya. Berikutnya memperdengarkan ceramah tausiyah yang merupakan acara inti. Biasanya panitia mengundang mubalig yang mampu mengundang tawa, menghangatkan suasana dengan punch line segarnya. Hal ini dibutuhkan agar jamaah tidak mengantuk karena penceramahnya asyik. Mengingat pula acara ini akan berlangsung hingga larut malam. Di penghujung kegiatan akan ada renungan diiringi doa bersama, saling bertukar maaf. Kegiatan ditutup dengan acara istirahat, ngobrol santai, sambil menyantap kue dan cemilan. Jamaah masjid mulai berbalik pulang, panitia sibuk membersihkan dan mengumpulkan piring dan gelas kotor, anak-anak berlarian mencari sisa kue dan cemilan untuk dibawa pulang. Uniknya, pun yang dewasa tak ketinggalan hehe…

Ulasan di atas adalah refleksi saya sewaktu masih beraktivitas sebagai remaja masjid di daerah Pattunuang, saat masih menikmati indahnya suasana kebersamaan dan keceriaan dalam menyambut bulan suci Ramadan. Pattunuang merupakan wilayah berkependudukan mayoritas masyarakat suku asli Makassar, terletak di tepi Manggala sebagai salah satu kecamatan di Kota Makassar. Bukan apa-apa, bagi jamaah setempat, tanpa agenda semacam ini maka bulan suci Ramadan di tahun itu akan terasa hambar, malamnya berjalan begitu dingin tanpa hangatnya kebersamaan, siangnya hanya mendatangkan dahaga tanpa rasa suka cita. Rupa-rupanya acara itu telah bertransformasi menjadi budaya, melekat pada tingkat euforia yang lebih sublim pada masyarakat setempat. Nilai spiritualnya jauh lebih utama dibanding format kegiatan.

Sejauh riset kecil-kecilan saya dalam dunia maya, ada banyak ragam budaya masyarakat Islam dalam menyambut bulan suci Ramadan terkhusus kita di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke suku bermayoritas muslim memiliki ragam ritual khusus menyambutnya. Kegiatan-kegiatan itu bahkan masih lestari dan dijaga turun temurun hingga sekarang. Esensi tradisi menyucikan diri, saling bertukar maaf, dan merajut silaturahmi. Misalnya, tradisi Punggahan di Sumatera Utara, salah satu daerahnya menyelenggarakan acara sederhana, berkumpul di masjid guna menyantap makanan yang masing-masing mereka bawa. Bahkan di Kabupaten Batu Bara tradisi tersebut dirayakan dengan memotong hewan ternak jenis kerbau atau lembu sejak 32 hari sebelum malam pertama Ramadan.

Sementara itu di masyarakat Jawa terutama Islam abangan, tradisi ini mengalami perkawinan, melahirkan budaya Islam kejawen, yang melahirkan kebiasan nyadran. Nyadran diadakan satu bulan sebelum dimulainya puasa, atau pada 15, 20, dan 23 bulan Syakban (bulan ruwahan). Tradisi ini diselenggarakan dengan membersihkan makam orang tua atau kerabat dekat lalu dibarengi dengan doa bersama. Kepercayaan masyarakat bahwa tradisi membersihkan makam adalah simbol dari pembersihan diri menjelang masuknya Ramadan. Tidak hanya kepada Tuhan, Nyadran juga dilakukan dalam rangka berbakti kepada para pendahulu dan leluhur. Selain itu ada pula tradisi Padusan atau kegiatan mandi atau berendam di sungai, pantai, ataupun sendang. Upaya simbolik untuk membersihkan atau menyucikan diri sebelum masuknya bulan suci Ramadan.

Di daerah saya sendiri, tahun 90-an akhir hingga 2000-an awal masih ada tradisi suru maca,doa bersama. Zaman itu kota Makassar baru saja dimekarkan sehingga terdapat wilayah yang baru berkembang dan diisi oleh pendatang dari tengah kota. Ritual ini dilakukan tepat sepekan sebelum memasuki bulan suci Ramadan. Kebetulan Ayah saya dulunya (beberapa tahun belakangan sudah pensiun) adalah tokoh yang sering diundang dalam perayaan ini. Tepatnya saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Beliau memerahkan tanggal, khusus seharian memimpin tradisi ammaca.Berangkat pagi hingga larut malam guna memenuhi “orderan” tetangga atau kerabat. Tiba waktu pulang, saya cukup gembira mendengar langkah kakinya memasuki rumah setelah membuka pagar. Bukan apa-apa, saya sudah tau betul bahwa Ayah saya tidak bakal pulang dengan tangan kosong. Seminimal mungkin beliau membawa songkolo’ (makanan khas terbuat dari beras ketan) dan ayam pallu lekko (masakan ayam dengan bumbu lengkuas parut) kesukaan saya.

Tradisi ini berupa pembacaan doa untuk memperoleh berkah dari Tuhan. Diselenggarakan di hadapan hidangan makanan, ditata sedemikian rupa baik di lantai maupun di atas ranjang tidur. Makanannya juga terdiri dari berbagai masakan khas Bugis-Makassar di antaranya nasi ketan dua warna, opor ayam, ayam goreng, dan kedua jenis makanan yang saya sebutkan sebelumnya. Semua itu dilakukan merawat silaturahmi antar masyarakat dan upaya mensyukuri bahwa Bulan Suci Ramadan yang dirindukan sudah tiba.

Namun beberapa tahun belakangan perangai masyarakat telah berubah, sejak munculnya gerakan islamisme bersifat puritan, yang bersemangat mengembalikan kemurnian ajaran agama seperti ajaran Islam awal. Gerakan ini dikenal dalam istilah modern sebagai fundamentalisme Islam. Pengikut Islam puritan memiliki cara berpikir hitam putih antara apa yang mereka anggap Islam murni dengan tradisi masyarakat. Bahkan terkadang tuduhan kafir hingga musyrik dilayangkan kepada orang-orang yang senantiasa menjaga tradisi keagamaan seperti menyambut bulan suci Ramadan.

Melihat fenomena semacam ini membuat saya membatin, apakah kedudukan bulan suci Ramadan di hati umat telah berubah? Nilai yang dikandungnya hilang akibat sensitifitas kita hanya pada kebekuan dan kekakuan ritual. Tuhan maha sempurna, lalu bagaimanakah kita menujuNya? Apakah hanya terbatas pada ritual formal tertentu agar menjadikan kita dekat denganNya? Atau melalui keragaman ritual tapi mencerminkan kesubliman intuisi manusia? Bagi saya pertanyaan tersebut memiliki signifikansi terhadap paradigma, bahkan cara keberagamaan kita. Apakah mengedepankan aspek eksoteris di satu sisi dan esoteris agama di sisi lain.

Akhirnya pertautan cara pandang keagamaan kita di Indonesia turut membekas dalam batin saya. Menurut Muhammad Nur Prabowo Setyabudi menguatnya tensi konflik tradisionalisme versus puritanisme yang tampak di kota-kota besar disebabkan kecenderungan Islam politik yang menginginkan formalisme keagamaan di ruang publik. Beberapa tahun belakangan juga marak gerakan puritanisme-wahabisme yang diimpor dari Kerajaan Saudi. Sebagaimana diketahui, romantisme antara wahabi dan Kerajaan Saudi telah berlangsung lama dan semakin berkembang setelah petrodollar mengalir deras dari sumur-sumur minyaknya. Sumber daya begitu melimpah, bukan hanya minyaknya yang mengalir ke Indonesia, tetapi turut juga paham keagamaan mereka. Ironinya kontekstualisasi yang dipaksakan itu berlangsung hingga detik ini.

“Bulan suci Ramadan adalah bulan Tuhan, olehnya ritual-ritual di dalamnya mengarahkan kita untuk menjadi tuhan”, kata guru saya dalam pengajian. Bagi saya sendiri bulan suci Ramadan menjadi episentrum kita untuk menggunakan kacamata Tuhan dalam melihat keburukan dan kebaikan. Sebab dengan menuhan kita punya kemampuan itu. Melalui “kacamata” itu saya berpikir lalu curiga, apakah tradisi di daerahku akan menjadi target operasi selanjutnya oleh kelompok puritanisme? Mudah-mudahan saja tidak!