Semua tulisan dari Irwan Irwan

Sering disapa Irwan Dg. Lengu. Pegiat literasi di Bontolempangan, Gowa, Sulsel.

A’baribbasa’, Tradisi Santap Pagi Jelang Panen Padi Masyarakat Gowa

A’baribbasa’ berasal dari Bahasa Makassar baribbassa yang artinya pagi. Pagi yang dimaksud di sini adalah sebelum terbitnya matahari. A’baribbasa’ adalah tradisi sarapan bersama di pagi hari jelang panen padi.

Jika melihat ke belakang dari sejarah peradaban Bugis-Makassar, a’baribbasa’ adalah bagian dari penghormatan kepada Sangiang atau Sangeng Serri yang merupakan Dewi Padi yang dipercaya sebagai seorang gadis muda dan cantik. Christian Pelras dalam buku The Bugis: Manusia Bugis, Penerbit Nalar, Forum Jakarta-Paris, 2006, menuliskan bahwa pada masa I La Galigo turunlah Batara Guru ke bumi. Anak perempuannya yang bernama We Oddang Nriwu, meninggal ketika masih bayi. Batara Guru melihat dimakam putrinya tersebut tumbuh berbagai jenis rumput yang ternyata adalah padi. Sejak itu dipercaya bahwa We Oddang Nriwu diberikan kepada manusia dalam wujud Sangiang Serri demi kelangsungan umat manusia di muka bumi.

Proses Tradisi A’baribbasa’

Tradisi a’ribbasa‘ pertama-tama dimulai dengan diadakan musyawarah untuk menentukan di sawah mana yang akan menjadi tempat pelaksanaannya. Beberapa kriteria sawah yang biasa dipilih adalah sawah yang luas, sawah yang terdapat je’ne limbua (mata air), ulu galung (induk sawah tempat masuknya pengairan utama dari irigasi), sawah yang posisinya paling di atas jika medan sawah bertingkat seperti di daerah dataran tinggi.

Setelah ditentukan sawahnya, malam hari jelang panen ibu-ibu mempersipkan berbagai menu utama dalam a’baribbasa’. Jadi sekalipun bahasanya adalah santap pagi yang umumnya orang Indonesia lakukan terdapat nasi, sayur, lauk, ikan dan semacamnya, tapi dalam tradisi ini yang disiapkan adalah basa baje’. Basa’ baje adalah nasi ketan putih yang dibasahi gula merah yang sebelumnya sudah dicairkan. Banyaknya basa baje’ yang disiapkan disesuaikan dengan anggota keluarga pemilik sawah masing-masing.

Waktu kedatangan Pinati (guru) dan pemilik sawah ke lokasi sekitar 05:30 pagi. Wajib hukumnya. Jadi biasanya jika sawah jauh dari pemukiman, seperti dulu karena belum ada akses jalan tani, pemilik sawah bermalam di gubuk sawahnya masing-masing. Ini untuk mengefisienkan waktu agar tidak terlambat.

Ketika sudah berada di lokasi, pertama yang dilakukan adalah menaikkan bendera. Menurut Daeng Badang yang seorang pagawe sara’ (pembantu imam desa/dusun) makna dari bendera tersebut adalah lambang kemenangan. Kemenangan yang dimaksud karena petani sudah akan menikmati jerih payahnya mengelola padi sejak masa pembajakan sawah, pembibitan, pemeliharaan sampai masa panen. Pada masa lalu bendera yang dipasang berupa panji-panji dan karena pengaruh nasionalisme setelah Indonesia merdeka maka bendera yang dipakai adalah merah putih (bendera nasional).

Jika bendera sudah dinaikkan, maka disiapkan pula basa baje‘ sebagai menu utama dalam tradisi a’baribbasa’. Basa baje’ dibagi ke beberapa piring. Untuk proses inti yaitu pembacaan doa, piring yang disiapkan ada 5. Susunan piringnya adalah 4 pring diletakkan secara berdampingan dan 1 piring diletakkan di atas piring sebelumnya. Piring-piring tersebut disimpan dalam satu tempat yaitu pa’dingin (pengayat beras). Inti dari doa a’baribbasa ini adalah rasa syukur karena padi sudah siap panen.

Di tempat lain juga disiapkan alat-alat panen seperti cadda’ (sabit), pakkatto (alat khusus yang digunakan untuk padi ketan), pallalingan (alat untuk mengikat padi yang sudah dibabat biasanya berukuran 2 meter), pappatambungan (alas untuk padi yang sudah dikumpulkan, saraung (sejenis topi tradisional dari anyaman bambu yang dipakai ibu-ibu saat panen).

Jika sudah siap maka Pinati berdiri di tengah sawah sambil menyanyikan beberapa bait lagu yang isinya berupa pujia-pujian kepada Tuhan, para pendahulu (tu rioloa) dan juga kepada keluarga.

Berikut Bait-bait lagu a’baribbasa’ yang dimulai oleh Pinati/Pagawe Sara’ :

Bendera mentengko naik (Wahai bendera berkibarlah)

Paggammarrangi kalennu (Percantiklah dirimu)

Naccini cini tu tea maradeka (Supaya engkau dilihat oleh mereka yang tidak ingin merdeka)

Lappasakmi kanannata, pole minne samayanta (Tertunaikanlah hajat kita, bahagialah terasa)

Tena tommo inranta ri Batarayya (Sudah tidak ada lagi hutang janji ke Batarayya)

Kusabbi maki anne ri lappasakna kananta (Saya bersaksi atas ditunaikannya hajat)

Ri tenana inranta ri batarayya (Bahwasanya hutang janji ke Batarayya sudah tidak ada lagi)

Sabbi raya, sabbi lau’, sabbi timboro’ bara, Ri tenana inranta ri Batarayya (Saksi dari sana dan di sini, saksi dari Timur ke Barat)

Selanjutnya lagu dilanjutkan oleh Pakai’ (Perempuan yang memotong padi)

Punna pajongjoki teteng, kibajiki bateta, Nabaji’ todo’ tu lelea (Jika anda memberi segenggam padi, perbaikilah genggamannya agar baik pula yang menerimanya)

Tea mamaki larroi punna kutaba limanta (Tidaklah anda marah jika tersentuh olehku tangan anda )

Lima siana’, karameng sompo sikali (Bahwa tangan itu bersaudara, jemari itu bersepupu )

Ehh kitangkasi bulaeng, bulaeng pale’ parea (Hai bersihkanlah dengan emas, karena padi itu adalah emas )

Intang pale’ tukkattoa. Jamarro’ pale tu lelea ri bokoang (Para pemanen padi ibarat intan, Permata pula para pengumpul padinya)

Ehh tabe’ kitangkasi bulaeng (Hai sudilah kiranya membersihkan  emas)

Bait lagu yang dinyanyikan oleh Pinati dan Pakai’ dilakukan sambil menerima padi satu genggam yang sudah dibabat.

Selain doa khusus yang dirapalkan oleh Pinati terdapat juga doa khusus yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w seperti dalam Shahih Ibnu Hibban diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra pada saat orang Madinah tengah panen raya. Doa tersebut adalah:

 ( اللَّهمَّ بارِكْ لنا في ثمرِنا وبارِكْ لنا في مدينتِنا وبارِكْ لنا في صاعِنا ومُدِّنا اللَّهمَّ إنَّ إبراهيمَ عبدُك وخليلُك ونبيُّك وإنِّي عبدُك ونبيُّك وإنَّه دعاك لمكَّةَ وأنا أدعوك للمدينةِ بمثلِ ما دعا به لمكَّةَ ومِثْلِه معه )

Artinya:

Ya Allah, berkahilah buah-buahan kami, kota kami, berkahilah setiap sha’ dan mud’ (keduanya ukuran di masa Nabi Saw.) kami. Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim adalah hamba-Mu, kekasih-Mu, Nabi-Mu. Dan Aku juga hamba-Mu dan nabi-Mu. Ibrahim sudah pernah berdoa untuk Mekkah, dan (sekarang) saya mau berdoa untuk Madinah dengan doa yang sama dengan yang dipanjatkan Ibrahim untuk negeri Mekkah dan negeri lain yang setara (dengan Mekkah).”

Setelah pembacaan doa, maka para kepala keluarga dipersilahkan terlebih dahulu untuk mengambil basa baje’. Setelah para kepala keluarga mendapat bagian maka anggota keluarga yang lainpun ikut mengambil basa baje’ untuk disantap secara bersama-sama.

A’baribbasa adalah rangkaian rasa syukur kepada Allah swt karena apa yang telah diusahakan selama ini membuahkan hasil.

Apakah hasilnya banyak atau tidak itu bukanlah point utama dari para petani. Konsep berusaha untuk menghidupi keluarga adalah nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan suku Bugis-Makassar. Dalam buku yang ditulis oleh A. Rahman Rahim,  Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, Lembaga Penerbitan Unhas, 1985, ‘usaha’ merupakan salah satu pilar utama dalam budaya Bugis-Makassar. Lontara mencela orang yang tidak punya usaha sekalipun hanya ‘setelapak’ kecil tanah. Semangat usaha ini pun menjadikan banyak orang Bugis-Makassar punya pengaruh dalam berbagai aspek, seperti perniagaan dan bidang kemaritiman.

A’baribbasa’ adalah perpaduan antara penghormatan kepada leluhur, nilai sejarah tentang padi, nasionalisme serta adab antara sesama petani. Itu terlihat dari makna bait-bait lagu yang dinyanyikan.

Ulu Ere: Tradisi Menjaga Irigasi

Indonesia kaya akan tradisi dan budaya. Sejak sebelum Islam masuk ke tanah air sudah banyak tradisi dan budaya yang saling kawin mawin dengan agama Islam. Akulturasi bahkan asimilasi banyak yang terjadi. Hal tersebut dikarenakan Islam didakwahkan dengan penuh santun dan menghargai budaya lokal.

Islam masuk ke kerajaan Gowa sekitar abad ke 16 seperti disebutkan oleh Ahmad M. Sewang dalam Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI Sampai Abad VII. Banyak tradisi dan budaya besar yang mengalami akulturasi dengan Islam.

Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan satu tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat lokal pedesaan. Tradisi tersebut adalah Ulu Ere. Ulu Ere keduanya adalah bahasa Makassar, Ulu berarti kepala, hulu. Sedangkan Ere berarti berair. Ulu ere bisa diartikan sebagai tradisi menjaga irigasi/perairan dengan cara mengunjungi hulu air. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan memastikan kondisi irigasi tetap baik agar air dapat mengaliri area persawahan.

Tidak ada catatan yang pasti sejak kapan tradisi Ulu Ere ini dilakukan. Namun dengan melihat peradaban masyarakat pedesaan yang mengembangkan pertanian dapat dipastikan bahwa Ulu Ere ini asal muasalnya berbarengan dengan aktivitas pertanian yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan.

Lalu bagaimana pandangan Islam dengan tradisi Ulu Ere ini? Menurut hemat penulis budaya dan agama tidak perlu dipertentangkan. Karena pada intinya keduanya mengarah kepada penghormatan kepada Sang Khalik. Kecuali jika tradisi dan budaya tersebut tidak sesuai dengan akidah Islam. Inti dari kegiatan Ulu Ere ini adalah pelestarian irigasi agar tetap bisa berfungsi dengan baik. Selain itu kegiatan mengunjungi hulu air adalah bagian dari penghormatan kepada para sepuh yang telah  merintis irigasi pada masa lalu.

Ada ungkapan bahasa Makassar yang berbunyi “kadde tena tu riolo tena nirasai kabajikanga ” (seandainya bukan karena para pendahulu, generasi sekarang tidak merasakan kebaikan ). Maksud dari ungkapan ini adalah bahwa para pendahulu (tu riolota) telah banyak melakukan kebaikan-kebaikan yang kemudian masih bisa dirasakan hingga saat ini, misalnya pembuatan kebun, sawah, irigasi,j alan tani, sumur dan lain sebagainya.

Penggunaan air sangat penting bagi keberlanjutan hidup dalam masyarakat agraris. Oleh sebab itu pemeliharaan irigasi dianggap begitu penting.

Jika melihat nash ada sekitar 200 ayat dalam Al Quran yang membahas tentang air. Di antaranya adalah:

Allah menjelaskan bahwa air (maa’) adalah bahan baku kehidupan.

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ – ٣٠

dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak beriman? (QS. Al-Anbiya’: 30).

Allah berfirman:

ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهٗ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ مَّاۤءٍ مَّهِيْنٍ ۚ – ٨

kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani) (QS. As-Sajdah: 8).

Allah berfirman:

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً لَّكُمْ مِّنْهُ شَرَابٌ وَّمِنْهُ شَجَرٌ فِيْهِ تُسِيْمُوْنَ – ١٠

Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan, padanya kamu menggembalakan ternakmu (QS. An-Nahl: 10).

Dalam hukum Islam, hak dalam memanfaatkan air terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, hak untuk konsumsi manusia dan hewan ternak, serta kebutuhan rumah tangga (hak syafah). Kedua, hak penggunakan air untuk pangairan lahan (hak as syurb).

Sedangkan status bagi sungai yang tidak berada dalam kepemilikan pribadi seperti sungai Nil atau Eufrat di Iraq serta mata air di pegunungan, airnya maupun tempat yang dialirinya tidak boleh di miliki oleh siapa saja. Sehingga, setiap orang berhak memanfaatkannya, baik hak syafah (untuk dikonsumsi diri sendiri maupun hewannya) maupun hak syurb (untuk mengairi lahan), juga hak  untuk mengalirkannya melalui parit ke lahannya, atau memasang alat untuk mengalirkan airnya ke tanahnya (hak majra). (lihat, Al Muhadzdzab, 1/428).

Proses Tradisi Ulu Ere

Pertama-tama tokoh masyarakat atau tokoh agama (dulu dinamakan pinati ) mengumumkan waktu kegiatan. Biasanya kegiatan ini dilakukan jelang musim tanam padi. Anggota masyarakat yang sawahnya dialiri oleh irigasi tertentu. Setiap irigasi diberi nama sesuai dengan perintisnya, misalnya di desa penulis ada namanya Buakangna Daeng Massa’ artinya irigasi (buakang) tersebut dirintis oleh seorang yang bernama Daeng Massa’.

Kedua setelah waktu ditentukan maka segala kebutuhan yang akan digunakan dalam Ulu Ere pun disiapkan. Di antara kebutuhan itu adalah makanan dan minuman berupa songkolo’, onde-onde, cucuru’, dumpi-dumpi, ayam yang sudah dimasak, ayam yang masih hidup untuk dilepas dihulu sungai.

Kebutuhan selanjutnya adalah mengumpulkan beberapa jenis tanaman tertentu seperti  andong, purin, prasman. Tanaman ini dikumpulkan lalu diikat. Biasanya terdiri dari 3 ikat, 5, ikat atau sesuai kebutuhan. Tanaman yang diikat ini nantinya akan disimpan di hulu sawah (ulu galung).

Ketiga setelah semua kebutuhan serta harinya siap maka masyarakat pun berangkat bersama menuju hulu sungai. Rute yang diambil harus melewati sungai sambil bersih-bersih disepanjang aliran sungai. Setelah sampai di hulu sungai maka proses inti Ulu Ere pun dilakukan. Di antara yang dilakukan adalah abbaca-baca (rapal doa) kemudian setelah doa dikirimkan kepada para perintis irigasi maka dilakukan pelepasan seekor ayam jenis burik (jangang buri’). Terakhir adalah nasihat dari pinati untuk menjaga kebersihan  irigasi serta melakukan pembagian air dengan baik. Tradisi Ulu Ere ditutup dengan makan-makan.

Setelah dilakukan tradisi Ulu Ere masyarakat yang ikut kemudian pulang dan mendatangi sawah masing-masing sambil membawa tanaman tadi yang sudah diikat. Pada saat meletakkan tanaman tersebut di ulu galung (hulu sawah) dibarengi dengan Al Fatihah dan salawat.

Para pendahulu kita (tu riolota ‘) punya pertimbangan tersendiri dalam memilih beberapa tanaman yang dipakai dalam tradisi Ulu Ere. Tanaman andong, purin dan prasman adalah tanaman yang punya manfaat yang baik secara medis untuk kesehatan. Tanaman ini mungkin dipahami hanya sebagai warisan saja dan sekedar pelengkap tradisi Ulu Ere. Tidak banyak di antara anggota masyarkat yang tahu bahwa secara medis ketiga tanaman ini bisa menyembuhkan penyakit.

Andong bermanfaat sebagai obat kencing berdarah, TBC, nyeri lambung serta haid. Purin bisa mengisap udara kotor, obat sakit perut, gatal, sifilis dan penumbuh nafsu makan. Serta prasman bermanfaat untuk ramuan jamu, obat demam dan mencret dan obat sariawan.

Jadi selain sebagai tanaman pelengkap tradisi agar lebih khidmat, tanaman ini juga baik untuk kesehatan. Melakukan tradisi Ulu Ere sebagai warisan leluhur dalam menjaga irigasi juga upaya untuk melestarikan tanaman herbal.

Ngalle Barakka’ Ri Katubbayya, Ngalap Berkah Ala Sulawesi Selatan

Aku mulai menjadi khatib Hari Raya ketika masih duduk di bangku Mts DDI Nurussalam. Waktu itu aku masih kelas 3. Karena sudah biasa isi khutbah jumat, Imam Desa memberikan amanah mengisi mimbar Hari Raya Idul Adha 2009 silam. Sekaligus waktu itu adalah peresmian Masjid baru di dusunku.

Seingatku belum ada yang pernah mengisi khutbah hari raya di desaku selain khatib yang telah berumur dan lebih berpengalaman. Yah, tentunya ini adalah pengalamanku, yang masih puber tapi sudah harus tampil di hadapan ratusan jamaah. Oh iya, di desasku, Bontotangnga, Kec. Bontolempangang, Gowa itu hanya memiliki satu lapangan terletak di salah satu ibu kota desa. Seperti kebanyakan muslim Indonesia umumnya, di desaku menggunakan lapangan sebagai tempat pelaksanaan hari raya, yang dilaksanakan sekian dekade sejak diprokamirkan oleh Persyarikatan Muhammadiyah.

Merupakan beban besar menjadi khatib di desaku karena ada beberapa sara’ (kegiatan-kegiatan tertentu) yang dianggap lebih penting daripada do’a. Sara’ ini sudah mendarahdaging bagi setiap orang di desaku dan mungkin juga di daerah lain. Sara’ ini dilakukan sejak khatib masih di rumah hingga memasuki lapangan/masjid, pada saat akan naik mimbar, sesaat sebelum mengucapkan salam hingga pasca pembacaan khutbah. Khatib dianggap sebagai simbol keberkahan. Olehnya itu di desaku yang bisa menjadi khatib adalah imam rawatib/pegawai sara’, imam dusun, imam desa, dan tokoh agama tertentu yang dianggap mampu mengemban amanah umat. Khatib ini juga sudah harus berkeluarga.

Nah bagaimana dengan Aku? Pengecualian karena mungkin pandangan masyarakat menganggap Aku bisa menjalankan amanah sebagai khatib sekalipun minus karena belum kawin. Eh nikah maksudnya.

Sara’ ini adalah tradisi yang hanya dilakukan oleh pelaksana agama yang dulu disebut Pinati. Pinati setara dengan imam desa untuk ukuran saat ini. Sara’ melebihi do’a. Karena doa hanya sebatas ucapan dan itupun hilang disapu angin. Begitulah kira-kira penjelasan singkat dari zara’. Sedangkan sara’ ini dilakukan dengan penuh khidmat tanpa kata-kata.

Sebelum khatib berangkat dari rumah harus melihat waktu. Sekitar pukul 06:20, khatib harus memastikan bahwa jamaah sudah memasuki lapangan/masjid. Khatib harus ditunggu oleh jamaah. Ini kesan bahwa sang khatib ibarat “juru selamat” yang akan mengucurkan barakka” (berkah ) selama siklus satu tahun ke depan. Pada saat akan berdiri khatib harus menahan nafas sejenak lalu menghembuskannya. Setelah itu keluar rumah dengan mendahulukan kaki kanan. Jarak antara rumahku dengan  lapangan sekitar 300 meter. Aku memilih jalan kaki. Dalam perjalanan tidak boleh menengok kiri dan kanan, pandangan hanya fokus ke depan.  Ketika sudah berada di atas mimbar hal pertama dilakukan adalah menyentuh paling-paling (pundak) setelah itu menyentuh dada. Makna dari gerakan ini adalah ketika khatib menyentuh paling-paling diharapkan masyarakat bisa saling sipammaling-malingi (saling menghargai satu sama lain ).

Makna gerakan kedua saat menyentuh dada adalah harapan agar sepanjang satu tahun ke depan pepohonan bisa menghasilkan buah-buahan yang baik dan bermanfaat serta subur. Ini adalah makna lain dari buah dada. Jadi kedua hal ini, saling menghargai serta suburnya tanaman dianggap sebagai simbol keberkahan di desa. Oleh sebab itu sang khatib harus melakukannya dengan penuh khidmat 2 sara’ tersebut.

Nah setelah 2 sara’ dilakukan barulah khatib mengucapkan salam sambil melihat seluruh jamaah. Selama pembacaan khutbah sang khatib dilarang menjilat bibirnya. Hal ini biasa lumrah dilakukan dalam keseharian tapi dalam khutbah Ied sangat dilarang. Makna dari pantangan ini adalah diharapkan selama setahun ke depan masyarakat terhindar dari fitnah atau perkara lain yang sumbernya dari mulut.

Jika beberapa sara’ di atas sudah dilakukan sang khatib, maka para tutoa (warga sepuh) memastikan bahwa satu tahun ke depan kehidupan bermasyarakat akan baik. Hal ini sudah terbukti karena sara’ ini dilakukan turun temurun dan itu mempengaruhi siklus kehidupan.

Puncak sara’ ini ketika memasuki khutbah kedua. Sementara khatib memulai khutbah kedua maka sebagian besar masyarakat berbondong-bondong menaiki mimbar sambil menyentuh khatib atau doa yang dibacakan. Setelah itu menyisipkan amplop ke dalam saku khatib sebagai bagian angngalle barakka’ ri katubbayya (mengambil berkah di khutbah kedua Ied).

Ngalle barakka’ pada saat pembacaan khutbah kedua termasuk tradisi yang sudah jarang dilakukan. Hanya beberapa desa di dataran tinggi Gowa yang masih menyuburkan tradisi ini. Secara pribadi Aku belum pernah menanyakan tradisi ini dari mana asal usulnya. Tapi jika melihat kenyataan yang ada ini bisa dipastikan bahwa tradisi ini adalah tabarruk.

Tabarruk sendiri adalah sebuah tindakan mencari keberkahan Tuhan melalui pengaruh orang-orang suci seperti Nabi, wali, orang saleh, kiyai, dan sebagainya yang dengan perantaranya diakui dapat mendatangkan kebaikan.

Objek yang dianggap bisa menjadi perantara kebaikan adalah doa dari khutbah. Kemudian khatib juga dianggap sebagai sumber keberkahan untuk siklus kehidupan selama satu tahun. Jadi seperti yang Aku katakan di bagian sebelumnya bahwa menjadi khatib di hari raya adalah amanah besar dari umat, dan ini beban mental.

Secara subjektif Aku merasakannya. Apalagi  waktu itu Aku masih seorang pelajar yang tidak bisa menghindar dari aktivitas-aktivitas yang mungkin menodai citra sebagai khatib. Good looking lah istilahnya.

Setelah pelaksanaan  Ied maka hari itu masih ada sara’ yang harus dilakukan, yaitu peci sebagai simbol kebaikan dan keberkahan tidak boleh dilepaskan selama sehari kecuali pada saat tidur, atau di dalam kamar mandi.

Tanpa ada pembelajaran khusus tentang tabarruk ternyata masyarakat sudah banyak yang mempraktekkannya. Mungkin jika ditanya alasannya apa maka jawaban tidak jauh dari ungkapan “ini warisan tu riolota (nenek moyang)” tanpa memperdulikan apakah ini boleh atau tidak mengingat tabarruk adalah persoalan khilafiah.

Tapi pada dasarnya angngalle barakka’ ini adalah kearifan lokal (local wisdom) yang mesti tetap dijaga keberlanjutannya. Apalagi tradisi ini sangat dipercaya masyarakat setempat memberi pengaruh berupa barakka’ (keberkahan) selama satu tahun kedepan.