Semua tulisan dari Ishak R. Boufakar

Ishak R. Boufakar/Lelaki Laut lahir di Kian Darat, 23 Juli 1992. Puisi-puisinya termuat dalam Antologi Puisi 250 Cinta Terpendam (2016). Tinggal di Ambon dan bergiat di KLPI Makassar.

Di Fort Rotterdam, Malik Mengisahkan ‘Kelapa Sawit Membunuh Manusia’

“Sawit itu seperti militer: bercak hitam dan hijau. Itu membunuh orang…” — Sophie Chao.

SUATU siang, di sela-sela Saya tunai satu hajat, datang sebuah pesan WhatsApp dari Malik Rumakat. “Kak, Icak! Sehari dua katong bacarita sagu di Fort Rotterdam Makassar.” Malik juga memberitahu, kalau ia tak sendiri, bakal hadir juga Kasim Rumain. Dua utusan Wanu Sinema, pada lokakarya Bacarita Digital Volume Dua “Kekayaan Pangan Nusantara”  yang dihelat Rumata’ Artspace dan Kemendikbudristek, di penghujung Februari, bulan kemarin.

Saya sambut private chat itu dengan dua perasaan, senang dan cemas. Perasaan senang karena tak lama lagi dikunjungi saudara sepersusuan, sedangkan perasaan cemas gara-gara khawatir adik saya terseok-seok menempuh perjalanan sejauh 1212 kilometer, 751 mil. Malik memulai titik berangkat dari Kian Darat-Seram Timur, menuju Bula kota Kabupaten Seram Bagian Timur (jarak tempuh 95,2 kilometer atau perjalan darat selama 2 jam 22 menit). Selanjutnya dari Bula ke Ambon kota Provinsi Maluku (jarak tempuh 304 kilometer atau perjalan darat selama 24 jam), dan perjalanan berakhir di Kota Makassar (penerbangan nonstop selama 1 jam, 40 menit).

Tatkala tiba di Fort Rotterdam, atau saat dihimpit puluhan manusia, Malik menyadari satu hal—kemudian ditengkan kepada Saya, selagi kami ‘ngopi proletar’ di kontrakan Antang (satu hari setelah kegiatan Bacarita). “Ini semua berkat sagu, meski kadang Beta remehkan di meja makan.” Malik tak membayangkan sebelumnya, sagu yang ia anggap enteng di tiap ‘gelar tikar’, yang bakal membawa dirinya berlayar sejauh 1.212 kilometer 751 mil dari pelosok Seram Timur, bertemu dan bercakap dengan segenap orang di kota.  

Hari itu, di benteng yang menjadi penanda kota Makassar, perempuan-lelaki, tua-muda merangsek dari satu stand ke stand pameran lain, kemudian mereka bergumul di meja jamuan, yang jaga Malik dan Kasim. Sebuah kenap beralas daun pisang, di sana tergolek olahan pangan sagu (sagu bambu dan sagu tumbu), ikan Julung, dan kenari asap. Saya di sana, menyaksikan hilir-mudik puluhan manusia yang tumpang tindih di meja jamuan itu. Seakan-akan Saya diperhadapkan dengan ‘The Last Supper’, lukisan perjamuan terakhir karya Leonardo Da Vinci. Sementara Malik atau Kasim, mereka sontak kaget, lantaran orang-orang kota ini memamah habis sagu dan ikan Julung yang tersaji.

Sialnya, mereka tak cuma mencicipi, orang kota ini, begitu liar mengulik rupa cerita kreativitas meramu—cerita-cerita yang selama ini cuma dijumpai di dapur-dapur pelosok atau menjadi otoritas perempuan. Malik, laiknya rohaniwan yang mengisah ‘Lima Roti dan Dua Ikan’ kepada murid-murid Sekolah Minggu—tapi dirawikan Malik, melampaui yang dicatat Alkitab, yakni ‘Dua Puluh Roti (Sagu) dan Lima Ikan (Julung)’.

Menariknya, Malik bergerak membawa mereka melampaui cerita ‘bagaimana sagu diramu’, menuju cerita ‘kepunahan sagu’ yang menunggu waktu saja. Hemat Malik, kisah nahas sagu ini (atau pangan yang lain), perlu diketahui orang kota. Sebab mereka tak punya tradisi menanam, kecuali tradisi membelanjakan pangan yang datang dari kampung, yang kata Malik, pangan-pangan itu tengah dibinasa oleh ‘orang kota’ sendiri. Melalui perkebunan raksasa.

Mula-mula Malik mendaku, “Sagu bisa disimpan selama satu tahun, atau lebih lama dari waktu itu lagi, tanpa formalin.” Orang-orang kota ini tampak tercengang, saat Malik mendegus keunggulan sagu. “Andaikata benar ramalan 11 miliar jiwa dilanda kelaparan di hari mendatang, setidaknya usia sagu yang panjang itu, sanggup mengatasi musibah tersebut.”

Mungkin sebagian besar orang tak percaya. Tetapi satu fakta yang dikemukanan Malik, Saya kira tak bisa disangkal. Di hadapan puluhan orang yang khidmat memasang kuping itu, Malik berkata. “Sekarang, di museum  Kew Royal Botanic Gardens, di London, Inggris. Tersimpan tiga lempeng sagu dalam kondisi utuh (mungkin masih layak dikonsumsi), meskipun sagu itu sudah berusia 164 tahun. Sagu berumur satu abad lebih itu, dibawa Alfred Russel Wallace ahli botani Inggris dari Waras-waras Seram Timur, pada 1 Juni 1860.”

Gagasan yang kemudian dibangun Malik, kalau sagu yang tersimpan di Kew Gardens, yang berumur satu abad lebih itu, adalah suatu simulasi ketahanan pangan. Dan boleh jadi, itu jawaban pasti yang diberi pangan sagu, dalam mengatasi rasa cemas miliar manusia yang diprediksi akan kesulitan mengakses makanan di masa mendatang.

Baru-baru ini PBB memproyeksikan populasi dunia pada 2050 akan mencapai 9,7 miliar, dan pada 2100 mencapai 11 miliar orang. Ledakan populasi manusia ini, tentu terjadi peningkatan akan kebutuhan asupan makanan. Itulah mengapa FAO, organiasi pangan dunia menaksirkan, produksi pertanian global pada 2050 harus 60% lebih tinggi dibandingkan produksi tahun 2005-2007 jika dunia ingin memenuhi kebutuhan pangannya. Dua informasi penting ini, lekas-lekas disanggah Malik, “Asalkan sumber pangan jangan dirusak!” kemudian Malik menohok, “Faktanya, kini hutan sagu pelan-pelan dibinaskan!”

Apa buktinya? Laporan Statistik Produksi Kehutanan 2020. Volume produksi sagu kuartal I 2023 mencapai 2,37 ribu ton. Angkanya meningkat tipis pada kuartal II 2,38 ribu, kemudian meningkat lagi pada kuartal III mencapai 2,41 ribu ton. Memasuki kuartal IV produksi sagu turun drastis menjadi 1,76 ribu ton. Apa pasalnya? Berbagai studi menyimpulkan kalau penurunan volume produksi sagu ini, dilatari oleh populasi pohon sagu yang menurun tajam sebagai akibat dari massifnya konversi hutan sagu menjadi lahan-lahan sawit.

Kelapa sawit membunuh manusia

Secara rata-rata nasional, luas perkebunan kelapa sawit Indonesia tumbuh 53,09% dalam kurun waktu 2011-2020. Luas lahan tertinggi dicapai pada 2020, yakni sebesar 14.586.599 Juta hektare. Di Maluku dan Papua, luas area sawit sebesar 179.314 hektare. Kenaikan lebih dari dua kali lipat ini berawal dari area sawit seluas 59.077 hektare di 2011, menjadi 238.391 hektare pada 2020 (Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, 2023). 

Di Maluku dan Papua, sebaran area sawit sebesar 179.314 hektare, tentu mengancam ekosistem hutan sagu. Maluku, semisalnya, ‘dusun-dusun’ sagu terus dibabat, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, populasi tanaman sagu anjlok dari sekitar 100.000 hektare pada era 1960-1970 menjadi 58.000 hektare pada 2016. (Kompas, 2017). Sementara pada 2022, turun menjadi 30-an ribu hektare. Di Papua, semisal di Salawati Daratan Kabupaten Sorong, PT Inti Kebun Lestari mendapat izin konsesi seluas 28.256 hektare. Dari luas lahan kelapa sawit tersebut, sekitar 1.700 hektare merupakan hutan sagu milik empat marga: Mili, Malakabu, Fes, dan Libra ( EcoNusa,  2022).

Masifnya konversi hutan sagu jadi lahan sawit, membikin kerusakan lingkungan tak sedikit. Dampak paling mencolok dari aktivitas ini, yakni deforestasi dan kerusakan habitat. Kita tahu, penebangan hutan sebesar-besarnya (termasuk sagu), sama artinya, pengrusakan terhadap ‘rumah’ berbagai spesies tanaman dan hewan. Itulah mengapa banyak spesies hewan (juga sagu) terancam punah karena perubahan drastis pada hunian mereka. Imbas lain ketika perkebunan sawit berlangsung, yaitu pencemaran tanah dan air, hasil dari penggunaan pestisida dan bahan kimia lainnya. Efek jangka panjangnya; manusia, hewan, dan tumbuhan begitu sulit mengakses air yang layak—syarat tumbuh kembangnya.

Kehadiran perkebunan sawit di Papua, menyebabkan tingkat kerawanan pangan, malnutrisi, dan stunting yang sangat tinggi—padahal semula Papua adalah lumbung pangan sagu nomor kedua di Indonesia (Data pertanian 2021, Papua memproduksi sekitar 69.421 ton sagu). Masyarakat tradisional Papua mengandalkan hutan dan sungai sebagai persediaan makanan melalui perburuan, penangkapan ikan, serta pemanenan sagu dan umbi-umbian. Tetapi, geliatnya konversi hutan sagu jadi lahan sawit, disusul pencemaran air oleh pestisida, membikin masyarakat Papua terbengkalai mengakses kebutuhan primer mereka, yakni makanan dan air bersih.

Sophie Chao, Indonesianis dari University of Sydney, Australia. Saat meneliti suku Marind di Merauke selama 18 bulan, Chao melihat orang Papua punya hubungan khusus dengan dengan tanah dan hutan. Menurut Chao, dalam kosmologi Marind, tumbuhan dan hewan seperti kerabat. Masyarakat memandang tanaman baru semacam sawit seperti penjajah karena mengambil alih tanah dan semua sumber daya mereka. Hasil penelitian Chao ini kemudian terdokumentasi dalam buku In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua yang terbit pada 2022.

Chao berkesimpulan dalam In the Shadow of the Palm: Dispersed Ontologies Among Marind, West Papua (2018), kira-kira begini: ‘kelapa sawit membunuh sagu’. Atau lebih tepatnya, ‘kelapa sawit membunuh manusia’. Musababnya, suku Marind menganggap hutan, pohon dan binatang sebagai kerabat mereka sendiri. Atau bagian dari manusia. Itulah mengapa ketika hutan sagu dibinasakan, sama artinya membinasakan manusia Marind. Chao dengan puisitis melukis, “Pohon sawit adalah ‘pohon tentara’. Soalnya, sawit itu seperti militer: bercak hitam dan hijau. Itu membunuh orang. Ini sangat kuat. Itu orang Indonesia, bukan orang Papua. Itu memakan kita. Duri Sawit, tajam seperti bilah bayonet. Buahnya keras dan bulat seperti peluru. Merah, seperti darah.” 

Dampak besar lainya dibikin pohon sawit, kataChao, terjadi konflik horizontal dan vertikal. konfliknya bukan hanya antara masyarakat, dengan pemerintah, atau perusahaan. Tetapi konflik melibatkan satu masyarakat, dengan masyarakat lain. Berupa konfilik tanah, kompensasi, partisipasi, dan pembagian keuntungan ketika proyek perkebunan ini tiba.

***

Malik benar, jika  kita terus-menerus menuruti keinginan pasar yang tak terbatas di dunia yang terbatas ini, maka kita akan menghadapi kehancuran lingkungan yang tak terperi. Dan kehancuran itu datang lebih cepat, daripada yang diduga. Dengan begitu, hemat Malik, prospek ketahanan pangan untuk miliaran manusia (termasuk anak-cucu kita) di masa depan merupakan sebuah khayalan.

Studi-studi yang datang belakangan, memberi kita ketidakpastian tentang dua hal yang sangat vital pada pertanian hari depan, yakni stagnasi lahan garapan, dan kelangkaan air. Perkebunan sawit, kata Malik, salah satu aktor yang merusak dua unsur penting pertanian berkelanjutan itu. Meminjam bahasa Chao, kelapa sawit membunuh sagu, yang pada gilirannya, kelapa sawit membunuh manusia.

Kiranya kita perlu revisi pandangan ‘manusia adalah pusat segalanya’. Padahal kata Malik, alam-lah yang mengatur manusia. Semisal air. Air yang mengatur manusia untuk pertanian. Ketika tidak ada air, maka tidak ada aktivitas ekonomi. Artinya mata pencaharian terhambat, dan selanjutnya manusia sulit mengakses segala kebutuhannya.

Syahdan. Satu hari di penghujung Februari bulan kemarin, Malik Rumakat terseok-seok menempuh perjalanan sejauh 1212 kilometer, 751 mil, tiba Fort Rotterdam. Di hadapan puluhan orang yang khidmat memasang kuping. Malik, seperti Chao, mengisah kelapa sawit membunuh sagu, pada gilirannya, sawit membunuh manusia.

Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut ke Pantai

Bermula dari cinta terlarang moyak di rongga dada Sawerigading. Lantaran cintanya ditepis We Tenriabeng saudara kembarnya. “Di negeri Cina, ada putri yang berparas serupa denganku. Berangkatlah dan jemput ia,” begitulah We Tenriabeng menohok keberatan. Usai itu, putera raja Luwu purba yang terlanjur mabuk asmara, geliat memerah darah para budak selama sembilan hari sembilan malam, sebagai tumbal dibayar untuk menumbangkan I La Welenreng. Pokok pohon raksasa, yang kini tergolek itu, oleh Sawerigading dipahat menjadi perahu yang mengantarnya ke Cina. Di sana, Sawerigading meminang We Cudai, calon istrinya. 

Mungkin Sawerigading tak lagi menimbang, bahwa hasrat yang mendidih bakal menyisakan sejumlah malapetaka bagi para penghuni pohon. Seperti termaktub dalam epos I La Galigo, pada dahan-dahan I La Welenreng, ribuan burung menitipkan sarang dan telur. Dan tatkala pohon raksasa tumbang, ribuan butir telur rontok mengguncang bumi. Konon, tujuh kerajaan di sekitar pohon raksasa itu tenggelam banjir lendir telur. Sementara burung-burung yang tersisa meratap, kocar-kacir mencari tempat tinggal baru. 

Kecerobohan Sawerigading membuat Si Buaja Tasi’e dan Sang Ula Balu naik pitam. “Kalau saja kau bukan anak dewa, sekali kukibaskan ekorku, kamu akan tenggelam di dasar laut,” cetus Buaja Tasi’e. “Seandainya kamu bukan keturunan darah putih, sekejap saja kutelan, kamu bisa binasa di dalam perutku yang gulita,” kata Ula Balue. 

Kisah penebangan (Ritumpanna Wélenrénngé) menyulut angkara ini, kita jumpai dalam epos I La Galigo atau Sureq Galigo. Wiracarita I La Galigo ini disampaikan sejak abad ke-14 dalam bentuk lisan. Di abad kiwari, kita memamah cerita ini melalui buku atau gawai.

***

Cerita penebangan pohon raksasa (Ritumpanna Wélenrénngé) wiracarita I La Galigo ini, saya pakai menelisik pola sebaran etnis Bugis-Makassar. Pertama, pokok I La Welenreng dipahat Sawerigading menjadi perahu, mewakili pola  perantauan atau penjelajahan pelaut Bugis-Makassar melintasi samudra hingga ke Afrika. Pola sebaran ini disebut ‘Sompe’, yakni para pelakunya masih berniat untuk kembali ke kampung halaman. Kedua, burung-burung meratap kocar-kacir mencari tempat tinggal tatkala I La Welenreng tumbang, mewakili pola migrasi orang Bugis-Makassar ke seluruh Nusantara hingga semenanjung Malaysia. Pola migrasi ini dikenal sebagai ‘Mallekke Dapureng’, yang secara harfiah berarti ‘memindahkan dapur’ atau migrasi ke daerah lain yang tidak diniatkan untuk kembali. Dan sebagaimana yang kita tahu, Mallekke Dapureng sebetulnya, sebuah protes rakyat atas kesewenang-wenangan penguasa. 

Sompe

Terkenanglah oleh kita akan petatah-petitih Bugis-Makassar yang masyhur: “Nenek moyangku seorang pelaut”. Itu lantaran, menurut banyak sumber,  orang Bugis-Makassar sejak dahulu telah dikenal sebagai salah satu suku penjelajah bahari yang melintasi samudra hingga ke Afrika (Dick-Read, 2008). Dalam tradisi Bugis, penjelajahan atau merantau disebut ‘sompe’ yang secara etimologis artinya berlayar (Hamid, 2004; Kesuma, 2004), tujuannya adalah untuk membangun penghidupan yang lebih baik di luar kampung halaman. Penjelajahan tersebut biasanya untuk berdagang.

Bagi orang Bugis-Makassar Sompe dipandang sebagai tanda kedewasaan dan keberanian seorang laki-laki Bugis-Makassar. Dan karena ihwal tersebut, tradisi merantau telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan orang Bugis-Makassar (Bandung, 2020), sehingga kita akan mudah menemukan berbagai komunitas keturunan Bugis dan Makassar di berbagai wilayah di Nusantara, khususnya pada wilayah pesisir. 

Jauh dari kampung halaman tentu meremukan tradisi dan memori kolektif tanah asal, ini adalah problem kerap dihadapi para perantau, termasuk pelancong Bugis-Makassar. Itu sebabnya, untuk merawat tradisi dan memori kolektif, orang Bugis-Makassar di  tanah rantau terlibat dalam proses asimilasi hingga integrasi sosial budaya dengan masyarakat lokal. Sementara kemampuan bertahan hidup, orang Bugis-Makassar melakukan penguatan ekonomi dengan mengembangkan berbagai bidang usaha. Strategi sosial juga dilakukan dengan melalui jalur diplomasi, perkawinan hingga peperangan (Hendraswati, Dalle, dan Jamalie, 2019). Ketiga cara tersebut berpangkal pada filosofi ‘tellu cappa’ atau tiga ujung, yaitu cappa lila (ujung lidah), cappa’ laso (ujung kemaluan) dan cappa vadi (ujung badik).

Mallekke Dapureng

Pascaperang Makassar pada 1669, terjadi gelombang migrasi orang Bugis-Makassar yang cukup massif ke seluruh kepulauan Nusantara hingga semenanjung Malaysia. Gelombang migrasi berkaitan dengan protes dan respons atas situasi sosial yang terjadi di Sulawesi Selatan—gejolak sosial di masa itu  berkenaan dengan pertarungan antarelit di kerajaan Bugis dan Makassar, serta adanya bencana yang menyebabkan kesulitan ekonomi atau akibat kekalahan perang yang menyebabkan terganggunya kedaulatan dan otonomi dalam bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi. 

Perang Makassar (1666-1667) yang berujung pada kekalahan Gowa atas VOC. Kekalahan ini menandai berakhirnya kekuatan dan kekuasaan Kesultanan Gowa sebagai salah satu negara maritim terkuat, jatuhnya Benteng Somba Opu, monopoli dagang oleh VOC di Pelabuhan Makassar dan ditandatanganinya perjanjian Bongaya pada 18 November 1667 yang sangat merugikan Kesultanan Gowa dan sekutunya (Yani, 2018). Perjanjian Bongaya berdampak besar secara ekonomi dan menjadi pukulan telak bagi perdagangan orang-orang Bugis dan Makassar dan pedagang Nusantara lainnya (Parani 2015), akibat monopoli dagang VOC di Pelabuhan Makassar dan pembatasan pelayaran niaga. 

Usai perjanjian Bongaya pola dan pelaku migrasi masyarakat Bugis dan Makassar mengalami perubahan. Jika sebelumnya pelaku migrasi dilakukan oleh masyarakat umum ke berbagai wilayah Nusantara guna mencari penghidupan yang lebih baik, pascaperjanjian Bongaya pelaku migrasi banyak dipelopori oleh kalangan bangsawan (Khusyairi, Latif, dan Samidi 2016). Sejumlah kalangan bangsawan beserta pengikutnya, utamanya dari Kesultanan Gowa dan sekutunya seperti Wajo dan Mandar melakukan perjalanan diaspora ke berbagai daerah di Nusantara. Migrasi rombongan Daeng Mangkona dari Wajo yang menyeberangi selat Makassar hingga masuk ke sungai Mahakam menjadi cikal-bakal berdirinya Kota Samarinda (Noor, Rasyid, dan Achmad 1986; Maharani, Hatta, dan Selvyani 2016). Rombongan migrasi lainnya ada yang berlabuh dan beranak-pinak di Bali (Khusyair et al. 2017). Lombok (Kesuma dan Murdi 2015) dan kepulauan Nusa Tenggara dan kepulauan Maluku. 

Migrasi orang Bugis-Makassar pascaperjanjian Bongaya ke arah barat berlabuh di sepanjang pantai utara Jawa. Sumatera hingga semenanjung Malaya. Karena itulah, hari ini kita akan menemukan sejumlah nama kampung Bugis dan Makassar di sejumlah daerah di Nusantara, bahkan hingga di Malaysia, Singapura dan Afrika. Tujuan mereka bermigrasi ada yang untuk membangun strategi melawan VOC dengan harapan keadaan di Sulawesi Selatan kembali pulih. Sekelompok lainnya melakukan migrasi guna membuka jalur pelayaran perniagaan yang baru di sejumlah wilayah (Andaya 2004), itulah sebabnya orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut dan pedagang yang ulung. Banyak yang melakukan migrasi meninggalkan tanah Sulawesi untuk kemudian bermukim secara menetap di daerah lain atau dalam istilah Bugis disebut mallekke dapureng. Pindah bermukim di daerah yang baru untuk membangun kehidupan yang baru dan mengusahakan penghidupan yang lebih baik dan merdeka.

Dalam perluasannya, migrasi orang Bugis-Makassar yang massif pascaperang Makassar pada 1669 dan pascaperjanjian Bongaya. Migrasi ini memaksa Christian Pelras mengulik pola kehidupan prakolonial orang Bugis-Makassar. 

Itu sebabnya, bilamana kita teliti membaca buku “Manusia Bugis” Christian Pelras. Pada halaman-halaman pertama, Pelras mengajak seganap orang Bugis (Makassar) untuk kembali memeriksa petatah-petitih mereka yang masyhur itu: “Nenek moyangku seorang pelaut”. Sejauh ini, kata Pelras, masyarakat Bugis sering diidentikkan dengan peranan mereka di laut baik sebagai pedagang yang tak segan menyeberangi lautan dan, terutama, sebagai pelaut itu sendiri.

Sekonyong-konyong Pelras menohok satu gagasan: “Nenek moyangku seorang pelaut” itu “mitos”. Pelras berpenderian bahwa: Sebagian besar anggota masyarakat ini adalah petani, petani, dan petani (hal. 4). Dan kegiatan laut masyarakat Bugis baru dimulai di abad ke-18, atau seabad setelah armada laut Kesultanan Gowa dan Tallo dihancurkan oleh VOC. Demikian pula kapal Phinisi yang mulai dikenal luas ternyata baru dibuat paling cepat di akhir abad ke-19. atau lebih tepatnya di awal abad ke-20. 

Selanjutnya, Pelras mendaku, profesi awal dari orang Bugis-Makassar adalah petani, namun mengalami perubahan pada abad-abad berikutnya, karena terjadinya perubahan sosial maupun situasi politik di wilayah Sulawesi Selatan tempat asal suku tersebut. Pasca perjanjian Bongaya dan masa-masa selanjutnya menandai masifnya migrasi orang Bugis dan Makassar ke beberapa wilayah di Nusantara (Purba, Sri Murlianti, dan Nanang 2017). Migrasi orang Bugis dan Makassar keluar dari Sulawesi Selatan secara komunal juga berkaitan dengan sikap protes dan respons atas situasi sosial yang terjadi di Sulawesi Selatan (Zid dan Sjaf 2009). 

Syahdan, orang Bugis-Makassar pascaperang Makassar pada 1669 dan pascaperjanjian Bongaya, adalah amsal burung-burung terbang dari I La Welenreng pohon raksasa mencari hunian baru yang asing dan ganjil. Sebagaimana termaktub dalam epos I La Galigo. Maka terkenanglah oleh kita akan petatah-petitih mereka yang masyhur: “Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai”. 

Waktu Fana, Sapardi Abadi

mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono

SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada “loh batu”: imaji jadi teks, teks jadi jejak—penanda keberadaan.

Umberto Eco filsuf dan novelis Italia, tatkala menelaah puisi William Wordsworth penyair Inggris, Umberto berpendirian demikian, bahwa sewaktu pembaca tiba pada frasa “a poet could not but gay, seorang penyair hanya bisa bergembira.” Sebetulnya, akui Umberto, para pembaca tengah menjelajah “dunia” Wordsworth. Itu artinya, sebiji puisi bila dikuak, tak lain upaya “jelajah” diri penyair—subjek yang berdiri di belakang karya itu.

Menjelajahi hutan puisi Sapardi

Sebuah konklusi saya ajukan; jika ingin kenal betul “siapa” Sapardi Djoko Damono, maka bacalah kumpulan puisi DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1959 – 1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (1999). Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002), Kolam (2009), Mboel: 80 Sajak (2020).

Sapardi penyair tersohor Indonesia ini lahir pada 20 Maret 1940 di Surakarta, dan wafat pada 19 Juli 2020 di Tangerang, tepat ketika berusia 80 tahun. Ia telah meninggalkan sebelas buah buku puisi, untuk kita, adalah “sari” dirinya, yang enteng kita gali. Tentu, yang “tersembunyi” di belakang, bisa “diungkap”.

dari jemariku yang papa

kau pun menjelma secara gaib wahai nurani alam

(Kepada Sebuah Sajak,  Tonggak 2)

*

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.

Gila:

ia digoda masuk ke telinganya sendiri

agar bisa mendengarkan apa pun

secara terperinci—setiap kata, setiap huruf

bahkan letupan dan desis

yang menciptakan suara.

“Masuklah,” bujuknya.

Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-

baiknya apa yang dibisikkannya

kepada diri sendiri

(Telinga, 1982)

Pada puisi Kepada Sebuah Sajak,  Tonggak 2, kita jumpai suatu hubungan genealogis, yang diakibatkan pertalian asal-usul. Dari jemariku yang papa kau pun menjelma, frasa inimenujukkan sebuah struktur otonom yang saling terikat. Hubungan “sedarah” ini, oleh sosiolog Lucien Goldmann, disebutnya “struktur genetik”. Sebab, bagi Goldmann karya adalah jejak pengarang merespons “keadaan”—“peng-alam-an, yang dikorek dari habitusnya.

Puisi Telinga, 1982 adalah peta yang menuntun kita jelajahi “diri” Sapardi Djoko Damono. “Masuklah ke telingaku,” kiranya Sapardi mengajak pembaca masuk mendengarkan apa pun secara terperinci: bumi, laut, planet, waktu, angkasa, nol, musim, cuaca, gerak, dan cahaya.

Sapardi laiknya Albert Einstein atau Stephen W. Hawking mendialogkan semesta raya. Pasalnya, puisi-puisi Sapardi memberi segenap pembaca telinga dan mata tambahan: mendengar dan melihat benda tak kasat, sebagaimana diberi teleskop dan mikroskop.

Itu sebab, saya berpendapat, bahwa Sapardi itu penyair yang “saintis”. Keilmuwan Sapardi, adalah kemampuan menerangkan hal-hal pelik, dengan bahasa sederhana. Sapardi melukiskan sesuatu secara konkrit, dengan idiom dan metafora yang enteng. Walaupun ihwal yang dicakapkan Sapardi, dahsyat dan rumit. Namun dahsyat dan rumit itu, ditangannya, tidak sukar kita simak.

Nirwan Ahmad Arsuka mendaku dalam esai Sapardi: Geometri dan Memori. Bahwa yang dikerjakan penyair besar, adalah pemberian “hidup” pada benda-benda sepele: pada angin, pada burung, lampu jalan, kabel telepon, dll. Pemberian “hidup” ini bisa juga dilihat sebagai penciptaan.

Membaca Sapardi: Geometri dan Memori, sebetulnya, Nirwan mengajak kita jelajahi wajah perpuisian, yang pelan-pelan bergerak meninggalkan masa silam, yang dikepung puisi-puisi heroik, menuju khazanah perpuisian yang inovasi dan eksperimen. Dan Sapardi, kata Nirwan, telah menemukan perangkat literer baru, yang lebih canggih dari rima, yakni meramu khazanah matematika: barisan geometri dan simetri terbalik, dalam puisinya.

Artinya, Sapardi bergerak dari pengolahan peng-alam-an subjektif personal berupa gejala-gejala mikrokosmos; bahagia, sedih, harapan, dan kecewa. Menuju kematangan meramu peng-alam-an objektif universal seperti gejala-gejala makrokosmos; menyelidiki asal-usul, struktur dan hubungan ruang waktu—inilah tabiat para ilmuwan.

Saya jadi ingat nasihat Adonis penyair Suriah itu. Baginya, puisi menyediakan pengetahuan yang lebih tinggi, tinimbang ideologi-ideologi. Seorang penyair, saran Adonis, harus membangun wacana ilmu pengetahuan dalam puisi-puisinya. Inilah “pencipta” yang transformatif. Tentunya, Sapardi telah meletakkan “pondasi” itu. Sapardi bergerak membawa puisinya dari pengalaman subjektif personal, menuju objektif universal.

Dan ihwal yang lebih penting, saya kira, Sapardi telah membebaskan puisi dari “tapal batas” definisi perkakas dan taktik penyair nyatakan maksud. Menjadi sebuah keranjang mewadahi “nalar” pengetahuan rasional. Sebab, sebiji puisi diramu Sapardi bisa menafsirkan sebaik-baiknya suatu fenomena alam. Justru demikian itu, mudah kita cerna, ketimbang laporan penelitian.

apa yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula  ia di udara

tinggi, ringan, dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin;

kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan

menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun,

melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah,

dan kembali ke bumi… bercakap tentang lautan.

(Hujan Dalam Komposisi 2, 1969)

*

Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu

ia sedang mengembang; bergoyang-goyang dahan-dahannya

yang tua

yang telah mengenal baik; kau tahu,

segala perubahan cuaca.

Bayangkan: akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar

hujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakar

dan mekarlah bunga itu pelahan-lahan

dengan gaib, dari rahim alam

Jangan; saksikan saja dengan teliti

bagaimana Matahari memulasnya warna-warni,

(Sonet: Hei Jangan Kaupatahkan!, 1967)

Sapardi: percakapan tentang semesta

kita saksikan burung-burung lintas di udara

kita saksikan awan-awan kecil di langit utara

waktu cuaca…

(Kita Saksikan, 1967)

Goenawan Mohamad, menulis sebuah catatan di Majalah Tempo, 25 Juli 2020, Kata dan Pengalaman: Sebuah Penghormatan untuk Sapardi Djoko Damono. Puisi Sapardi menembus kembali hal-hal alami dari dunia. Ada situasi terkesima di tiap bait, seakan-akan sang penyair melihat dunia buat pertama kalinya. Ia mirip anak-anak—atau juga seorang Einstein di depan tamasya kosmologis: kreativitasnya bermula dari ketakjuban. 

Goenawan tidak sepenuhnya keliru menyebut Sapardi, “Einstein”. Lantaran penyair itu tak sekadar membuat pembaca terkesima pada: idiom, citraan, dan metafora. Juga takjub pada eksperimen—melibatkan pembaca dalam tualangnya kita saksikan burung-burung lintas di udara—sebuah pesona yang menarik siapa pun menuju jelajahnya, kita saksikan awan-awan kecil di langit utara. Tak cukup di situ, ia menyibak kulit gejala waktu cuaca…dan memberi jawaban pada hal-hal sepele.

ia turun dari ranjang lalu bersejingkat dan membuka jendela

lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa

gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di

luar semesta dan terus saja menunggu sebab serasa ada

yang lewat memberitahukan hal itu padanya…

(Catatan Masa Kecil, 1971)

Dunia anak-anak adalah dunia “bermain”— suatu fantasi, sekaligus kerumitan. Kita tahu, di sana “imaji” terbentuk secara natural, sepotong demi sepotong. Melalui puisi Catatan Masa Kecil, 1971. Saya berkeyakinan Sapardi menumbuhkan bakat ilmuwan sejak masa kanak. Ia, seorang bocah meninggalkan kesenangan bermain layang-layang, turun dari ranjang demi sebuah tualang menakjubkan: “apa gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di luar semesta.

 Larik-larik di atas, bukti kematangan sebuah perenungan. Puisi yang baik, kata Martin Heidegger, bisa menciptakan perenungan. Sebagamana lazimnya penyair, Sapardi bahkan melampaui itu; ia geliat menggali “orisinal”—“inti” sesuatu, termasuk dirinya, atau di luar dirinya. Menyibak yang tersembunyi dan mempertanyakan yang susut.

Perenungan “inti” muasal dimulai abad ke-6 SM, oleh Thales. “Apa inti alam semesta?” pemikir dari Miletos itu, berpendapat: “air” sebagai inti alam semesta. Bagi Thales, air adalah sebab yang pertama sebuah kehidupan. Gagasan ini, jadi lebih “logis” di tangan sekelompok ilmuwan, abad ke-20. Sebut saja, Fred Hoyle, Bandi, dan Gold. Menurut para “saintis” ini, “90 persen materi—inti alam semesta adalah hidrogen”—air.

aku adalah air,” teriakmu, “aku ganggang adalah lumut adalah

gelembung udara…

(Akuarium – 1972)

Pada puisi Akuarium, saya melihat kesamaan pandangan antara Sapardi dan Thales pemikir dari Miletos itu. Thales berkata: air sebagai inti alam semesta. Maka Sapardi mendaku: aku adalah air,” teriakmu, “aku ganggang adalah lumut adalah gelembung udara…Seeokor ikan kecil hidup dalam akuarium semacam alegori dipakai Sapardi menegaskan inti muasal.

Belakangan Perenungan “inti” muasal ini, dijawab Stephen Hawking, yakni “hukum fisika”. Bagi Hawking, andai bukan karena serangkaian hukum fisika, manusia dan bentuk-bentuk kehidupan menyerupainya tak bakal ada. Artinya, hukum fisika sebagai “sumber” yang menciptakan benda dan organisme. Namun, jauh sebelum itu, Isaac Newton, memberi kita kepastian: “hukum fisika—gravitasi, hanya menjelaskan pergerakan planet-planet, tidak bisa menjelaskan  siapa yang menggerakan planet itu. 

siap menggores di langit biru

siapa meretas di awan lalu

siapa mengkristal di kabut itu

siap mengertap di bunga layu

siapa meledak dalam diriku

:siapa aku

(Sonet: X, 1968)

Puisi Sonet: X, 1968: Siapa meledak dalam diriku/siapa aku semacam meditatif menyibak batas stetoskop dan mikroskop “ragu-ragu” memberi kita jawaban akan sumber kehidupan. Tapi dijawab Sapardi dalam puisi Kepada I Gusti Ngurah Bagus: dewa yang telah menciptakan bunga, dewa yang telah menciptakan gadis…”

Dalam kumpulan puisi Ayat-ayat Api, Sapardi membawa pembaca menjelajahi fantasi: waktu, ruang, gerak, dan cahaya—sebuah relasi terbangun secara alamiah, dengan manusia. Selain itu Sapardi semacam melarai silat pikir antara fisikawan abad ke-19 dengan pemikir mutakhir Albert Einstein mengenai konsep cahaya.

Cahaya memerlukan “eter”, suatu zat antara menggerakkan semua benda di angkasa dan eter itu harus diam mutlak. Maka Einstein, menolak eter. Baginya, tak ada ruang atau benda mutlak. Kita tahu pada akhir polemik, Einstein menjungkir-balik konsep “diam mutlak” dengan sistem “gerak relatif”. Dan saya kira, Sapardi menulis pendapatnya dalam puisi Di Depan Pintu:

di depan pintu: bayang-bayang bulan

terdiam di rumput. Cahaya yang tiba-tiba pasang

mengajak pergi

menghitung jarak dengan sunyi.

(Di Depan Pintu)

*

Marsinah buruh pabrik arloji,

mengurus presisi:

merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;

waktu memang tak pernah kompromi

ia sangat cermat dan pasti

ia hanya memutar jarum arloji

agar sesuai dengan matahari

“Ia tahu hakikat waktu,”

mereka kira waktu bisa disumpal

agar lenkingan detiknya

tadak kedengaran lagi

(Dongeng Marsinah,  1993-1996)

Puisi Dongeng Marsinah berpijak pada hakikat waktu—sesuatu yang menandai “eksistensi”: keberadaan sebuah manusia. Andai St. Agustinus, menganggap waktu semacam “paradoks”—tak bisa didefinisikan atau diatur, maka Sapardi membilangkan waktu tak pernah kompromi ia sangat cermat dan pasti.” Namun terkadang yang “pasti” ini diabaikan manusia—luput dari perhatian manusia. Kondisi ini digambarkan Sapardi, “mereka kira waktu bisa disumpal agar lenkingan detiknya tadak kedengaran lagi”. Atau dalam frasa paradoksal, seperti dalam puisi Lanskap, “waktu hari hampir lengkap” sedang kita “menunggu senja”.

Syahdan, puisi Sapardi ibarat bakul yang mewadahi pesona pengetahuannya. Ruangan yang ada dalam sepatah kata ternyata mirip…Sapardi. Itu sebab saya berkesimpulan, Sapardi Djoko Damono: penyair cum ilmuwan dengan kesederhanaan gaya ungkap. “Ia mirip anak-anak—atau juga seorang Einstein di depan tamasya kosmologis: kreativitasnya bermula dari ketakjuban…,” ujar Goenawan Mohamad.


Sumber gambar: Kompas.com

Kedai Pahe dan Puisi-Puisi Lainnya

Kedai Pahe

begitulah bahaya ciuman

bibir secangkir kopi

dengan gigitan manis

insomnia, hingga kita

jadi pelupa

pada selembar foto

tergolek di dompet

yang mimpi suntuk

begitulah bahaya ciuman

sekali seruput,

dua tiga bekas bibir

terhapus.

2021

— buat MU dan SA

/1/

bapakku

pedagang kain

bianglala

menikahi ibuku

penjahit langit sobek

ledak kembang api

melahirkan aku mantel

lusuh yang mencintai kaki

hujan

/2/

ibuku

sebatang buluh

digergaji waktu

saban kemarau,

lalu diraut bapak

jadi aku layang-

layang

mencintai angin

/3/

aku

nelayan payah

bermimpi

jadi ikan kecil

berenang

di dada MU dan SA

yang perahu

2021

Alfamart Dekat Kios Kecil

alfamart dekat kios kecil

biasanya ibu bon kopi,

aku beli sampo

antiketombe

amatlah senang,

sebab seekor kutu

merajut mimpi

rontok

dari keriting rambut

yang nasib dan maut

ditambat

entah bagaimana keriangan

berumur pendek?

saat kurogoh receh di saku

yang adalah beling kaca rongga

dada si nona kasir,

yang memberiku selembar

struk belanja:

1 pack kematian

aku, ibu, dan bapak.

2021

—buat M

perhiasan gadis siapa

yang kau rampok?

kau jadikanya neon kelap-

kelip selagi bintang malam

tanggal

di sebuah toko roti dan seorang

koki kalut menabur mesisi

di adonan donat

kembang gadis siapa

yang kau pingit?

dengan cerdiknya kau

sembunyikan kesedihannya

dari balik ketebalan

bedak dan warna

gencu

lidah pemuda siapa

yangkau potong?

kau jadikan paving block di

trotoar,

ranjang bagi seorang pengemis

meniduri mimpi dan lupa

mencuci kaki atau berdoa

adakah kau dengar suara itu?

malam mencekam salak anjing

dan riuh meriam adalah jerit

mardikus:

aku bukan budak,

aku foresaler

penunjuk jalan

adakah kau dengar suara itu?

di sisi benteng Nosa Senhara

de Anumciadi seorang nona

tersedu-seduh:

aku diculik

aku diperkosa!

aku mestico!

siapa bapakku?

kesedihan bukan nyanyian,

kata seorang penyair

tapi kau

masih suka bernyanyi

di kota yang saban waktu

orang-orang hobi menjiplak,

termasuk seni mengukir luka

dan airmata.

2020

Kaukah Itu Tuan yang Tengger di Halaman Koran dan Puisi-Puisi Lainnya

Kaukah Itu Tuan yang Tengger di Halaman Koran

Kaukah itu tuan, yang tengger di halaman koran saat fajar merekah
di sungai chai. Dan rengkuh nikmat dari sisa-sisa malam belum menguap,

kau telah menjelma kabut turun merebut embun
di ranting-ranting murbei. Sementara sepasang phoenix
tengah berahi,

di ranjang kau terbuka seperti halaman-halaman koran.
Menganga umpama luka di ujung benua.

Sebagaimana leluhurmu bangsa mongol berpesta arak di tigris.
Bola mata mereka yang api adalah unggun menjilat rak-rak buku,
lektur, dan puisi, jadi abu.

Dan ketika pagi kau tak lagi seorang bocah merangkak menuju
jarum jam dan permainan tanpa henti.

Kau seorang dewasa. Bahkan pergi ke kuil sendiri mendengar mimpi seorang biksu

:tentang tanah rempah. Serupa tanah perjanjian. Tanah kudus. Barangkali di sana Abraham menggali tiga sumur, menanam zaitun dan anggur?

Kau bayangkan wajah kekasih? Maka kudatangi sebuah kedai di sana seorang tabib mengajari rahasia lelaki:

“Berlayarlah ke Mi-li-ki dan petik ramuan itu,” katanya

seketika angin membusur anak panah, kau menghilang, di antara bulan sepotong semangka, dan rasi cygnus berpenjar-penjar, benderang bukit.

Di atas sana langit lapang membentang berlapis-lapis sutra dan betari adalah perempuan hamil sebentar-sebentar muntah bunga-bunga api dan helaian rambut gelombang.

Kaukah itu tuan, yang bernyali berlayar ke Mi-li-ki merampok cengkih dan pala: sebuah ramuan pemikat hati dan bahan dasar tembok sepenjang 10.000 Li. Atau bahan pengharum mulut kaum bangsawan Mamluk, Turki Ottoman, Bizantium, Venesia, dan Genoa.

Setiba di sana, tuan. Saban hari adalah neraka jatuh di bumi. Dan kau sepakati papalele dengan mata pisau lalu dacing berderak-derak

Dan kau pulang membawa lembar-lembar caixas, jadi mahar yang kupakai melamar seorang putri.

Kaukah itu tua, yang tengger di halaman koran setelah kau binasakan kami sebagaimana debu. Hanyalah serbuk halus ditiup angin. Lenyap.

2019

 

Kami Kulum Sejumlah Malapetaka

:traktat breda tahun 1667

Ketamakan semacam apa yang menganga di rongga dada,
sehingga kalian menyuruh kami berlayar ke Run?

Kami padam kebahagiaan dan kami kubur pada tubir paling dalam.
Kami tinggalkan gadis-gadis dan anggur di bar,

turun ke laut. Melayari armada ke arah entah.

Melintasi marabahaya.

Saat angin menyiut dari arah timur laut, riak berombak dan tumbuh kami penuh garam dan tiram.

Sungguh malang. Run yang kalian sanjung itu, hanyalah noktah: setumpuk karang vulkanik,

yang tipis penaka pisau bertenaga mengiris-iris badan kapal
menjadi puing-puing.

Sebagaimana dada kami yang terlanjur remuk.

Ketika kami tiba di pantai, sejumput bala demi bala kami kulum bak permen. Barangkali kalian tidak berpikir,

bahwa sebuah pulau harta karun kerap menyediakan sejumlah malapetaka bagi sesiapa saja yang datang melempar sauh?

Di atas geladak kami lihat matahari sudah lenyap. Persis kecut nyali
kami. Tetapi tidak dengan orang-orang itu,

mereka simpan terik di dada. Mereka suka minum tuak nira. Para lelaki menabuh tifa meniup seruling dan gadis-gadis menari berputar-putar serupa beliung—beginilah kenyataan hidup orang-orang berkilat,
keras, berani dan berdarah.

Tetapi, jauh tempo kalian sudah menyusun berbagai cara bertahan hidup dan tinggal berlama-lama di sana
:kami sayat tubuh-tubuh pohon mayang. Dan kami perintahkan mereka memahat karang jadi kastel.

Meskipun kami hidup dalam bahaya, tetapi bagi kalian sesenduk penuh pala diminum sebelum tidur berhasil membuat selangkangan seorang gadis yang belum datang bulan, basah.

Bagi kalian tidak penting nyawa seorang budak atau orang pribumi. Asalkan kami membawa pulang pala mengobati seorang pelacur yang terserang wabah sampar.

Atau demi memenuhi hasrat berahi, kalian menggadaikan Manhattan dengan Run. Entah berapa nyawa kami yang lenyap. Atau berapa orang dari mereka yang kami bunuh?

Ketamakan semacam apa yang mengangah sehingga kalian tiada belas kasih di rongga dada?

2019

 

Waktu Tiba-tiba Membeku

Waktu tiba-tiba membeku dalam arloji. Dan kita, tidak lagi mendengar deru ombak.

Jangan bersedih, kekasih.

Di angkasa seekor burung terbang menggaris peta. Sedang di ufuk seorang bala membelah laut, tiba di sini.

Gold, glory, gospel” sorak mereka dalam dialek yang tak mungkin
kita mengerti.

Waktu tiba-tiba membeku saat orang asing mengambil segala, kita kehilangan seluruh.

2019

 

Gambar: https://www.washingtonpost.com/