Semua tulisan dari Iven Hartiyasa Prima

Mahasiswa Universitas Mulawarman, Program Studi Hubungan Internasional. Bisa dihubungi di nomor: 085245635568.

Seputar Demokrasi: Batasan dan Kebebasan

Sering dijadikan bahan untuk brainstorming, apakah pisau itu baik atau buruk? Atau pistol, pedang, kitab suci, dsb, dsb? Saya skip saja. Anda tentu sudah familiar dengan “gojekan” semacam itu.

Begitu juga dengan internet. Medsos berserta fitur-fitur yang tersedia. Makan dan minum saja meski ia menjadi kebutuhan primer akan menjadi buruk kalau porsinya berlebihan. Kita perlu memiliki kesadaran untuk membatasi porsi makan kita. Di samping memiliki kebebasan untuk makan apa. Bahkan untuk tidak makan. Boleh jadi sedang tidak selera. Atau mungkin lagi kere. Hheu.

Baiknya, terhadap kata, kita lepaskan dulu stigma yang terlanjur dilekatkan oleh media. Mari kembalikan kepada denotasi kata itu sebagaimana maksudnya. Kebebasan itu identik dengan liberal. Sedang pendapat, apa bedanya dengan argumen, ocehan, dsb? Ya, tentu saja epistemologinya. Outputnya sama. Lebih lanjut, kalau mau tertib, nuansa dan momentum penggunaan kata itu sendiri. Yaitu konteksnya.

Tapi, di era digital sekarang, yang berpedoman “time is money“, apa-apa dilakukan kalau bisa dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sehingga sebagian orang enggan meluangkan waktu dan energi untuk menelusuri asal-usul sesuatu. Jarang yang mau meneliti. Asal cocok dengan selera politiknya, share!, sebarkan!, viralkan! Walhasil, ada berita mendahului peristiwanya tanpa sepengetahuan siapa-siapa (baca: hoaks).

Dalam demokrasi, manusia tertimbun oleh kata-kata, siapa saja bebas berpendapat. Terlepas itu benar atau salah, baik ataukah buruk. Kebebasan berpendapat. Tak hanya di Indonesia. Meski juga ada konsekuensi hukumnya.

Isu yang kekinian misalnya, yang sedang heboh di media, bisakah kita bedakan antara mereka yang mendukung suksesnya Asian Games dan mereka yang lebih condong mendukung koalisi Pak Jokowi meski dengan panggung Asian Games? Tipis memang. Tapi mari kita jernih melihatnya. Kepada poin apa/mana yang menjadi titik berat perhatian kita.

Maksudnya, apakah suksesnya Asian Games itu milik koalisi Pak Jokowi saja atau ia menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia? Apakah Pak Prabowo, Pak SBY, Pak Amien rais, dan semua pendukung koalisinya bukan termasuk masyarakat Indonesia juga?

Sebaliknya ketika Asian Games itu gagal atau berantakan apakah itu dampaknya pada koalisi Pak Jokowi saja ataukah seeganap masyarakat Indonesia menanggung dampaknya ketika penilaian buruk dari negara-negara kontestan itu mempengaruhi kebijakan politik luar negerinya terhadap Indonesia?

Bagaimanakah kita mengantisipasi arus itu? Siapa yang mampu menghentikan hoaks-hoaks itu? Siapa bisa menjinakkan warganet yang seakan non stop 24 jam itu?

Sebagaimana hukum dialektika. Sesuatu itu tidak mandek, stagnan, dsb. Bersyukurlah kita terlahir sebagai manusia, bukan domba. Dibekali akal untuk berpikir. Maka mampu berdialektika. Tak seperti domba, dari dulu makannya rumput. Manusia juga bisa makan rumput bahkan sedomba-dombanya, disate, digulai, dsb sesuai selera. Yang setelah itu pun bisa menyeruput kopi sambil rokok’an.

Maksudnya, makin kesini, kita pun makin mengerti gelagat ocehan-ocehan itu.

Oleh sebab media yang mengkategorisasi publik menjadi dua: cebong dan kampret. Seolah tak ada narasi di luar itu. Namun, tak apa. Toh manusia berdialektika. Sehingga kian menyadari bahwa dari kelompok itu siapapun tokohnya, narasinya akan lebih condong kepada kelompoknya. Begitu pun sebaliknya.

Maka, tak perlu repot menganalisa. Yang membedakan hanya warna kalimat dan corak pemikiran si pembicara. Tapi toh cuma atraksi retorika belaka. Publik yang berdialektika, makin hapal arahnya kemana, intinya apa, dsb.

Begitu juga pendukungnya. Maaf, cebong dan kampret. Pendukung paslon itu akan selalu berbicara begitu tentang itu. Survey dan data? Toh semua sudah tersedia, dari lembaga mana, dari institusi apa, mengutip pendapat siapa. Yang mengunggulkan pak Jokowi ada, pak Prabowo juga ada. Tinggal pilih, kedua kubu punya sederet intelektual, cendekiawan, ustadz, ulama, apalagi? Semua tersedia.

Cebong atau Kampret? Terserah anda. Kecanggihan teknologi mempermudahnya.

***

Siapa saja bebas berbicara apa saja diluar kapasitasnya. Di medsos, banyak orang ujug-ujug berprofesi sebagai pengacara dan hakim. Menjadi jaksa penuntut umum. Parahnya lagi ada yang seolah-olah berprofesi sebagai malaikat yang mencatati perbuatan baik-buruk seseorang, bahkan mengambil alih hak prerogatif Tuhan perihal surga-neraka. Begitulah konten sehari-hari yang kita jumpai di media. Jarang yang menjadi manusia, nyaris tak ada yang mengaku setan atau iblis. Kasian. Tak laku beliau.

Zaman memasuki era digital. Medsos terbuka untuk diisi konten apapun dari siapapun. Kebebasan berpendapat itu mesti dibersamai dengan kesadaran akan batas. Kiranya itu yang dibutuhkan demi kualitas demokrasi yang lebih baik. Artinya, kita membatasi diri dari sesuatu yang diluar kapasitas kita.

Di atas demokrasi masih ada aristokrasi dan teokrasi. Tulisan ini, juga tulisan yang sebelumnya, bukan dalam upaya mendiskreditkan demokrasi. Juga bukan sinisme terhadap kelompok cebong dan kampret. Tentunya, tiap sistem memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Sistem itu menjadi baik manakala pengelolaannya efektif, dan itu bergantung pada pemahaman dan tingkat kesadaran manusianya. Sebagai subjek, baik sebagai individu maupun masyarakat.

Selamat berdemokrasi dan selamat bermedsos ria!

Tenggarong, 26 Agustus 2018

Seputar Demokrasi, Secuil Moralitas

Demokrasi adalah sebuah kebisingan. Demokrasi itu berisik. Itulah konsekuensi berdemokrasi. Anda suka atau tidak, terima atau tidak, setidaknya pahami dulu asumsi dasarnya. Agar tidak kintir dengan arusnya.

Beberapa mereka yang mengerti seluk liku demokrasi, memperoleh keuntungan. Sambil menyelam, minum air. Beberapa lainnya, meski juga piawai, memilih abstain rokok’an di gardu ronda. Sambil menyelam, minum kopi, gaplek’an, dsb, dsb. Tulisan ini membahas yang pertama. Yang kedua mohon maaf lain kali, lain waktu. Mungkin juga lain tempat.

Anda tidak bisa menghentikan ocehan-ocehan itu. Berisik adalah cirinya. Ocehan balas ocehan, pendapat lawan pendapat, asumsi versus asumsi, dsb, begitu dst. Untuk menghentikan seorang Rocky Gerung misalnya, anda mesti hadirkan ocehan yang lebih berbobot. Terserah nilai apa yang terkandung dalam ocehan Anda. Sehingga yang unggul adalah pendapat yang mampu meredam pendapat (atau ocehan, asumsi) lainnya. Setidaknya sebelum ditangkal lagi oleh pendapat baru yang mampu meredamnya kemudian. Ya, meredam dalam arti membantah.

Sekarang pointnya adalah meredam. Praktiknya: bantah-membantah. Pendapat mana/siapa yang paling bising. Maksudnya, yang paling berpengaruh, paling didengar, paling luas efeknya. Pertanyaan kemudian ialah faktor apa yang membuat argumen itu unggul? Yang oleh sebab itu seseorang bisa menyelam sambil minum air, dalam demokrasi. Kapan-kapan kita ulas soal faktor itu.

Dengan goal yang paling berpengaruh, paling didengar, dan paling berefek, maka tak begitu menjadi soal apakah pendapat siapa/mana itu benar atau salah, baik atau buruk. Yang penting tujuannya tercapai. Moral? Lain soal. Hubungannya dengan moral sangat bergantung pada tingkat pemahaman audiensnya. Kalau yang skalanya luas, local wisdom seperti apa yang berlaku di masyarakat itu, atau sejauh mana daya jelajah nalar publik menjangkau telikungan, lipatan, atraksi retorika itu.

Artinya apa? Moral adalah diskursus sekunder dalam demokrasi. Merupakan instrumen relatif dalam praktik berdemokrasi. Lebih jauh jika disangkut-pautkan dengan moralitas agama. Hampir bumi-langit jaraknya. Karena demokrasi dalam praktiknya cuma dua: ekonomi dan politik. Campur baurnya disiplin moral (atau agama) hanyalah instrumen pelengkap untuk mencapai goal. Sebagaimana dibahas di atas. Apakah itu baik atau buruk, benar atau salah, selama ia selaras dengan pemahaman audiensnya maka tak menjadi soal. Yang penting tak terjadi resisten luas.

Apakah keputusan pak Jokowi jatuh pada KH. Ma’ruf amin itu tepat? Apakah itu mendzolimi (atau setidaknya mempermainkan) pak Mahfud? Apakah keputusan pak Prabowo memilih pak Sandiuno tepat atau tidak? Apakah pak Prabowo mengabaikan ijtima’ ulama, mempermainkan kesetiaan PKS? atau, apakah kandidat capres/cawapres atau menunggangi agama tertentu? kenapa pak Said aqil mengatakan pak Mahfud bukan kader NU? mengapa pak Amien rais ujungnya bilang itu hanya guyon setelah sebelumnya getol menentang pemerintahan pak Jokowi?

Itu semua murni proses politik. Begitulah dialektikanya.

Apakah perilaku itu baik sebagai panutan publik, karena secara langsung maupun tidak itu merupakan potret pendidikan politik yang kemudian mempengaruhi alam pikir masyarakat? Di situlah domain moralitas. Pada tema itu diskursus moral menjadi relevan. Sebelum lebih lanjut dipertautkan lagi kepada moralitas agama tertentu.

Hanya saja, moralitas merupakan tema sekunder dalam proses demokrasi di Indonesia. Untuk sopan santun menyebut nihil praktik politiknya di lapangan. Meski saban hari gentayangan sebagai diskursus di dunia maya maupun layar kaca. Apakah fakta itu baik dipertontonkan kepada publik? itu lain hal.

Dahulu, di yunani, tempat dimana gagasan demokrasi itu muncul, siapa saja bebas naik mimbar berbicara apa saja memperkenalkan kreatifitas idenya. Kebebasan itu hanya dibatasi rasionalitas. Ketika yang dibicarakan adalah hoax, ketika itu pula ia menanggung penghakiman masyarakat. Ya, nalar publik bekerja. Sebagaimana di Nusantara dahulu, dahulu di penghujung sisa kejayaan Majapahit sebelum berganti era Kesultanan Demak sepenuhnya, Nyoo lay wa diangkat oleh Kesultanan Demak untuk memimpin Majapahit, mengendalikan masyarakat yang masih bersetia kepada Majapahit. Singkat kata singkat cerita, karena dianggap tak becus oleh masyarakat, ia dihakimi massa pada saat itu. Sekali lagi, nalar publik bekerja.

Maka tak butuh lembaga sedemikian rupa sebagaimana dewasa ini. Semisal, KPI, KPK, dsb dsb.. Karena nalar publik bekerja, sensitifitas publik hidup, semua saling merawat dan menjaga berdasarkan local wisdom yang ada. Gotong royong. Tata tentrem kerta raharja.

Ya, itu dulu. Lain dulu lain sekarang.

Sehingga pilihannya adalah pada level mana demokrasi itu akan kita tempatkan. Setelah terlebih dahulu mengetahui pada tahap mana capaian demokrasi kita sekarang ini.

Selamat memperingati Hari Proklamasi kemerdekaan!

Masyarakat Cerdas dan Upaya Mewujudkan Pemilu Berkualitas

 

Semenjak ditetapkannya pemilihan wakil rakyat dipilih secara langsung, pemilu mengalami berbagai dinamika. Baik positif maupun negatif. Masyarakat Indonesia, semakin ke sini semakin mengerti seluk liku prosesi pemilu. Demikian pun mereka yang awam, tentu memiliki pengalaman dan kesan masing-masing seputar pemilu.

Terhitung dari pilkada serentak 2017, Indonesia memasuki tahun-tahun politik (hingga pilpres 2019). Hampir tak pernah absen, media cetak dan televisi menyuguhkan berita maupun isu-isu terkait sebelum dan sesudah pemilu. Khususnya pilkada DKI, di samping statusnya sebagai ibu kota, betapa menjadi perhatian masyarakat. Bahkan mereka yang tak bermukim di wilayah DKI. Terlepas dari dinamika yang menyertainya, banyak pelajaran yang bisa diambil dari prosesi pemilu di DKI. Demi meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia kedepan tentunya.

Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu ke depan, kiranya ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Bercermin dari pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, perbaikan dilakukan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pemilu. Baik penyelenggara maupun peserta pemilu. Di antara hal yang patut disoroti seperti; praktik money politik (politik uang), pemasangan alat peraga, yang sebagian besar dilakukan dalam masa kampanye.
Praktik politik uang misalnya, bisa dibilang sudah sangat akut. Bahkan nyaris dikata hal yang lumrah. “Gimana mau menang kalau tak ada uang?”. Seolah menguatkan, fakta belakangan ini yang berhasil diungkap KPK maraknya pejabat daerah yang kena OTT. Sehingga muncul asumsi betapa erat kaitannya praktik tersebut dengan sebuah jabatan atau kekuasaan. Dengan berbagai metode dan kronologis yang kian “canggih”. Pun hal yang nampaknya sederhana seperti alat peraga kampanye; baliho, spanduk, poster, umbul-umbul, dsb. Tak sedikit kita lihat bertebaran di jalan-jalan. Ya, cukup mengganggu pemandangan. Tak peduli itu dinding, tiang listrik, taman, bahkan dipaku di pohon. Belum lagi kalau sudah konvoi di jalan. Jalanan seakan milik sendiri. Bukan hanya mengganggu, kondisi ini cukup membahayakan. Mulai dari tidak memakai helm, memenuhi badan jalan, bahkan ada yang melanggar lalu lintas. Bukan hanya sesama rombongan tapi juga pengguna jalan lainnya.

Walhasil, muncul anggapan bahwasanya pemilu hanya menjadi ritual rutin politik saja, tanpa makna dan belum tentu membawa perubahan yang mendasar dalam sendi-dendi kehidupan sosial. Bahkan masyarakat hanya dijadkan komoditas politik elit untuk meraih kekuasaan. Maka pemilu hanya tentang mereka yang terlibat di pusaran elit. Hubungannya dengan masyarakat hanyalah apa-apa yang ditawarkan ketika masa kampanye. Sewaktu itulah masyarakat dilibatkan dalam prosesi pemilu selain pamungkasnya ketika di bilik suara (?). Tak heran angka golput cukup tinggi.

Lantas, bagaimana akan lahir wakil rakyat dari rahim pemilu yang demikian?

Tentu, kondisi ini tidak berdiri sendiri. Juga tidak muncul begitu saja. Ia terbentuk dari berbagai faktor dan dari sederet kronologis. Yang agaknya bertolak dari persoalan pendidikan politik. Dan bermuara pada kesadaran politik publik. Dengan itu lah kiranya tercapai demokrasi yang berkualitas. Yaitu, kesungguhan mengelola negara dan kesanggupan mempertanggungjawabkannya. Politik bukanlah pesta sebagaimana sebagian orang menganalogikan, tetapi politik adalah development trusting. Yakni pembangunan kepercayaan. Dan pemilu adalah muara yang menjadi gelanggang perhelatan politik tersebut. Kenapa ini penting, sebab keterwakilan politik adalah perwujudan dari nilai trust. Yang terkadang –kalau tidak boleh menyebut seringkali, dinafikan oleh kalangan elit.

Beberapa upaya normatif yang bisa dilakukan diantaranya (Ferry Kurnia R: “Pilkada serentak untuk tata kelola pemerintahan yang demokratis”) yakni: Pertama, penguatan aspek regulasi yang berkaitan dengan pembiayaan, pengelolaan data pemilih, pencalonan, kampanye, dana kampanye, pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi suara. Kedua, penguatan aspek manajemen, kaitannya dengan perbaikan rekruitmen penyelenggara terutama pada level adhoc seperti PPK, PPS, dan KPPS serta perbaikan metode dan intensitas bimbingan teknis dan peningkatan kualitas transparansi hasil penghitungan suara. Ketiga, penguatan aspek sosialisasi dan pendidikan pemilih untuk meningkatkan kuantitas dal kualitas partisipasi pemilih. Keempat, penguatan aspek hukum untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap proses sengketa.

Selain upaya di atas, yang juga tak kalah penting ialah peran parpol, Ormas, dan LSM. Terkhusus partai politik (parpo), selain menjadi wahana penyalur aspirasi politik, ia juga berfungsi sebagai sarana sosialisasi pendidikan politik. Partai politik berfungsi menyebarluaskan dan menerangkan serta mengajak masyarakat menghayati norma-norma dan nilai-nilai politik. Melalui kegiatan ini, pendidikan terimplementasi. Partai politik membina pemahaman masyarakat sesuai amanat undang-undang. Selain mengadakan kursus-kursus pada tataran internal partai terhadap kader maupun anggota.

Lebih daripada itu, kesadaran politik masyarakat jugalah yang paling penting. Apakah ingin mengulangi pola yang sama, di-treatment hanya ketika pilkada. Karena dengan masyarakat yang cerdas akan memunculkan pemimpin berkualitas. Dengan pemahamannya, bagaimana mungkin ia mewakilkan urusannya pada orang yang tak memiliki kapabilitas untuk itu. Walhasil, dari masyarakat yang cerdas terselenggara pemilu berkualitas, maka akan lahir wakil rakyat yang berkualitas. Berkapabilitas, berkapasitas, dan tentu memiliki akseptabilitas. Yang tidak hanya mengandalkan isi tas.

Tenggarong, 2 April 2018

 

Sumber gambar: merdeka.com

Antara komunikasi dan Seorang figur publik.

Kepiawaian dalam berkomunikasi menjadi syarat mutlak bagi seorang figur publik. Bahkan pun pada level yang lebih sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi menjadi penanda paling jelas bahwa manusia adalah makhluk sosial. Bagaimana pun cara komunikasinya.

Terkhusus bagi seorang figur publik. Kekeliruan dalam penggunaan kata dan penyusunan kalimat bisa berakibat fatal. Sebut saja kasus yang menjerat  Ahok perihal pidatonya di kepulauan seribu. Terlepas dari persoalan benar beliau menista agama atau tidak dalam hal ini ada sebagian pihak yang merasa dan karenanya mendakwa  Ahok menista agama Islam.

Tentunya tulisan ini tidak sedang mempersoalkan kasus hukum yang menjerat  Ahok. Apalagi menggugat putusan hukumnya. Tulisan ini sekadar menyoroti beberapa hal yang melatarbelakangi konten serta muatan dari seorang komunikator secara umum.

Seyogyanya komunikasi apapun bentuknya mengandung muatan kepentingan dari si subjek. Paling tidak,  ya,  iseng atau sekedar basa-basi. Berangkat dari definisi maupun tujuan komunikasi itu sendiri (untuk definisi silahkan googling sendiri).

Pada pidato  Ahok di kepulauan seribu misalnya. Walau kunjungan beliau pada waktu itu dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik namun latar konteks saat itu juga menjelang pilkada DKI Jakarta. Sehingga pidatonya bernuansa “kampanye terselubung”. Pidato bermuatan propaganda colongan dalam upayanya mempengaruhi segenap hadirin yang ada dengan me-reinterpretasi ayat di surah al-maidah [51] yang viral digunakan untuk menyerang beliau.

Atau perhatikan gaya komunikasi  Anies Baswedan. Betapa menggugah ketika masa kampanye dan debat publik. Sering kita dengar pantun maupun puisi serta interpretasi segar dari dogma-dogma klise yang terlanjur di-amini masyarakat. Sayangnya tidak kita temui lagi semangat itu ketika beliau sudah menjabat Gubernur DKI. Jika kita perhatikan secara seksama, betapa kontras perubahan komunikasi  Anies sebelum dan sesudah menjadi gubernur.

Begitulah komunikasi massa. Demikian itulah figur publik. Komunikasi memiliki maksud dan tujuannya. Apakah itu sifatnya sebuah pencerahan (positif), propaganda hoax (negatif), dalam upaya pengalihan isu, atau sebuah klarifikasi. Keberhasilan komunikasi juga bergantung pada ketepatan penggunaan bahasa berikut gaya bahasa si komunikator. Maksudnya, jangan menggunakan bahasa langit untuk kalangan bawah tanah. Sebisa mungkin pergunakan bahasa yang sesuai.

Lebih lanjut, pada komunikasi seorang figur publik muatan dan nuansa konten komunikasi sangat bergantung dengan identitas yang melekat. Dan berdasarkan itu (identitas) menentukan sudut pandang dan kepentingan pandang (interest) si komunikator atau seorang figur publik.

Dilihat dari kerangka berpikir di atas, maka menjadi tidak mengherankan perubahan gaya komunikasi yang dilakukan  Anies. Segar, kritis, bersemangat ketika kampanye tetapi “old school” ketika sudah menjabat. Sebagaimana kita sudah tidak kaget dengan perubahan gaya komunikasi misalnya seorang aktivis LSM atau mahasiswa yang hilang daya kritisnya ketika sudah masuk ke ranah politik, atau perubahan gaya komunikasi seorang caleg baik saat masa kampanye maupun setelah rilis dari KPU.

Mungkin sudah sering kita temui bagaimana perubahan gaya komunikasi dari seorang figur publik di berbagai kesempatan. Mungkin juga karena seringnya perubahan itu sehingga kini kita menjadi mafhum. Sehingga diam-diam kita kangen seorang figur publik yang konsisten sebagaimana gegap gempitanya Bung Karno sebelum maupun sesudah menjadi Presiden atau easy going nya Gus Dur. Bahkan ketika beliau dilengserkan.

Tenggarong, 17 November 2017.

Pancasila dan Indonesia: Meneropong Titik Temunya

Setiap negara modern memiliki ideologi sebagai landasan dalam bersikap. Ideologi menjadi acuan bagi warga negara dalam melihat, menimbang, dan menilai apakah sesuatu itu kemudian terhukumi sebagai perbuatan baik ataukah buruk. Karena pada sebuah ideologi terkandung seperangkat nilai-nilai dasar yang menjadi pondasi dari kerangka berpikir penganutnya. Maka ia menentukan bagaimana bentuk dan rupa dari bangunan secara keseluruhan, apakah ia menyejahterakan atau tidak, mengayomi atau tidak, memberi rasa aman atau tidak, dan seterusnya dan sebagainya.

Ampuhnya sebuah ideologi pada suatu negara juga bisa berlaku relatif. Artinya, ia perkara cocok tidak cocok. Boleh jadi ia cocok di suatu negara namun belum tentu ia cocok di negara lainnya. Karena idealnya sebuah ideologi berangkat dari kebutuhan bersama dari warga negara berdasarkan konteks sosial yang ada. Karena pada kenyataannya, tipologi masyarakat berbeda-beda sesuai kondisi geografisnya, iklim cuacanya, berikut local wisdomnya.

Ada yang wilayah negaranya keseluruhannya daratan, ada yang sebagiannya lautan, ada yang perpaduan dari keduanya, ada juga yang mayoritas terdiri dari padang pasir. Ada wilayah suatu negara yang mendiami empat musim, ada juga yang dua musim. Ada yang warga negaranya terdiri dari bermacam-macam suku bangsa dan ada yang hanya terdiri dari satu suku bangsa.

Apakah kenyataan itu pada mulanya adalah kehendak kita untuk menjadi siapa, bersuku bangsa apa, lahir di mana, dan sebagainya. Ataukah itu sebuah ketetapan dari Yang Maha Kuasa? Dan oleh karenanya ia merupakan sebuah keniscayaan?

***

Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Sebuah negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan bahasa, negeri maritim sekaligus agraris, dengan latar sejarahnya  yang cukup panjang sebagai sebuah kerajaan yang sempat digdaya di seantero Asia Tenggara.

Pada awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sempat terjadi perdebatan yang cukup alot perihal apakah kiranya ideologi yang tepat untuk Indonesia. Ada kelompok yang menginginkan Indonesia berlandaskan agama Islam, ada yang menginginkan Komunisme, ada yang pula kemudian kelompok yang merumuskan ideologinya sendiri di luar  arus mainstream ideologi internasional waktu itu antara blok barat dan blok timur. Antara demokrasi kapitalis dan sosialis komunis.

Di dalam negeri sendiri perseteruan itu dikomandani oleh murid-murid top Cokroaminoto; Kartosuwiryo cs yang mewakili kelompok ideologi berlandaskan agama Islam, Semaun cs kelompok komunis,  dan Sukarno cs kelompok Republik. Yang kemudian merumuskan ideologi Pancasila. Dan berlaku hingga sekarang.

Mengapa Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mengapa Pancasila?

Ada banyak faktor yang menyertainya. Juga kiranya sudah banyak dikemukakan di berbagai kesempatan baik tulisan-tulisan maupun seminar. Namun, kalau dilihat dari sudut pandang dan kerangka berpikir sebagaimana dikemukakan di awal tulisan, ideologi sebuah negara baiknya berkesesuaian dengan konteks masyarakat dan kondisi geografisnya. Maka bentuk negara Republik, dan Pancasila sebagai ideologinya yang lebih tepat. Sederhana saja, berangkat dari  kesadaran bahwa Indonesia memiliki komposisi yang demikian berbagai-bagai dan oleh karenanya memerlukan rumusan yang berbeda dengan negara lainnya.

Maka, kebijakan untuk mengadopsi ideologi dari luar konteks Indonesia, bisa berarti penyangkalan terhadap jati diri bangsa, yang sejatinya merupakan sebuah keniscayaan. Lebih lanjut merupakan sebuah pengkhianatan terhadap kesepakatan berbangsa dan bernegara kita. Dan itu bisa berarti distorsi bagi padanan yang ada. Syukur ia dilakukan dengan pendekatan yang metodologi- kultural, maka transisinya terjadi begitu soft dan tidak memerlukan cost yang banyak. Namun pada kutub yang paling ekstrim, ia bisa mempersyarati sebuah revolusi. Dan cost-nya terlalu mahal untuk itu.